• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hygiene dan Sanitasi Makanan

2.4 Batasan Bahan Tambahan Makanan

Istilah Bahan Tambahan makanan (BTM) dikeluarkan oleh Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) pada tahun 2003 (Mukono, 2010).

Dalam kehidupan sehari–hari bahan tambahan pangan sudah digunakan secara umum oleh masyarakat, termasuk perusahaan makanan dan minuman jadi,

29

para penjual atau pembuat makanan jajanan.Pada kalangan masyarakat pengusaha, masih banyak produsen makanan dan minuman yang menggunakan bahan tambahan yang sebenarnya beracun atau berbahaya bagi kesehatan.Mengingat bahan tambahan pangan tersebut berdasarkan sifat dan keamanannya tidak boleh digunakan karena sangat berbahaya.Namun kejadian tersebut berlangsung terus-menerus karena pengaruh bahan tambahan pangan tehadap kesehatan secara umum tidak langsung dapat dirasakan atau dilihat, sehingga produsen tidak mengetahui bahaya penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang–undangan (Mukono, 2010).

Salah satu penggunaan bahan tambahan makanan adalah penggunaan zat pewarna, yangdigunakan untuk mempertinggi daya tarik visual produk makanan dan mencegah kehilangan warna selama penyimpanan. Beberapa zat ini diturunkan dari zat warna alami, misalnya karoten (jingga), klorofil (hijau), dan miglobin (merah pada daging), daun pandan (hijau), kunyit (kuning), buah coklat (coklat), wortel (kuning merah) dan lain sebagainya. Sedangkan pewarna sintetis yang boleh dipakai pada makanan misalnya warna merah ( amaranth) dan (erythrosine), warna biru (indigo sulfonat), warna kuning (kuning napthol) dan (tatrazine) (Ratnani, 2009).

Berikut zat pewarna buatan/sintetis yang diperbolehkan untuk dikonsumsi di Indonesia dengan batasan maksimum adalah sebagai berikut :

a. FD dan yellow no.5 (kuning jingga) tatrazin jumlah maksimum 7,5 mg.

b. FD dan yellow no.6 (jingga kekuningan) jumlah maksimum 5,0 mg.

c. FD dan red no.2 (merah) jumlah maksimum 1,5 mg.

d. FD dan C red no.3 (merah berflouresensi) jumlah maksimum 1,25 mg. e. FD dan C blue no.1 (hijau kebiruan) jumlah maksimum 1,25 mg. f. FD dan C red no.2 (biru indigo) jumlah maksimum 25 mg. g. FD dan C green no.3 (hijau tua) jumlah maksimum 1,25 mg. 2.4.1 Batasan Bahan Tambahan Makanan Secara Resmi

Bahan tambahan makanan yang digunakan oleh masyarakat secara luas, secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap sifat suatu makanan (termasuk bahan yang digunakan sewaktu proses produksi, proses dipabrik, pengemasan, pengolahan, pengangkutan, dan pada saat pemasaran). Jika bahan tambahan makanan tersebut tidak aman, maka perlu suatu penilaian secara ilmiah agar dapat aman untuk digunakan secara luas. Penilaian dapat diartikan sebagai: secara umum dikenal aman (Generally Recognized As Save = GRAS). Tetapi dalam hal ini tidak termasuk penyimpangan atau pelanggaran mengenai penggunaan BTP yang sering dilakukan oleh produsen pangan (Mukono, 2010).

Penggunaan bahan tambahan makanan yang beracun atau yang melebihi dosis akan membahayakan kesehatan masyarakat dan berbahaya bagi pertumbuhan generasi yang akan datang. Akan lebih berbahaya apabila bahan tersebut terbukti dapat menginduksi kanker (carcinogenic) bila dimakan oleh manusia atau hewan.Untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan para produsen pangan perlu mengetahui sifat dan keamanan bahan tambahan pangan.Di samping itu perlu pula mematuhi peraturan perundang–undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah (Mukono, 2010).

31

2.4.2 Batasan Bahan Tambahan Makanan Secara Teknis

Batasan secara teknis dikeluarkan oleh Food Protection committee of food

and Nutrition Board of National Academy of Science.Lembaga ilmu pengetahuan

tersebut adalah National Academy of Science yang cukup berwibawa di Amerika Serikat. Pada tahun 1979, lembaga tersebut menyatakan bahwa bahan tambahan pangan merupakan suatu bahan atau campuran bahan selain bahan yang terkandung dalam makanan sebagai produk pada saat proses pengolahan, penyimpangan atau pengemasan (Mukono, 2010).

Secara teknis, bahan tambahan pangan dibagi menjadi dua kategori, yaitu : 1. Bahan tambahan pangan tersebut secara langsung dan dengan sengaja

(intensional) ditambahkan selama proses produksi yang tujuannya adalah

untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, memantapkan bentuk atau rupa serta menambah cita rasa dengan mengendalikan keasaman atau kebasaan. 2. Bahan tambahan makanan yang terdapat dalam bahan makanan dalam

jumlah yang sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan dan sebagai zat aditif yang keberadaannya tidak disengaja (incidental). Di sini dibedakan antara zat aditif dengan bahan kontaminan makanan. Kontaminan merupakan bahan yang masuk ke dalam makanan melalui bahan makanan pada saat di dalam tanah maupun selama proses pembuatan makanan. Kontaminan tersebut dapat berupa nitrat, selenium, timbal, jamur, dan bakteri (Mukono, 2010).

2.4.3 Batasan Maksimum Penggunaan Zat Pewarna

Menurut Lu (2009), tubuh manusia mempunyai batasan maksimum dalam mentoleril seberapa banyak konsumsi bahan tambahan makanan yang disebut dengan ADI (Allowable Daily Intake). Istilah asupan harian yang dapat diterima atau ADI dibuat oleh JECFA mengenai zat tambahan makanan pada tahun 1961.ADI di defenisikan sebagai besarnya asupan harian suatu zat kimia yang bila dikonsumsi seumur hidup tampak tanpa resiko.

ADI menentukan seberapa banyak konsumsi bahan tambahan makanan setiap hari yang dapat diterima atau dicerna sepanjang hayat tanpa mengalami resiko kesehatan.ADI dihitung berdasarkan berat badan konsumen dan sebagai standar digunakan berat badan 50 kg untuk negara Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya.Satuan ADI adalah mg bahan tambahan makanan per-kg berat badan (Anonimous, 2009).

Menurut Lu (2009), penting untuk diperhatikan bahwa ADI dinyatakan dengan pernyataan tampaknya dan berdasarkan fakta yang diketahui pada saat itu. Peringatan ini didasarkan pada fakta bahwa tidaklah mungkin untuk benar-benar yakin mengenai keamanan suatu zat kimia dan bahwa ADI dapat berubah sesuai dengan data toksikologi yang baru.

Ambang batas paparan cemaran kimia ditentukan dan dinyatakan dalam nilai Provisional Maximum Tolerable Daily Intake (PMTDI) atau Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) untuk cemaran kimia yang lebih potensial bahayanya. Baik nilai ADI untuk BTP maupun nilai PMTDI dan PTWI untuk cemaran kimia ditetapkan melalui pengkajian risiko secara ilmiah yang sangat

33

rinci dan mendalam.Biasanya oleh lembaga internasional seperti Joint FAO/WHO Expert Committe on Food Additivies (JECFA).

Belum semua zat pewarna ditemukan ADI(Allowable Daily Intake) oleh JEFCA, sebagian besar masih dalam tahap pengkajian. Zat pewarna yang telah ditemukan rata-rata asupan yang diizinkan perharinya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.2 Rata-rata Asupan Harian Perkapita yang DiizinkanZatPewarna Berbentuk Lakes Dalam Miligram

Zat Pewarna Umur 6 – 23 Bulan 6 – 12 Tahun 18 – 44 Tahun Biru Berlian FCF Aluminium Lake 0,52 1,0 0,76 Indigotin Aluminium Lake 0,53 0,54 0,49 Hijau FCF Aluminium Lake

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Eritrosin Aluminium Lake 1,3 2,8 2,1 Merah Alurra Aluminium Lake 2,2 4,9 3,8 Merah Alurra Calcium Lake Tidak ada 1,8 2,5 Tartrazin Aluminium Lake 2,2 4,3 3,0 Tartrazin Calcium lake 0,09 0,10 0,11 Kuning FCF Aluminium Lake 1,1 2,7 1,7 Total 7,8 18,1 14,5 Sumber : Walford, 1984

Badan pengawas obat dan makanan AS (Amerika Serikat) menentukan seperangkat kriteria untuk menentukan “tingkat kewasdaan”, yang kemudian menentukan tingkat pengujian yang dibutuhkan.Tingkat pengawasan ditentukan

oleh struktur kimia dari zat tambahan itu dan tingkat penggunaannya dalam makanan.