• Tidak ada hasil yang ditemukan

Batu Kuda, Peradaban Madura Era Megalitikum

Dalam dokumen MADURA Kekuatan Harga Diri Budaya (Halaman 119-125)

Budaya merupakan hasil cipta, karya manusia yang digunakan sebagai alat bantu untuk mempermudah segala aktivitas manusia dalam sehari-hari. Pengertian budaya tidak berhenti hanya pada satu pengertian saja, melainkan menyesuaikan dengan setiap disiplin ilmu dan konteks tertentu. Menurut Sowell, budaya ada untuk memenuhi kebutuhan vital dan praktis manusia dalam membentuk masyarakat dan memelihara spesies, menurunkan pengetahuan dan pengalaman berharga kepada generasi berikutnya, untuk menghemat biaya dan bahaya serta semua proses pembelajaran mulai dari kesalahan kecil selama proses coba-coba hingga kesalahan yang fatal.

Sehubungan dengan konteks peradaban manusia, budaya memiliki peran penting di dalamnya. Sebuah peradaban dikatakan mengalami kemajuan apabila kebudayaannya juga mengalami kemajuan.

Dengan demikian, peradaban Madura merupakan tahap kemajuan yang berasal dari batin, pikiran, dan akal budi beserta hasil kegiatan nyata rekayasa manusia Madura. Peradaban Madura tersebut meliputi tingkat perkembangan kecerdasan, pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan pengetahuan, ilmu dan teknologi, kepercayaan spiritual, seni budaya, selera, nilai, hukum, budi pekerti, adat-istiadat, dan tatanan bermasyarakat. (Rifai dalam Manusia Madura 2007: 41).

108 Salah satu peradaban Madura dapat dilihat dari sisi religius penduduknya. Yakni diketahui bahwa masyarakat Madura telah mengenal agama atau kepercayaan semenjak zaman purba dahulu ketika animisme masih dijadikan panutan oleh penduduk Madura. Hal tersebut ditandai atas adanya bangunan megalitikum yang dipercaya oleh masyarakat sekitar berupa batu unik yang dipuja bernama Batu Kuda.

Batu Kuda, merupakan batu mirip kuda dengan posisi berbaring menghadap ke atas atau telentang dan agak miring ke kiri dengan kepala berada di sebelah timur. Batu ini berada di Desa Klebung, Kecamatan Bangkalan – Madura. Konon katanya benda ini merupakan artifak peninggalan seorang pahlawan yang mati dalam peperangan melawan serbuan musuh-musuhnya. Bangunan megalitikum ini dipercaya sebagai tempat pemujaan yang tersebar luas di desa sekitar, kampung, bahkan hampir keseluruhan penduduk Madura. Kepercayaan tersebut merupakan orientasi masyarakat Madura terhadap nilai-nilai religius meskipun diketahui bahwa animisme ini bukanlah hal yang dianggap baik ketika masyarakatnya telah mengenal agama Islam secara merata di Madura sekitar abad XV.

Batu Kuda yang dipercaya ini tidak hanya mirip dengan kuda yang polos tanpa apapun. Akan tetapi, Batu Kuda ini dilengkapi dengan peralatan-peralatan atau aksesori kuda layaknya sebuah dokar. Namun demikian, Batu Kuda ini lantas bukanlah sebuah kuda dengan segenap aksesorinya yang telah mengalami pengawetan. Melainkan, Batu Kuda ini sudah ada dengan sendirinya tanpa ada campur tangan dari manusia.

109 Lokasi daripada Batu Kuda ini tepatnya berada di bukit atau lereng gunung di kecamatan Bangkalan. Di tempat tersebut setiap tahunnya bahkan setiap waktu dapat dilihat beberapa penduduk masyarakat yang mendatanginya secara berbondong-bondong. Mereka pergi mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan acara selamatan atau acara bersyukur.

Bahkan seakan Batu Kuda ini semacam dipercaya oleh penduduk setempat. Misalnya pernah ketika di daerah sekitar Batu Kuda tersebut tidak kunjung turun hujan, maka penduduk mendatangi batu tersebut dan melakukan serangkaian ritual dengan maksud agar diturunkan hujan. Dan menurut narasumber memang acara selamatan yang dilakukan penduduk tersebut membuahkan hasil yang nyata, yakni turunlah hujan yang mengguyur desa tersebut. Serangkaian ritual selamatan ini dilengkapi dengan penyertaan makanan nasi kuning atau yang lebih dikenal dengan sebutan tumpeng. Sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan masyarakat Madura bahwa nasi tumpeng ini umumnya digunakan saat acara arasol, yakni acara selamatan yang diadakan untuk merayakan Maulud Nabi.

Di sini terdapat kisah lucu yang dialami oleh kakek sang narasumber sendiri (Khobir Ahmad, 23). Kakeknya yang bernama H. Abu Bakar merupakan penduduk asli Bangkalan - Madura. Namun, beliau tidak mengetahui secara langsung seperti apa wujud Batu Kuda yang selama ini dipercaya oleh masyarakat. Sehingga beliau penasaran dan karena keingintahuannya terhadap batu tersebut maka beliau pergi mengunjungi lereng gunung tempat Batu Kuda itu berada. Seorang diri beliau berangkat menuju lokasi dan sesampainya di lereng gunung, beliau merasakan suasana yang sejuk

110 dan dingin. Menurut pengakuannya, beliau dirundung kebingungan karena tidak kunjung menemukan tanda-tanda adanya Batu Kuda yang ingin beliau ketahui. Karena memang di lokasi tersebut tidak ditemukan pagar atau semacam pelindung untuk melindungi batu tersebut.

Atas dasar kebingungannya, beliau merasakan lelah dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Beliau dengan santainya duduk sembarang dengan maksud menghilangkan rasa lelahnya, tanpa menyadari bahwa ia sedang duduk di sebuah batu yang beliau cari.

Lalu lewatlah seorang penduduk yang hendak pergi ke sawah.

“Pak, batu jheren eka’dimmah?, tanya kakek (Pak, Batu Jaran itu di mana?) Serentak penduduk tersebut menjawab sambil menunjuk pada batu, “Nah,

ekatoju’i!” (Nah, itu yang diduduki!)

Setelah itu kakek tersebut segera beranjak dari duduknya dan meminta maaf. Beliau tersadar bahwa Batu Kuda tersebut memiliki kemistisan dan diyakini oleh penduduk sekitar sebagai artifak istimewa yang mengandung kekuatan di dalamnya.

Selain memiliki keunikan berbentuk kuda dengan serangkaian kelengkapan layaknya dokar, Batu Kuda ini pun hingga saat ini tidak ditumbuhi oleh tumbuhan lumut meskipun telah terkena air. Dan batu ini juga tetap utuh atau tidak rusak.

Atas kemistisan dan keistimewaan yang ada pada Batu Kuda ini, maka mengundang niat buruk seseorang yang berkeinginan untuk

111 menghancurkan batu tersebut. Konon pernah datang seorang pesuruh yang dibayar untuk sekiranya mampu merusak batu tersebut. Sehingga satu hari datanglah pesuruh bayaran tersebut ke lokasi batu, kemudian ia mencoba untuk memecahnya. Akan tetapi, belum sampai mampu menghancurkan, orang tersebut kelelahan dan memutuskan untuk kembali ke rumah. Malangnya orang ini mati dan diduga penyebabnya berasal dari ulahnya sendiri yang mencoba untuk menghancurkan Batu Kuda.

Batu yang berada di Desa Klebung, Kecamatan Bangkalan – Madura ini perlu untuk dirawat sehingga tetap lestari dan dirasa dapat pula dijadikan sebagai daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjungi lokasi tersebut. Sehingga selain memperkenalkan kepada khalayak luas bahwa Madura memiliki artifak istimewa, juga akan mampu mendorong perekonomian masyarakat Madura ke depannya.

Di lokasi Batu Kuda tersebut, pengunjung dapat menikmati keindahan alam sekitar yang elok dan masih alami, belum tercemar oleh tangan-tangan jahil manusia. Meskipun memiliki keistimewaan yang unik, hal ini juga memiliki konteks negatif yakni dengan bentuk mengunjungi dan berdoa di tempat tersebut dengan maksud meminta sesuatu yang dipercaya sudah pasti akan dikabulkan dan dianggap sebagai tempat yang diijabah, maka hal tersebut mengarah pada tindakan syirik yang seakan menyembah dan meminta selain kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sekalipun mayoritas penduduk Madura dianggap sebagai pemeluk agama Islam yang teguh dan kuat, masih banyak juga yang dengan tidak sadar

112 melakukan bid’ah (perilaku keagamaan yang tidak disunahkan oleh Nabi Muhammad SAW). (Rifai dalam Manusia Madura 2007: 48).

Salah satu bid’ah tersebut yaitu dengan jalan menyembah atau masih mempercayai bangunan-bangunan seperti Batu Kuda yang telah dijelaskan di atas. Dengan demikian peradaban orang Madura yang sebagian penduduknya masih percaya kepada selain Tuhan, menunjukkan bahwa belum sepenuhnya memasuki peradaban kehidupan yang maju. Akan tetapi hal tersebut dapat diubah sesuai perkembangan zaman untuk sedikit demi sedikit mengurangi acara pemujaan dan berdoa di tempat-tempat yang tidak disunahkan oleh Rasulullah.

Narasumber: Khobir Ahmad Mahasiswa Sosiologi

Lahir pada tanggal 16 Agustus 1991 di Sambas – Kalimantan Barat dan besar di Bangkalan – Madura.

Mempunyai kakek bernama H. Abu Bakar, asli Bangkalan – Madura. Referensi: Buku “Manusia Madura” karya Mien Ahmad Rifai (2007)

113

Dalam dokumen MADURA Kekuatan Harga Diri Budaya (Halaman 119-125)