• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM IMPITAN BUDAYA JAWA

Dalam dokumen MADURA Kekuatan Harga Diri Budaya (Halaman 58-65)

Despi Wahyu Syafitri Pulau Madura merupakan suatu pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa Timur, luasnya sekitar 5.250 km2. Madura sendiri dibagi menjadi empat kabupaten, yaitu mulai dari sebelah barat ada Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan, dan yang paling timur adalah Kabupaten Sumenep. Dalam menggunakan bahasa Madura ke empat kabupaten tersebut mempunyai pelafalan yang unik dan dialek yang berbeda. Mulai dari Kabupaten Bangkalan dan Sampang yang dikenal sering menggunakan bahasa kasar (bukan berarti berkata kasar) dan Kabupaten Pamekasan dan Sumenep dikenal lebih sering menggunakan bahasa halus.

Dalam perkembangannya, bahasa Madura sudah jarang digunakan sebagai bahasa ibu. Mungkin ada sebagian masyarakat yang masih menggunakannya, namun lebih banyak pula yang menggunakan bahasa campuran. Mengingat derasnya arus globalisasi yang masuk ke Madura, tidak dapat dipungkiri jika hal itu terjadi. Bahasa campuran yang dimaksud adalah perpaduan antara bahasa Madura, Jawa, dan tentunya Indonesia. Kenyataannya saya lebih sering menjumpai pemakaian bahasa campuran ketimbang pemakaian bahasa Madura asli.

Kehidupan di daerah yang dikenal sebagai Perumnas misalnya. Dahulunya Perumnas merupakan tempat tinggal yang dibangun untuk para

47 pegawai Angkatan Laut dan beberapa masyarakat Madura. Masih sepi dan jarak antara rumah satu dengan yang lainnya masih tergolong cukup luas. Namun sekarang Perumnas adalah daerah tempat tinggal yang padat karena merupakan salah satu tempat migrasi orang Jawa. Karena jaraknya yang tergolong dekat dengan Surabaya, maka yang tadinya hanya desa berubah menjadi perumahan. Namun jangan salah, meskipun jumlah orang Jawa tergolong banyak, populasi orang Madura juga tidak kalah banyaknya karena berbagai faktor, misalnya turunan dan perkawinan. Di Perumnas sangat dapat ditemui perpaduan dari budaya Madura dan Jawa. Mulai dari model atau bentuk rumah yang tidak terlalu mengikuti gaya rumah masyarakat Madura kebanyakan, yaitu pasti memiliki tiang penyangga di depannya. Banyak sekali rumah di Perumnas yang mengikuti bentuk rumah Jawa modern. Sehingga banyak juga orang asli Madura yang mengikutinya. Selain lebih modern, banyak yang mengatakan bahwa bentuk rumah Jawa modern terlihat lebih basar dan luas, karena menghilangkan space untuk berdirinya tiang penyangga.

Selain bentuk rumah, penggunaan bahasa di Perumnas adalah bahasa campuran, yang terdiri dari bahasa Madura, Jawa, dan Indonesia. Ini merupakan budaya bahasa baru yang lahir dari perpaduan budaya keduanya. Hampir seluruh warganya memakai bahasa campuran ini dan bahkan dijadikan bahasa ibu. Hal ini tak lepas dari peran orang Jawa yang mungkin merasa kesulitan dalam mempelajari bahasa Madura, meskipun mereka telah tinggal berpuluh-puluh tahun di pulau garam ini. Selain itu keterbukaan orang Madura (khususnya di Perumnas) akan budaya yang

48 masuk, membuat bahasa campuran ini semakin diakui keberadaannya. Tak heran jika orang tua sekarang, lebih nyaman menggunakan bahasa campuran tersebut ketimbang bahasa Madura, meskipun mereka orang Madura asli.

Dalam hal pendidikan pula, sekolah-sekolah yang terletak di daerah Kamal termasuk Perumnas, jarang menerapkan penggunaan bahasa Madura saat di sekolah. Sehingga para siswa sejak dini telah di tumpulkan kemampuan berbahasa Maduranya. Sebenarnya ada pelajaran bahasa Madura, namun hanya sebatas kulitnya, tidak sampai pada sesi komunikasi dengan bahasa Madura yang benar atau dengan kata lain prakteknya tidak ada. Pihak sekolah dan orang tua kurang turut andil dalam pemeliharaan budaya Madura. Akibatnya anak-anak memakai bahasa campuran tersebut.

Inilah potret miris yang terjadi. Banyak sekali contoh anak yang lahir di Madura dan menetap, namun tidak tau berbahasa Madura ataupun detail budaya Madura lainnya (termasuk saya). Sebenarnya mereka tau beberapa budaya Madura, namun mungkin hanya kulit luarnya. Misalnya saja kesenian tradisional seperti karapan sapi, batik, celurit. Banyak yang hanya mengetahui gambaran luarnya, seperti kerapan sapi yang merupakan perlombaan menunggangi sapi kerap di lapangan luas, tapi tidak mengetahui makna di balik itu semua. Sebagian hanya mengenal istilah-istilah tertentu tentang budaya Madura, namun saat ditanya lebih lanjut dengan istilah yang dimaksud, mereka malah menggeleng. Ini merupakan contoh salah satu peristiwa yang saya alami sendiri. Saat itu

49 semasa ospek fakultas, kelompok saya mendapat bagian tentang sape

sono’. Saya baru pertama kali mendengar ada salah satu budaya Madura

yang demikian, karena yang saya sering dengar adalah sebatas Kerapan

Sapi. Setelah tanya sana-sini, saya baru mengetahui jika sape sono’ itu

merupakan kontes adu kecantikan untuk sapi betina. Betapa malu sekali saya saat itu. Telah lahir dan hidup di Madura selama 17 tahun, namun mengetahui istilah sape sono’ saat berada di depan gerbang kampus.

Istilah lainnya yang sama ceritanya dengan pengalaman sape’ sono adalah pelet kandung. Hal ini barusan saja terjadi berkat pengajuan judul untuk tugas UAS mata kuliah PAP yang saat ini saya tulis. Saat itu saya sedang bingung ingin menulis apa tentang Madura, sampai saat teman saya mengusulkan tentang pelet kandung. Saat itu yang terlintas dibenak saya adalah, budaya Madura yang intinya mem-pelet (melakukan sesuatu yang buruk) kepada wanita yang sedang hamil. Tapi jawaban berbeda terlontar saat teman saya menjelaskan arti sebenarnya dari pelet kandung, yaitu upacara / syukuran atas usia kandungan yang menginjak 7 bulan. Disini yang saya tau hanya istilah dari Jawa, yaitu tujuh bulanan. Di katakan lagi, memang mirip seperti acara tujuh bulanan di Jawa, namun ritualnya saja yang sedikit berbeda. Kembali saya berdecak tak percaya, di usia 19 tahun ini saya baru (kembali) mengenal budaya Madura yang dinamakan pelet

kandung. Selanjutnya saya akan lebih belajar mengenai kebudayaan

Madura yang lain.

Berdasarkan pengalaman di atas, akan banyak yang mengatakan bahwa betapa kurang updetnya saya akan berbagai budaya di Madura.

50 Faktanya banyak contoh serupa, selain saya. Jadi saya mempunyai sanggahan tersendiri untuk hal tersebut. Itu karena di lingkungan saya tinggal dan dibesarkan, istilah atau berbagai budaya Madura tersebut jarang atau mungkin tidak pernah disebut, diajarkan, ataupun diadakan. Alasan terbesarnya adalah globalisasi yang ada. Terlebih lagi jajahan kebudayaan Jawa yang memang sudah menjadi bagian budaya sehari-hari kita. Tidak dapat di pungkiri, budaya Jawa telah dikenal sebagai budaya yang paling sering di gunakan dan sering diangkat sebagai budaya anutan dalam berbagai acara (selain budaya melayu). Di satu sisi kurangnya pengeksposan budaya Madura dalam kehidupan masyarakat yang bukan orang Madura, semakin membuatnya semakin tersembunyi, tidak dikenali dan makin ditinggalkan. Selain itu masyarakat asli Madura sendiri telah dikit demi sedikit mengurangi penggunaan budaya Madura diberbagai wilayah (diluar pulau Madura) misalnya saja penggunaan bahasa Madura. Mereka lebih sering menggunakan bahasa campuran, yaitu bahasa Madura dan bahasa daerah tempat mereka menetap atau malah lebih menggunakan bahasa daerah disana.

Beberapa bulan lalu, saya pernah membaca sebuah artikel yang menyebutkan bahwa budaya Madura memang hampir pudar dikarenakan watak orang Madura (sebagai pengguna) yang kurang bertanggung jawab dalam menjaga dan melindungi apa yang dimilikinya. Maksudnya adalah jika budaya Madura mampu bertahan hidup, semata-mata itu karena watak penggunanya yang bertanggung jawab dan berkepribadian baik. Karena jika orang Madura memiliki watak yang baik, maka mereka tidak akan pernah

51 rela kehilangan budaya yang telah mereka punyai dan diwariskan turun menurun. Inilah problem dari pudarnya budaya Madura dalam kehidupan masyarakat yang sama kasusnya dengan Perumnas. Masayarakat Madura di Perumnas sendiri kurang menghidupkan budaya Madura. Entah karena terlalu terlena dengan masuknya budaya Jawa, atau memang sengaja tidak di hidupkan. Yang jelas, hal ini telah berpengaruh terhadap keeksistensian budaya Madura di dalam Pulau Madura sendiri. Karena perkembangan budaya Madura sangat bergantung pada tingkat kemunculannya di masyarakat itu sendiri. Semakin sering muncul di masyarakat, semakin besar pula masyarakat mengenal budaya Madura dan menggunakannya. Karena untuk mempertahankan budaya Madura agar terus hidup, hanya orang Madura-lah yang bisa. Hanya mereka yang patut mempertahankannya.

Narasumber : Fitria Kamalia, Farah Fitrah Suryani, Atika Setyowati Putri, Jannatin Alya , Rika Febrianingsih Ramadona, Resiana Tri Alfia Fitria, beserta para ibu mereka.

52 Saya Despi Wahyu Syafitri, lahir di kota panas Bangkalan, 27 Maret 1995 pukul 15.35 WIB. Lulusan SD, SMP, SMA di Kecamatan Kamal karena begitu cintanya dengan tanah kelahiran, sampai dengan jenjang kuliahpun masih di terperangkap di Madura. Mengambil Jurusan Ilmu Komunikasi karena kehendak dan

merupakan jalan dari Allah SWT dan

semoga menjadi berkah. Amin Ya Rabbal Al Amin. Salam CIE untuk semuanya ... ^o^

53

Dalam dokumen MADURA Kekuatan Harga Diri Budaya (Halaman 58-65)