Segera setelah Sultan Bab tahu bahwa pembunuh ayahnya, de Mesquita, telah berada
di Ambon, ia mengeluarkan pengumuman yang merupakan tindak lanjut atas penolakan Portugis menyeret Mesquita ke pengadilan, yaitu:
1. Melarang semua kapal asing memasuki perairan Maluku.
2. Melarang konversi orang-orang Islam ke agama Kristen dan membatalkan semua kemudahan yang pernah diberikan Khairun kepada Misi Jesuit selama ini
3. Memerintahkan orang-orang Portugis partikelir, personel militer, Misi Jesuit, dan orang-orang Kristen Pribumi di Moro dan Bacan untuk berkumpul di Ternate.
1. Larangan Masuk Kapal Asing
Larangan semua kapal asing (Portugis) memasuki perairan Maluku dimaksudkan Bab untuk memutuskan hubungan Portugis di Maluku dengan dunia luar. Selain untuk mengisolasi mereka dan Malaka dan Goa, larangan ini juga ditujukan untuk mencegah bala bantuan personil, senjata dan amunisi mengalir ke Benteng Gamlamo. Bab tahu bahwa di Ambon, Seram, dan Banda, masih ada sejumlah awak militer Portugis yang sewaktu- waktu dapat dikerahkan untuk mematahkan kepungan terhadap benteng.
Selain itu, Ambon dan Banda merupakan pintu masuk ke Maluku bagi kapal-kapal Portugis yang datang dari Goa, Malaka, dan Filipina. Tetapi, kapal- kapal Portugis yang akan meninggalkan Maluku dibiarkan saja pergi tanpa gangguan. Contohnya adalah eskader Pareira Marramaque, yang berjumlah lima buah. Setelah usai mengevakuasi tentara dan misionaris dari Moro ke Ternate, eskader ini diizinkan kembali ke Ambon bersama pasukannya.
Untuk mencegah infiltrasi musuh, perbatasan antara Pulau Obi, Banda, dan Buru dijaga ketat. Sebanyak lima juanga, masing-masing didayung 130 orang, yang memuat ratusan tentara (baru-baru) dipimpin seorang kapitan dari Kepulauan Sanana— bernama Kalakinka—dikerahkan untuk berpatroli selama 24 jam sehari. Kalakinka terpilih mengemban tugas tersebut karena selain dikenal sebagai seorang pemberani ia juga memiliki ilmu kebal dan sarat dengan berbagai ilmu hitam (black magic).
Dalam mitos di Kepulauan Sanana dikisahkan bahwa setelah beberapa bulan menjaga perbatasan dan mondar-mandir antara Pulau Obi dan Buano, Kalakinka merasa bosan karena tidak ada kapal Portugis yang lewat. Pada suatu malam ia memanggil saihu semua juanga dan naik ke atas juanganya. Perintah yang keluar dari mulutnya adalah tiga juanga malam itu mengikutinya dan tidak diberitahukan kepada para saihu tujuan pelayarannya.
Setelah lewat tengah malam, ia memerintahkan semua juanga menuju Seram. Ketika ayam mulai berkokok, tanda pagi akan segera tiba, ketiga juanga mendarat tidak jauh dari kamp Portugis di Lisabata. Pembantaian terhadap serdadu Portugis pun mulai berlangsung. Dalam waktu satu jam lebih, seluruh anggota garnisun Portugis di situ selesai dibabat. Pukul 10.00 pagi, Kalakinka dan pasukannya sudah kembali mendarat di Pulau Buano dan memulai tugasnya merondai kembali perairan Banda dan Obi.
Ketika pagi tiba dan penduduk Lisabata keluar ke jalan, mereka terperanjat melihat mayat serdadu Portugis berserakan di tengah jalan. Beberapa waktu kemudian, barulah rakyat Lisabata tahu bahwa pasukan Kalakinka mendarat di sana dan melakukan pembantaian. Salahakan (gubernur) Kepulauan Sula sangat memuji kepahlawanan Kalakinka. Sementara orang orang Kristen Pribumi Bacan, berikut tentara Portugis dan misionarisnya, langsung berlayar ke Lisabata (Seram) di Ambon. Mereka tidak pernah datang lagi ke Ternate.
2. Larangan Konversi
Selama Khairun berkuasa, sultan yang sangat toleran ini belum pernah melarang penyebaran agama Kristen di kalangan penduduk Pribumi— berbeda dengan kebijakan sebaliknya yang berlaku di Kesultanan Tidore. Karena itu, konversi besar- besaran pun terjadi di kalangan rakyat, terutama di Moro dan Bacan. Di kalangan para bobatopun hal serupa terjadi, seperti konversi yang dilakukan Sangaji Mod, Gamkonora, Tolo, Sugala, dan Cio.
Khairun sering membantu Misi Jesuit dengan juanga yang membawa para misionaris dari Ternate
ke Moro dan memberikan perlindungan serta keamanan. Tetapi, kini Sultan Bab membatalkan semua fasilitas tersebut dan sehubungan dengan itu Bab melarang konversi orang-orang Muslim ke agama Kristen.
Ketika para misionaris meninggalkan Moro, terdapat 70.000 orang Moro yang telah dibaptis— dari jumlah tersebut, setengahnya adalah orang Islam yang murtad. Tidak mengherankan apabila Baabullah harus mengeluarkan larangan konversi bagi orang Islam.
Larangan ini harus dilihat dalam kaitannya dengan fungsi Sultan Ternate sebagai Amiruddin, atau pemimpin agama Islam, yang secara implisit maupun eksplisit harus menolong dan membimbing orang Islam. Lagipula, bagi Baabullah, alasan pelarangan konversi ini sangat sederhana: “Sebagian pribumi itu sudah beragama, mengapa harus dialihkan ke agama lain?”
3. Perintah Agar Semua Orang Portugis dan Kristen Berkumpul di Ternate
Perintah agar semua personil militer dan para pedagang Portugis serta personil Misi Jesuit berikut semua orang Kristen Pribumi—tidak termasuk perempuan, anak-anak, orang sakit dan para manula—berkumpul di Ternate terutama didasarkan pada pertimbangan militer.
Di Moro, selain terdapat pasukan reguler yang mengawal para misionaris—seperti di Tolo (terbanyak), Mamuya, Sugala, Sakita, Mira, dan Pulau Rao—juga terdapat pasukan tentara yang dibawa Pereira Marramaque sejumlah 500 orang. Pasukan Marramaque ini ditempatkan di Mamuya, ibu kota kerajaan Moro.
Untuk melaksanakan perintah ini, Bab mengirim tidak kurang dari 30 juanga berbagai ukuran dengan pasukan sebanyak 3.000 orang. Tugas yang diperintahkan Bab kepada pasukannya adalah: Cari dan kejar orang-orang Portugis dan bunuh mereka di manapun mereka ditemukan.
Tetapi, perintah ini dikecualikan untuk anggota Misi Jesuit.
Ketika akan memasuki Sugala, armada Baabullah memergoki empat perahu Portugis yang
penuh muatan bahan pangan untuk kepentingan benteng di Ternate. Semua muatan disita dan awaknya disuruh kembali ke tempatnya semula.
Sultan Bab memang mengerahkan juanga dan pasukan yang jauh lebih besar dari pasukan reguler Portugis dan pasukan Pareira Marramaque dengan persenjataan lengkap. Karena itu, begitu perintah evakuasi tiba, semua pasukan reguler, misionaris dan orang-orang Kristen Pribumi lokal langsung berlayar ke Ternate.
Marramaque menggunakan kapalnya untuk mengevakuasi tentara, misionaris, dan orang partikelir Portugis lainnya dari Moro ke Ternate. Sementara orang-orang Kristen Pribumi datang ke Ternate dengan menggunakan perahu mereka sendiri. Dalam pelayaran ini banyak di antara mereka yang tenggelam dan hilang ditelan laut, karena angin topan dan ombak melanda perahu mereka.
Sementara itu, Bab mengirim lima juanga besar. Tiap juanga didayung 130 orang berikut 120 tentara ke Ambon. Sasaran serbuan pertama para prajurit Ternate ini adalah benteng baru yang kebetulan dikomandani Marramaque, yang ketika itu tengah berada di Moro dan disibukkan dengan evakuasi para serdadu, para misionaris dan partikelir Portugis lainnya ke Ternate sesuai perintah Bab. Selama absennya Marramaque, komandan benteng berada di tangan Duarte de Menezes. Tetapi, karena berita kedatangan juanga Ternate bocor, de Menezes berikut 700 pasukannya melarikan diri ke Leitimor pada Agustus 1571, sebelum pasukan Bab tiba.
G.E. Rumphius mencatat bahwa beberapa waktu setelah Khairun wafat, Sultan Bab mengirim Rubohongi ke Ambon. Dengan bantuan orang- orang Hitu, Rubohongi menyisir perairan sekitar Teluk Ambon dan menyerang kapal-kapal Portugis yang mereka temukan. Akibatnya, tidak ada lagi kapal yang berlabuh di Teluk Ambon dan Portugis harus membangun sebuah benteng darurat di Honibappo.
Rumphius tidak menjelaskan apakah pelabuhan darurat ini berada di Leitimor atau
di Jazirah Hitu karena Hitu bersekutu dengan Ternate, kemungkinan Honibappo berada di jazirah Leitimor. Juga perlu dipertanyakan apakah armada juanga pimpinan Rubohongi itu sejumlah lima juanga yang diperintahkan Bab—seperti ditulis Stapel di atas—ataukah armada tersendiri yang datang ke Ambon.
Stapel tidak menyebut siapa pimpinan kelima juanga yang dikirim Bab ke Ambon pasca kematian Khairun. Menurut Valentijn (hal.207), Rubohongi memimpin ekspedisi untuk menyerang Portugis di Ambon pada 1576, sementara dalam pocumenta (Vol.II hal.12), Rubohongi, dengan bantuan Laulata dan Talele, menyerbu benteng Portugis pada 1591.
Pada pertengahan 1570, seluruh evakuasi dari Moro rampung. Orang Portugis, misionaris, dan tentara diperintahkan masuk ke dalam benteng. Sementara orang-orang Kristen Pribumi diberikan dua opsi oleh Bab: Pertama, kembali ke agama asli/Islam (rekonversi) dan pulang kampung atas tanggungan kerajaan; atau kedua, tetap pada keyakinan agama Kristen dan memperoleh status sebagai tawanan dan masuk ke dalam Benteng Gamlamo berbaur bersama orang-orang Portugis.
Sebagian besar Pribumi Kristen memilih opsi pertama dan beberapa hari kemudian sejumlah juanga mengantar mereka pulang ke Morotia dan Morotai. Tetapi, ada beberapa ratus yang memilih opsi kedua dan masuk ke dalam benteng dengan status sebagai tawanan.
Pada 1570, Sultan Bab mulai melakukan pengepungan terhadap Benteng Gamlamo, yang ketika itu dihuni oleh lebih dari 900 orang. Pada saat yang sama, Sultan Bacan meminta kepada komandan Portugis di Tidore agar melakukan penyerbuan ke Ternate. Tetapi, karena Portugis dalam posisi sedang lemah, permintaan Sultan Bacan ditolak. Baabullah sangat marah mendengar peristiwa ini dan menganggapnya sebagai sebuah pengkhianatan.
Bab lalu mengirim seorang utusan ke Kasiruta dan meracuni Sultan Bacan. Pada 1571, Portugis menempatkan sebuah garnisun kecil di Bacan. Bab mengirim pasukannya dan menyerang Bacan. Tentara Portugis berikut Misi Jesuit yang tersisa di Bacan pun berakhir.