• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Mesra Sultan Khairun-Portugis berbuah Pahit

Dalam dokumen Lapsus Edisi 10 Juli 2016 (Halaman 30-36)

Sultan Khairun Jamil bin Bayan Sirullah, dilahirkan di Ternate pada 1522, dari ibunya seorang perempuan Jawa. Ia memperoleh pendidikan pada Seminari di Goa, sekolah Portugis satu-satunya

yang ada waktu itu. Pada 1535, dalam usia 13 tahun, ia menggantikan saudara tirinya Tabariji sebagai Sultan Ternate. Karena belum cukup umur, sebagai Mangkubumi ditunjuk Samarau, mantan salahakan (gubernur) Kerajaan Ternate di Ambon.

Pada 1544, Khairun ditangkap atas tuduhan pengkhianatan. Bersama Khairun, ikut ditangkap juga Mangkubumi Samarau dan keduanya dideportasi ke Goa. Samarau pada usia lanjut (70 tahun) diperiksa di Malaka, kemudian dikembalikan ke Ternate karena tidak terbukti bersalah. Tetapi, ketika tiba di Ambon, ia dibunuh oleh orang-orang suruhan Gubernur de Atayde.

Khairun sendiri, setelah tiba di Goa, dikembalikan lagi ke Ternate, karena semua dakwaan atas dirinya tidak terbukti. Haknya atas tahta Kerajaan Ternate dipulihkan dan pada 1546 dilantik kembali sebagai sultan untuk kedua kalinya.

Ia menikah pertama kali dengan Bob Tanjung, puteri tertua Sultan Bacan, Alauddin I. Baabullah lahir dari perkawinan Khairun dengan Bob Tanjung. Khairun punya enam anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Yang tertua adalah Baabullah. Istri keduanya seorang perempuan dari Sula. Terakhir Khairun menikah dengan putri Sultan Tidore, Iskandar Zulkanain

Khairun naik tahta menggantikan saudara tirinya Tabariji, yang dipaksa turun oleh Gubernur Tristao de Atayde lantaran dituduh melakukan pengkhianatan. Tabariji dipandang bersalah karena membiarkan orang-orang Muslim Galela menyerbu Mamuya, ibu kota Kerajaan Moro dan membunuh orang-orang Kristen lokal yang baru dikonversi ke Kristen. Sepuluh tahun setelah Tabariji dicopot, pada 1544 giliran Khairun ditangkap dan ditahan dengan tuduhan yang sama oleh Gubernur de Freitas. Bersama jogugunya yang telah berusia lanjut, Samarau, Khairun dideportasi ke Goa melalui Malaka.

Saat tersiar berita di Ternate bahwa Tabariji meninggal dunia, rakyat bersorak gembira. Ketika Kapten Duarte Miranda, komandan Kapal Bufara, melabuhkan kapalnya di Pelabuhan Talangame,

de Sousa memberitahu Khairun bahwa ia akan mendarat hari itu juga dan Sultan Khairun baru mendarat keesokan harinya setelah segala sesuatunya siap.

Khairun turun dari Kapal Bufara dan di depan penyambut yang berjubel, Khairun berjalan menuju Gamlamo, diiringi musik dan sejumlah bobato. Di sepanjang jalan ia dielu-elukan rakyat. Khairun, yang memakai jubah bangsawan tinggi Portugis, tampak berwibawa. Lelaki dengan postur tubuh tinggi besar itu menyalami rakyat ketika memasuki ibu kota Gamlamo.Ia memakai topi dan sepatu dari kulit, dengan wajah yang cerah.

Setelah itu, Khairun memasuki istana menunggu pelantikannya. Dua hari kemudian, Khairun dilantik kembali sebagai Sultan Ternate untuk kedua kalinya (1546-1570). Pada pidato pelantikannya Khairun menandaskan:

1. Ternate tetap sebagai sebuah Kerajaan Islam

2. Akta hibah Don Manuel Tabariji atas Kepulauan Ambon kepada Jordao de Freitas tidak sah dan batal demi hukum, karena wasiat dibuat oleh Wasi yang tengah menghadapi kematian. Kepulauan Ambon bukan milik pribadi Don Manuel Tabariji sehingga pemasrahannya kepada pihak ketiga menjadi tidak sah pula.

Dalam melaksanakan tugasnya di Maluku, Misi Jesuit memperoleh berbagai kemudahan dari Sultan Khairun. Fasilitas itu antara lain berbentuk sarana transportasi, berupa juanga berikut awak pendayung, yang membawa personil mereka ke Moro. Bantuan transportasi seperti ini lazimnya diajukan melalui gubernur. Karena semua logistik Misi dikirim dari Malaka, apabila kapal logistik belum tiba, kerajaan lazimnya juga memberikan bantuan darurat berupa beras, ikan dan lainnya. Tetapi, bantuan paling mendasar yang diberikan Khairun adalah dibolehkannya Misi mengkonversi rakyat Pribumi—baik yang belum maupun yang telah beragama (Islam)—ke dalam agama Kristen. Padahal, upaya konversi di kalangan pribumi semacam itu dilarang di Kerajaan Tidore.

Pemimpin pastoral di Morotai, Alfonso de Castro, pernah melaporkan kepada pusat Misi Jesuit di Roma bahwa toleransi yang ditunjukkan Sultan Khairun kepada agama Kristen sangat luar biasa dan ketika terjadi gangguan keamanan yang mengancam Misi dan orang-orang Kristen lokal, Khairun mengirim juanga dengan beberapa ratus prajurit untuk membantu. Dengan pedang terhunus di tangan, mereka diperintahkan berlayar ke Moro mencari para pengganggu keamanan dan membunuhnya, sekalipun yang bersangkutan memeluk agama Islam.

Pada November 1555, tiba di Ternate Don Duarte de Eca, gubernur baru yang menggantikan Francisco Lopez de Sousa (1550-1552). Gubernur de Eca mempunyai perangai yang tak jauh berbeda dengan de Freitas: seorang egois dan otoriter. Berbagai tindakannya mulai tidak berkenaan di hati Khairun. Yang amat menyebalkan Khairun adalah kebijakan de Eca menaikkan pajak cengkeh yang harus dibayar rakyat dan kerajaan kepada Portugis.

Penolakan Khairun terhadap kenaikan pajak penjualan cengkeh ini oleh de Eca ditafsirkan sebagai sikap menolak bekerja sama dan membangkang terhadap aturan penguasa Portugis. Oleh sebab itu, pada 1 Desember 1558, Gubernur de Eca memerintahkan tentaranya menangkap Sultan Khairun, adik-adiknya, dan ibunya—seorang perempuan Jawa—untuk kemudian dijebloskan ke dalam penjara Benteng Gamlamo.

Penangkapan dan penahan ini telah menimbulkan kemarahan rakyat, baik yang pribumi maupun orang-orang Portugis sendiri, karena mereka tahu bahwa pajak cengkeh selama ini hanya masuk ke kantong gubernur dan tak sepeser pun digunakan untuk kepentingan mereka.

De Eca memasukkan sultan dan adik tirinya Pangeran Guzart ke dalam sel tahanan di bawah tanah di benteng. Sel mereka kotor, lembab, dan penuh tikus. Mengingat makanan di penjara yang bahkan lebih buruk daripada di benteng, siapapun bisa saja mati keracunan akibat terkontaminasi makanan itu. Mereka diperlakukan sedemikian kerasnya, sehingga para penjaga, yang orang Portugis pun, menyatakan keberatan dan

menyarankan agar mereka sebaiknya dibebaskan saja.54

Bagi Khairun, penangkapan diri dan keluarganya, kali ini telah menggoreskan luka yang dalam. Ia menilai tindakan de Eca sangat keterlaluan dan merupakan tindakan sewenang- wenang serta menghina pribadi, keluarga, dan kerajaannya. Sejak kejadian yang menimpa dirinya itu, pandangannya terhadap pemerintah Portugis beserta segala yang berindikasi Portugis—termasuk Misi Jesuit—berubah.

Kebijakannya selalu bertumpu pada menjaga jarak, bila yang dihadapi itu Portugis, tidak terkecuali dalam pergaulan sehari-hari. Khairun yang selalu tampak akrab dengan orang-orang Portugis, secara perlahan-lahan mulai berhati- hati. Bahkan, ia tak dapat menyembunyikan kekesalannya kepada orang-orang tertentu. Tokoh yang selalu berpembawaan terbuka dan berterus terang itu mulai tertutup dan kadang kala sukar ditebak. Ia berubah menjadi oposan Portugis.

Khairun telah berubah, dia dianggap menjadi tokoh yang menghalangi program Portugis di bidang perdagangan maupun pelaksanaan konversi keagamaan. Sebagai Sultan Ternate, Khairun mengeluarkan berbagai peraturan yang menghambat kedua hal tersebut. Di bidang perdagangan rempah-rempah, misalnya, ia sangat pro perdagangan bebas dan menentang pungutan pajak penghasilan terhadap petani cengkeh.

Demikian pula, untuk menghadapi laju konversi yang sangat mengkhawatirkan, Khairun pernah mengadakan pertemuan dengan Sultan Tidore, Bacan, dan Jailolo pada 1544 untuk membendung penginjilan yang dilakukan Misi Jesuit. Pertemuan itu menghasilkan keputusan untuk memisahkan pemukiman orang Islam dari pemukiman orang Kristen, dengan tujuan mencegah konversi orang- orang Islam ke dalam agama Kristen

Gubernur Manuel de Vasconcellos hanya mampu bertahan selama dua tahun dan pada 1561ia digantikan oleh Henrique de Sa, yang pernah tinggal lama di Maluku. Sebagai orang yang telah

54 Willard A. Hanna & Des Alwi, "Ternate dan Tidore, Masa Lalu Penuh Gejolak", Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1996, hlm.77

mengenal Maluku dan keluarga Kerajaan Ternate dari dekat, de Sa mencoba menciptakan hubungan yang lebih baik dengan Khairun. Selama tiga tahun menjalankan tugasnya, (1561-1564) hubungan baik dengan Khairun bisa dibinanya. Oleh sebab itu, selama masa kekuasaan de Sa, Khairun dapat bekerja sama dengan baik.

Hubungan yang relatif sama juga beijalan pada masa Gubernur Alvaro de Mendosa (1564-1566). Tetapi, pada masa kekuasaan Gubernur Diego Lopez de Mesquita—pengganti de Mendosa—yang berdarah dingin, luka lama Khairun akibat ulah Gubernur Duarte de Eca atas diri dan keluarganya kambuh.

Sejak masa awal pemerintahannya, de Mesquita tidak pernah berlaku santun kepada rakyat maupun keluarga Kerajaan Ternate. Ia tidak pernah membina hubungan baik dengan Khairun dan Khairun juga telah mengubah pandangan dan kebijakannya terhadap Pemerintah Portugis sejak penghinaan oleh de Eca. Khairun tahu betul maksud-maksud jahat yang tersembunyi di balik kata-kata manis yang diucapkan de Mesquita.

Pada Mei 1565, sebuah laporan yang berasal dari Misi Jesuit di Moro diterima raja muda Goa. Laporan itu menyatakan bahwa kekacauan dalam menjalankan tugas di Moro akhir-akhir ini meningkat drastis lantaran serangan-serangan orang Islam. Karena ancaman terhadap keselamatan Misi sudah sedemikian rupa, pimpinan Misi bermaksud mengevakuasi personilnya ke Ternate dan meninggalkan 70.000 anggota jemaatnya orang- orang Kristen lokal. Dalam serangan tersebut, gereja dibakar dan sejumlah orang Kristen lokal dibunuh. Sementara itu, Gubernur de Mesquita menuduh Sultan Ternate, Khairun Jamil, sebagai otak yang berada di balik semua kejadian tersebut.

Raja Muda Goa, Don Antao Noronhe memerintahkan Gonsalo Pereira Marramaque memimpin sebuah armada—terdiri dari 12 kapal— yang membawa lebih dari 500 serdadu dengan 2 misi. Pertama; melindungi misi Kristen dan orang Kristen. Kedua; membangun benteng baru di Ambon.55

55 Willard A. Hanna & Des Alwi, "Ternate dan Tidore, Op.Cit., hlm. 78

Ketika memasuki perairan Kalimantan, armada itu bertemu dengan armada Spanyol pimpinan Legaspi yang memprovokasi Marramaque dan menghalaunya ke Cebu di Filipina Selatan. Baru pada Oktober 1568, sebagian armada itu mencapai Ambon. Sementara Marramaque sendiri baru tiba di Ambon pada Januari 1569.

Dari Ambon, Marramaque kemudian bertolak ke Moro dan tiba pada akhir 1569. Marramaque menempatkan pasukannya di paroki Misi yang ada di Tolo, Mamuya, Pulau Rao, Sakita dan Mira serta Sugala. Tetapi, Khairun curiga apakah armada Marramaque itu benar-benar bertujuan menjaga keamanan dan tidak ada maksud- maksud tersembunyi lainnya di balik itu. Menurut Khairun, tidak tertutup kemungkinan armada itu akan menyerang Ternate atau salah satu kerajaan Maluku.

Berdasarkan kecurigaan tersebut, Khairun memerintahkan Kapita Laut Baabullah mengirimkan sejumlah juanga merondai perairan Moro guna melindungi rakyat setempat dan memantau kegiatan armada Marramaque. Ia juga menitahkan kepada Baabullah untuk mengambil tindakan seperlunya bila terjadi petualangan militer Portugis. Pada Desember 1569, Baabullah mengirim sejumlah juanga untuk tugas pemantauan ke Moro seperti yang diperintahkan Khairun.

Pereira melaut dengan sebagian besar armadanya untuk mengadakan berbagai misi patroli pengamanan yang sebagian dilancarkan bersama dengan angkatan bersenjata Sultan Khairun. Segala kegiatan itu temyata mengeruk begitu banyak pengeluaran untuk kapal, persenjataan, dan tenaga, sehingga sebelum ia menyadari apa yang terjadi, ia telah kehilangan sebagian besar kekuatannya. Bersama dengan Pangeran Baab, armada kora- koranya, dan tentaranya yang berjumlah 1000 orang itu, Laksamana Pereira, misalnya berpetualang ke Mindanao dengan tujuan untuk menyerang orang Spanyol.

Orang Portugislah yang akhirnya diserang, karena Pangeran Baab dan anak buahnya menghilang di tengah-tengah pertempuran itu, dan muncul kembali beberapa minggu kemudian

di Selat Malaka untuk merampasi kapal-kapal Portugis.56

Dugaan Khairun bahwa Marramaque melakukan provokasi militer kemudian terbukti. Pereira Marramaque datang ke Moro bukan untuk melindungi Misi Jesuit dan orang-orang Kristen lokal, seperti diperintahkan raja muda Goa. Tetapi ia memprovokasi keadaan untuk melanggengkan kekuasaan Portugis atas Moro dan, dengan demikian, Portugis akan menganeksasi Maluku dengan bantuan Moro.

Walaupun armada Ternate dan armada Portugis telah saling berhadap-hadapan, akan tetapi kontak senjata tidak terjadi. Upaya Marramaque dan petualangan militemya gagal karena tidak memperoleh dukungan para sangaji dan pimpinan informal Moro lainnya. Guna menghindari konflik terbuka dengan pasukan Khairun, armada Marramaque mengakhiri petualangannya dan kembali ke Ambon pada tahun berikutnya.

Tetapi, Gubernur de Mesquita mengumumkan di Ternate bahwa pasukan Khairun telah menyerbu Misi Jesuit dan orang-orang Kristen lokal, membunuh dan memaksa mereka keluar dari Kristen. Khairun dengan tegas membantah berita-berita dan pengumuman Mesquita. Tetapi, pengumuman Mesquita telah membuat resah pimpinan Misi Jesuit di Ternate, yang memutuskan memanggil kembali atau mengevakuasi selurah personil Misi dari Moro karena terancam keamanannya. Putusan penarikan itu akhirnya ditangguhkan setelah ada jaminan keamanan dari Sultan Khairun.

Walau agak terlambat, laksamana Pereira teringat akan tugasnya membangun sebuah benteng di Ambon. Maka ia kemudian menggerakkan armadanya ke arah selatan. Setelah melakukan operasi di sepanjang pantai Hitu dan merasa telah menunjukkan kekuasaan kepada para kepala suku, ia memilih Hila sebagai lokasi pembangunan benteng, karena pemilihan lokasi lain mungkin akan menimbulkan masalah. Hila adalah sebuah desa kecil di tepi pantai, di mana orang Portugis sejak lama telah memiliki pusat pertahanan yang

56 Ibid, hlm.80

sederhana, tempat kapal-kapal singgah untuk menambah perbekalan dan menunggu angin musim hujan.

Portugis segera membangun benteng, tetapi segera pula memutuskan bahwa tempatnya kurang baik, dan karena itu memindahkan operasi ke pantai utara Teluk Ambon, suatu tempat yang sangat bagus untuk pangkalan militer dan angkatan laut di Lautan Pasifik Selatan. Di sini justru, sewaktu ia merasa telah mantap dan para pastor yang menyertainya berhasil mengajak banyak orang memeluk agama Kristen, ia dikejutkan oleh serangan mendadak yang dilancarkan oleh Pangeran Rubihongo (Baabullah).

Perahu kora-kora milik pangeran itu jauh lebih bagus daripada kapal layar milik Pereira yang manapun, yang pada saat itu merapat di pantai untuk diperbaiki, sementara jumlah anak buahnya melebihi jumlah orang Portugis, tiga atau empat lawan satu. Rakyat Ternate membakar kapal- kapal Portugis, dan sudah hampir menerobos tembok-tembok benteng yang belum selesai, dan tampaknya sudah akan menang, sampai ketika Kapten Pereira sendiri memimpin suatu serangan balasan yang membalikkan hasil pertempuran itu.

Walaupun hampir kehilangan semua kapal, Pereira merampas lebih dari selusin perahu kora- kora milik Rubihongo. Setelah mendengar dari para tawanan mengenai keadaan di Ternate di mana benteng dikepung lagi, Pereira berangkat dengan korakora bersama seratus anak buahnya untuk membantu Kapten Mesquita.

Tidak lama setelah ia tiba di Ternate, ia mendengar kabar bahwa Rubihongo mengepung lokasi di Ambon, di mana keadaan pasukan lebih buruk daripada di Ternate. Dengan letih sekali dan benar-benar sakit, Pereira kembali ke Ambon lagi, di mana ia tiga hari kemudian menemui ajalnya dengan meninggalkan 80 tentara yang masih hidup untuk memutuskan apakah mereka harus melarikan diri, menyerahkan diri atau bertempur. Lima puluh orang memilih untuk menyelinap ke laut dan kembali ke Malaka. Seorang kapten bernama Sancho de Vasconcellos dan 30 anak buahnya memutuskan untuk tetap tinggal.

Kapten Vasconcellos menyelamatkan kapal San Fransisco, yang pernah menjadi kapal komando Pereira, memuatkan ke dalam kapal itu sisa-sisa amunisi dan perbekalan, demikian juga jenazah sang laksamana, dan bertolak melintasi Teluk Ambon ke wilayah Kristen di Leitimor. Kapal rongsokan itu mengalami kebocoran dan tenggelam; orang-orang yang terdampar itu berenang ke pantai dan disambut dengan lebih meriah daripada yang dapat diharapkan oleh penduduk desa Kristen Nusaniva.

Di sana, dengan bantuan penduduk desa itu, Sancho de Vasconcellos dan rekan-rekannya membangun pagar yang terbuat dari kayu balok sebagai kubu pertahanan, yang dengan ekspedisi yang luar biasa itu, nantinya berubah menjadi benteng, yang sekitarnya di kemudian hari didirikan kota Ambon.57

Dalam bayangan de Mesquita, keamanan Moro akan bermasalah apabila armada Marramaque meninggalkan daerah tersebut. Oleh sebab itu, de Mesquita berpendapat bahwa untuk menjamin keamanan Moro, sumber atau potensi yang menyebabkan gangguan keamanan tersebut harus dicari. Menurut de Mesquita, pemicu keruwetan Moro adalah Khairun, yang bila disingkirkan, Moro akan kembali aman.

Akan tetapi, bagaimana atau dengan cara apa Khairun disingkirkan? Menyingkirkan Khairun dengan kekuatan militer jelas tidak mungkin, karena personil militer Khairun lebih besar dari kekuatan militer Portugis sendiri. Dengan demikian, apabila suatu perang terbuka pecah, kemampuan militer Portugis untuk menangkal serangan pasukan Khairun akan berakhir dengan kekalahan telak.

De Mesquita pun menyusun sebuah skenario, setelah gagasannya untuk menyingkirkan Khairun sudah bulat. Pada 26 Februari 1570, Khairun diundang ke Benteng Gamlamo untuk membahas upaya perdamaian Moro. Khairun datang memenuhi undangan tersebut bersama sejumlah bobatonya. Setelah bertukar pikiran dan pandangan masing-masing, kedua pihak setuju bahwa gangguan keamanan di Moro harus diakhiri.

57 Ibid, hlm.85

Misi Jesuit tidak perlu dievakuasi dan mereka akan bekerja seperti biasa. Baik pasukan Portugis maupun pasukan Ternate akan bekerja sama lebih intens untuk menjadikan Moro aman dan damai.

Untuk mengukuhkan perjanjian tersebut, Khairun dengan al-Qur’an di tangan dan de Mesquita dengan Bible-nya bersumpah bahwa kedua pihak akan menaati perjanjian perdamaian itu. Karena perjanjian damai ini dikukuhkan di atas kitab suci masing-masing, tak secuil pun timbul keraguan pada benak Khairun bahwa apa yang dilakukan de Mesquita adalah sebuah skenario yang tersembunyi di balik niat jahatnya untuk menyingkirkan Khairun. Babak pertama skenario de Mesquita berjalan dengan sukses. Kini tinggal menyusuli skenario babak kedua dan yang paling menentukan.

Pada 28 Februari 1570, dalam rangka merayakan perjanjian perdamaian Portugis-Ternate, de Mesquita kembali mengundang Khairun untuk suatu pesta kecil yang diselenggarakan khusus untuknya. Tetapi, sebelum keduanya tampil bersama di bangsal, de Mesquita minta agar Khairun datang ke kediamannya, di lantai dua menara Benteng Gamlamo.

Beberapa bobato yang punya firasat kurang baik, menasihati Khairun agar mengurungkan niatnya datang ke pesta itu. Tetapi, Khairun percaya pada itikad baik de Mesquita yang baru saja sehari sebelumnya bersumpah dengan meletakkan tangannya di atas Bible. Pada pukul 19.00, Khairun dan para bobato serta pengawalnya tiba di depan pintu menara benteng lantai dua, ketika para bobato dan pengawal sultan akan memasuki pintu lantai dua menara tersebut, mereka dicegat masuk oleh tentara pengawal Portugis. Tentara pengawal itu mengatakan bahwa yang akan dimasuki itu adalah kediaman pribadi gubernur dan yang dijinkan masuk hanya Sultan Khairun seorang diri. Para pengawal dan bobato disuruh kembali dan akan diberitahu bila pesta telah berakhir.

Tanpa ragu Khairun melangkah masuk, lalu pintu tertutup. Ketika menuju ruang audensi gubernur, seorang tentara Portugis—Sersan Antonio Pimental—menghampiri Khairun. Tanpa

bicara sepatah kata pun, Pimental—kemenakan de Mesquita sendiri—mencabut keris di pinggangnya dan melakukan tusukan berkali-kali ke tubuh Khairun.

Sultan Ternate yang malang ini roboh dan langsung meninggal dunia. Sejak itu, Khairun tak kembali lagi ke istananya. Sebuah sumber tradisional mengatakan bahwa jasadnya dipotong- potong kemudian digantung untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai, digarami, kemudian sebuah kapal Portugis membawanya ke tengah laut lepas dan dibenamkan ke dasar laut. Khairun meninggal dengan amat menyedihkan.

Dengan wafatnya Khairun, perubahan yang sangat mendasar terjadi di Maluku. Orang-orang Portugis maupun agama Kristen Katolik akan kehilangan prakarsa, hak-hak politik, bahkan berbagai keuntungan komersial yang telah mereka peroleh selama ini.

Dalam dokumen Lapsus Edisi 10 Juli 2016 (Halaman 30-36)

Dokumen terkait