• Tidak ada hasil yang ditemukan

BEBERAPA KONSEP POKOK

Dalam dokumen STUDI AGRARIA menurut GUNA W AN WIRADI (Halaman 129-141)

PERDEBATAN DALAM STUDI AGRARIA

A. BEBERAPA KONSEP POKOK

Pada Bab I terdahulu telah diuraikan bahwa masalah ter- minologi merupakan salah satu dari enam pilar dunia keilmuan. Karena itu, pemahaman makna sesuatu istilah menjadi sangat penting untuk diperhatikan di dalam membicarakan wacana mengenai apapun, sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran. Apalagi menyangkut istilah, karena ia mengacu kepada konsep. Mengadopsi secara latah begitu saja sesuatu kata atau istilah tanpa terlebih dulu memahami benar maknanya, yang di kemu- dian hari akan melahirkan kesimpangsiuran dan perdebatan yang seharusnya tidak perlu—inilah yang oleh Francis Bacon (abad XVI) disebut sebagai “the idol of the market place”.

Pengertian “Agraria”1

Sekarang ini masih banyak orang yang mengasosiasikan istilah “agraria” ini dengan “pertanian” saja, bahkan lebih sem- pit lagi hanya sebatas “tanah pertanian” saja. Ini merupakan

salah tafsir (fallacy) yang, celakanya, salah tafsir itu lalu berubah menjadi “salah kaprah”, terutama sejak masa Orde Baru.

Dalam rangka memperoleh pemahaman yang lebih baik dan mencari kejernihan makna tentang istilah tersebut, maka ada baiknya kita menelusuri berbagai sumber, baik secara eti- mologis (melalui berbagai kamus istilah dan ensiklopedia) maupun penggunaannya secara historis (melalui literatur karya-karya pakar dunia).

Secara etimologis, istilah “agraria” berasal dari sebuah kata dalam bahasa Latin, “ager”, yang artinya: (a) lapangan; (b) wilayah; (c) tanah negara. (Lihat, Prent, et.al., 1969; juga World Book Dictionary, 1982). Dari pengertian-pengertian ter- sebut nampak jelas bahwa yang dicakup oleh istilah “agraria” itu bukanlah sekedar “tanah” atau “pertanian” saja. Kata-kata “wilayah”, “tanah negara” itu jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwa- dahi olehnya. Kata “tanah negara”, misalnya, di situ ada tum- buh-tumbuhan, ada air, ada sungai, mungkin juga ada tambang, ada hewan, dan, sudah barang tentu, ada masyarakat manusia! Memang, semua arti tersebut di atas memberi kesan bah- wa tekanannya memang pada “tanah”. Tetapi hal ini justru karena “tanah” itu mewadahi semuanya. Pada masa itu, tentu saja konsep-konsep tentang “lingkungan”, “sumberdaya alam”, “tata-ruang”, dan sebagainya belum dikenal, karena kegiatan utama manusia adalah berburu di hutan, menggembala ternak, ataupun bertani, untuk menghasilkan pangan.

Agar tidak berhenti pada penjelasan etimologis, ada baik- nya kita tinjau sepintas secara historis mengenai gagasan

tentang “pembaruan” dan penggunaan istilah “agraria” dalam konteks pembaruan itu.

Gagasan mengenai penataan pembagian wilayah, diper- kirakan sudah terjadi ribuan tahun sebelum Masehi. Bahkan buku Leviticus dalam Kitab Perjanjian Lama menggambarkan adanya redistribusi penguasaan tanah setiap 50 tahun sekali (Lihat, R. King 1977: 28; J. Powelson, 1988: 5-52; R. Proster-

man, et.al., 1990: 3). Tetapi kemudian, yang diterima dan

disepakati sebagai fakta sejarah oleh para sejarawan adalah bahwa apa yang sekarang kita sebut dengan istilah land re- form itu pertama kali terjadi di Yunani Kuno, sewaktu peme- rintahan Solon, 594 SM. Undang-Undang Solon ini tentu saja tidak memakai istilah agraria, karena bahasa Yunani bukanlah bahasa Latin. Undang-Undang tersebut dinamai “Seisachtheia”, yang artinya “mengocok beban”. Beban itu mencakup berbagai hubungan yang tidak serasi (tidak adil), antara pemerintah dengan pemegang kuasa wilayah, antara penguasa wilayah dengan pengguna bagian-bagian wilayah, antara pengguna tanah dengan penggarap, antara pemilik ternak dengan peng- gembala ternak, dan lain sebagainya, termasuk masalah bagi- hasil, masalah pajak, masalah hubungan antara penguasa tanah dengan budak, dan lain sebagainya. Demikianlah keadaan di Yunani.

Pada jaman Romawi Kuno, juga dikenal adanya beberapa kali penetapan undang-undang agraria pada waktu yang ber- beda-beda. Gambaran ringkasnya kurang lebih sebagai berikut. Kota Roma berdiri 753 SM, tetapi Republik Romawi berdiri 510 SM. Rentang waktu sampai dengan jatuhnya Republik pada tahun 27 SM merupakan bagian pertama dari jaman Romawi

Kuno (yang berlanjut ke bagian kedua: jaman Kekaisaran Roma). Bagian pertama itulah yang menjadi rujukan kita.

Ketika Roma belum berkembang, seluruh wilayah negara itu dianggap sebagai milik umum (public property) yang tak dibagi-bagi. Setiap warga negara berhak untuk memanfaat- kannya. Tapi lama-lama, para bangsawan keturunan para pendiri negara memperoleh hak turun-temurun atas sebagian wilayah yang memang telah mereka manfaatkan (mereka disebut patricia). Ketika Republik Romawi makin berkembang melalui penaklukan-penaklukan, maka wilayah negara pun bertambah luas, tetapi di lain pihak, timbul kelas sosial baru (yang disebut plebian), yaitu warga negara baru yang bukan keturunan warga asli. Mereka yang disebut terakhir ini juga membutuhkan sumber penghidupan, khususnya tanah.

Untuk menjamin hal ini, maka lahirlah untuk pertama kali undang-undang agraria (Leges Agrariae) pada 486 SM. UU ini lahir atas prakarsa seorang patrician yang menjadi anggota Konsul, bernama Spurius Cassius. Dalam UU ini ditetapkan bahwa sebagian dari tanah-tanah para bangsawan harus dise- rahkan kepada negara dan selanjutnya dibagikan kepada mere- ka yang membutuhkannya.

Tetapi, Undang-Undang ini ternyata macet karena me- ndapat tentangan keras dari sebagian besar patrician. Mereka tidak hanya menolak tetapi juga merampas dengan kekerasan tanah-tanah yang sudah digarap para plebian (lihat, Encyclo- pedia Americana [EA], 1980: 340). Bukan itu saja, ternak-ter- nak dalam jumlah besar milik para patrician lama-lama meru- sak padang-padang penggembalaan milik umum dan menggu- sur lahan petani-petani kecil.

Kondisi ini kemudian mendorong lahirnya UU agraria baru kurang lebih 120 tahun kemudian, yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Licinius, sesuai dengan nama pencetusnya, yaitu Licinius Stolo, seorang anggota Tribuun. Setelah RUU-nya mengalami perdebatan + 5 tahun, akhirnya diterima dan ditetapkan pada tahun 367 SM (EA, 1980: 340; Cf. Encyclopaedie van Nederlandsch Indie [ENI], 1903: 4478). UU Licinius menetapkan bahwa setiap warga negara Romawi berhak “memanfaatkan” sebagian dari wilayah negara (burger gerechtigd zou zijn gebruik te maken van een deel van de nog niet toegewezen staatsdomeinen), tetapi dengan dibatasi bah- wa setiap orang akan memperoleh bagian tidak lebih dari “500 iugera” (1 iugerum = 1/

4 hektar).

2 Pemanfaatan yang melebihi

batasan maksimum, kelebihannya diberikan kepada warga miskin.

Undang-Undang Licinius inipun macet juga karena ber- bagai sebab. Peperangan yang terjadi silih berganti (dengan Perancis, Yunani, dll) merupakan kesempatan bagi bukan saja para patrician dan orang kaya, tetapi juga tentara dan veteran untuk menguasai tanah-tanah, melebihi batas 500 iugera. Ter- jadilah proses akumulasi penguasaan wilayah. Kembali situasi ini mendorong lahirnya UU agraria baru (Lex Agraria) yang diparakarsai oleh seorang anggota Parlemen, Tiberius Gracchus, akan tetapi intinya mengaktualisasikan kembali ketentuan-ketentuan Licinius, yaitu batas maksimum 500

2 Dari batasan ini saja sudah jelas bahwa hamparan seluas + 130

ha itu tentulah bukan berupa satuan usahatani saja, melainkan bisa terdiri dari areal hutan, padang penggembalaan, dan lain-lain.

iugera diteguhkan kembali. Akan tetapi, setiap anak laki-laki dalam satu keluarga diperkenankan menguasai 250 iugera, asalkan dalam satu keluarga tidak menguasai lebih dari 1000 iugera (lihat juga Russell King, 1977: 31).

Demikianlah, dari uraian etimologis dan historis di atas dapat disimpulkan bahwa makna agraria bukanlah sebatas “tanah” (kulit bumi), juga bukan sebatas “pertanian”, melain- kan “wilayah” yang mewadahi semuanya. Dalam kaitan ini, para pendiri Republik RI dan para perumus UUPA-1960 sudah mempunyai foresight yang jauh ke depan (karena beliau-beliau itu pada umumnya belajar sejarah dan perjalanan sejarah), sehingga yang hendak diatur oleh UUPA itu bukan sebatas “tanah”, akan tetapi “agraria”. Ayat 1 s/d ayat 5 dari Pasal 1 UUPA 1960 jelas sekali rumusannya: “Bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung di dalamnya …..!” Inilah pengertian dari istilah “agraria”! Selain permukaan bumi, juga tubuh bumi di bawahnya (ayat 4); juga yang berada di bawah air. Dalam pengertian air, termasuk laut (ayat 5). Yang dimaksud ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan ruang di atas air (ayat 6). Demikian pula Pasal 4 ayat 2. Atas dasar pema- haman-pemahaman tersebut di atas, maka istilah-istilah “sum- berdaya alam”, “lingkungan”, “tata ruang” (dan entah apa lagi), semuanya itu pada hakekatnya hanyalah istilah-istilah baru untuk unsur-unsur lama yang sudah tercantum dalam UUPA.

Hubungan Agraris dan Subyek-subyeknya

Selain memberikan pengertian mengenai istilah agraria, uraian historis yang dikemukakan di atas juga memberikan pengertian mengenai peristilahan lain yang amat terkait dan

tak kalah penting, yaitu hubungan agraris. “Mengocok beban” yang menjadi muatan UU Seisachtheia, misalnya. Istilah “be- ban” dalam UU ini tidak lain mengandung pengertian “hu- bungan agraris”, yakni yang terwujud sebagai corak hubungan yang tidak adil antara pihak-pihak pemerintah dengan peme- gang kuasa wilayah; penguasa wilayah dengan pengguna ba- gian-bagian wilayah; pengguna tanah dengan penggarap; pemi- lik ternak dengan penggembala ternak, dan lain sebagainya.

Bertolak dari pengertian historis di atas, maka bisa diru- muskan bahwa hubungan agraris secara garis besar mencakup berbagai jenis hubungan sebagai berikut: (1) hubungan antara tanah dengan lingkungan; (2) hubungan antara manusia dengan tanah; (3) hubungan antara manusia dengan tanaman; (4) hu- bungan antara manusia dengan hewan; dan (5) hubungan anta- ra manusia dengan manusia. Dalam studi agraria, hubungan yang disebut terakhir inilah yang dianggap paling penting kare- na menyangkut hubungan sosial secara keseluruhan. Sedang- kan hubungan manusia dengan yang lain (tanah, tanaman, hewan) hanya akan mempunyai makna sepanjang hubungan itu berupa hubungan aktivitas, karena melalui hubungan akti- vitas inilah timbul implikasi terhadap hubungan dengan manu- sia lain.

Berkaitan dengan hubungan antar manusia ini, salah satu ciri pokok masyarakat agraris adalah adanya hubungan antara mereka yang mencurahkan tenaga kerjanya secara langsung dalam berproduksi (produsen langsung seperti petani pemilik, petani penyakap, buruh tani) dengan mereka yang tidak ber- produksi langsung, akan tetapi memiliki kekuasaan untuk mengklaim sebagian dari hasil produksi tersebut, secara

langsung ataupun tidak langsung. Klaim itu didasarkan atas penguasaan mereka atas berbagai jenis sarana produksi, terutama tanah.

Apabila hubungan agraris di atas hendak diterjemahkan secara konkret dalam konteks hubungan antara “siapa” dengan “siapa”, maka berdasarkan masalah-masalah yang secara empi- ris muncul di Indonesia, Panitia Soemitro Djojohadikusumo

(1978)3 pada waktu itu mencatat adanya beberapa hubungan

sebagai berikut: (1) antara petani dan buruh tani; (2) antara petani dan bukan petani; (3) antara petani dan perusahaan besar (HGU/HPH/pertambangan, dll); (4) antara petani dan proyek-proyek pemerintah; dan (5) antara proyek-proyek pemerintah sendiri. Yang belum dicatat pada waktu itu, menu- rut Sajogyo adalah: (6) antara petani dan satuan desa/lembaga adat dan (7) antara perusahaan besar (HGU/HPH/pertam- bangan dll) dan negara (Cf. Sajogyo dalam Editor, no. 15/III,

3 Panitia Soemitro Djojohadikusumo adalah sebuah panitia kecil

yang dipimpin oleh Menteri Riset (waktu itu dijabat oleh Soemitro Djojohadikusumo) dengan anggota beberapa pakar dari sejumlah universitas (antara lain Prof. T jondronegoro). Atas permintaan Presiden, panitia ini melakukan “review” mengenai situasi perta- nahan pada waktu itu dan rekomendasi untuk penanganannya. Hasil kerja selama tiga bulan panitia ini berwujud “Laporan In- terim Gambaran tentang Masalah Pertanahan” yang dilaporkan langsung kepada Presiden. Sebagai hasilnya, pada tahun 1979 Pemerintah membuat suatu pernyataan yang isinya mengukuhkan kembali bahwa UUPA 1960 tetap sah sebagai panduan dasar dalam memecahkan persoalan-persoalan pertanahan karena UU tersebut telah merupakan keputusan nasional dan bukan produk PKI.

16 Desember 1989). Saat ini daftar di atas dapat ditambahkan lagi dengan: (8) hubungan antara lembaga adat dan negara, bahkan (9) hubungan antar negara.

Dalam setiap hubungan agraris yang dijelaskan di atas, ada tiga atribut yang akan selalu melekat, yaitu: masalah keku- asaan, masalah kesejahteraan ekonomi, dan masalah hirarki sosial (Ghose, 1983: 3). Ketiga atribut itu membentuk sepe- rangkat jaringan hubungan yang saling terkait satu sama lain, yang pada gilirannya akan menentukan corak kehidupan secara keseluruhan. Meskipun demikian, berapapun banya- knya aspek yang terkait, atribut terpenting dari masalah agraria pada hakikatnya adalah masalah politik, masalah kekuasaan. “Land is at the heart of power,” demikian kata Christodoulou (1990: 197). Contohnya sangat sederhana. Pengelolaan ke da- lam—dalam hal pertanahan suatu negara—tentulah didasarkan atas, dan dibatasi oleh, klaim atas wilayah kedaulatan negara bersangkutan.

Struktur Agraria

Melalui suatu proses perkembangan tertentu, tata hu- bungan antar manusia menyangkut pemilikan, penguasaan dan peruntukan tanah lalu menjadi mapan. Tata hubungan itulah yang disebut sebagai “struktur agraria”. Dalam masyarakat agraris, masalah pemilikan dan penguasaan tanah ini merupa- kan faktor penentu bangunan masyarakat secara keseluruhan. Masalah ini bukanlah sebatas menyangkut hubungan teknis antara manusia dengan tanahnya, yang di negara-negara ag- raris umumnya dipandang sebagai bersifat “religio-magis”, melainkan juga dan terutama menyangkut hubungan sosial

manusia dengan manusia. Ini berarti akan mencakup hu- bungan orang-orang yang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi, seperti hubungan sewa antara pemilik tanah dengan penggarap, hubungan pengupahan antara petani majikan dengan buruh tani, hubungan kredit dan/atau dagang antara pemilik modal dan petani, hubungan petani dengan penguasa melalui mekanisme pajak, dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa berbagai jenis hubungan pertanahan itulah yang akan menentukan ciri-ciri hubungan lainnya dalam ke- hidupan masyarakat agraris!

Hakikat struktur agraria oleh karena itu adalah menyang-

kut masalah susunan pembagian tanah, penyebaran atau

distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses produksi. Ada dua sejoli istilah yang pen- ting mengenai hal ini, yaitu apa yang dalam literatur bahasa

Inggris disebut land tenure dan land tenancy. Land tenure

memperoleh arti: hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah ini biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang pokok-pokok umumnya adalah mengenai sta- tus hukum dari penguasaan tanah, seperti hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Uraian itu menunjuk kepada pendekatan yuridis. Artinya penelaahannya biasanya bertolak dari sistem yang berlaku yang mengatur kemungkinan penggunaan, mengatur syarat- syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya, dan berapa lama penggarapan itu dapat berlangsung.

Secara etimologis land tenancy adalah saudara kembar

dari land tenure. Sebab, kata tenant mempunyai arti: orang

menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu. Tetapi, istilah ini biasanya untuk menunjuk kepada pendekatan ekono- mis. Artinya, penelaahannya meliputi hal-hal yang menyang- kut hubungan penggarapan tanah. Obyek penelaahan itu biasa- nya berkisar di sekitar pembagian hasil antara pemilik dan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasi-inves- tasi, besarnya nilai sewa, dan sebagainya.

Dalam pengertian struktur agraria ini perlu juga dibedakan antara istilah pemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah. Kata “pemilikan” menunjuk kepada penguasaan formal, se- dangkan kata “penguasaan” menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seseorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalnya 2 ha, lalu menggarap juga 3 ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 ha. Kata “pengusahaan” nampaknya cukup jelas, yaitu menunjuk kepada bagaimana caranya sebi- dang tanah diusahakan secara produktif.

Tergantung pada bagaimana corak struktur agrarianya, susunan masyarakat agraris dapat berbeda-beda dari satu tem- pat ke tempat lain atau dari satu periode ke periode waktu lainnya! Tuma, dalam karya disertasinya yang berjudul Twenty Six Centuries of Agrarian Reform: A Comparative Analysis, menyebutkan enam unsur (sektor) yang menentukan bagai- mana tatanan struktur agraria di berbagai negara, yaitu: (1) land ownership; (2) land and income concentration; (3) class differensiation; (4) large versus small scale operation; (5) land/labour ratio; dan (6) underemployment. Oleh Tuma, keenam unsur ini digunakan sebagai common denominator

untuk menganalisis kasus-kasus dalam studi komparatif-his- torisnya itu (Tuma, 1965: 17-18).

Tata hubungan dalam struktur agraria yang sudah mapan ini, meski demikian, harus dipahami sebagai mapan dalam arti relatif dan bukannya permanen sepanjang waktu. Tatanan itu bisa berubah akibat bekerjanya berbagai faktor yang bekerja dan mempengaruhinya. Faktor-faktor yang dapat menyebab- kan perubahan tata hubungan itu antara lain adalah: (1) peru- bahan struktur politik; (2) perubahan orientasi politik; (3) perubahan kebijakan ekonomi; (4) perubahan teknologi; dan (5) faktor-faktor lain sebagai turunan dari keempat faktor tersebut. Proses perubahan tata hubungan ini sendiri dapat terjadi secara smooth, tetapi perubahan itu juga dapat terjadi melalui—atau juga menimbulkan—suatu gejolak sosial.

Sebagai contoh, berbagai UU agraria di Yunani dan Roma- wi Kuno yang telah disinggung di depan menunjukkan bagai-

mana perubahan kebijakan agraria dilakukan sebagai upaya

untuk merubah tata hubungan agraris yang sudah mapan. Da- lam hal ini caranya adalah dengan mengatur kembali atau merombak struktur penguasaan tanah yang dirasakan tidak adil dan kurang menguntungkan bagi anggota masyarakat yang termiskin, yakni melalui apa yang kemudian dikenal dengan

sebutan land reform. Akan tetapi arah yang sebaliknya juga

dapat terjadi, misalnya bagaimana perubahan dalam struktur dan orientasi politik pada masa Orde Baru telah membuat ketimpangan agraria di pedesaan tidak lagi dilihat sebagai sasaran pembaruan; bahkan model pembangunan kapitalistik yang dijalankan oleh rezim ini justru kian memperlebar ketimpangan agraria tersebut.

B. TEORI-TEORI MENGENAI “MASALAH AGRARIA”:

Dalam dokumen STUDI AGRARIA menurut GUNA W AN WIRADI (Halaman 129-141)