• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN METODOLOG

Dalam dokumen STUDI AGRARIA menurut GUNA W AN WIRADI (Halaman 49-58)

BEBERAPA ISU METODOLOGIS DALAM PENELITIAN

A. PERKEMBANGAN METODOLOG

Sudah umum diketahui bahwa sesudah Perang Dunia II usai, negara-negara Barat khususnya Eropa yang keadaan pere- konomiannya hancur lebur akibat perang, dibangun kembali melalui pola Rencana Marshall (Marshall Plann). Dapat dika- takan semuanya berhasil membangun kembali perekonomian- nya. Sementara itu, muncul negara-negara baru, yaitu negara- negara bekas jajahan yang menjadi merdeka, yang kondisi pere- konomiannya berbeda dan disebut sebagai “terbelakang”. Nega- ra-negara inipun kemudian melaksanakan pembangunan, yang pada awalnya juga didasarkan atas bantuan dana dari Barat khususnya Amerika. Karena Marshall Plan di Eropa berhasil, maka pola yang sama dicoba diterapkan juga di dalam mem- bangun negara berkembang. Tetapi ternyata bahwa pemba- ngunan di negara-negara berkembang dirasakan kurang berha- sil, atau jalannya lambat. Muncullah pertanyaan, mengapa?

Untuk menjawab pertanyaan itu, maka negara donor (khu- susnya Amerika Serikat) lalu mengeluarkan jutaan dollar untuk membiayai kegiatan “penelitian” mengenai berbagai aspek pelaksanaan pembangunan di negara berkembang. Proses pembangunan perlu dimonitor dan setiap kali perlu dievaluasi, secara kontinyu dan sistematis. Maka berkembanglah pemi- kiran mengenai model-model pendekatan bagi studi evaluasi. Pada tahun 1978, UNRISD (United Nations Research Institute for Social Development) menerbitkan suatu buku mengenai

Sistematic Monitoring and Evaluation sebagai hasil dari 164 workshop international di berbagai tempat. Dapat dikatakan bahwa isi buku itu mencerminkan hanya satu macam model pendekatan, yaitu yang disebut “Systems Analysis Approach” (SAA). Agaknya, karena ini diterbitkan oleh badan PBB, maka SAA lalu menjadi semacam “buku suci” bagi studi evaluasi, terutama bagi lembaga-lembaga penelitian pemerintah.

Orang melupakan bahwa setahun sesudah terbitnya buku itu, di North Dakota Amerika Serikat berkumpul para pakar di bidang studi evaluasi, dan dari hasil pertemuan itu terungkap bahwa sebenarnya dalam studi evaluasi terdapat beragam pen- dekatan, yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi delapan (dan SAA hanyalah salah satu di antaranya). Delapan macam itu adalah (House 1978):

1 . SAA Model

2. Behavioral Objective Model (BOM) 3. Art-Criticism Model (ACM)

4. Accreditation Model (AM) 5 . Adversary Model (ADM) 6. Transaction Model (TAM) 7 . Goal-Free Model (GFM)

8. Decision-Making Model (DMM).2

Di samping itu, ada pula sekelompok pakar yang lebih cende- rung membebaskan diri dari model, dan mementingkan strategi di dalam melakukan studi evaluasi. Kelompok ini menamakan diri “Beyond Models”.

2 Untuk uraian yang lebih lengkap mengenai kedelapan model ini,

Namun sampai sejauh itu, studi-studi evaluasi masih tetap menampilkan wajah “akademik konvensional”, hanya saja berkiblat kepada kebijakan. Sementara itu, karena tuntutan keadaan (yaitu bahwa derap pembangunan menuntut sum- bangan masukan pikiran dari berbagai bidang), maka ilmu- ilmu sosial pun (yang di Indonesia masih dalam tahap pengem- bangan) sudah dituntut untuk turut serta memberikan sum- bangannya. Akibatnya, hampir semua penelitian sosial cende- rung bersifat policy oriented, bahkan juga yang dilakukan di perguruan tinggi, dan dengan demikian perhatian lalu lebih diletakkan pada ilmu-ilmu terapan. Jumlah kegiatan penelitian untuk ilmu-ilmu murninya (demi pengembangan dan pengu- atan ilmu), hampir tidak berarti karena dana untuk itu memang tidak ada. Pengembangan ilmu dilakukan secara “nebeng” pada kegiatan penelitian dari proyek-proyek studi kebijakan. Dalam praktik, batas-batasnya lalu menjadi kabur. Demikianlah selanjutnya bukan hanya studi evaluasi, tetapi juga berbagai macam studi tentang pembangunan lalu masuk ke dalam kegiatan-kegiatan universitas, karena memang diharapkan bah- wa universitas dengan berbagai peralatan penelitian konven- sionalnya (sesuai dengan masing-masing disiplin ilmu) akan mampu untuk turut serta memecahkan masalah-masalah pem- bangunan.

Tiga Jalur Perkembangan Metodologi

Dalam konteks semacam itu, dapat diidentifikasi berlang- sungnya tiga macam kecenderungan dalam proses perkem- bangan kegiatan penelitian di negara-negara berkembang pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya, yang secara

bersama-sama menambah rumitnya seluk beluk penelitian, baik di dalam praktiknya maupun pengajarannya. Kerumitan ini terjadi karena pada umumnya tiga jalur ini kurang dipahami secara baik dan cenderung dicampuradukkan. Walaupun da- lam aspek-aspek tertentu memang terdapat tumpang tindih, dan dalam batas-batas tertentu ketiganya memang dapat disi- nergikan, namun ketiganya berbeda dari segi alasan ataupun latar belakangnya dan tujuannya.

Tiga macam jalur perkembangan itu adalah sebagai beri- kut:

1 . Perkembangan dari pendekatan mono-disiplin menjadi multi-disiplin, berlanjut menjadi antar/intern-disiplin, dan berujung (konon) menjadi trans-disiplin;

2. Perkembangan yang terjadi setelah mempertentangkan an- tara penelitian akademik dengan praktik “turis abidin” (pe- nelitian bergaya “turis atas biaya dinas”), dan lahirlah mo- del RRA (Rapid Rural Appraisal);

3. Perkembangan dari pendekatan “positivis-obyektifisme” menjadi pendekatan partisipatif, dan lahirlah PRA (Partici- patory Rural Appraisal).

Ketiga jalur perkembangan ini akan dijelaskan secara ringkas sebagai berikut.

Perkembangan pertama dari mono-disiplin menjadi in- ter-disiplin itu konteksnya tetap penelitian akademis-konven- sional. Tujuannya adalah “kemenyeluruhan” atau comprehen- siveness. Perkembangan ini didorong oleh pandangan bahwa pendekatan mono-disiplin kurang memadai lagi untuk menja- wab masalah-masalah yang ada. Lalu dipraktikkanlah pende- katan multi-disiplin. Beberapa disiplin ilmu bekerja sama dalam

satu tim, tetapi masing-masing melakukan penggalian data dan analisanya menurut tradisinya sendiri dengan memakai meto- de yang khas sesuai disiplin ilmunya. Hanya kesimpulan akhir- nya yang kemudian dirumuskan bersama secara konsensus. Jadi integrasinya baru dilakukan pada akhir laporan.

Dalam praktik, pendekatan semacam ini akhirnya hanya sama saja dengan kumpulan hasil penelitian dari bermacam disiplin ilmu, yang semula terpisah-pisah lalu dijadikan satu. Karena itu dirasa perlu adanya bentuk yang lebih “integrated”, yaitu antar-disiplin. Dalam tim antar-disiplin, integrasi sudah diupayakan sejak awal. Semua hal diputuskan bersama oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu, termasuk apa meto- dologi yang harus diterapkan, pinjam-meminjam konsep, defi- nisi dan alat ukurnya, dan sebagainya.

Dalam praktik, karena jumlah pakar terbatas, seringkali dalam satu tim ada disiplin ilmu tertentu yang relevan tidak terwakili. Untuk mengatasi hal ini, barangkali, lalu ada saran agar para peneliti sosial juga berusaha untuk mampu melaku- kan penelitian secara “trans-disiplin”. Dalam arti, seorang pe- neliti mampu menganalisa persoalan melalui sudut pandang dari berbagai disiplin ilmu. Saran seperti ini agaknya masih terlalu berlebihan, khususnya bagi kondisi di Indonesia, kare- na kemampuan seperti itu agaknya masih sangat langka.

Berkaitan erat dengan hal itu semua, ada baiknya kita membandingkan saran Sajogyo (1974) yang disarikan dari

gagasan Norman Denzin (1970).3 Dalam konteks mencapai

hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian SDP-SAE pada waktu

itu,4 Sajogyo menyarankan diterapkannya suatu kombinasi dari empat ganda (combination of ‘multiples’) sebagai berikut: 1 . Multiple theoretical perspective;

2. Multiple observers, dalam arti bahwa peneliti lapangan harus berfungsi bukan sekedar enumerator survey; 3. Multiple sources of data. Artinya, satuan studi dan “units

of response” harus beragam, yaitu individu, interaksi, dan organisasi. Dengan demikian, informasi yang diperoleh memungkinkan untuk dianalisa dalam tiga tingkat, yaitu tingkat agregat, tingkat interaksi dan tingkat kolektivitas. Untuk masing-masing satuan itu dipilih metode yang cocok, yang mungkin berbeda dengan yang dipakai untuk satuan yang lain. Karena itu perlu:

4. Multiple methodologies (wawancara survey, participant observation, life histories, wawancara dengan pihak ketiga, dan lain-lain).

Perkembangan kedua adalah kecenderungan perubahan orientasi penelitian atas dasar efisiensi yang dilatarbelakangi oleh kebutuhan mendesak atas adanya suatu rekomendasi bagi sesuatu kebijakan pemerintah. Jadi konteksnya adalah menyangkut studi/penelitian yang bersifat “policy oriented” (proyek-proyek “pesanan”), dan bukan untuk penelitian aka-

4 SDP atau Studi Dinamika Pedesaan adalah satu proyek penelitian

yang dilaksanakan oleh Survey Agro-Ekonomi (SAE); sebuah lem- baga penelitian antardepartemen untuk perumusan kebijakan pembangunan pedesaan. Proyek SDP mulai dilaksanakan sejak tahun 1975 hingga pembubaran SAE pada tahun 1981, dengan tu- juan untuk memonitor dan meneliti perubahan-perubahan di pe- desaan (penyunting).

demik. Dalam hal ini, perkembangan ini merupakan upaya untuk mencari jalan tengah yang lebih efisien antara penelitian akademik-konvensional (baik survey kuantitatif maupun apa- lagi pendekatan kualitatif antropologis) dengan tipe penelitian bergaya “turis abidin”. Tipe penelitian yang pertama dianggap terlalu lama dan mahal sehingga disebut long and dirty (L=L), sedangkan tipe yang kedua dianggap terlalu tergesa-gesa dan tidak akurat sehingga disebut quick and dirty (R=R).

Mengapa dikatakan demikian? Studi lapangan yang terlalu lama, selain mahal biayanya, data yang dikumpulkan terlalu banyak sehingga seringkali si peneliti sendiri menjadi bingung, yang mana yang harus diolah lebih dahulu. Ia menjadi kehi- langan fokus karena semua data dianggap penting. Karena itu dikatakan juga “long is often lost” (L=L). Sebaliknya, studi gaya birokrat yang berkeliling meninjau pedesaan dalam waktu cepat, lalu dengan santai menarik kesimpulan, tentu saja aku- rasinya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Pengamatan semacam itu tidak dapat mewakili secara benar apa yang sesungguhnya terjadi. Sebab, gaya berkeliling seperti turis tapi atas biaya dinas (“turis Abidin”) itu tidak akan bisa menjangkau lapisan masyarakat yang miskin, karena biasanya hanya mewa- wancarai pejabat-pejabat desa, dan hanya tinggal di tempat- tempat yang enak, tidak kumuh, tidak becek, dsb. Sebaliknya masyarakat miskin yang mayoritas itu, juga enggan jauh-jauh datang untuk menemui para anggota tim itu. Dengan demikian info atau data yang diperoleh oleh tim itu banyak yang kurang benar. Karena itu sering dikatakan “rapid is often wrong” (R=R).

yang dapat memenuhi tuntutan efisiensi biaya dan waktu, namun data yang dihasilkan memadai untuk tujuan yang ingin dicapai (simple but often sound; S=S). Dari sini lahirlah metode- metode penelitian seperti RRA (Rapid Rural Appraisal), RAP (Rapid Assessment Procedure), dan sejenisnya (lihat Wiradi, 1989). Namun meski tetap merupakan penelitian akademik, konteksnya lebih diarahkan pada kepentingan kebijakan peme- rintah. Oleh karena itu, walaupun ada baiknya RRA juga diajar- kan di universitas, tetapi adalah kurang pada tempatnya jika RRA dipakai untuk skripsi, tesis, apalagi disertasi. Sebab, RRA adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh tim, bukan satu orang.

Perkembangan ketiga menyangkut penggunaan paradig- ma alternatif tentang pembangunan, yang karenanya juga para- digma tentang penelitian mengenai masalah-masalah pem- bangunan. Dari sini lahirlah apa yang disebut dengan istilah “penelitian partisipatoris”. Menurut pemahaman saya, lahir- nya pendekatan PRA bukan semata-mata untuk mende- konstruksi pendekatan positivist-obyektivisme. Sebab, jika itu alasannya, sebenarnya pendekatan emik-antropologi ataupun fenomenologi sudah menjawab hal itu. Namun pendekatan PRA lahir lebih dengan tujuan empowerment (pemberdaya- an), yaitu agar rakyat atau manusia-manusia dalam komunitas yang diteliti menjadi “berdaya”, dalam arti mampu melakukan penelitian terhadap masyarakat mereka sendiri, mampu meng- identifikasi masalah-masalah mereka sendiri, dan mampu menganalisis dinamika dan proses-proses yang terjadi dalam lingkungan mereka sendiri.

sekalipun obyek yang diteliti termasuk diri mereka sendiri. Pertanyaannya adalah jika metode PRA tujuannya adalah un- tuk “penelitiannya” itu sendiri, mungkinkah itu? Bagaimana melakukan validasi terhadap hasil-hasilnya? Bagaimana meng- kaji kebenaran dari kesimpulan hasil dari “saya meneliti diri saya sendiri”? Oleh karena itu, menurut saya, masalah PRA itu terutama adalah masalah etika, yaitu cara memperlakukan ma- nusia yang kita teliti tidak seperti obyek benda mati.

Perlu dicatat bahwa banyak NGO/LSM/KSM, bahkan juga perguruan tinggi dan lembaga penelitian pemerintah yang mengklaim sebagai sudah melakukan penelitian “partisipato- ris”, tetapi yang dilakukan sebenarnya bukanlah partisipatoris dalam arti yang sebenarnya, melainkan sekedar quasi atau

pseudo partisipatoris. Hal ini disebabkan oleh beberapa

kemungkinan. Di perguruan tinggi, hal itu dilakukan mungkin sekedar sebagai latihan atau pengenalan, sehingga hakikatnya belum dihayati benar. Mungkin pula karena sekedar “mem- beo” alias latah, tanpa usaha memahami dengan benar apa makna konsep itu. Atau, mungkin pula sekedar mengguna- kannya sebagai rhetoric untuk menggaet dana. Hal semacam ini tentulah tidak diharapkan.

Demikianlah, dewasa ini kegiatan penelitian mencakup berbagai penelitian yang dapat dibedakan menjadi tiga tipe, tetapi yang dalam praktik ketiganya sering dicampuradukkan, yaitu:

1 . penelitian akademik-konvensional,

2. penelitian “policy-oriented” (dikenal sebagai penelitian “pesanan”), dan

Dalam dokumen STUDI AGRARIA menurut GUNA W AN WIRADI (Halaman 49-58)