• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi Frekuens

Dalam dokumen STUDI AGRARIA menurut GUNA W AN WIRADI (Halaman 90-103)

METODE PENGUMPULAN DATA

SUMBER DATA DAN METODE PENGUMPULAN DATA Survey Responden Informan Dokumen Participant

1. Distribusi Frekuens

(Kuantitatif) ? ? ? ? -

2. Peristiwa/Kejadian, Proses - - ? ? ?

3. Nilai Budaya, Adat-Istiadat - - ? ? ?

mendatangi para wajib pajak; polisi lalu-lintas turun ke jalan mengatur hilir-mudiknya kendaraan; dan lain-lain. Semua itu adalah “kerja-lapangan” bagi yang bersangkutan. Sifat- nya rutin, “dinas”, dan profesional.

2. Ada juga instansi pemerintah yang seluruh atau sebagian fungsinya adalah melayani masyarakat. Mantri ukur dari kantor agraria turun ke rumah penduduk atau ke sawah di desa, untuk melakukan pengukuran luas tanah; mantri cacar pergi ke desa-desa dalam rangka pencacaran masal, dan lain-lain. Itu juga kerja-lapangan. Sifatnya juga dinas dan profesional, tapi tidak rutin melainkan “sesaat”, tergantung dari kebutuhan dan situasi.

3. Ada lagi suatu kerja-lapangan yang bersifat pelayanan tapi bukan semata-mata karena tugas kedinasan melainkan ka- rena dorongan kemanusiaan. Inilah suatu kerja sosial dalam arti yang sebenarnya.

Bagi peneliti dan ilmuwan, makna kerja-lapangan tentu berbeda dari ketiga jenis yang disebutkan di atas. Kerja-la- pangan yang dipraktikkan oleh peneliti dan ilmuwan merupa- kan kegiatan penelitian ilmiah, dengan tujuan pokok mengum- pulkan data primer di lapangan. Dengan demikian, sifat kegiatannya jelas berbeda dari jenis kerja-lapangan yang dilak- sanakan dalam rangka tugas kedinasan maupun kerja-sosial (lihat Gambar 3.1).

Kadangkala, di antara sebagian kita, dorongan untuk mengu- bah kondisi yang dianggap buruk di masyarakat telah menye- babkan kecenderungan mencampuradukkan antara kerja- lapangan sebagai kerja sosial dengan kegiatan ilmiah. Oleh karena itu, di sini perlu ditekankan bahwa ilmu sosial bukanlah

kerja sosial! Tugas ilmu-ilmu sosial adalah berusaha untuk me- mahami masyarakat, dan menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat, melalui penelitian dengan metode ilmiah. Mungkin kita memang sangat peduli untuk membantu orang yang menderita, menolong mereka yang mis- kin, meringankan penderitaan orang sakit, dan sebagainya. Namun pertama-tama, dalam kegiatan penelitian yang penting

adalah memahami lebih dulu duduk perkara permasalahan-

permasalahan tersebut.

Jadi, kerja sosial bukanlah ilmu sosial, dan sebaliknya ilmu sosial bukan kerja sosial. Akan tetapi ilmu sosial dapat mem- bantu kerja sosial, dan seharusnya memang demikian!

Lantas apa yang menjadi ciri khas dari kerja-lapangan seba- gai kegiatan ilmiah? Tidak lain adalah bahwa seluruh rangkaian kegiatannya bertujuan untuk melakukan penggalian data pri- mer. Hal ini mencakup beberapa bentuk dan tahapan kegiatan sebagai berikut.

Gambar 3.1

Beberapa Jenis Kerja-Lapangan PENGAWASAN PENGATURAN PENERTIBAN PELAYANAN KEDINASAN - RUTIN - PROFESIONAL PELAYANAN PENGUMPULAN DATA KEDIN ASAN - RUTIN/INSIDENTAL - PROFESIONAL KERJA SOSIAL - INSIDENTAL - VOKASIONAL PENELITIAN KERJA-LAPANGAN

u

v

w

x

Gambar 3.2

Kegiatan Kerja-Lapangan dalam Konteks Penggalian Data Primer

Panduan Sebelum Turun Lapangan (Tahap Persiapan)

Sebelum seorang peneliti terjun ke lapangan, setidaknya ada dua hal yang harus dipersiapkan, yaitu persiapan mental dan persiapan teknis (operasional dan material).

Persiapan Mental. Terjun ke lapangan berarti masuk ke dalam suatu masyarakat yang belum kita kenal dengan baik, bahkan mungkin masih asing sama sekali. Karena itu, biasanya orang lalu dihinggapi rasa cemas. Itu wajar, terutama tentunya bagi peneliti pemula. Namun bagi yang sudah berpengalaman pun, kalau mau jujur, rasa cemas itu walaupun sedikit selalu ada, terutama jika lokasi studi itu adalah tempat yang sama sekali belum dikenalnya.

Ada tiga macam kesulitan mental yang biasanya menyer-

tai tugas ke lapangan.1 Pertama, suatu kecemasan yang disebut

dengan istilah “takut air dingin” atau cold water syndrome. Kecemasan ini adalah semacam perasaan “segan” untuk segera masuk ke desa/komunitas yang dipilihnya sendiri. Tidur dulu

1 Diolah lebih lanjut dari Bailey (1978) berdasarkan pengalaman

saya di lapangan.

? Mengumpulkan Data (Data Collecting)

? Merekam/Mencatat Data (Data Recording)

? ? Mengolah Data Menganalisis Data (Data Processing) (Data Analysing) Di Lapang: Di Lapang dan atau sepulang dari lapang:

di hotel, di kota kabupaten, atau menginap di rumah saudara- nya, temannya atau kenalannya. Atau setelah masuk ke desa lalu ada belum-belum timbul perasaan: “wah, saya salah pilih, kok ternyata desanya begini!” Lantas ingin pindah lokasi.

Perasaan ini harus dihindari. Untuk mengatasi hal itu, caranya adalah: segeralah masuk ke desa! Usahakan untuk ber- kenalan dengan banyak orang, sesegara mungkin tanpa tergesa- gesa. Selama 1 atau 2 hari pertama kita manfaatkan untuk “per- kenalan”, membangun hubungan baik dengan orang-orang di situ. Sementara itu, kembangkan sikap untuk menganggap penelitian sebagai “petualangan ilmiah yang mengasyikkan”, bukan sebagai “tugas yang membebani”. Bangkitkanlah “rasa ingin tahu” sebesar-besarnya dengan jiwa atau semangat Pangeran Serendip!

Ada sejumlah beban mental yang lain lagi, antara lain, kita sebagai orang kota mungkin dihinggapi rasa enggan untuk tinggal di kampung atau di desa bersama rakyat bawah, makan bersama mereka, dan sebagainya. Perasaan ini harus dapat dihilangkan oleh seorang peneliti karena penyakit inilah yang menyebabkan kegiatan penelitian dapat terbelokkan menjadi penelitian yang bercorak “turis abidin”.

Kedua, kecemasan berupa “rasa gagal diri” atau I’m-a- failure trauma. Kecemasan ini biasanya timbul secara mendadak, tapi juga dapat hilang mendadak. Perasaan tersebut biasanya timbul pada saat kita sadar bahwa ternyata banyak hal yang kita belum tahu, dan belum mengantisipasinya. Tim- bul hasrat ingin menggalinya lebih dalam tapi belum kunjung berhasil. Lalu kita menyalahkan diri sendiri. Kesulitan seperti ini dialami setiap orang. Tapi seiring dengan waktu, para

peneliti yang bersungguh-sungguh dapat mengatasi perasaan ini dengan mudah.

Ketiga adalah trauma yang sebenarnya bukan kecemasan, melainkan akibat dari suatu kecemasan. Biasanya timbul seca- ra mendadak, ketika kita sudah beberapa lama tinggal di tem- pat yang bersangkutan, dan merasa atau beranggapan telah memahami kondisi masyarakat di situ. Lalu tiba-tiba muncul hasrat ingin campur tangan langsung, karena merasa tahu akan kekurangan, kelamahan, atau kesalahan yang ada di situ (baik pada perorangan, kelompok atau kelembagaan). Inilah yang

disebut: This-place-needs-a-shake-up trauma. Untuk menet-

ralisir perasaan untuk campur tangan langsung semacam itu, pergilah sejenak dari desa itu untuk mengambil jarak.

Persiapan Teknis. Persiapan teknis yang dimaksud di sini mencakup dua hal. Pertama, mempersiapkan substansi teknis operasional (menyusun daftar pertanyaan, menyusun panduan-panduan pencatatan, dan lain sebagainya). Selain itu, jangan lupa untuk membekali diri dengan informasi-informasi awal dari sumber-sumber sekunder tentang kondisi umum lo- kasi yang akan diteliti: Bagaimana adat-istiadatnya, sikap orang-orangnya, bahasanya, dan lain sebagainya. Kedua, mempersiapkan peralatan teknis material seperti alat-alat tulis, alat perekam, photo, senter (batere), jas hujan, obat-obatan, dan lain-lain.

Panduan Pada Saat di Lapangan (Tahap Operasional)

Pada tahap ini kita melakukan kegiatan pengumpulan data yang sesungguhnya, mengikuti metode yang telah kita pilih pada waktu persiapan. Pemilihan metode itu sendiri tergantung

pada tujuan studi. Tujuan ini menentukan jenis data yang akan digali, dan bagaimana cara mendapatkannya.

Tahapan yang paling krusial pada saat terjun ke lapangan adalah pada hari-hari pertama melakukan penelitian. Apa yang harus dilakukan untuk memulai kegiatan pengumpulan data? Menurut pengalaman saya bertahun-tahun, sebelum kita mulai melakukan “operasi”, yang pertama kali perlu dilakukan adalah membuat group interview yang pesertanya melibatkan banyak pihak di masyarakat (petani, buruh tani, pedagang, pejabat desa, tokoh masyarakat, perempuan, dan lain-lain). Tujuan dan kegunaan dari group interview ini adalah untuk mengenali secara umum keadaan masyarakat setempat, mencakup antara lain:

1 . Mengenali istilah-istilah lokal; 2. Mengenali ukuran-ukuran lokal;

3. Mengenali macam-macam kelembagaan lokal; 4. Mengenali berbagai organisasi yang ada; 5 . Dan lain-lain.

Kelak pada saat akan meninggalkan lapangan, group inter- view ini perlu diulangi lagi untuk mengkonfirmasi (“recheck”) data-data yang telah dikumpulkan di lapangan, terutama menyangkut paling tidak empat hal yang disebutkan di atas (istilah lokal, ukuran lokal, kelembagaan lokal, organisasi yang ada).2

Seperti telah disebutkan di atas, pilihan metode pengum- pulan data memang sangat tergantung pada tujuan studinya.

2 Penjelasan lebih mendalam mengenai teknik group interview ini

Meski demikian, secara umum pengumpulan data primer itu dapat dilakukan melalui sedikitnya tiga cara:

1 . melalui wawancara; 2. melalui pengamatan; dan 3. melalui pengukuran langsung.

Dalam penelitian-penelitian sosial, bagaimanapun juga, sebagian besar data yang diperlukan dikumpulkan melalui wawancara, baik dengan responden, maupun dengan informan. Karena itu, para petugas lapangan perlu dibekali dengan dasar- dasar teknik wawancara yang baik.

Wawancara pada dasarnya adalah proses interaksi dan komunikasi verbal. Namun, ada perbedaan besar antara wa- wancara dengan percakapan biasa sehari-hari, meskipun yang terakhir ini juga melibatkan proses interaksi dan komunikasi verbal. Dalam wawancara, biasanya antara pewawancara dan yang diwawancarai belum saling mengenal. Selama proses komunikasi, pewawancara adalah pihak yang terus menerus bertanya, sedangkan responden/informan merupakan pihak yang terus menerus menjawab. Urutan pertanyaan yang di- ajukan oleh pewawancara biasanya sudah terkerangka lebih dulu (kecuali dalam apa yang disebut dengan “wawancara be- bas”).

Oleh karena itu, maka kualitas dari proses wawancara dan hasilnya sangatlah beragam—tergantung dari apakah faktor- faktor yang mempengaruhi arus informasi timbal balik dapat berfungsi dan berjalan dengan baik. Faktor-faktor tersebut adalah: (a) pewawancara sendiri; (b) responden/informan; (c) isi pertanyaan; dan (d) situasi selama wawancara. Atas dasar itu, maka sekalipun tidak ada panduan standar bagi teknik

wawancara, namun beberapa butir berikut ini akan sangat berguna sebagai pegangan awal.

Teknik Wawancara Individu. Tentang teknik wa- wancara individu ini, pada umumnya kita semua sudah cukup banyak tahu, dan cukup sering melakukannya. Namun, justru karena “merasa sudah tahu” itulah letak kelemahan kita. Tidak heran jika dalam penelitian sering dijumpai data yang keliru, karena teknik wawancaranya kurang memadai. Ada beberapa hal yang perlu diingatkan sebagai berikut:

1 . Pewawancara harus bersikap netral. Jangan bereaksi ter- hadap jawaban responden/informan, apapun yang dika- takannya. Kalau toh bereaksi, sifatnya hanya memancing pendalaman informasi.

2. Ciptakan suasana ramah, nyaman dan rasa aman sehingga responden/informan tidak merasa takut dan segan untuk memberikan informasi yang benar, secara jujur.

3. Susunan kalimat pertanyaan harus tidak bersifat sugestif. 4. Jangan bersikap seperti seorang jaksa yang menginterogasi

tersangka. Juga jangan bersikap seperti seorang penarik pajak yang memeriksa harta kekayaan. Sikap-sikap seperti itu membuat responden/informan belum-belum sudah merasa takut, dan akhirnya informasi yang diberikan tidak benar.

5 . Jangan terlalu cepat “mendorong” pertanyaan seperti war- tawan menginterview pejabat untuk mendesakkan berita sensasi. Berilah kesempatan beberapa saat kepada respon- den sehabis dia memberi jawaban sebelum kita lanjutkan ke pertanyaan berikutnya.

hakan selalu menduga-duga apakah jawaban itu benar atau tidak. Kalau terasa janggal, usahakan untuk menduga apakah responden memang tidak tahu (sehingga jawabannya terasa janggal), ataukah berbohong. Jika ternyata berbohong, apa sebabnya!

7 . Manusia itu bermacam-macam. Ada responden/informan yang banyak bicara, ada pula responden yang wataknya pendiam. Menghadapi orang yang banyak bicara, pewawan- cara harus mampu memotong pada saat dan titik masalah yang tepat (tidak secara sembarangan memotong). Sebalik- nya, menghadapi seorang pendiam, pewawancara perlu memecahkan suasana kaku itu menjadi santai sehingga res- ponden akhirnya tertarik untuk berbicara.

8. Menghadapi responden/informan yang sering (atau bahkan selalu) menjawab “tidak tahu”, diperlukan teknik tersendiri. Sebab di balik kata-kata “tidak tahu” itu tersimpan beberapa kemungkinan sebagai berikut:

- responden benar-benar tidak tahu;

- responden kurang mengerti pertanyaan yang diajukan;

- responden sekedar menjawab sekenanya saja dengan maksud agar wawancara cepat selesai;

- responden merasa takut, ragu-ragu, atau malu, atau bah- kan tersinggung, karena pertanyaannya menyangkut ma- salah yang peka.

Karena itu, setelah responden/informan menjawab “tidak tahu”, maka seyogyanya pewawancara menunggu seje- nak, untuk membiarkannya berpikir, sebelum pindah ke pertanyaan yang lain (inilah yang disebut silent probe). Pewawancara harus mampu membuat judgement secara

hati-hati, makna yang mana di antara empat kemung- kinan tersebut.

9. Seorang peneliti harus sanggup menjadi pendengar yang baik. Sabar mendengarkan orang lain berbicara. Hindarkan sikap yang memberi kesan “berlagak menggurui”. Tugas pengumpulan data adalah menggali informasi, bukan memberi informasi. Kecuali jika diminta, dan inipun harus dilayani dalam batas yang wajar saja agar terhindar dari kesan “menggurui”.

Teknik Wawancara Kelompok. Yang dimaksud dengan wawancara kelompok (group interview) adalah suatu wawancara yang respondennya terdiri dari beberapa orang, sedang penelitinya dapat satu orang, dapat lebih dari satu orang. Ada dua cara untuk melakukan wawancara kelompok ini, yaitu (a) bebas, dan (b) terpimpin.

Dalam bentuk bebas, wawancara dapat dibuka oleh siapa

saja (jika penelitian dilakukan oleh tim), dengan topik mengenai apa saja, dan setiap anggota tim dapat menambah, memotong, ataupun menghubungkan dengan pertanyaan lain yang ber- kaitan. Keuntungan bentuk bebas adalah: (a) suasana dapat lebih hidup dan lebih santai; (b) Informasi yang diperoleh da- pat mencakup secara luas kaitan-kaitannya dengan topik lainnya; (c) ketelitian informasi dapat lebih baik karena antara responden sendiri dapat saling mengoreksi dan menambahkan. Kelemahan bentuk bebas adalah: (a) bagi peneliti yang belum berpengalaman, pembicaraan dapat ngelantur ke ma- na-mana, sehingga seringkali informasi pokok yang diperlukan belum terjawab, waktunya sudah habis (dalam penelitian kuali- tatif jangka lama, masalah ini tidak menjadi soal, malahan

memperdalam pemahaman terhadap kehidupan desa, tapi untuk “pengamatan cepat”, masalah ini perlu diperhatikan); (b) topik yang meloncat-loncat seringkali membingungkan responden, terutama bagi responden tua; dan (c) sulit mengen- dalikan waktu.

Dalam bentuk terpimpin, wawancara dibuka oleh Ketua

Tim atau anggota tim yang ditunjuk mewakili dengan sedikit “perkenalan” dan pertanyaan-pertanyaan umum; kemudian para anggota tim lain dipersilahkan untuk berwawancara menurut topik (tertentu)-nya masing-masing, yang sebelum- nya memang sudah ditentukan (dalam pembagian pekerjaan). Tetapi hal ini tidak berarti bahwa anggota yang lain kemudian diam. Setiap anggota dapat masuk dalam wawancara/diskusi, asal komentar atau pertanyaannya masih berkaitan erat dengan topik rekannya yang sedang mendapat giliran. Setelah semua anggota tim dengan topiknya masing-masing mendapat giliran, perlu ditawarkan kesempatan lagi apakah masih ada pertanyaan yang ketinggalan, ataukah sudah cukup.

Keuntungan bentuk terpimpin adalah: (a) arah pembica- raan dapat terkendali sehingga waktunyapun dapat dikenda- likan; (b) responden tidak dibingungkan oleh topik yang melon- cat-loncat. Kelemahannya adalah: (a) jika Ketua Tim atau ang- gota tim yang ditunjuk untuk memimpin kurang lihai mengen- dalikan, suasana menjadi terlalu kaku dan formal, sehingga informasi yang diperoleh kurang tuntas; (b) anggota tim cen- derung membatasi diri pada topik yang menjadi tanggung jawabnya dan kurang aktif berpartisipasi dalam diskusi tentang topik lain.

mahannya, kita dapat melakukan modifikasi-modifikasi seper- lunya sesuai dengan kondisi setempat, saat wawancara, jenis responden, jumlah responden, dan tempat wawancara.

Di samping manfaat yang telah disebutkan diatas, ada satu bahaya yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa pada umumnya peneliti cenderung terlalu cepat terkesan oleh hasil wawancara kelompok. Akibatnya, ketika terjun ke responden individu me- reka telah mempunyai prasangka atau pra-asumsi. Hal ini perlu disadari, dan harus dihindarkan. Peneliti harus tetap skeptis!

Pemanfaatan Monografi Desa/Dokumen Lain.

Dalam penelitian dengan metode survey, data sekunder yang berupa monografi ataupun dokumen-dokumen lain yang ada di desa (juga kecamatan) sangat penting dimanfaatkan untuk memberikan sebuah gambaran “makro” desa. Seringkali peneli- tian survey dengan topik yang spesifik, tajam, tapi sempit, cen- derung tidak memanfaatkan data sekunder desa karena yang diutamakan adalah data primer petani sampel. Kecenderungan untuk mengabaikan data sekunder desa, sebagian besar dise- babkan oleh adanya prasangka bahwa angka-angka dalam mo- nografi desa tak dapat dipercaya.

Mengabaikan informasi yang berasal dari catatan-catatan kantor desa, jelas suatu sikap keliru. Sebaliknya menggunakan begitu saja secara “buta” data tersebut juga merupakan langkah yang salah, yang seharusnya tidak dilakukan oleh peneliti. Di sinilah letak masalahnya, yaitu bagaimana membaca catatan kantor desa dan mencek kebenarannya. Jangankan desa-desa Luar Jawa, di Jawa saja kualitas data dalam catatan kantor desa masih rendah.

dituntut untuk mampu melakukan tiga langkah sebagai berikut: (a) secara cepat menghubungkan data yang satu dengan yang lain (misal: jumlah traktor dan jumlah ternak; komposisi pen- duduk menurut umur dan komposisi penduduk menurut ting- kat pendidikan; dll); (b) dengan cepat dan jeli dapat meng- identifikasi kejanggalan-kejanggalan angka di dalamnya; dan (c) selanjutnya mencek dan menanyakan kebenaran angka- angka tadi dengan teknik tertentu (yang terakhir inilah yang perlu diperhatikan).

Jika menemukan angka-angka yang janggal, kebenarannya dapat dicek melalui dua cara, yaitu: (a) dengan melacak ca- tatan-catatan yang dibuat oleh Desa, dan/atau (b) menanyakan langsung dan meminta penjelasan kepada anggota Pamong Desa yang bertanggung jawab atas pencatatan itu.

Cara (a) menuntut kesabaran dan ketekunan, walaupun hal itu harus dilakukan secara cepat (tanpa harus tergesa- gesa). Cara meminta penjelasan kepada Pamong Desa juga tidak mudah. Perlu juga kesabaran, dan perlu menghindarkan dua hal: (a) jangan bernada sugestif; tapi sebaliknya juga, (b) jangan bernada menuduh atau menyalahkan seolah-olah orang desa bodoh tak bisa menghitung.

Dalam dokumen STUDI AGRARIA menurut GUNA W AN WIRADI (Halaman 90-103)