• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARTICIPATORY RURAL APPRAISAL (PRA) Asumsi Paradigmatis

Dalam dokumen STUDI AGRARIA menurut GUNA W AN WIRADI (Halaman 68-73)

BEBERAPA ISU METODOLOGIS DALAM PENELITIAN

WAWANCARA KELOMPOK

C. PARTICIPATORY RURAL APPRAISAL (PRA) Asumsi Paradigmatis

Seperti telah disinggung sekilas pada Sub Bab II.A di atas, kemunculan konsep “penelitian partisipatoris” dilandasi oleh berkembangnya pandangan baru tentang proses pemba- ngunan. Para pendukung pandangan baru ini menyatakan bahwa para pengelola pembangunan selama ini berpikir dan bertindak dengan landasan suatu paradigma “implisit” yang secara tak sadar mereka terima dan yakini. Beberapa postulat penting dari “paradigma lama” yang diterima dan diyakini itu antara lain adalah sebagai berikut (Grandstaff et al. 1987). 1 . Dunia ini dipandang sebagai suatu tempat yang tertata,

yang tunduk kepada (subject to) pengendalian dan mani- pulasi. Hal ini menuntun kepada suatu kepercayaan bahwa “masalah dan sebab-sebabnya” dapat dengan mudah di- identifikasi dan “obat”-nya dapat segera diberikan dengan hasil yang dapat diramalkan (pengalaman menunjukkan bahwa hal ini ternyata seringkali keliru).

2. Dalam “pandangan lama” itu, “pembangunan” dilihat seba- gai suatu proses “evolusi linier”, yang mendalilkan bahwa proses perubahan itu merupakan serangkaian invensi yang dengan itu sistem lama yang secara intrinsik lebih rendah (inferior) kualitasnya selalu akan diganti dengan yang baru, yang lebih tinggi kualitasnya. Inilah yang dimaksud dengan progress atau “kemajuan”.

3. “Pandangan lama” memisahkan pemikiran obyektif dari pemikiran subyektif. Mottonya adalah: “cogito ergo sum” (artinya: “I think, therefore I am!”).

Para penganut “paradigma baru” menolak postulat-postu- lat seperti itu. Sebagai gantinya, mereka mengajukan beberapa “pandangan baru” sebagai berikut:

1 . Dunia ini dilihat sebagai suatu kompleksitas yang terdiri dari berbagai faktor yang saling berinteraksi secara rumit, berubah-ubah secara cepat, dan tunduk kepada ketidak- pastian yang sangat tinggi (high degree of uncertainty). 2. Perkembangan masyarakat dilihat lebih sebagai suatu

proses yang bersifat “adaptif”, dari pada sebagai “progress”, yaitu perubahan yang didorong oleh kebutuhan untuk me- mecahkan masalah dalam sistem yang ada, dan bukan semata-mata suatu peningkatan tahap.

3. Mengakui bahwa setiap orang, setiap kelompok yang ber- beda, mempunyai gambaran yang berbeda, persepsi yang berbeda, di dalam menangkap, memahami dan menafsirkan sesuatu yang dianggap kenyataan. Ini berarti bahwa gam- baran mereka itu, masing-masing, adalah tidak lengkap dan tidak utuh karena berasal dari pandangan yang selektif, dan subyektif.

4. Oleh karena itu, perlu dipakai asas “cybernetics”, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa setiap “sistem” selalu tergan- tung kepada arus informasi (dari luar sistem itu), terutama informasi mengenai perbedaan antara yang “ideal” dan yang “nyata”, antara hasil yang diinginkan dan apa yang sesungguhnya terjadi.

5 . Dalam kondisi yang demikian, untuk mengurangi “ketidakpastian” (tersebut pada butir (1) di atas), maka diperlukan komunikasi dan kerjasama antara orang-orang desa (yang diteliti) dengan para peneliti dan para ahli pem-

bangunan, dan saling belajar di antara mereka. Dengan demikian akan diperoleh “feedback” dengan suatu “lead time”. Di sini mottonya adalah: “Tango ergo disco” (artinya, “Saya mengalami, karena itu, saya belajar”).

Pengertian Partisipasi

Partisipasi, per definisi, adalah keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi sosial tertentu. Artinya, seseorang berpartisipasi dalam suatu ke- lompok kalau ia mengidentifikasikan dirinya dengan (atau ke dalam) kelompok tersebut melalui bermacam sikap “berbagi”, yaitu berbagi nilai tradisi, berbagi perasaan, kesetiaan, kepa- tuhan, dan tanggung jawab bersama, serta melalui persaha- batan pribadi (Fairchild, 1977).

Definisi tersebut mengandung implikasi bahwa dalam konteks “penelitian partisipatoris”, partisipasi itu bukan hanya searah tetapi dua arah. Artinya yang harus berpartisipasi itu bukan hanya “kelompok sasaran”, tetapi juga si peneliti pro- fesional. Bahkan, dengan demikian, hubungan antara peneliti profesional dengan kelompok sasaran (yaitu yang menjadi “subyek” penelitian), tertransformasi secara radikal. Komu- nitas/kelompok sasaran bukan lagi menjadi “subyek” peneli- tian, tetapi mereka justru menjadi pelaku utama dan penentu keputusan dalam keseluruhan proses penelitian ataupun proses aksi. Peran profesional bukan lagi sebagai penentu, tetapi sebagai katalis dalam membantu terjadinya transformasi itu.

Jadi sifat “partisipatoris” dalam penelitian mengandung implikasi munculnya bentuk-bentuk organisasi dan mobilisasi

kaum lemah dalam masyarakat, dan dengan demikian memperkuat kemampuan mereka, untuk melahirkan pengetahuan bagi mereka sendiri, untuk mengidentifikasi arah bagi langkah-langkah mereka sendiri, dan untuk melaksanakan langkah-langkah tersebut oleh mereka sendiri. Peneliti profe- sional mungkin terlibat sebagai katalis, tetapi kekuasaan penentu keputusan ada di tangan mereka. Semua itu berarti bahwa konsep “partisipasi” dalam artinya yang benar, sering- kali harus dikaitkan dengan konsep-konsep lainnya yang mengacu kepada proses-proses sosial yang dinamis, yaitu penyadaran/ketersadaran, mobilisasi dan pemberdayaan (White, 1987: 7).

Jadi, konsep partisipasi dalam konteks penelitian par- tisipatoris, tidak cukup hanya sekedar ditandai oleh kehadiran sejumlah besar orang untuk mendengarkan “kuliah” atau “himbauan” (yang sering disebut sebagai “musyawarah”), juga bukan sekedar banyaknya orang miskin yang terlibat dalam organisasi ataupun kegiatan yang dibentuk oleh para pro- fesional untuk mereka. “Partisipasi” menyangkut keterlibatan langsung kelompok sasaran sebagai pelaku dan penentu keputusan dalam keseluruhan proses penelitian maupun aksi, termasuk penentuan bentuk organisasi mereka sendiri, dan juga penentuan sifat dan batas keterlibatan para profesional dalam kegiatan mereka (White, 1987: 8).

Dalam konteks penyuluhan pun demikian juga. Dalam pandangan lama, tujuan utama penyuluhan adalah “alih teknologi”. Karena itu, yang dialihkan oleh “orang luar” kepada petani adalah petunjuk-petunjuk, pesan-pesan, dan paket pekerjaan. Dalam pandangan baru, tujuan utama penyuluhan

adalah “pemberdayaan” petani. Karena itu, yang dialihkan adalah prinsip-prinsip, metode-metode, dan sekeranjang pilihan (Chambers, 1989: 181).

Pengertian PRA

Seperti telah dikemukakan di atas (lihat Sub Bab II.A), pada dasarnya penelitian dapat dibedakan menjadi tiga tipe, meskipun dalam praktik sering dicampuradukkan, yaitu: (a) penelitian akademik-konvensional, (b) penelitian policy ori- ented, dan (c) penelitian partisipatoris. Salah satu bentuk dari penelitian yang disebut terakhir adalah Participatory Rural Appraisal (PRA).

Sebelum lebih jauh membicarakan mengenai PRA, berikut dalam dua tabel di bawah ini disajikan gambaran skematis ten- tang perbedaan ciri utama antara penelitian partisipatoris di satu pihak, dan dua tipe penelitian lainnya (“akademik” dan “kebijakan/evaluasi”) di lain pihak.

Tabel 2.2

Pembedaan Antara Tiga Tipe Proses Penelitian LANGKAH- LANGKAH DALAM PENELITIAN PENELITIAN AKADEMIK PENELITIAN KEBUAKAN /EVALUASI PENELITIAN “PARTISIPATORIS” 1. Pilihan Masalah

“Apa”? Pilihan didasarkan atas kepentingan/perhatian, disiplin ilmu si peneliti profesional

Pilihan didasarkan atas kebutuhan administrasi si pemesan

Pilihan atas dasar adanya situasi permasalahan yang langsung “Siapa” yang

menentukan?

Si peneliti profesional Si pemesan (yang berada di luar bidang permasalahannya)

Ditentukan bersama oleh si peneliti dan para pelaku yang terlibat dalam permasalahan 2. Pilihan

Metodologi

“Apa”? ? Eksperimental ? Quasi

eksperimental

? Disain didasarkan atas

konsensus mengenai validasi

Tabel 2.3

Pokok Perbedaan Antara Pendekatan Konvensional dan Pendekatan Partisipatif (Partisipatoris)

Disadur dari: Ben White (1987). *) Bukan Penelitian

Dengan memahami pokok-pokok perbedaan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa PRA adalah suatu proses memahami keadaan masyarakat secara intensif, sistematis tetapi semi- terstruktur, yang dilaksanakan dalam suatu komunitas oleh “tim” antar-disiplin yang juga mencakup para anggota komu- nitas itu sendiri. Dari segi konsepsi, Theis dan Grady (1991) menyatakan bahwa PRA merupakan suatu bentuk khusus dari RRA, yaitu suatu cara belajar dari (dan dengan) para anggota masyarakat, untuk menyelidiki, menganalisa, dan mengeva-

Dalam dokumen STUDI AGRARIA menurut GUNA W AN WIRADI (Halaman 68-73)