• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MANAJEMEN ATAU PENGELOLAAN PERUSAHAAN GULA

C. Organisasi Perusahaan

6. Bekel

Sampai dengan awal abad XX, penguasaan dan eksploitasi tanah di pedesaan Mangkunegaran berada di tangan para bekel. Bekel inilah yang mengelola tanah tersebut agar dapat menghasilkan keuntungan bagi Praja Mangkunegaran. Tanggung jawab terhadap baik buruknya pengolahan tanah berada di pundaknya, termasuk pembayaran pajak pada negara. Para bekel ini berusaha mencari petani yang bersedia untuk mengerjakan sawah dan pekarangan yang dikontraknya pada negara. Rata-rata setiap bekel memiliki petani penggarap sebanyak lima orang. Tetapi ada juga bekel yang hanya memiliki tiga orang penggarap atau bahkan sama sekali tidak memilikinya, yaitu bekel gundul atau pacul.

Dalam stelsel pertanahan tradisional itu, petani hanya berfungsi sebagai buruh (kuli) pada para bekel tersebut. Mereka tidak secara ketat memiliki tanggung jawab dalam hal pertanahan pada Praja Mangkunegaran. Mereka bahkan sering menjadi orang yang dibutuhkan oleh para bekel. Mereka dapat saja menolak untuk bekerja pada seorang bekel danpindah bekerja pada bekel lainnya. Hal itu sangat tergantung dari fasilitas yang mereka terima dari para bekel itu.43

Pengangkatan bekel di wilayah Mangkunegaran cukup unik dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Jawa. Di daerah-daerah lain di Jawa, seorang bekel yang diangkat dalam jabatannya membayar sejumlah uang, kebanyakan berupa

42Ibid . 43

commit to user

uang bekti dan uang pilungguh. Selain itu jika muncul seorang patuh baru maka bekel juga harus membayar uang penganyar-anyar atau uang yang diberikan oleh seorang pejabat baru kepada pejabat yang membawahinya. Di Mangkunegaran permintaan-permintaan berbagai uang itu dilarang.

Jabatan bekel sejak tahun 1868 bisa diwariskan kepada keturunan langsung, termasuk putri atau cucu perempuan. Selain itu penggantinya sebisa mungkin harus dicari dari ahli waris yang ada di desa itu. Jika tidak ada ahli waris dalam satu desa bisa diberikan kepada penduduk di desanya yang disebut waris blabag. Jika itu waris blabag tidak ada maka dapat diwariskan kepada penduduk dari desa di sekitarnya.

Menurut adat yang berlaku ketika itu, pengangkatan seorang bekel terjadi dalam sebuah rapat desa. Rapat desa berhak untuk menolak pengangkatan seorang bekel atas dasar kecilnya andil tanah dari bekel tersebut atau karena tidak sahnya pengangkatan dari sudut pandang warisan. Seorang bekel pengganti tidak membayar bekti, namun membayar pungutan dengan jumlah lebih rendah yang disebut pemalik rahi atau uang pengganti kepada pemilik atau pemakai lama dan juga pilungguh.44

Secara legal, hubungan bekel dengan Mangkunegara terutama ditentukan dengan piagem. Kewajiban utama bekel terhadap adipati adalah membayar pajak yang kemudian dituangkan dalam piagem tersebut. Adipati memungut pajak menurut sistem maron. Dalam sistem maron, bekel memberikan hasil dari separo lahan garapannya kepada adipati melalui demang. Selain itu juga dikenal sistem

44

commit to user

majegan, yakni dengan cara membayar pajak dalam bentuk uang. Jika lahan bekel digunakan untuk kepentingan tanaman tebu maka pajak diganti kerja wajib tanam di perkebunan tebu. Adipati, melalui wedana gunung berhak mengalihkan sistem sewa tanah dari sistem majegan ke sistem maron. Penggarapan tanah jabatan para bekel dilakukan dalam gotong royong wajib (sambatan wajib atau ayeran) oleh penduduk desa.

Pada mulanya pajak dipungut setiap tahun dari daerah pajak, kemudian diubah menjadi pembayaran dalam jangka waktu setengah tahun (pasokan). Pasal 29 dari Angger Sepuluh menetapkan bahwa bekel pada kesempatan Garebeg Maulud dan Garebeg Puasa harus hadir di ibukota kerajaan dan menyerahkan pajaknya. Jika belum bisa menyerahkan pajak yang dibebankan pada saat itu maka ia diberi tenggang waktu delapan hari. Jika tidak berhasil menyerahkannya, ia dikenakan resiko denda atau pemecatan.

Bekel juga dikenakan kerja wajib. Kerja wajib umumnya muncul pada saat upacara-upacara besar di istana, seperti Garebeg Maulud, Garebeg Puasa, dan Garebeg Besar. Mereka wajib menyerahkan beberapa orang kuli selama beberapa hari di rumah patuh dan melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga di sana (bahu suku) dengan memperoleh jatah makanan. Selain itu tidak ada kerja teratur yang dituntut.

Dalam kasus melalaikan kewajiban, Wedana Gunung dengan persetujuan adipati bisa memecat bekel. Jika bekel berbuat kesalahan atau pelanggaran lain, seperti membunuh dan mencuri hewan maka dia dipecat dengan kehilangan hak

commit to user

warisnya (mati maris). Di lain pihak, bekel berhak untuk meletakkan jabatannya (seleh) apabila dia merasa kewajibannya terlalu berat.

Di wilayah Mangkunegaran dengan sistem majegan atau daerah kena pajak, bekel dianggap sebagai penguasa atas tanah garapan. Ia mengambil semua tanah garapan itu bagi dirinya dan keluarganya hanya menyisihkan sebagian kepada penduduk dengan kewajiban bagi sambatan wajib. Dalam sistem majegan penduduk tidak memiliki hak atas tanah, namun semua ditentukan oleh bekel.45

Tanggung jawab dalam pengolahan tanah berada di pundak bekel maka ia berusaha mencari dan memelihara nara karya atau kuli untuk mengerjakan lahan garapannya. Inisiatif dalam kontrak penggarapan tanah antara bekel dan kuli secara umum justru datang dari bekel sebab bekel yang tidak mempunyai kuli akan dicabut tanah bengkoknya. Para bekel saling berlomba-lomba berebut kuli dengan memberi fasilitas berupa alat pertanian dan tempat tinggal bagi keluarganya. Para kuli ini berusaha mencari bekel yang fasilitasnya baik dan beban kerjanya tidak terlalu berat. Akibatnya sering terjadi perpindahan kuli dari satu wilayah kabekelan ke wilayah kabekelan lainnya. Perpindahan itu dengan tidak membawa peralatan dan perumahan. Mereka mencari bekel lain yang juga menyediakan fasilitas serupa. Fasilitas itu berupa rumah gubug yang terbuat dari bambu dengan atap ilalang dan peralatan pertanian seperti cangkul, sabit dan linggis.46

Dokumen terkait