• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MANAJEMEN ATAU PENGELOLAAN PERUSAHAAN GULA

C. Organisasi Perusahaan

7. Buruh/Kuli

45

Soepomo, 1961, Reorganisasi Agraria di Surakarta, Terjemahan : Husodo, (Surakarta : Reksopustaka), hlm 16.

46

commit to user

Ada dua pemilahan pekerjaan di wilayah perkebunan tebu Mangkunegaran, yakni pekerjaan di kebun tebu dan pekerjaan di lingkungan pabrik gula. Pekerjaan di wilayah perkebunan tebu merupakan tahap pekerjaan mulai dari kegiatan penanaman tebu hingga pemanenan tebu atau rembang. Pekerjaan di lingkungan pabrik gula meliputi proses pengangkutan dari lahan hingga pemrosesannya menjadi gula yang siap dipasarkan.

Kuli dalam pengertian penggarap tanah adalah kepala keluarga laki-laki yang telah berkeluarga. Tanggung jawab terhadap proses pengolahan tanah berada di tangan mereka, perempuan dipandang hanya sebagai pengikut dari pria dalam tanggung jawab pengolahan tanah. Meskipun dalam praktiknya tidak demikian sebab dalam proses produksi pertanian perempuan juga banyak memberikan andil mulai dari kegiatan penanaman hingga pascapanen.

Semula pekerjaan di kebun tebu tidak dibayar dengan uang karena hal itu sebagai konsekuensi logis atas sawah glebagan yang dinikmatinya. Selain itu, mereka dibebaskan dari pembayaran pajak pada negara. Pajak dibayarkan dalam bentuk pacht atau sewa oleh pihak perkebunan tebu kepada Praja Mangkunegaran maupun kasunanan di tanah sewaan. Tidak semua tanah pabrik merupakan tanah milik Mangkunegara, ada sebagian kecil yang merupakan milik Sunan, seperti di Kutuan, Triagan seta kebun bibit di Ampel, Boyolali. Kuli yang bekerja di wilayah tanah sewa itu tidak dibebani membayar pajak, tetapi sebagai gantinya mereka bekerja di ladang tebu mulai dari penanaman hingga panen.

Pekerjaan tanpa dibayar itu meliputi pengerjaan lahan untuk persiapan penanaman tebu, yakni membuat parit (nglaci) dan membuat gulutan, memberi

commit to user

pupuk kandang serta menanam bibit tebu. Setelah bibit tebu hidup, pekerjaan selanjutnya adalah melakukan pemeliharaan tanaman tebu mulai dari menyiangi sampai membersihkan kulit tebu ketika tebu sudah menjelang tua (ngletek). Pekerjaan menebang tebu, transportasi dan pekerjaan pabrikasi bukan menjadi beban nara karya. Waktu yang diperlukan seorang nara karya atau kuli untuk dapat mengerjakan kewajibannya di perkebunan tebu rata-rata 120 hari per orang.47

Selain kerja wajib tanam (cultuurdiensten), penduduk yang menikmati lahan glebagan juga dikenakan kerja wajib (heerendiensten). Kerja wajib meliputi : jaga malam, kerja ayeran, menyerahkan rumput dan rambanan, interandiensten, serta kerja krigan. Di wilayah Tasikmadu, jaga malam dilakukan di wilayah pabrik dan kepala pribumi yang memerlukan waktu 1 kali jaga malam dalam 20 hari. Sampai dengan tahun 1894, berbagai jenis kerja ini masih berlaku.

Kerja jaga dilakukan pada malam hari terutama untuk menjaga kompleks pabrik, rumah para kepala pribumi dan juga gudang. Di wilayah Colomadu, beban ini masih ditambah dengan tugas jaga di pos penjagaan dan pasanggrahan Komplang dan Bendungan tambak Bandung milik Mangkunegara. Untuk keperluan kerja jaga ini diperlukan sekitar 38 nara karya yang berjaga dari pukul 18.00 hingga 06.00.

Kerja ayeran hanya terjadi di wilayah perkebunan Colomadu, sedangkan di perkebunan Tasikmadu tidak ada. Kerja ayeran merupakan kerja jaga pada siang hari mulai pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00 di tempat pemerintahan

47

commit to user

polisi dengan waktu yang diperlukan paling sedikit satu kali dalam 20 hari. Di lingkungan pabrik gula ini diperlukan rata-rata 8 nara karya setiap harinya untuk bekerja pada 2 orang rangga polisi dan 6 rangga tebu.48

Beban kerja lain bagi penduduk yang mengolah lahan glebagan adalah kerja rambanan, kerja playangan dan krigan. Kerja rambanan merupakan kegiatan menyerahkan rumput untuk memberi makan rusa milik Sri Mangkunegara yang dititipkan di sekitar rumah administrator. Rambanan umumnya diberikan pada siang hari, ketika pekerja sedang beristirahat. Kerja playangan dilakukan oleh bekel. Dalam kerja playangan ini para bekel itu memberikan laporan harian dari 6 daerah kerja rangga dan diserahkan kepada pengawas terkait. Kerja krigan dilakukan oleh nara karya selama 5-7 hari untuk berbagai pekerjaan di pabrik. Ini berlaku baik di Tasikmadu maupun Colomadu. Di luar pekerjaannya kepada pabrik, penduduk juga masih dikenakan kerja desa.49

Secara teoritis, beban wajib penduduk cukup berat dan dalam praktiknya jauh lebih berat lagi. Selain karena faktor manajemen pabrik, ritme kerja penduduk yang tidak teratur juga menjadi penyebabnya. Pada akhir abad XIX ada usaha untuk mengurangi beban berat yang diderita penduduk lahan glebagan ini. Superintenden De Kock van Leeuwen dalam sebuah suratnya menyatakan bahwa sudah ada usaha-usaha untuk mengurangi beban penduduk. Selain pemberian andil penduduk pada tanah glebagan, pada tahun 1895 para pekerja juga memperoleh bayaran f 15 per bahu tanaman tebu. Menurutnya, kebijakan itu

48 Surat Residen Surakarta tanggal 17 Juni 1909 No. 8611/44T

dalam Arsip YN 992. (Surakarta : Reksopustaka).

49 Ibid.

commit to user

dilakukan karena hal yang sama juga dilakukan pada kedua pabrik yang berbatasan dengan Colomadu, yakni Kartasura dan Bangak, yang masing-masing memberikan bayaran f 45 dan f 40 per bahu tanaman tebu. Selain gaji tambahan sesungguhnya petani sudah menerima toeslag sebanyak 10 duit per orang. Toeslag itu diberikan sekali dalam lima hari, yakni saat permulaan tanam dan pascatanam.50

Uang tambahan yang diberikan kepada nara karya sepanjang tahun tidak sama. Pada tahun 1891 jumlah uang tambahan f 24 per bahu. Oleh karena di Colomadu dalam setiap bahu dikerjakan oleh dua orang nara karya maka tiap-tiap nara karya memperoleh uang tambahan f 12 per bahu dalam satu kali penggarapan lahan tebu. Sementara itu, di Tasikmadu tiap-tiap nara karya hanya memperoleh uang tambahan f 8 per bahu karena di wilayah ini dalam setiap bahunya dikerjakan oleh tiga orang.51

Tuntutan penggunaan buruh bebas semakin mencuat sejak tahun 1911, tetapi sampai dengan tahun 1915 penggunaan buruh bebas di pabrik gula Mangkunegaran belum dijalankan sepenuhnya. Residen sebagai wakil pemerintah Kolonial di Surakarta dan sekaligus sebagai anggota Commissie van Beheer dari Dana Milik Mangkunegaran mendapat banyak peringatan dan kecaman. Dalam pelaksanaannya, hubungan kerja antara kuli dan pabrik adalah kerja wajib yang dibayar. Sejalan dengan pelaksanaan reorganisasi tanah, Pemerintahan Dalam Negeri (Binnenlandch Bestuur) juga memberikan anjuran agar hubungan kerja

50

Surat jawaban Superintenden De Kock van Leeuwen kepada Residen Surakarta tanggal 18 Oktober 1895 dalam Arsip P 1760 dan YN 992. (Surakarta : Reksopustaka).

51Surat Superintenden kepada Residen Surakarta tanggal 25 Januari 1895 No. MN 738 dalam Arsip YN 992. (Surakarta : Reksopustaka).

commit to user

semacam itu segera diakhiri. Semua pekerjaan yang terkait dengan perkebunan harus dilakukan dengan buruh bebas. Menanggapi kecaman dan anjuran itu, residen menjamin bahwa model kerja wajib di kedua perkebunan Mangkunegaran akan diganti dengan buruh yang sama sekali bebas.52

Penduduk tidak lagi dikenakan kerja wajib tanam karena pekerjaan itu akan dilakukan oleh manajemen pabrik dengan menggunakan pekerja bebas yang bisa berasal dari penduduk setempat maupun penduduk lain yang mencari pekerjaan di perkebunan tebu. Penduduk pengguna tanah glebagan bisa lebih berkonsentrasi mengerjakan lahan glebagan-nya untuk ditanami tanaman pangan. Jika mereka ingin terlibat pada tanaman tebu maka merekapun akan dibayar sesuai aturan pabrik.53

52

Arsip BB (Binnenlandch Bestuur) No. 2476. (Surakarta : Reksopustaka). 53

commit to user

BAB II

GAMBARAN UMUM PRAJA MANGKUNEGARAN

A. Wilayah Praja Mangkunegaran Masa Mangkunegara VI

Wilayah Praja Mangkunegaran berdasarkan perjanjian Salatiga tahun 1757 memperoleh tanah lungguh milik pribadi Susuhunan sejumlah 4.000 cacah.1 Pada awalnya tanah lungguh milik Mangkunegaran tidak dapat diwariskan secara turun-temurun, baru pada tahun 1792 tanah lungguh tersebut menjadi hak turun- temurun. Mangkunegara I hingga V posisi Mangkunegara sebagai Pangeran Miji (seorang pangeran yang langsung di bawah Susuhunan), baru pada tahun 1896 saat pengangkatan Mangkunegara VI posisinya telah berubah menjadi Pangeran Merdeka terlepas dari Kraton Kasunanan Surakarta, hal ini berhubungan dengan yang disebutkan dalam Piagam Pengangkatan sebagai kolonel dan komandan dari Legiun Mangkunegaran berada langsung di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Mangkunegaran menempati wilayah di bagian timur dan utara Residensi Surakarta,2 namun daerahnya terpencar di beberapa tempat termasuk di wilayah Kasunanan dan Kasultanan. Separuh dari tanah tersebut terletak di wilayah Mancanegara dan Gunung Kidul. Dengan demikian tanah ini sebagian di Surakarta bagian tenggara dan sebagian lagi terletak di Yogyakarta sebelah timur. Tanah seluas itu sering disebut Desa Bobok yang diartikan sebagai Desa

1

Mohammad Dalyono, Ketataprajaan Mangkunegaran, Terj. Sarwana Wiryasaputra, (Surakarta : Reksapustaka), 1977, hlm. 89.

2

Metz., Mangkunegaran Analisis Sebuah Kerajaan Jawa, terj. (Surakarta : Reksapustaka), 1939), hlm. 12.

commit to user

Warisan.3 Pada tahun 1832 luas daerah Mangkunegaran dinyatakan dalam jumlah jung, dengan perincian sebagai berikut : Daerah Kedawung 141 jung, Laroh 115,25 jung, Matesih 218 jung, Wiraka 60,50 jung, Haribaya 82,50 jung, Hanggabayan 25 jung, Sembuyan 133 jung. Gunung Kidul 71,50 jung, Pajang (sebelah selatan jalan besar Surakarta sampai Kartasura) 58,50 jung, Pajang (sebelah utara jalan besar Surakarta sampai Kartasura) 64,75 jung, Mataram (pertengahan Yogyakarta) 1 jung, Kedu 8,50 jung. Jadi jumlah seluruhnya menjadi 979,50 jung.4

Luas wilayah Mangkunegaran mengalami perubahan dua kali pada masa pemerintahan Mangkunegara II (1796 – 1835). Perubahan pertama terjadi pada tahun 1813, yakni sejumlah 1000 karya. Penambahan ini sebagai imbalan atas jasa Mangkunegaran dalam membantu Inggris melawan Sultan Sepuh di Yogyakarta. Tanah sejumlah 1000 karya atau 240 jung terletak di Kedawung 72 jung, Sembuyan 12 jung, Mataram 2,5 jung, Sukowati bagian timur 95,5 jung, Sukowati bagian barat 28,5 jung, dan daerah di lereng Gunung Merapi bagian timur 29,5 jung.5

Penambahan kedua terjadi pada tahun 1830, sebagai imbalan atas jasa dari pihak Mangkunegaran dalam membantu Belanda menumpas pemberontakan

3

G.P. Rouffaer, Swapraja, Terj. Muhammad Husodo Pringgokusumo (Surakarta : Reksapustaka), 1983, hlm. 6.

4

Ibid. Lihat juga Mansfeld, Sejarah Milik Praja Mangkunegaran terj. (Surakarta : Rekso Pustoko, 1986), hlm. 6.

Satuan ukuran tanah di Jawa adalah 1 jung = 4 cacah = 4 karya = 4 bahu = 2,8 ha. Jumlah wilayah Mangkunegaran seluruhnya 979,5 jung, padahal 4000 karya cacah adalah 960 jung. Luas wilayah dan batas-batas Mangkunegaran yang didasarkan pada perjanjian Salatiga 1757 itu memang kurang jelas. Hal ini disebabkan surat perjanjiannya sendiri hilang dan tidak dapat diketemukan. Dengan demikian data yang dikemukakan Rouffaer dan Mansfeld itu hanyalah perkiraan saja.

5

commit to user

Diponegoro, yaitu berupa tambahan wilayah daerah enclave (kantong) Ngawen di Gunung Kidul sebanyak 500 karya. Secara politis administratif daerah ini berada di bawah kekuasaan Mangkunegaran tetapi secara hukum yakni mengenai pengawasannya di bawah Kasultanan Yogyakarta. Hingga awal abad XX luas wilayah Mangkunegaran masih tetap seperti pada tahun 1830. Hanya saja penentuan batas-batas antara daerah Mangkunegaran dengan daerah swapraja lainnya semakin dipertegas, terutama dengan menghilangkan daerah enclave (daerah kantong).

Untuk memudahkan dalam mengatur tata administrasi, pada masa pemerintahan Mangkunegara III tepatnya tahun 1847 wilayah Mangkunegaran dibagi ke dalam tiga Kabupaten Anom atau Onderdistrict regentschap, ketiga kabupaten tersebut antara lain, Kabupaten Karanganyar meliputi Sukowati, Matesih, dan Haribaya. Wonogiri meliputi Nglaroh, Honggobayan dan Kedawung, dan Malangjiwan. Selanjutnya sejak tahun 1830-an wilayah Mangkunegaran dibagi ke dalam dua kabupaten, sembilan Kawedanan dan 41 Kapanewonan atau onderdistrik.6

Pada tahun 1875 onderregentschap Malangjiwan dihapus dan diganti dengan onderregentschap Baturetno yang wilayahnya meliputi Wiraka dan Sembuyan. Dengan demikian pada masa pemerintah Mangkunegara IV, daerah Mangkunegaran terbagi menjadi tiga daerah onderregentschap yaitu, Karanganyar, Wonogiri, dan Baturetno. Perubahan terjadi lagi pada tahun 1891,

6

commit to user

yaitu pada onderregentschap Baturetno dihapuskan dan wilayahnya digabungkan dengan onderregentschap Wonogiri.

Pada masa Mangkunegara VI (1896-1916) wilayah Mangkunegaran tidak mengalami perubahan. Wilayah Mangkunegaran pada tahun 1903 dibentuk onderregentschap Kota Mangkunegaran, sehingga Mangkunegaran terbagi dalam tiga Kabupaten Anom yang meliputi Mangkunegaran, Karanganyar dan Wonogiri dengan ditambah enclave Ngawen.7

Sampai tahun 1930-an, wilayah Mangkunegaran dibagi menjadi dua kabupaten dan enclave Ngawen. Adapun luas dari tiap-tiap wilayah kabupaten dan daerah enclave Ngawen, yaitu Kabupaten Kota Mangkunegaran seluas 888,75 km2 yang meliputi kawedanan kota Mangkunegaran, Karanganyar dan Karangpandan, dan Jumapolo. Kabupaten Wonogiri luasnya 1.922,65 km2 meliputi kawedanan Wonogiri, Wuryantoro, Baturetno, Jatisrono dan Purwantoro. Selanjutnya ditambah daerah Ngawen seluas 33,74 km2 yang terletak di daerah Gunung Kidul.8

Secara keseluruhan daerah Mangkunegaran dibatasi oleh Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, bagian timur dibatasi oleh Gunung Lawu. Bagian selatan berbatasan dengan wilayah Yogyakarta dan sebagian oleh Samudra Hindia. Untuk sebelah utara dibatasi oleh pegunungan gamping yang membujur ke timur dari residensi Semarang sampai Rembang. Dari lereng Gunung Merapi mengalir Kali Opak ke selatan, sekaligus menjadi pembatas antara Keresidenan Surakarta dan

7

Lihat Rijksblad Van Mangkunegaran tahun 1917 No. 331. 8

commit to user

Yogyakarta.9 Di lereng barat Gunung Lawu terdapat Kali Samin, Clolo, Wingko dan Jenes yang mengalir ke dataran rendah Karanganyar kemudian membentuk persawahan, lereng Gunung Lawu sendiri sangat cocok untuk perkebunan kopi. Dataran rendah yang kurang subur terbentang dari kota Solo ke arah utara dan berakhir di lereng pegunungan Kendeng.

Daerah-daerah Mangkunegaran umumnya beriklim tropis, akibatnya dalam satu tahun mengalami dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Perbedaan curah hujan antara musim kemarau dan musim hujan sangat mencolok. Pada musim hujan, curah hujan sangat tinggi, sedangkan pada musim kemarau sangat rendah. Namun demikian masih ada daerah-daerah tertentu yang masih mempunyai curah hujan di atas minimum pada musim kemarau, misalnya di daerah lereng Gunung Lawu.

Wilayah Mangkunegaran sebagian besar terletak di daerah Wonogiri. Daerah ini merupakan daerah perbukitan kapur yang sebagian besar tanahnya tidak subur dan lahan pertaniannya pun sangat tergantung pada curah hujan. Sebagian kecil daerah ini adalah daerah yang berada di sebelah timur, antara lain Kedawung meliputi daerah Jatisrono, Ngadirojo, dan Girimarto, daerah Honggobayan meliputi Jatipura dan Jumapolo.

Untuk tanah-tanah yang terletak di Sembuyan (daerah Baturetno), Ngawen, Semanu, Wiraka (daerah Tirtomoyo) dan daerah sekitarnya, merupakan tanah yang kurang subur. Daerah-daerah ini sangat cocok untuk tanaman keras

9

Suhartono, Apanase dan Bekel : Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830 – 1920

commit to user

atau tanaman kehutanan.10 Daerah di lereng Gunung Lawu, seperti Honggobayan merupakan daerah yang cocok untuk pertanian meskipun tanahnya berbukit-bukit. Daerah kota Mangkunegaran, yang meliputi sebagian daerah Pajang, Pedan, Haribaya (sekarang Kepuh) dan Gunung Kulon adalah pertemuan antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu yang sangat subur tanahnya. Di dataran ini banyak ditemukan sumber mata air yang cocok untuk perkebunan tebu.

B. Figur Kepemimpinan Mangkunegara VI

Guna memahami serta mendalami penguasa ke enam dinasti Mangkunegaran, akan dijelaskan tentang perjalanan hidup G.R.M. Suyitno hingga menjadi seorang adipati. Pemahaman ini penting, karena akan memberikan penjelasan mengenai latar belakang kepribadian terkait dengan regulasi atau kebijakan dalam pemerintahan Mangkunegaran. G.R.M. Suyitno, dilahirkan di Mangkunegaran pada hari Jum’at Pon 17 Rejeb tahun Wawu 1785 Jawa atau tanggal 13 Maret 1854 M, beliau adalah putra nomor 22 dari K.G.P.A.A. Mangkunegara IV yang dilahirkan dari ibunda Kanjeng Bandara Raden Ayu Adipati Arya Mangkunegara IV (B.R.Aj. Dhunuk, putri Mangkunegara III).

Beliau mendapatkan pendidikan di sekolah berbahasa Belanda (Europesche Lagere School) di Surakarta. Kemudian dipindahkan ke sekolah Pamong Siswo (Bijzondere Inlandsche School). Akhirnya belajar sendiri dengan mendatangkan guru ke Purwasana sambil menjadi juru tulis ibunya. Di samping pelajaran biasa, dipelajari juga kesusasteraan Jawa, adat istiadat, kebatinan dan

10

commit to user

keagamaan serta olah kanuragan sesuai tradisi pendidikan Jawa pada waktu itu. Pelajaran-pelajaran tersebut kebanyakan ditimbanya langsung dari ayahnya, S.P. Mangkunegara IV, terutama dalam manajemen modern dan keuangan.

Setelah dewasa dimasukkan menjadi Kadet Infanteri Legiun Mangkunegaran mulai dari pangkat prajurit biasa (flankeur), lalu diangkat menjadi Bintara (Onder officier) dengan pangkat Sersan Magang di luar formasi, dua tahun kemudian baru mencapai pangkat Letnan Dua. Atas kehendak ayahnya, beliau ditugaskan di bagian Mondrogini untuk melayani ibundanya selama setahun. Tepat di ulang tahun ke 18 pada tanggal 17 Rejeb, Alip, Windu Adi, 1803 J atau tanggal 29 Agustus 1874 M, mendapat anguerah songsong jene (berpayung kuning) dengan gelar Kanjeng Pangeran Arya Dhayaningrat. Tugasnya dikembalikan di Legiun dan diberi pangkat Letnan Satu.11

Pada tahun 1876 M bersama kakaknya yang bernama K.P.A. Gondosewoyo, melakukan perjalanan selama empat bulan mengelilingi Pulau Jawa dengan berkendaraan kereta pos. Perjalanan dimulai dengan menyusuri pantai utara Jawa ke arah Barat. Sesampai di Bogor keduanya menghadap pada Gubernur Jenderal sebagai penguasa tertinggi waktu itu. Kemudian pulangnya melalui jalan selatan. Perjalanan panjang yang sangat melelahkan itu dinilai sangat mengesankan karena banyak menambah wawasan dan pengetahuan. Terutama untuk lebih mengenal rakyat dan tanah airnya dari dekat.

Pulang dari tugas kelilingnya ini, pangkatnya dalam militer dinaikkan menjadi Kapten sebagai Komandan Kompi III di Legiun Mangkunegaran. Tugas

11

Arsip Riwayat K.G.P.A.A. Mangkunegara VI, Membangun Kemakmuran dari Puing Keruntuhan No. MN 1645, Surakarta : Reksa Pustaka, hlm. 2.

commit to user

ini diembannya selama empat tahun. Pada tanggal 2 September 1881 M, hari Jum’at Paing 8 Sawal Jimakir 1610 J ayahanda Sri Paduka Mangkunegara IV mangkat dan digantikan oleh kakaknya yang bernama G.R.M. Sunito.

Di bawah pemerintahan K.G.P.A.A. Mangkunegara V ini, sejak tahun 1881 M atas kehendak kakaknya tersebut, K.P.A. Dhayaningrat diangkat menjadi Kapten Ajudan Sri Paduka Mangkunegara V. Setahun kemudian diangkat menjadi Mayor Ajudan merangkap bekerja di kantor Kartapraja (Bendahara Negara), Kartausaha (Perusahaan Negara), Kartipraja (Pekerjaan Bangunan Negara) serta sebagai pengawas pada Kemantren Reksawahana (Pemeliharaan Kendaraan), bagian Reksoturonggo (Pemeliharaan Kuda), Reksabaksana (Urusan Persediaan Bahan Makanan) dalam Puro dan Reksawarastra (Urusan Penyediaan dan Pemeliharaan Senjata, Pakaian Ketentaraan dan Pusaka Kerajaan). Setelah lima belas tahun lamanya, menjabat selaku perwira, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Infanteri dengan tugas memegang keuangan Legiun Mangkunegaran. Untuk segala jasanya itu beliau menerima satyalencana (eere teken).

Atas perkenan kakanda K.G.P.A.A. Mangkunegara V, pada hari Rabu Pon 22 Rabiulakhir Jimawal, windu Kuntara, 1813 J (1884 M), pada usia 27 tahun beliau dinikahkan dengan R.Aj. Hartati, putra pamanda dari pihak ibu, B.R.M.Ar. Gondowardoyo, yang telah lama dipertunangkan oleh ayahanda, K.G.P.A.A. Mangkunegara IV. Sekitar tahun 1887 M secara resmi diangkat menjadi Mayor Intendan urusan Keuangan yang mengatur Penggajihan Legiun, sekaligus selama 10 tahun tetap mendampingi kakandanya Mangkunegara V dalam pemerintahannya, disamping menjadi anggota Dewan Kerajaan (Panitia

commit to user

Pertimbangan Negara). Pada tahun 1895 M lahir putra beliau B.R.M.H. Soeyono dari “garwa ampeyan” Mas Ajeng Wandaningsih, yang setelah berhasil mempersembahkan putra tersebut kemudian diberi gelar Bandara Raden Wandaningsih.

Setelah mangkatnya M.N. V. pada tanggal 2 Oktober 1896 M, karena jatuh dari atas kuda di Wanaketu, atas permintaan ibunda K.B.R. Ayu Adipati Arya Mangkunegara IV, beliau diangkat menggantikan kakaknya mengepalai keluarga dan menjadi Komandan Legiun Mangkunegaran dengan pangkat Kolonel bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VI. Karena usia beliau telah melampaui 40 tahun, maka tidak seperti para pendahulunya, beliau tidak terlebih dahulu memakai sebutan Kanjeng Pangeran Adipati Arya Prabu Prangwedana. Pengangkatannya dilakukan pada hari Sabtu Legi tanggal 15 Jumadilakir, Jimakir, Windu Sangara 1826 J atau 21 Nopember 1896 M. Pada tahun 1897 M lahir putri beliau B.R. Ajeng Soewasti dari “garwo ampeyan” Bandoro Raden Tjitraningsih.12

Pengangkatan Mangkunegara VI menggantikan kakaknya Mangkunegara V telah mengubah posisi Mangkunegaran terhadap Kasunanan. Perubahan hubungan antara Susuhunan dan Mangkunegara terlihat dalam Piagam Pengangkatan (Acte van Verband) tanggal 21 Nopember 1896, Mangkunegaran lepas seluruhnya dari Kraton Kasunanan Surakarta bahkan kata ”pemberitahuan lebih dahulu” dari Susuhunan sudah tidak diperlukan lagi, hal ini berhubungan dengan yang disebutkan dalam Piagam Pengangkatan sebagai Kolonel dan

12

commit to user

Komandan dari Legiun Mangkunegaran berada langsung di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Jadi mulai saat pengangkatan Mangkunegara VI posisi Mangkunegara sudah bukan lagi sebagai Pangeran Miji (seorang pangeran langsung di bawah susuhunan) tetapi sudah menjadi Pangeran Merdeka terlepas dari Kraton Kasunanan Surakarta.

Kepribadian Mangkunegara VI berpandangan jauh ke depan untuk jamannya. Dalam alam feodalisme dan penjajahan asing yang serba penuh simbol- simbol kebesaran dan kesopanan yang dianggapnya kurang praktis dan ekonomis, dengan penuh keberanian dirombaknya secara drastis dan total. Beliau dalam berpakaian Jawa, paling tidak suka memakai keris, juga tidak mau menggunakan payung kebesaran bila memakai pakaian secara barat. Akibat sikap dan tindakannya maka Gubernur Jenderal Van Heutsz mensahkan peraturan penghapusan pemakaian payung kehormatan bagi para pejabat Belanda seperti Residen, Asisten Residen bahkan juga Kapten Cina di seluruh Jawa. Keputusan itu dikeluarkan pada tahun 1905.

Dalam hal pakaian disederhanakan. Narapraja tidak lagi berpakaian kebesaran kampuh sikepan ageng, tetapi cukup berkain, berdestar dan sikepan pendek dibordir dengan sabuk cinde dengan bara pakai rompi dan dasi (1912). Bahkan bagi jajaran Bintara ke atas, beliau sendiri memberi contoh dengan memotong pendek rambutnya secara militer pada 27 Oktober 1911.

Dalam hal adat tata cara beliau juga menghapus laku dodok dan duduk di bawah. Semua pegawai duduk di kursi dan bagi kalangan bawah di bangku. Jika bertemu dengan Sri Mangkunegara VI cukup melakukan sembah atau saluir

commit to user

dengan tetap berdiri tanpa membuka topi serta alas kakinya. Semua pengalaman semasa di Legiun Mangkunegaran dan pendidikan yang langsung diterima dari ayahnya Mangkunegara IV terutama dalam manajemen modern perusahaan gula dan keuangan Praja sehingga membentuk kepribadian Mangkunegara VI menjadi pribadi yang disiplin, ahli di bidang ekonomi, modern, ulet serta mampu menerima dan mengikuti perkembangan zaman.

Dokumen terkait