• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MANAJEMEN ATAU PENGELOLAAN PERUSAHAAN GULA

B. Distribusi Pemasaran

1. Transportasi

menggunakan alat transportasi berupa kuda, cikar, bendi dan gerobag. Jalan sebagai sarana transportasi darat dibagi menjadi dua bagian, yakni jalan besar (lurung gede) dan jalan kecil (lurung kecil) serta jalan penghubung menuju jalan desa. Di beberapa bagian jalan sering melintasi sungai sehingga memerlukan jembatan. Jembatan besar disebut kareteg dan jembatan-jembatan kecil disebut ipeng. Jalan dan jembatan itu dalam pengerjaannya menggunakan tenaga kerja wajib tanpa dibayar.23

Jalan raya yang menghubungkan Solo – Semarang sudah ada sejak sebelum industri gula Mangkunegaran dibangun. Jalan raya itu telah biasa digunakan untuk mengangkut barang-barang hasil perkebunan milik para penyewa tanah di Surakarta seperti kopi, gula dan nila. Jalan itu sangat penting karena menjadi alat penghubung dengan transportasi laut di Pelabuhan Semarang. Jalan darat lain adalah Surakarta – Ngawi – Surabaya. Rute kedua ini menonjol karena di Surabaya terdapat pelabuhan besar yang mengangkut produksi perkebunan keluar Jawa dan luar Hindia Belanda meskipun jaraknya lebih jauh.24

Jalan militer dari Semarang ke Surakarta dan Surakarta menuju Madiun dalam kondisi baik. Penguasaan jalan-jalan itu tidak sama, ada yang berada di tangan Pemerintah Kolonial, Sunan dan Mangkunegara. Jalan-jalan yang berada

23Arsip MN V 187

, (Surakarta : Reksopustaka). 24

commit to user

di bawah kekuasaan Kasunanan perbaikannya menjadi tanggung jawab Sunan. Lebar jalan tersebut tidak melebihi 15 m sehingga sejak tahun 1874 mulai dilakukan perluasan ruas jalan. Perluasan ruas jalan diikuti dengan perbaikan jembatan-jembatan yang dilintasi jalan-jalan itu dengan menggunakan kayu jati yang diambil dari hutan-hutan milik sunan. Perbaikan jalan-jalan itu dilaksanakan di bawah pimpinan Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Kolonial Belanda.

Untuk menghubungkan antara wilayah perkebunan tebu menuju jalan raya maka dibuat jalan-jalan desa atau jalan penghubung. Jalan penghubung antara wilayah perkebunan tebu Tasikmadu dan jalan raya Surakarta – Sragen adalah jalan Karangpandan – Karanganyar. Jalan penghubung antara perkebunan tebu Colomadu dan jalan raya Solo – Semarang adalah jalan Colomadu – Kartasura. Jalan-jalan itu pemeliharaannya di bawah tanggung jawab pabrik gula dan pemerintah Mangkunegaran.

Jalan-jalan penghubung juga dibuat untuk menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lain di Surakarta, termasuk di wilayah perkebunan tebu Mangkunegaran. Pada tahun 1876 dibuat jalan penghubung antara Karanganyar – Wonogiri serta antara Sukoharjo – Delanggu. Di Afdeeling Sragen dibuat jalan dari Mungkung ke Lawang menuju halte kereta api Jengkilong.

Jalan-jalan penghubung yang berkaitan yang melalui wilayah Sunan dan Mangkunegara, pengawasan dan pemeliharaannya menjadi tanggung jawab kedua kerajaan itu. Hal ini terlihat misalnya jalan di Distrik Karangduren di Afdeeling Sragen (wilayah Sunan) dan Karanganyar (wilayah Mangkunegaran).25

25

commit to user

Semakin meningkatnya operasional jalur kereta api dari Surakarta ke Semarang atau sebaliknya dari Semarang ke Surabaya maka lalu lintas melalui Bengawan Solo mulai berkurang fungsinya, meskipun belum mati sama sekali. Pada musim hujan, perahu-perahu dan armada kecil masih digunakan sebagai sarana pengangkutan dari Solo ke Wonogiri dan dari Solo ke Ngawi dan daerah- daerah lain yang dilalui Bengawan Solo.

Jika transportasi melalui sungai terdesak fungsinya oleh jalur kereta api maka tidak demikian halnya dengan jalan darat. Meskipun penggunaan jalan darat dalam jarak jauh untuk kepentingan pengangkutan hasil perkebunan telah digeser oleh kereta api, untuk jarak dekat yang menghubungkan antara produsen dan stasiun kereta api masih diperlukan. Selain itu, jalan darat tetap digunakan sebagai jalur pengangkutan dan perdagangan hasil pertanian lokal.

Memasuki abad XX, dengan sendirinya alat transportasi yang berkembang hanyalah transportasi darat, baik yang melalui jalan raya maupun rel kereta api. Keduanya berkembang menjadi jalur transportasi, baik untuk jarak dekat maupun jarak jauh. Jalur-jalur itu membentang ke sana ke mari membuka isolasi desa-kota di wilayah perkebunan tebu dan di daerah-daerah lain non perkebunan tebu. Kedua jalur itu seolah-olah bersaing untuk memperebutkan penggunanya.

Jalan raya yang semula sebagian dikerjakan dengan kerja wajib memasuki abad XX diganti dengan buruh upahan. Pada awal abad XX, jalan-jalan itu masih berupa jalan yang diperkeras dengan batu sungai (macadam), tetapi setelah dasawarsa kedua abad XX mulai diaspal. Sumber keuangan pembangunan dan perawatan jalan raya berasal dari anggaran praja, sedangkan untuk jalan

commit to user

penghubung menuju pabrik gula, selain dengan anggaran praja juga dibiayai oleh pabrik gula.26

Terawat tidaknya jalan raya tergantung dari ketersediaan dana untuk itu. Oleh karena pada masa Mangkunegara VI (1896 – 1916) situasi keuangan kerajaan masih dalam proses pemulihan akibat kebangkrutan ekonomi pada akhir abad XIX maka perhatian terhadap jalan-jalan di wilayahnya menjadi berkurang yang mengakibatkan banyak jalan di wilayah Mangkunegaran mengalami kerusakan. Kondisi jalan demikian sempat dikeluhkan oleh Residen Surakarta, Sollewijn Gelpke di akhir masa jabatannya. Ia merasa memerintah di wilayah yang sangat menjengkelkan, wilayah yang sangat buruk dan penguasanya menelantarkan keadaan jalan.27 Keluhan yang sama juga berasal dari pimpinan Pabrik Kemuning yang lokasinya melewati jalan di wilayah pabrik gula Tasikmadu. Ia melaporkan kepada Residen Surakarta dan Gubernur Jenderal di Batavia tentang kondisi itu. Residen Surakarta kemudian mengharuskan pabrik gula Mangkunegaran menyediakan dana setiap tahun untuk pemeliharaan jalan- jalan itu dengan cara menyetorkan sejumlah uang pada kas praja Mangkunegaran pada awal musim giling.28

Terkait erat dengan jalan adalah armada atau alat transportasi. Memasuki abad XX alat transportasi lama, seperti gerobag atau pedati untuk angkutan barang

26

Pembangunan jalan raya di wilayah Mangkunegaran dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Praja. Rencana anggaran untuk pekerjaan ini dimuat dalam buku laporan Anggaran Mangkunegaran dan Rijksblad Mangkunegaran sejak tahun 1917.

27

Surat Residen Surakarta Sollewijn Gelpke kepada Mangkunegara VI no. 1443/7 tanggal 22 Februari 1915, (Surakarta : Reksopustaka).

28Ibid .

commit to user

dan delman untuk angkutan penumpang masih dominan. Gerobag atau pedati ini di wilayah perkebunan tebu digunakan untuk mengangkut tebu dari kebun tebu menuju lori atau dari kebun tebu menuju pabrik gula. Gerobag atau pedati ini menjadi ramai digunakan pada saat rembang dan musim giling.29

Dokumen terkait