• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

C. Hasil Belajar

Pengertian Hasil dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang (dibuat, dijadikan, dsb) oleh usaha (KBBI, 2007: 400). Kaitannya dalam penelitian ini adalah hasil usaha yang dicapai oleh setiap mahasiswa setelah menempuh proses pembelajaran. Selanjutnya pengertian belajar adalah tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif (Syah, 1995: 91). Pada modul orientasi pembekalan calon PNS yang berjudul psikologi pendidikan (2004: 53) dijelaskan bahwa:

1) Belajar merupakan perubahan suatu tingkah laku yang mengarah kepada yang lebih baik dari sebelumnya;

2) Belajar terjadi melalui proses latihan dan pengalaman;

3) Tingkah laku yang mengalami perubahan menyangkut beberapa aspek kepribadian baik fisik maupun psikis misalnya perubahan dalam pengertian, pemecahan dalam suatu masalah, ketrampilan, kecakapn, kebiasaan ataupun sikap.

Berbeda pula dengan pendapat Dimyati (1999: 250) bahwa hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi, yaitu:

Pertama dari sisi siswa, hasil belajar merupakan “tingkat perkembangan mental” yang lebih baik bila dibandingkan pada saat

pra-belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Secara menyeluruh, hasil belajar merupakan kumpulan hasil penggal- penggal tahap belajar. Selanjutnya sisi yang kedua adalah dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran. Hasil belajar individual diukur menurut ukuran-ukuran tingkat nasional. Dengan kata lain, peran guru menilai hasil belajar berorientasi pada ukuran-ukuran pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat sekolah, wilaya, dan tingkat nasional.

Berdasarkan uraian diatas maka yang dimaksud penulis tentang hasil belajar adalah kumpulan penilaian hasil usaha kegiatan belajar dari seluruh mata kuliah yang sudah diambil oleh mahasiswa yang dinyatakan dalam bentuk angka, huruf, ataupun simbol yang dapat mencerminkan hasil yang dicapai oleh setiap mahasiswa dalam bentuk Indeks Prestasi Komulatif (IPK).

2. Bentuk-bentuk penilaian hasil belajar

Islamuddin (2012: 223) berpendapat bahwa menurut bentuknya, tes hasil belajar dapat dibedakan menjadi dua macam:

a. Tes obyektif

Tes obyektif terdiri dari bermacam-macam jenis, yaitu pilihan ganda, menjodohkan, benar-salah atau tes jawab singkat.

b. Tes esai

Bagian paling tersukar dari tes ini adalah menimbang-nimbang dan memutuskan kualitas jawaban yang diberikan siswa, di samping membuat pertanyaan-pertanyaan yang baik dan jelas, juga tidak mudah.

3. Cara Pengukuran Hasil Belajar

Evaluasi prestasi atau hasil belajar ada 3 macam (Syah, 2004: 158), sebagai berikut:

a. Evaluasi prestasi kognitif

Mengukur keberhasilan siswa yang berdimensi kognitif (ranah cipta) dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan tes tertulis maupun tes lisan dan perbuatan. Karena semakin banyaknya jumlah

siswa di sekolah-sekolah, tes lisan dan perbuatan hampir tidak pernah digunakan lagi. Alasan lain mengapa tes lisan khususnya kurang mendapat perhatian ialah karena pelaksanaannya yang face to face

(berhadapan langsung). Sebagai gantinya, dianjurkan untuk menggunakan tes pencocokkan (matching test), tes isian, dan tes esai. Khusus untuk mengukur kemampuan analisis dan sintesis siswa, lebih dianjurkan untuk menggunakan tes esai, karena tes ini adalah satu- satunya ragam instrumen evaluasi yang paling tepat untuk mengevaluasi dua jenis kemampuan akal siswa.

b. Evaluasi prestasi afektif

Untuk merencanakan penyusunan tes prestasi siswa yang berdimensi afektif (ranah rasa) jenis-jenis prestasi internalisasi dan karakterisasi seyogyanya mendapat perhatian khusus. Alasannya, karena kedua jenis prestasi ranah rasa itulah yang lebih banyak mengendalikan sikap dan perbuatan siswa.

Salah satu bentuk tes ranah rasa yang popular ialah “Skala

Likert” yang bertujuan untuk mengidentifikasi kecenderungan atau

sikap orang. Perlu pula dicatat, untuk memudahkan identifikasi jenis kecenderungan afektif yang representatif, item-item skala yang meliputi doktrin, komitmen, penghayatan, dan wawasan.

c. Evaluasi prestasi psikomotorik

Cara yang dipandang tepat untuk mengevaluasi keberhasilan belajar yang berdimensi ranah psikomotor (ranah karsa) adalah observasi. Observasi, dalam hal ini dapat diartikan sebagai sejenis tes

mengenai peristiwa, tingkah laku, atau fenomena lain, dengan pengamatan langsung. Namun, observasi harus dibedakan dari eksperimen, karena eksperimen pada umumnya dipandang sebagai salah satu cara observasi.

4. Tujuan Penilaian Hasil belajar

Penilaian dalam pendidikan mempunyai beberapa tujuan. Djamal (1985: 80) menyebutkan beberapa tujuan tersebut, diantaranya adalah:

a. Untuk mengetahui atau mengumpulkan informasi tentang taraf perkembangan dan kemajuan yang diperoleh murid dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan didalam kurikulum;

b. Agar guru dapat menilai daya pengalaman serta kegiatan yang telah dilaksanakan sekaligus mempertimbangkan hasilnya serta metode mengajar dan sistem pengajaran yang digunakan, apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan didalam kurikulum;

c. Untuk merangsang aktivitas dari murid;

d. Untuk memberikan umpan balik/ kurikulum pendidikan/ pengajaran yang bersangkutan.

5. Prinsip-prinsip Penilaian Hasil Belajar

Prinsip-prinsip dasar tes hasil belajar menurut Purwanto (1994: 72) dibagi menjadi:

a. Penilaian hendaknya didasarkan atas hasil pengukuran yang

komprehensif. Ini berarti bahwa penilaian di dasarkan atas sampel prestasi yang cukup banyak, baik macamnya maupun jenisnya.

b. Harus dibedakan antara penskoran (scoring) dan penialaian (grading).

Penskoran berarti proses pengubahan prestasi menjadi angka-angka, sedangkan dalam penilaian kita memproses angka-angka hasil

kuantifikasi prestasi itu dalam hubungannya dengan “kedudukan”

personal siswa dan mahasiswa yang memperoleh angka-angka tersebut di dalam skala tertentu.

c. Dalam proses pemberian nilai hendaknya diperhatikan adanya dua macam orientasi, yaitu penilaian yang norms-refrenced dan yang

criterion-referenced. Norms-refrenced evaluation adalah penilaian

yang diorientasikan kepada suatu kelompok tertentu; jadi, hasil perorangan siswa atau mahasiswa dibandingkan dengan prestasi kelompoknya. Criterion-referenced evaluation ialah penilaian yang diorientasikan kepada suatu standar absolut, tanpa dihubungkan dengan suatu kelompok tertentu.

d. Kegiatan pemberian nilai hendaknya merupakan bagian integral dari proses belajar-mengajar. Ini berarti bahwa tujuan penilaian, di samping untuk mengetahui status siswa dan menaksir kemampuan belajar serta penguasaannya terhadap bahan pelajaran, juga digunakan sebagai feedback (umpan balik), baik kepada siswa sendiri maupun bagi guru atau pengajar.

e. Penilaian harus bersifat komparabel. Artinya, setelah tahap pengukuran yang menghasilkan angka-angka itu dilaksanakan, prestasi-prestasi yang menduduki skor yang sama harus memperoleh nilai yang sama pula.

f. Sistem penilaian yang dipergunakan hendaknya jelas bagi siswa dan bagi pengajar sendiri. Sumber ketidakberesan dalam penilaian terutama adalah tidak jelasnya sistem penilaian itu sendiri bagi guru atau pengajar: apa yang di nilai serta macam skala penilaian yang dipergunakan dan makna masing-masing skala itu.

Sedangkan Islamuddin (2012: 220) mengatakan bahwa prinsip dasar tes hasil belajar meliputi enam hal, sebagai berikut:

a. Tes hasil belajar hendaknya mengukur tujuan belajar yang telah ditentukan selaras dengan tujuan pengajaran, jadi hendaknya jangan merupakan kejutan bagi siswa, artinya tes itu hendaknya mengukur pengertian-pengertian atau keterampilan-keterampilan yang diajarkan di luar itu.

b. Tes hasil belajar hendaknya mengukur sampel yang representatif, artinya mewakili semua tujuan dan seluruh materi pelajaran, kecuali butir-butir tes tidak boleh menyimpang dari tujuan, tidak menyesatkan ataupun kabur.

c. Tes hasil belajar hendaknya memuat butir-butir yang paling cocok. d. Tes hasil belajar hendaknya sesuai dengan maksud penggunaannya. e. Tes hasil belajar hendaknya reliabel dan ditafsirkan secara cermat. f. Tes hasil belajar hendaknya memperbaiki dan meningkatkan belajar. 6. Fungsi Penilaian Hasil Belajar

Djamal (1985: 80) berpendapat bahwa fungsi penilaian hasil belajar secara garis besarnya adalah sebagai berikut:

a. Memberikan umpan balik (feed back) kepada guru sebagai dasar untuk mengetahui kelemahan-kelemahan guru dalam melaksanakan program belajar mengajar.

b. Menentukan tingkat kemampuan murid untuk menempatkan murid di dalam situasi yang tepat dalam proses belajar mengajar.

c. Untuk memberi angka yang tepat tentang hasil belajar atau kemajuan yang telah dicapai oleh setiap murid.

d. Untuk mengenal latar belakang murid yang mengalami kesulitan- kesulitan belajar, sehingga dapat dijadikan dasar dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan baik secara individual maupun secara kelompok.

e. Untuk menentukan komponen-komponen yang perlu diperbaiki atau direvisi (metode, materi, alat, tujuan, dll).

Sedangkan Islamuddin (2012: 218) berpendapat bahwa fungsi penilaian hasil belajar ada lima macam, yaitu:

a. Penilaian sebagai insentif untuk meningkatkan belajar;

Salah satu kegunaan penilaian adalah mendorong siswa belajar lebih giat. Untuk hasil belajar yang bagus diberi nilai tinggi dan kalau mungkin diberi reward (hadiah).

b. Penilaian sebagai umpan balik bagi siswa;

Setiap siswa, inhin mengetahui hasil jerih payahnya dalam belajar, hal ini dapat diperoleh melalui hasil penilaian. Dengan perkataan lain, penilaian itu dapat memberikan umpan balik kepada siswa sehingga dengan demikian siswa akan tahu kekuatan dan kelemahannya.

c. Penilaian sebagai umpan balik bagi guru;

Salah satu fungsi penilaian yang paling penting adalah memberikan umpan balik kepada guru mengenai efektivitas mengajarnya.

d. Penilaian sebagai informasi bagi orang tua;

Suatu buku rapor disebut demikian, karena melaporkan informasi tentang kemajuan siswa kepada orang tuanya. Fungsi melaporkan ini penting, karena dua alasan yaitu:

1) Orang tua dapat mengetahui kemajuan belajar putra putrinya di sekolah.

2) Nilai dan penilaian yang lain dapat membantu orang tua memberikan reinforcement secara informal. Hal ini ternyata ikut membantu siswa belajar lebih giat dan berprestasi lebih baik. e. Penilaian sebagai informasi untuk keperluan seleksi.

Sementara sosiologi melihat bahwa maksud dan tujuan pokok sekolah ialah memilih siswa-siswi untuk untuk memangkau peranan-peranan yang ada di masyarakat, kelak melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu setelah selesai sekolah.

7. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Secara rinci Dimyati (1999: 238) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar ada dua bagian, sebagai berikut:

a. Faktor Intern

1) Sikap terhadap belajar;

Sikap merupakan kemampuan memberikan penilaian tentang sesuatu, yang membawa diri sesuai dengan penilaian.

Adanya penilaian tentang sesuatu, mengakibatkan terjadinya sikap menerima, menolak, atau mengabaikan. Siswa memperoleh kesempatan belajar. Meskipun demikian, siswa dapat menerima, menolak, atau mengabaikan kesempatan belajar tersebut. Akibat penerimaan, penolakan, atau pengabaian kesempatan belajar tersebut akan berpengaruh pada perkembangan kepribadian. Oleh karena itu, ada baiknya siswa mempertimbangkan masak-masak akibat sikap terhadap belajar.

2) Motivasi belajar;

Motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong terjadinya proses belajar. Motivasi belajar pada diri siswa dapat menjadi lemah. Lemahnya motivasi, atau tiadanya motivasi belajar akan melemahkan kegiatan belajar. Selanjutnya, mutu hasil belajar akan menjadi rendah. Oleh karena itu, motivasi belajar pada diri siswa perlu diperkuat terus menerus. Agar siswa memiliki motivasi belajar yang kuat, pada tempatnya diciptakan suasana belajar yang menggemberikan.

3) Konsentrasi belajar;

Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan perhatian pada pelajaran. Pemusatan perhatian tersebut tertuju pada isi bahan belajar maupun proses memperolehnya. Untuk memperkuat perhatian pada pelajaran, guru perlu menggunakan bermacam-macam strategi belajar-mengajar, dan memperhitungkan waktu belajar serta selingan istirahat.

4) Mengolah bahan belajar;

Mengolah bahan belajar merupakan kemampuan siswa untuk menerima isi dan cara pemerolehan ajaran sehingga menjadi bermakna bagi siswa. Isi bahan belajar berupa pengetahuan, nilai- nilai agama, nilai kesenian, serta ketrampilan mental dan jasmani. 5) Menyimpan peolehan hasil belajar;

Menyimpan perolehan hasil belajar merupakan kemampuan menyimpan isi pesan dan cara perolehan pesan. Kemampuan menyimpan tersebut dapat berlangsung dalam waktu pendek dan waktu yang lama. Kemampuan menyimpan dalam waktu pendek berarti hasil belajar cepat dilupakan. Kemampuan menyimpan dalam waktu lama berarti hasil belajar tetap dimiliki siswa.

6) Menggali hasil belajar yang tersimpan;

Menggali hasil belajar yang tersimpan merupakan proses mengaktifkan pesan yang telah terterima. Dalam hal pesan baru, maka siswa akan memperkuat pesan dengan cara mempelajari kembali, atau mengaitkannya dengan bahan lama. Dalam hal pesan lama, maka siswa akan memanggilnya atau membangkitkan pesan dan pengalaman lama untuk suatu unjuk hasil belajar. Proses menggali pesan lama tersebut dapat berwujud transfer belajar, atau unjuk prestasi belajar.

7) Kemampuan berprestasi atau unjuk hasil belajar;

Kemampuan berprestasi atau unjuk hasil belajar merupakan suatu puncak proses belajar. Pada tahap ini siswa membuktikan

keberhasilan belajar. Siswa menunjukkan bahwa ia telah mampu memecahkan tugas-tugas belajar atau mentransfer hasil belajar. Kemampuan berprestasi tersebut terpengaruh oleh proses-proses penerimaan, pengaktifan, pra-pengolahan, pengolahan, penyimpanan, serta pemanggilan untuk pembangkitan pesan dan pengalaman. Bila proses-proses tersebut tidak baik, maka siswa dapat berprestasi kurang atau dapat juga gagal berprestasi.

8) Rasa percaya diri siswa;

Rasa percaya diri timbul dari keinginan mewujudkan diri bertindak dan berhasil. Dari segi perkembangan, rasa percaya diri dapat timbul berkat adanya pengakuan dari lingkungan. Dalam proses belajar diketahui bahwa unjuk prestasi merupakan tahap

pembuktian “perwujudan diri” yang diakui oleh guru dan rekan

sejawat siswa. Makin sering berhasil menyelesaikan tugas, maka semakin memperoleh pengakuan umum, dan selanjutnya rasa percaya diri semakin kuat. Hal sebaliknya dapat terjadi. Kegagalan berulang kali dapat menimbulkan rasa tidak percaya diri.

9) Intelegensi dan keberhasilan belajar;

Intelegensi adalah suatu kecakapan global atau rangkuman kecakapan untuk dapat bertindak secara terarah, berpikir secara baik, dan bergaul dengan lingkungan secara efisien. Kecakapan tersebut menjadi aktual bila siswa memcahkan masalah dalam belajar atau kehidupan sehari-hari. Dengan peolehan hasil belajar

yang rendah, yang disebabkan oleh intelegensi yang rendah atau kurangnya kesungguhan belajar, berarti terbentuknya tenaga kerja yang bermutu rendah. Hal ini akan merugikan calon tenaga kerja itu sendiri. Oleh karena itu pada tempatnya, mereka di dorong untuk belajar di bidang-bidang ketrampilan sebagai bekal hidup. Penyediaan kesempatan belajar di luar sekolah, merupakan langkah bijak untuk mempertinggi taraf kehidupan warga bangsa Indonesia.

10) Kebiasaan belajar;

Dalam kegiatan sehari-hari ditemukan adanya kebiasaan belajar yang kurang baik. Kebiasaan belajar tersebut antara lain berupa belajar pada akhir semester, belajar tidak teratur, menyianyiakan kesempatan belajar, bersekolah hanya untuk bergengsi, datang terlambat bergaya pemimpin, bergaya jantan seperti merokok, sok menggurui teman lain, dan bergaya minta

“belas kasihan” tanpa belajar. Untuk sebagian, kebiasaan belajar

tersebut disebabkan oleh ketidakmengertian siswa pada arti belajar bagi diri sendiri. Hal ini dapat diperbaiki dengan pembinaan disiplin membelajarkan diri.

11) Cita-cita siswa.

Cita-cita merupakan motivasi instrinsik. Tetapi adakalanya

“gambaran yang jelas” tentang tokoh teladan bagi siswa belum

ada. Akibatnya, siswa hanya berperilaku ikut-ikutan. Sebagai ilustrasi, siswa ikut-ikutan berkelahi, merokok sebagai tanda

jantan, atau berbuat “jagoan” dengan melawan aturan. Dengan

perilaku tersebut, siswa beranggapan bahwa ia telah “menempuh”

perjalanan mencapai cita-cita untuk terkenal di lingkungan siswa sekota.

Cita-cita sebgai motivasi instrinsik perlu didikkan. Didikkan memiliki cita-cita harus dimulai sejak sekolah dasar. Di sekolah menengah didikan pemilikan dan pencapaian cita-cita sudah semakin terarah. Cita-cita merupakan wujud eksplorasi dan emanisipasi diri siswa didikkan pemilikan dan pencapaian cita- cita sebaiknya berpangkal dari kemampuan berprestasi, dimulai dari hal yang sederhana ke yang semakin sulit.

b. Faktor ekstern

1) Guru sebagai pembina siswa belajar;

Guru adalah pengajar yang mendidik. Ia tidak hanya mengajar bidang studi yang sesuai dengan keahliannya, tetapi juga menjadi pendidik generasi muda bangsanya. Sebagai pendidik, ia memusatkan perhatian pada kepribadian siswa, khususnya berkenaan dengan kebangkitan belajar. Sebagai gruru yang pengajar, ia bertugas mengelola kegiatan belajar siswa di sekolah. Sebagai seorang diri yang mengembangkan keutuhan pribadi, ia juga menghadapi masalah pengembangan diri, pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia. Dengan penghasilan yang diterimanya tiap bulan ia dituntut

berkamampuan hidup layak tersebut sesuai dengan wilayah tempat tinggal dan tugasnya.

Guru juga menumbuhkan diri secara profesional. Ia bekerja dan bertugas mempelajari profesi guru sepanjang hayat. Hal-hal yang dipelajari oleh setiap guru adalah memiliki integritas moral kepribadian, memiliki integritas intelektual berorientasi kebenaran, memiliki integritas religius dalam konteks pergaulan dalam masyarakat majemuk, mempertinggi mutu keahlian bidang studi sesuai dengan kemampuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, memahami, menghayati, dan mengamalkan etika profesi guru, bergabung dengan asosiasi profesi, serta mengakui dan menghormati martabat siswa sebagai klien guru.

2) Prasarana dan sarana pembelajaran;

Lengkapnya saran prasarana pembelajaran merupakan kondisi pembelajaran yang baik. Hal itu tidak berarti bahwa lengkapnya sarana dan prasarana menentukan jaminan terselenggaranya proses belajar yang baik.

3) Kebijakan penilaian;

Proses belajar mencapai puncaknya pada hasil belajar siswa atau unjuk kerja siswa. Sebagai suatu hasil maka dengan unjuk kerja tersebut, proses belajar berhenti untuk sementara. Dan terjadilah penilaian. Dengan penilaian yang dimaksud adalah penentuan sampai sesuatu dipandang berharga, bermutu, atau bernialai. Ukuran tentang hal itu berharga, bermutu, atau bernilai

datang dari orang lain. Dalam penilaian hasil belajar, maka penentu keberhasilan belajar tersebut adalah guru. Guru adalah pemegang kunci pembelajaran. Guru menyusun desain pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan menilai hasil belajar.

Hasil belajar dinilai dengan ukuran-ukuran guru, tingkat sekolah dan tingkat nasional. Dengan ukuran-ukuran tersebut, seorang siswa yang keluar dapat digolongkan lulus atau tidak lulus. Kelulusannya dengan memperoleh nilai rendah, sedang, atau tinggi, yang tidak lulus berarti mengulang atau tinggal kelas, bahkan mungkin dicabut hak belajarnya. Dari segi proses belajar, keputusan tentang hasil belajar berpengaruh pada tindak siswa dan tindak guru.

4) Lingkungan sosial siswa di sekolah;

Setiap siswa dalam lingkungan sosial memiliki kedudukan, peranan, dan tanggung jawab sosial tertentu. Dalam kehidupan tersebut terjadi pergaulan, seperti hubungan akrab, kerja sama, kerja berkoperasi, berkompetisi, berkonkurensi, bersaing, konflik, atau perkelahian. Setiap siswa berada dalam lingkungan sosial siswa di sekolah. Ia memiliki kedudukan dan peranan yang diakui oleh sesama. Jika seorang siswa terterima, maka ia dengan mudah menyesuaikan diri dan segera dapat belajar. Sebaliknya jika ia tertolak, maka ia akan merasa tertekan. Pengaruh lingkungan sosial tersebut berupa hal-hal berikut: (1) pengaruh kejiwaan yang

bersifat menerima atau menolak siswa, yang akan berakibat memperkuat atau memperlemah konsentrasi belajar, (2) lingkungan sosial mewujud dalam suasana (akrab,gembira, rukun, dan damai) sebaliknya, mewujudakn dalam suasana (perselisihan, bersaing, salah-menyalahkan, dan cerai-berai), (3) lingkungan sosial siswa di sekolah atau juga di kelas dapat berpengaruh pada semangat belajar kelas.

5) Kurikulum sekolah.

Kurikulum yang diberlakukan sekolah adalah kurikulum nasional yang disahkan oleh pemerintah, atau suatu kurikulum yang disahkan oleh suatu yayasan pendidikan. Kurikulum disusun berdasarkan tuntutan kemajuan masyarakat. Kemajuan masyarakat didasarkan suatu rencana pembangunan lima tahunan yang diberlakukan oleh pemerintah. Dengan kemajuan dan perkembangan masyarkat, timbul tuntutan kebutuhan baru, dan akibatnya kurikulum sekolah perlu direkonstruksi. Adanya rekonstruksi tersebut menimbulkan kurikulum baru. Demikian seri perubahan kurikulum yang terkait dengan pembangunan masyarakat.

8. Indikator hasil belajar

Adapun untuk mengukur variabel hasil belajar dapat ditentukan indikatornya yaitu dari nilai rata- rata Indeks Prestasi Komulatif (IPK). IPK ialah angka yang menunjukkan prestasi mahasiswa mulai dari semester pertama sampai dengan semester terakhir yang telah

ditempuhnya (Salam, 2004: 122). Nilai rata- rata Indeks Prestasi

Komulatif (IPK) mahasiswa dinyatakan dengan rentang nilai 3,75-4,00

(Cum Laude), 3,51-3,74 (Sangat Memuaskan), 2,76-3,50 (Memuaskan), 0,00-2,75(Rendah).

D. Pengaruh Intensitas Penggunaan Internet dan Perpustakaan Terhadap

Dokumen terkait