• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.1 Latar Belakang

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu pilar perekonomian yang sangat berpotensi untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. UMKM sanggup memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional, khususnya dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan juga merupakan salah satu sumber yang cukup besar bagi penerimaan pendapatan negara1.

Perekonomian indonesia sesungguhnya secara rill digerakan oleh para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) termasuk koperasi. Secara nasional statistik 2009 (Informasi Kebijakan Perpajakan bagi Koperasi dan UKM, 2009) UMKM jumlahnya demikian besar yakni 51,3 juta unit usaha dengan komposisi usaha mikro 50,7 juta (95,58 persen), usaha kecil 520 ribu (1,01 persen) dan usaha menengah 39.657 unit (0,05 persen). UMKM telah memberikan andil besar dalam perekonomian nasional dan daerah. Kontribusinya secara total dalam PDB sebesar 55,6 persen, mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 96,18 persen dengan nilai investasi 52,9 persen dan kinerja non migas mencapai 20,2 persen. Gambaran tersebut mengindikasikan juga bahwa UMKM termasuk koperasi yang sehari-hari melakukan transaksi usaha dan memiliki penghasilan merupakan potensi yang mampu dan dapat memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi penerimaan pajak bagi negara maupun daerah.

Peran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam perekonomian Indonesia berdasarkan Renstra Kementrian Negara Koperasi dan UMK 2005-2009 paling tidak dapat dilihat dari: (1) kedudukannya sebagai pemain utama dalam kegiatan ekonomi di berbagai sektor, (2) penyedia lapangan kerja yang terbesar, (3) pemain penting dalam pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat, (4) pencipta pasar baru dan sumber inovasi, serta (5) sumbangannya dalam menjaga neraca pembayaran melalui kegiatan ekspor. Pada tahun 2008, kinerja PDB UKM menunjukan peningkatan sebesar Rp 825,94 triliun dari tahun 2006. Nilai PDB UKM tahun 2008 atas dasar harga berlaku mencapai Rp 2.609,36 triliun sedangkan pada tahun 2006 nilai PDB UKM sebesar Rp 1.783,42 triliun. Pada kinerja perekonomian nasional, UKM memberikan kontribusi sebesar 52,67 persen dari total PDB Indonesia, artinya lebih dari setengah perekonomian Indonesia ditopang sektor UMKM.

Sektor agribisnis yang meliputi pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan yang mencakup sektor hulu dan hilir merupakan salah satu sektor yang penting bagi suatu

1

negara di dunia untuk mendukung pertumbuhan perkonomian dalam meningkatkan pendapatan negara dalam memajukan taraf hidup masyarakatnya di suatu negara, termasuk Indonesia. Sektor ini memiliki peranan yang sangat strategis dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi terutama peningkatan pada sektor riil dan secara signifikan dapat membantu meningkatkan penyerapan tenaga kerja,terutama pada sektor usaha kecil menengah.

Tabel 1. Perkembangan Jumlah Usaha Kecil dan Menengah Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2007-2008

No Sektor Ekonomi Jumlah (unit) Perkembangan

2007 2008 Jumlah (%)

1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan

dan Perikanan 26.209.258 26.156.679 (52.579) (0.20) 2. Pertambangan dan Penggalian 246.414 263.255 16.841 6.83 3. Industri Pengolahan 3.163.050 3.232.841 69.791 2.21 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 11.431 11.626 195 1.71

5. Bangunan 163.344 172.810 9.466 5.80

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 13.285.021 14.017.478 32.457 5.51 7. Pengangkutan dan Komunikasi 2.684.821 2.760.114 75.293 2.80 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 868.800 930.599 61.799 7.11

9. Jasa Jasa 2.147.012 2.295.087 48.075 6.90

Jumlah 48.779.151 49.840.489 1.061.338 2.18

Sumber: Departemen Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah RI (2009)

Sebagian besar usaha yang bergerak di sektor agribisnis di Indonesia saat ini masih termasuk dalam ukuran Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Tabel 1 menunjukkan bahwa dari sektor ekonomi, jumlah unit UMKM di Indonesia tahun 2008 berada di sektor pertanian, diikuti oleh sektor perdagangan dan sektor industri urutan kedua dan ketiga. Secara keseluruhaan selama periode 2008, jumlah unit UMKM mengalami peningkatan sebesar 2,1 persen. Perkembangan jumlah unit UMKM di tahun 2008 berbanding terbalik dengan perkembanagan unit UMKM di sektor agribisnis. Jumlah unit UMKM di sektor agribisnis tahun 2008 mengalami penurunan sebesar 0,2 persen dari tahun sebelumnya.

Tabel 2. Perkembangan Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Usaha Kecil dan Menengah Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2007-2008

No Sektor Ekonomi Jumlah (Orang) Perkembangan

2007 2008 Jumlah (%)

1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan

Perikanan 42.286.595 42.571.974 285.379 0,67

2. Pertambangan dan Penggalian 559.258 605.790 46.532 8,32 3. Industri Pengolahan 9.994.140 10.417.507 423.367 4,42 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 105.336 103.458 (1.878) (1,78)

5. Bangunan 695.016 734.146 39.130 5,63

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 22.179.091 112.280 933.189 4,21 7. Pengangkutan dan Komunikasi 3.452.132 3.533.320 81.188 2,35 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 2.575.778 2.635.015 59.237 2,30

9. Jasa - Jasa 4.700.416 8.038.828 338.412 4,39

Jumlah 89.547.762 91.752.318 2.204.556 2,46

Sumber: Departemen Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah RI (2009)

Perkembangan jumlah unit UMKM berkorelasi positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2008, UMKM mampu menyerap tenaga kerja sebesar 91.752.318 orang dari total penyerapan tenaga kerja yang ada. Jumlah tersebut meningkat sebesar 2,46 persen atau 2.204.556 orang dibandingkan tahun 2007. Hanya saja untuk sektor pertanian penyerapan tenaga kerja sangat minim, hal ini disebabkan penurunan dari jumlah unit usahanya.

Pembangunan perekonomian nasional khususnya di sektor agribisnis sudah selayaknya mengedepankan upaya yang nyata dalam pembedayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) agar dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi serta pemerataan kesempatan berusaha dan menikmati hasil pembangunan (Efendi, 2005). Aspek pemodalan pembiayaan di sektor agribisnis disadari sepenuhnya masih tetap menjadi salah satu kebutuhan penting. Kebutuhan penyediaan permodalan bagi pelaku agribisnis lahir berkaitan dengan kebutuhan untuk menjalankan usahanya, baik untuk kebutuhan modal kerja maupun untuk mengembangkan usaha melalui kegiatan investasi, sekaligus merupakan akibat yang disebabkan persoalan lain yang dihadapi guna menjaga arus keuangan suatu usahanya.

Selama ini UMKM khususnya sektor agribisnis sangat sulit untuk memanfaatkan mekanisme pembiayaan usaha yang disediakan oleh perbankan dan lembaga keuangan formal yang lain. Permasalahannya antara lain sebagai berikut:

1. Belum berkembangnya konsolidasi usaha yang memiliki jaringan usaha terpadu baik di sektor produksi maupun pemasaran,

2. Masih rendahnya kredibilitas usaha dari studi analisis perbankan,

3. Persyaratan administrasi dan prosedur pengajuan usulan pembiayaan yang rumit dan birokratis,

4. Adanya persyaratan kesediaan jaminan berupa agunan yang sulit untuk dipenuhi dan,

5. Infomasi yang kurang merata tentang layanan perbankan dan lernbaga keuangan yang dapat dimanfaatkan (Efendi, 2005).

Oleh karena itu diperlukan suatu pembiayaan alternatif yang baik dan kebijakan operasional yang efektif dalam membangun jembatan antar lembaga keuangan pembiayaan bank dan non bank dengan sektor agribisnis. Bank merupakan salah satu bagian dari sistem agribisnis yang merupakan sarana pendukung sistem agribisnis. Bank memiliki peranan yang sangat penting dalam sistem agribisnis. Fungsi bank dalam hal ini adalah menghimpun dana dari masyarakat kemudian menyalurkannya kepada sektor- sektor usaha yang produktif, sehingga dapat meningkatkan pendapatan nasional (Kasmir, 2004). Dilihat dari fungsi utama bank, maka peranan bank terhadap agribisnis sangat penting, terutama peranan dalam hal pemberian bantuan modal dalam bentuk pembiayaan kepada sektor usaha agribisnis (Kadarsan, 1992). Dalam hal ini Bank Muamalat Indonesia khususnya Cabang Pembantu Depok merupakan salah satu cabang yang memang di fokuskan kepada segmentasi pembiayaan retail.

Berdirinya Bank Syariah pertama di Indonesia telah mengawali era baru pelaksanaan prinsip-prinsip Islam dalam dunia perbankan Indonesia. PT Bank Muamalat Indonesia,Tbk atau yang lebih dikenal dengan nama Bank Muamalat (BMI) mulai beroperasi tanggal 1 Mei 1992, seiring dengan diakuinya bank syariah dalam Undang Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang disempurnakan dengan Undang Undang Nomor 10 tahun 1998. Dalam lima tahun terakhir ini, perkembangan bank syariah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Berdasarkan laporan Bank Indonesia2, jaringan bank syariah tumbuh dari 140 kantor pada tahun 2000 menjadi 659 kantor pada tahun 2008.

Sejalan dengan fungsi PT Bank Muamalat Indonesia,Tbk sebagai pengelola keuangan yang berlandaskan prinsip syariah, membiayai proyek-proyek yang bertujuan untuk memajukan sektor riil yang terbebas dari unsurMaisyir, Gharar, Haram dan Riba

2

serta sebagai bank komersial yang berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang bersih dan halal berusaha untuk menjalankan fungsi intermediasinya dengan meningkatkan penyaluran kredit atau pembiayaannya ke masyarakat melalui pembiayaan produktif bagi sektor usaha kecil, menengah maupun korporasi. Mengingat salah satu ukuran keberhasilan suatu bank adalah keberhasilannya mengelola pinjaman pembiayaan yang diberikan, maka sasaran pembiayaan tersebut diprioritaskan bagi sektor usaha yang prospektif dan produktif kepada nasabah yang mampu mengembalikan kewajibannya, berupa pokok pinjaman, beserta margin atau bagi hasilnya dan biaya-biaya lainnya dengan tetap mengacu kepada kaidah syariah muamalah dan persyaratan yang ditetapkan BMI.

BMI akan terus berupaya semaksimal mungkin menyalurkan pembiayaan kepada UMKM dengan memanfaatkan Office Chanelling program, karena program tersebut mampu menjangkau debitur dalam jumlah relatif banyak dengan cakupan area pemasaran lebih luas. Untuk memanfaatkan Office Chanelling program ini, Bank Muamalat telah melakukan kerja sama dengan BPRS, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, Baitul Maal wat Tamwil(BMT) maupun Koperasi.

BMI memberikan fasilitas kepada masyarakat dan pelaku bisnis untuk mengembangkan UMKM dalam bentuk pembiayaan menggunakan prinsip syariah dengan jenis pembiayaan yang disalurkan menggunakan prinsip jual beli (murabahah), bagi hasil (mudharabah) dan penyertaan modal (musyarakah). Pembiayaan yang telah disalurkan oleh BMI disalurkan pada sektor UMKM termasuk sektor agribisnis di dalamnya. Secara keseluruhan, pembiayaan yang telah disalurkan oleh BMI dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Total Penyaluran Pembiayaan UKM dan Pembiayaan Agribisnis BMI Cabang Pembantu Depok Tahun 2007- 2009

Tahun Pembiayaan (Rp) Pembiayaan Agribisnis (Rp) Persentase (%)

2007 39.433.372.250 2.250.765.098 -

2008 47.230.062.550 3.252.854.000 40

2009 81.732.982.488 7.850.600.200 141

Sumber: Laporan Neraca Keuangan PT. Bank Muamalat Indonesia Capem Depok, 2007-2009 (diolah)

Berdasarkan data penyaluran pembiayaan yang telah dilakukan BMI pada Tabel 3 terlihat bahwa pertumbuhan pembiayaan yang diberikan BMI mengalami pertumbuhan

positif terhadap aktiva produktif BMI Cabang Pembantu Depok. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan modal UMKM termasuk didalamnya sektor agribisnis setiap tahunnya, meskipun nominal pembiayaan agribisnis relatif kecil dari keseluruhan pembiayaan UMKM yang disalurkan. Berdasarkan informasi yang diberikan Kepala BMI Cabang Pembantu Depok, terdapat beberapa hal yang menyebabkan pembiayaan agribisnis di BMI Cabang Pembantu Depok relatif kecil salah satunya adalah para pelaku UMKM sektor agribisnis yang mengajukan pembiayaan tidak mampu memenuhi persyaratan administrasi pembiayaan dan agunan yang sesuai persyaratan BMI Cabang Pembantu Depok.

Peningkatan penyaluran pembiayaan oleh BMI Cabang Pembantu Depok juga diikuti oleh peningkatan risiko kerugian yang harus ditanggung bank berupa ketidakmampuan nasabah untuk mengembalikan pokok pembiayaan yang telah diterima. Hal ini yang mendasari pentingnya penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengembalian pembiayaan agribisnis ini dilakukan, dengan harapan agar dapat memberikan masukan kepada pihak bank dalam memberikan fasilitas pembiayaannya kepada calon nasabah dengan tujuan untuk meminimalisasi resiko. 1.2 Perumusan Masalah

Sektor UMKM termasuk didalamnya agribisnis merupakan sektor usaha yang memiliki potensi strategis dalam perekonomian nasional. Namun, dalam pelaksanaannya sektor tersebut juga menghadapi beberapa permasalahan. Permasalahan utama yang paling sering dijumpai adalah terbatasnya penguasaan dan pemilikan aset produksi, terutama permodalan (Hastuti, 2005).

Menurut Direktorat Pembiayaan, Ditjen Bina Sarana Pertanian, Departemen Pertanian dalam Supratisto3(2008), permasalahan pembiayaan bagi pengembangan sektor agribisnis secara umum disebabkan oleh beberapa aspek, diantaranya (1) skema pembiayaan yang ada banyak untuk membiayai usaha on farm, sementara kegiatan pra produksi, pasca-produksi dan pasca panen belum tersentuh pembiayaan dari lembaga keuangan, (2) keterbatasan petani untuk mengakses sumber-sumber pembiayaan terutama perbankan karena persyaratan yang begitu ketat, (3) usaha di sektor pertanian masih dianggap berisiko tinggi, (4) lembaga penjamin usaha di sektor pertanian belum ada dan (5) belum ada lembaga keuangan khusus untuk membiayai sektor pertanian serta pemerintah dianggap belum berpihak pada pembiayaan agribisnis. Akan tetapi, pada saat ini pemerintah melalui Kementrian Pertanian sudah memberikan jaminan pembiayaan sektor agribisnis dengan bekerjasama dengan Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan

3

Perusahaan Umum Sarana Pengembangan Usaha. Sektor agribisnis dengan kendala keterbatasan modal tersebut sangat bergantung pada bantuan pembiayaan yang diberikan oleh sektor-sektor pendukung, salah satunya adalah lembaga perbankan.

Bank dalam menyalurkan pembiayaan selalu mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi terhadap pembiayaan yang telah disalurkan. Risiko yang paling sering terjadi dan harus dipertimbangkan bank adalah ketidakmampuan nasabah mengembalikan pembiayaan yang telah diterima sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan. Begitu juga dengan BMI Cabang Pembantu Depok yang merupakan salah satu lembaga keuangan bank yang pada hakikatnya mencoba memberikan kontribusi terhadap kemajuan sektor riil yang berfokus pada UMKM. Pada kenyataannya tidak semua nasabah yang telah mendapatkan fasilitas pembiayaan dari BMI Cabang Pembantu Depok dapat menjalankan kewajibannya, yaitu mengembalikan pokok pembiayaan serta bagi hasil yang telah diterima tepat pada waktunya. Hal ini berdampak pada kualitas aktiva pembiayaannya tidak baik atau dalam istilah perbankan konvensional disebut rasio kredit bermasalah atau disingkat dengan non performing loan (NPL) atau dalam istilah perbankan syariah adalah non performing financing (NPF) yang besaran tingkatan rasionya yang di tetapkan dari regulasi Bank Indonesia maksimal sebesar 5% (persen) sebagai acuan dasar dari baik atau buruknya pembiayaan yang ada di bank tersebut yang berdampak pada baik atau buruknya tingkat kesehatan bank tersebut. Tabel.4 Menunjukan perbandingan rasio tingkat pembiayaan atau kredit bermasalah pada setiap bank yang ada di Indonesia.

Tabel 4.Perkembangan Rasio NPL Perbankan Indonesia Tahun 2007-2009

Nama Bank 2007 (%) 2008 (%) 2009 (%)

gross nett gross Nett gross Nett

Bank Muamalat Indonesia 3,33 1,33 4.23 3,85 5,52 4,10

Bank Syariah Mandiri 6,33 4,43 5,77 3,02 4,75 1,08

Bank Syariah Mega Indonesia 1,45 0,42 1,50 0,89 4,54 2,08

BNI 46 8,18 4,01 4,96 1,74 6,40 1,90

Sumber: Annual Report Bank Persepsi 2007-2009

Tabel 4 menunjukkan perkembangan tingkat persentase NPL pada setiap Bank sebagai tolak ukur performa kualitas aktiva produktif pada laporan neraca keuangan Bank. Dengan asumsi bahwa telah terjadi peningkatan NPL pada BMI, Bank Mega dan BNI46, yang diikuti dengan penurunan NPL pada BSM. Selain itu, pada Tabel 5

disajikan perbandingan jumlah pembiayaan agribisnis yang disalurkan pada BMI Cabang Pembantu Depok dengan masa tunggakan pembiayaan agribisnis yang terjadi pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2009.

Tabel 5. Penyaluran Pembiayaan dan Tunggakan Pembiayaan Agribisnis BMI Cabang Pembantu Depok Tahun 2007-2009

Tahun Pembiayaan Agribisnis (Rp) Pertumbuhan Pembiayaan Agribisnis (%) Tunggakan Pembiayaan Agribisnis (Rp) Pertumbuhan Tunggakan Pembiayaan Agribisnis (%) 2007 2.250.765.098 - 52.987.000 - 2008 3.252.854.000 40 73.132.757 38 2009 7.850.600.200 141 121.874.501 66

Sumber: Laporan Keuangan dan Kinerja PT. Bank Muamalat Indonesia Capem depok, 2007- 2009 (diolah)

Tabel 5 memperlihatkan bahwa pembiayaan sektor agribisnis yang disalurkan BMI Cabang Pembantu Depok pada tiga tahun terakhir mengalami peningkatan. Namun peningkatan jumlah pembiayaan yang disalurkan juga diikuti dengan timbulnya peningkatan tunggakan pembiayaan. Salah satu penyebab terjadinya tunggakan pembiayaan yang terjadi diantaranya disebabkan oleh kurangnya validitas data yang dibutuhkan Bank dalam melakukan penilaian kelayakan pembiayaan oleh analis pembiayaan sehingga terjadinya side streaming. Dampak dari adanya tunggakan dari pembiayaan yang disalurkan adalah terjadinya pengendapan likuiditas bank pada pihak ketiga (nasabah yang menanamkan dana dibank), sehingga berdampak pada terganggunya aktivitas perbankan, yaitu perputaran uang yang akan disalurkan kembali ke nasabah, sehingga mengakibatkan penurunan keuntungan yang diperoleh bank maupun return

yang akan diberikan kepada pihak ketiga yaitu dana yang dihimpun dari masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut, maka secara ringkas permasalahan yang akan diteliti berkaitan dengan tingkat pengembalian pembiayaan agribisnis bank adalah faktor-faktor apa yang mempengaruhi pengembalian pembiayaan agribisnis di BMI Cabang Pembantu Depok.

Dokumen terkait