• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

A. Latar Belakang

Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki beraneka ragam buah-buahan yang terhampar di seluruh Nusantara. Salah satu yang terkenal adalah buah pepaya. Pepaya merupakan salah satu komoditas buah yang memiliki banyak fungsi dan manfaat. Sebagai buah segar, pepaya banyak dikonsumsi karena selain mengandung nutrisi yang baik harganya juga relatif terjangkau dibandingkan buah yang lainnya.

Pepaya (Carica papaya L.) produk hortikultura yang merupakan salah satu buah-buahan tropika yang menjanjikan di pasar dalam maupun luar negeri dan mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Pasar buah pepaya secara lokal dan regional terus meningkat. Indonesia merupakan negara penghasil buah pepaya ke-8 terbesar di dunia. Permintaan pasar dunia terus meningkat dari negara Eropa, seperti Inggris, Jerman, Perancis, Belanda dan Swedia (Purba 2005). Selain sebagai buah meja, pepaya juga digunakan sebagai bahan baku diberbagai industri. Getah papain, suatu enzim proteolitik yang terdapat di dalam getah pepaya banyak dimanfaatkan di industri makanan senagai pengempuk daging, juga dimanfaatkan di industri tekstil untuk membuat wol. Bijinya dapat digunakan di industri farmasi sebagai obat peluruh cacing (Villegas 1992). Buah pepaya juga banyak mengandung vitamin C, vitamin A, gula, dan mineral-mineral lainnya seperti kalsium, fosfor, dan besi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia (Sunaryono 1981). Sebagai komoditas buah penting, pepaya memiliki berbagai keunggulan, yaitu cepat berproduksi, mampu berbuah sepanjang tahun, dan tidak memerlukan lahan penanaman yang luas sehingga dapat ditanam di pekarangna rumah. Disisi lain, pepaya merupakan buah tropika yang baik bagi daya tahan tubuh di daerah tropis karena kandungan vitamin, mineral, dan seratnya yang lengkap (Ariesty 2010). Pengembangan budidaya pepaya secara intensif dan komersial memiliki prospek yang cerah.

Produksi pepaya di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai 650 ribu ton pada tahun 2004, meningkat sekitar 3,71% dari produksi tahun sebelumnya yang hanya mencapai 626 ribu ton. Walaupun demikian jika dilihat dari pruduktivitas per satuan luas, terjadi penurunan sekitar 3,49% pada tahun 2004. Produktivitas pepaya di Indonesia pada tahun 2003 mencapai 67,3 ribu kg/ha dan menurun menjadi 65 ribu kg/ha pada tahun 2004. Menurut laporan Pusat Kajian Buah-buahan Tropika IPB, penurunan produktivitas tanaman pepaya di Indonesia antara lain disebabkan belum tersedianya varietas unggul yang diinginkan. Dari produksi pepaya yang dihasilkan di Indonesia 90% untuk konsumsi dalam negeri, sedangkan sisanya adalah untu ekspor (Sujiprihati 2010). Konsumsi pepaya pada tahun 2005 mencapai 2,28 kg/kapita/tahun atau sekitar 7,24% dari total konsumsi buah/kapita/tahun (Deptan 2006).

Salah satu ciri komoditas hortikultura termasuk pepaya adalah sifatnya yang mudah rusak (perishable) seperti mudah busuk dan mudah susut bobotnyakarena kulitnya yang tipis dan daging buahnya yang lunak. Diperkirakan jumlah kerusakan ini bisa mencapai 5 -25 % pada negara- negara maju dan 20 – 50 % pada negara – negara berkembang (Kader 1985). Kerusakan yang terjadi pada kulit buah dapat menjadi tempat masuknya mikroorganisme ke dalam buah, akan meningkatkan laju respirasi, dan meningkatnya daya simpan (Peleg 1985).Menurut Hyodo (1991) kerusakan (stress) yang dialami oleh komoditas buah-buahan dapat disebabkan oleh tiga hal yaitu; faktor fisik, kimiawi, dan bilogis. Faktor fisik dapat berupa tekanan, suhu yang terlalu rendah (chilling injury-freezing injury), suhu yang terlalu tinggi, dan komposisi gas atmosfer yang tidak sesuai (anaerob). Sedangkan faktor kimiawi ialah disebabkan oleh polusi udara (ozon, sulfur

2 dioksida, dll) serta pestisida berlebihan. Adapun faktor biologis ialah disebabkan oleh berbagai jenis virus, bakteri, dan jamur. Kehilangan dalam kualitas dan kuantitas (buah-buahan) dapat dikurangi dengan pengembangan dan aplikasi dari peningkatan metoda dan fasilitas pascapanen (Liu 1997) agar ketika buah tersebut sampai ke tangan konsumen tetap dalam keadaan segar (fresh quality).

Pengemasan secara khusus untuk transportasi merupakan salah satu mata rantai yang turut harus diperhatikan untuk melindungi dan mempertahankan mutu buah-buahan dalam kegiatan pascapanen. Hal itu disebabkan karena selama kegiatan transportasi berlangsung, komoditas buah sangat rentan untuk mengalami bahaya mekanis yang secara cepat akan menurunkan kualitas buah. Walaupun demikian, masalah teknik pengemasan sering menjadi hal yang diabaikan produsen buah di Indonesia. Sampai saat ini jarang sekali dikembangkan suatu teknik pengemasan yang sesuai dengan sifat dan karakteristik dari komoditi buah yang dikemas di dalamnya sehingga dapat menjaga kualitas buah dari kerusakan-kerusakan yang mungkin terjadi selama kegiatan transportasi berlangsung (Verheij dan Coronel 1997). Kerusakan mekanis buah yang terjadi selama dalam pengangkutan di Indonesia berkisar antara 1.57% sampai dengan 37.05% (Sobari 1985).

Pada kenyataan sehari-hari, proses pengangkutan buah pepaya dari produsen ke konsumen hanya dilakukan dengan kemasan yang sangat sederhana, seperti karung maupun keranjang bambu dengan penanganan yang sangat minimum. Perbaikan dalam pengemasan akan memberikan keuntungan yang besar bagi pemasaran buah pepaya (Ariyanti 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ariyanti (2004) menunjukkan kerusakan mekanis buah pepaya yang dikemas dengan menggunakan bahan pengemas keranjang bambu mengalami kerusakan fisik 25-50%, sedangkan buah pepaya yang dikemas dengan menggunakan bahan pengemas peti kayu dan yang dikemas dalam kotak karton mengalami kerusakan fisik 0-25%.

Dengan semakin sadarnya negara-negara di dunia terutama negara-negara maju akan lingkungan, maka semakin banyak persyaratan yang diberikan bagi negara-negara pengekspor. Salah satunya adalah Jepang yang telah mempersyaratkan jenis bahan kemasan untuk produk impor (Rengo 1990). Bahan kemasan yang diterima oleh negara maju adalah bahan kemasan yang tidak menimbulkan polusi, bisa dugunakan kembali atau bisa didaur ulang. Karton gelombang merupakan bahan kemasan yang memenuhi persyaratan tersebut. Penggunaan karton gelombang sebagai kemasan untuk pengangkutan buah-buahan oleh negara-negara maju terlihat dari kemasan buah-buahan impor yang datang ke Indonesia ( Darmawati 1994). Pada umumnya masyarakat lebih menyukai produk buah yang dikemas kotak karton karena sirkulasi udaranya rendah sehingga produk akan lebih bertahan lama dan tidak cepat layu (Noer 1998).

Meskipun kerusakan mekanis yang terjadi pada buah pepaya yang dikemas dalam kotak karton atau biasa disebut kardus cukup kecil dan kelebihan karton gelombang sebagai bahan pengemas buah-buahan cukup banyak, tetapi masih perlu dicari alternatif kembali untuk meminimalisir kerusakan mekanis yang terjadi di dalamnya antara lain dengan penambahan berbagai jenis bahan pengisi kemasan yang juga digunakan sebagai bahan penyekat dan bantalan bagi komoditi yang dikemas di dalamnya dan dalam penyusunan posisi komoditi yang tepat didalam kemasan. Bahan pengisi kemasan juga seharusnya mendapatkan perhatian khusus karena ikut mempertahankan mutu dari komoditi yang dikemas selama kegiatan transportasi dilakukan. Posisi penyusunan komoditi juga diperhatikan karena posisi penyusunan yang tepat dapat mengurangi akibat buruk dari tumbukan dan guncangan selama pengangkutan, seperti memar pada kulit, kerusakan kulit karena gesekan serta kerusakan lain. Kombinasi antara bahan kemasan, bahan pengisi kemasan dan posisi penyusunan buah yang tepat dalam kemasan diharapkan dapat

3 mengurangi kerusakan buah pepaya selama proses pengangkutan atau transportasi. Kerusakan mekanis yang terdeteksi setelah transportasi hanya sedikit, sehingga dibutuhkan penyimpanan beberapa hari. Tujuan dari penyimpanan ini adalah agar kerusakan mekanis yang terjadi dapat terdeteksi semua. Karena itu perlu adanya penelitian untuk mengetahui seberapa baik kemasan kotak karton digunakan sebagai bahan kemasan transportasi bagi buah pepaya dan bagaimana interaksinya dengan bahan pengisi kemasan serta penyusunan posisi pepaya dalam kemasan kotak karton untuk menjaga mutu dari buah pepaya yang dikemas di dalamnya. Sehingga dengan adanya penelitian ini dapat dilakukan penanganan yang tepat untuk kegiatan transportasi agar kualitas pepaya yang disampaikan dari produsen ke konsumen lokal maupun ekspor masih berada dalam keadaan baik.

Untuk memperpanjang umur simpan, buah-buahan dan sayuran perlu disimpan pada suhu rendah. Sebagai contoh untuk sayuran daun biasanya disimpan pada suhu antara 0 – 40C, sedangkan untuk sayuran buah biasanya disimpan pada suhu 10 – 140C. Selain itu biasanya juga dapat dikombinasikan dengan pemberian lapisan lilin, pengontrolan dan modifikasi gas-gas yang terlibat dalam proses respirasi serta pemakaian bahan penyerap selama penyimpanan.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh bahan pengisi kemasan dan posisi penyusunan buah di dalam kemasan terhadap kerusakan mekanis pada buah pepaya varietas IPB 9 (Callina) pasca simulasi transportasi dan selama 8 hari penyimpanan

2. Mengetahui pengaruh perbedaan bahan pengisi kemasan dan posisi penyusunan buah yang digunakan untuk pengemasan terhadap perubahan susut bobot, kekerasan dan kandungan total padatan terlarut pada buah pepaya IPB 9 (Callina) pasca simulasi transportasi dan selama 8 hari penyimpanan

3. Mengetahui bahan pengisi, posisi penyusunan buah, dan kemasan yang baik untuk transportasi buah pepaya varietas IPB 9 (Callina)

4

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Dokumen terkait