• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk sosial dan makhluk individual. Manusia dikatakan makhluk sosial karena manusia pasti memerlukan orang lain dalam kehidupannya mulai dari hal yang kecil dan besar. Manusia juga sekaligus sebagai makhluk individual yang bebas, mandiri memutuskan sendiri apa yang baik dan buruk bagi dirinya. Sama halnya dengan keputusan membeli suatu produk, ada dua faktor dominan yang mempengaruhi yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal mencakup budaya, status sosial, kelompok referensi, dan aktifitas pemasaran sedangkan faktor internal mencakup persepsi, pembelajaran, memori, motif, kepribadian, emosi, dan sikap (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007)

Sub-bagian faktor internal dan eksternal yang berpengaruh juga tergantung pada konsep diri dan gaya hidup yang dianut oleh konsumen. Konsumen berusaha memenuhi keinginan atau kebutuhan yang sesuai dengan konsep diri dan gaya hidupnya yang dapat dilihat secara eksplisit berdasarkan pembelian yang dilakukan. Banyaknya pilihan yang dihadapi dalam membeli suatu produk akan berdampak pada rasa bingung atau ragu yang akan dialaminya ketika memutuskan untuk membeli produk tersebut.

Sumarwan (2002) mengemukakan bahwa walaupun dijejali oleh banyaknya pilihan banyaknya pilihan produk, keputusan akhir dalam membeli produk tersebut akan tetap ditentukan oleh konsumen. Engel, Blackwell & Miniard (1995) mengatakan bahwa keputusan pembelian dilakukan oleh konsumen akan melalui beberapa tahap, yakni: (1) tahap pengenalan kebutuhan. Pada tahap ini ada perbedaan antara keadaan yang diinginkan dengan keadaan yang sebenarnya yang pada akhirnya akan membangkitkan proses kebutuhan; (2) tahap pencarian informasi. Untuk mencari solusi dari permasalahan dapat diperoleh melalui pencarian internal atau dari dalam diri, dapat juga diperoleh melalui pencarian eksternal seperti mencari informasi dari orang lain, seperti teman, keluarga, kelompok dan sebagainya; (3) tahap evaluasi alternatif. Alternatif yang ada dipersempit sehingga akhirnya dari sekian banyak alternatif yang tersedia, konsumen akan memilih alternatif yang diinginkan; (4) pembelian. Pembelian didasarkan pada alternatif yang telah dipilih; (5) konsumsi. Biasanya tindakan pembelian akan diikuti oleh tindakan mengkonsumsi atau menggunakan produk yang telah dibeli; (6) evaluasi alternatif setelah pembelian. Setelah melakukan pembelian, konsumen akan mengevaluasi apakah alternatif yang telah dipilih sesuai dengan harapan.

Di saat evaluasi setelah pembelian terhadap produk membuat konsumen merasa adanya ketidanyaman seperti keraguan atau kecemasan karena tidak sesuainya produk yang sudah dibeli dengan harapan saat pembelian hal ini disebut

dengan postpurchase dissonance. Postpurchase dissonance merupakan salah satu bentuk cognitive dissonance dimana terjadi dalam konteks pembelian.

Festinger (dalam Sweeney & Soutar, 2003) mengatakan bahwa cognitive dissonance adalah suatu keadaaan ketidaknyamanan psikologis yang memotivasi seseorang untuk mengurangi keraguan (dissonance) terhadap keputusan yang telah terjadi. Dalam penelitian ini, konsumen menemukan ketidaksesuaian antara harapan pada produk dengan keadaan produk yang sebenarnya dapat berupa kekurangan ataupun keunggulan produk tersebut. Dissonance terjadi karena konsumen harus membuat komitmen yang relatif permanen terhadap produk yang dipilih dan harus mengorbankan fitur menarik dari produk alternatif yang tidak dipilih.

Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) kemudian mengungkapkan bahwa keraguan yang terjadi pada tahap pasca pembelian dikenal dengan postpurchase dissonance. Hal ini terjadi ksarena kesenjangan antara kenyataan dengan apa yang diharapkan konsumen terhadap suatu produk yang telah diputuskan dibeli. Konsumen akan mencari penguatan (reinforcement) atas keputusan membeli yang telah mereka lakukan untuk menghilangkan keraguan (dissonance) tersebut.

Hoyers & MacInnis (2010) mengungkapkan postpurchase dissonance dapat terjadi pada siapa saja baik dengan status sosial, usia, maupun gender yang berbeda, baik itu pria dan perempuan tetapi pembedanya mungkin dari segi intensitas dan pengalaman yang dialami.

Berdasarkan data dan survey yang dilakukan terhadap konsumen diketahui ternyata pengalaman dan intensitas pembelian lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Data Woman Certified tahun 2011 (dalam wolipop.detik.com)

mengungkapkan bahwa 83 persen konsumen yang berbelanja pada akhir abad ke-20 adalah perempuan. Hal ini berarti hanya menyisakan 17 persen pria yang melakukan proses belanja.

Dalam artikel yang berjudul “Teens: Here Comes the Biggest” (dalam Petersen, 1993) menyatakan bahwa remaja perempuan lebih banyak menghabiskan waktu akhir minggunya untuk belanja dibanding dengan remaja pria yang akhirnya berlanjut hingga masa dewasa. Perempuan mempunyai intensitas lebih banyak dibanding pria dalam kegiatan belanja bahkan ketika masih dalam tahap remaja. Hal ini juga menjadi suatu pembelajaran dari lingkungan yang mempengaruhi terbentuk peran perempuan yang dianggap mempunyai tugas belanja.

Survey dari markeeters.com pada tahun 2011 terhadap konsumen di Indonesia menunjukkan bahwa ternyata konsumen perempuanlah yang memegang peranan penting dalam membeli atau memutuskan akan membeli suatu barang. Survey menunjukkan bahwa 80% orang yang berbelanja adalah perempuan.

Survey di tahun 2005 mengenai kontribusi pendapat antara pria dan wanita di dalam proses pengambilan keputusan pembelian sebuah barang dimana hasilnya wanita hanya memiliki 23% kontribusi pendapat di dalam proses pengambilan keputusan pembelian terutama untuk barang-barang yang cenderung maskulin seperti

mobil, motor, cat rumah, asuransi, elektronik, komputer, gadget. Kaum prialah yang mendominasi keputusan akhir. Namun, di penghujung akhir tahun 2009 dengan hasil yang sangat mengejutkan dimana kaum hawa telah menguasai 75% kontribusi dalam pengmabilan keputusan akhir pembelian (the marketeers.com, 2011).

Dalam bukunya yang berjudul “Women and Shopping”, Huddleston & Minahan (2012) melakukan survey yang juga membuktikan bahwa faktanya perempuan di seluruh dunia mengendalikan sebagian besar pengeluaran konsumen (sekitar $20 trilyun), baik itu untuk elektronik, perumahan, furnitur rumah, perjalanan wisata, layanan finansial, atau otomobil-sebuah angka yang berkembang sampai dengan 40% dalam waktu lima tahun mendatang.

Kecanggihan teknologi juga seakan-akan sejalan dengan semakin meningkatnya perempuan sebagai pangsa pasar yang diperhitungkan. Comscore, sebuah perusahaan pemasaran dalam riset globalnya menunjukkan bahwa perempuan menghabiskan waktu surfing internet lebih banyak. Perempuan rata-rata menghabiskan 24,8 jam per minggu, sementara laki-laki 22,9 jam per minggu. Perempuan memang tidak pernah berhenti berbelanja (dalam the-marketeers.com,

2011).

Ahli sosiologi Prancis, Jean Baudrillard menyebutkan bahwa perempuan hidup dalam alam progres modernitas, ia memiliki gairah konsumsi yang tinggi. konsumsi merupakan jawaban untuk membentuk personalitas, gaya, citra, gaya hidup, dan cara diferensiasi status sosial (the-marketeers.com,2011).

Berdasarkan data dari dalam artikel “Hobi Belanja Bisa Bikin Panjang Umur” (wolipop.detik.com,2011), studi ilmiah menunjukkan bahwa dengan belanja dapat mengaktifkan pusat otak yang mengendalikan produksi hormon dopamin yang memberikan efek bahagia, rileks dalam jangka waktu relatif pendek. Hal ini jugalah yang membuat seringkali perempuan menjadi penguatan bahwa berbelanja itu hal yang menyenangkan untuk dilakukan.

Hoyer & MacInnis (2010) menyatakan bahwa konsumen perempuan lebih sering membeli produk yang menunjukkan simbol dan identitas yang menunjukkan kelekatan atau ikatan dengan orang lain seperti produk kosmetik, kesehatan, sovenir, dan peralatan rumah tangga. Hal ini sejalan dengan nature dan nurture perempuan yang menuntutnya untuk merawat anak, memelihara, menunjukkan kelembutan dan menghargai orang lain. Oleh karena itu, konsumen seringkali diperhadapkan dengan lebih banyak pilihan dibandingkan dengan konsumen pria yang biasanya melakukan pembelian lebih berorientasi kepada diri sendiri.

Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa pengalaman dan intensitas melakukan pembelian lebih banyak dialami konsumen perempuan. Banyaknya alternatif-alternatif produk yang dihadapi membuat munculnya postpurchase dissonance juga lebih besar terjadi. Semakin sulit memilih alternatif, semakin tinggi kemungkinan seseorang konsumen mengalami dissonance (Hawkins, Mothersbaugh,& Best, 2007).

Pengambilan keputusan secara terbatas dan berdasarkan nilai nominal produk tidak akan menghasilkan postpurchase dissonance (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Nilai nominal merupakan nilai yang tertera di produk tersebut. Dengan kata lain, nilai nominal itu adalah harga (price) yang ditentukan terhadap barang tersebut. Berdasarkan teori-teori terdahulu, pengaruh harga produk tidak dibahas secara mendalam apakah mempunyai potensi yang besar yang dapat mengakibatkan munculnya postpurchase dissonance di budaya Barat seperti yang dikemukakan Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) serta Sweeney & Soutar (2003) sebelumnya.

Fenomena yang terdapat di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Melalui beberapa wawancara personal terhadap beberapa perempuan, faktor price ternyata mempunyai pengaruh bagi mereka ketika melakukan proses pembelian. Faktor price

menjadi salah satu bentuk pertimbangan seseorang dalam membuat keputusan pembelian. Hal ini didukung dari wawancara personal dengan R, seorang mahasiswi Fakultas Psikologi USU:

“Kurasa harga itu sangat penting, kalo mau beli sesuatu ya harus paling diperhatiin itu harganyalah, kira kira sesuai apa enggak.. mahal pun kalo kualitas bahan bagus ya gak masalah sih sebenarnya...” (Sumber: Komunikasi Personal, 22 September 2012)

Hal yang sama juga dialami oleh A, seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya USU juga mendukung bahwa faktor harga (price) menjadi faktor yang penting dalam proses pembelian yaitu:

“ Ada ya banyak hal, e..., tapi yang paling utama itu biasanya harga dan juga

empatpuluh sih kek gitu. Kalo misalnya barangnya bagus, harganya mahal, ya kan kita harus pikir-pikir juga kan. Kalo barangnya murah, tapi kualitasnya yang rendah kan kita kan juga berpikir gitu kan.” (Sumber: Komunikasi Personal, 29 September 2012)

Berdasarkan wawancara personal tersebut dapat dilihat bahwa faktor price

berperan penting bagi perempuan saat memutuskan membeli suatu produk. Hoyer & MacInnis (2010) menyatakan harga produk atau jasa pelayanan mempunyai pengaruh kritis terhadap keputusan dalam pengenalan, penggunaan, dan pengambilan keputusan.

Meskipun teori ekonomi menyatakan bahwa meningkatnya harga suatu produk akan memungkinkan meningkatnya pembelian , tetapi terlalu rendah suatu harga produk berdasarkan persepsi seorang konsumen malah dapat menimbulkan kecurigaan terhadap kualitas produk yang malah mengurungkan niat untuk membeli. Konsumen mempunyai reaksi yang kompleks dalam menentukan harga. Hal tersebut juga didukung dengan kutipan pernyataan A, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya USU: “kalo menurut saya ya, harga mahal itu...tidak selamanya menentukan kualitas produk itu. Seperti itu...terlalu murah belinya juga pernah,e..., ada sepatu sama baju ya. I think it’s too ... too cheap. Kalo misalnya dari lihat bentuknya, kualitasnya itu terlalu murah untuk itu, jadi saya bingung juga kenapa beli.“ (wawancara personal,28 September 2012)

Berdasarkan wawancara personal tersebut, dapat dilihat bahwa faktor price

yang memicu perasaan bingung pada A tidak hanya terbatas karena persepsi harga yang mahal melainkan karena persepsi harga yang murah. Kebingungan yang dialami A setelah proses pembelian ini tersebut dapat dinyatakan sebagai postpurchase dissonance. Adanya perasaan bingung tersebut juga menunjukkan ketidaknyamanan

psikologis yang dirasakan A setelah membuat keputusan pembelian seperti yang dinyatakan dalam dimensi emosional postpurchase dissonance yang dikemukakan oleh Sweeney & Soutar (2003).

Contoh nyata yang dapat kita lihat, ketika ada sale dengan diskon besar-besaran di pusat perbelanjaaan, perempuan merupakan subjek utama yang ada dalam situasi tersebut dan rela berdesak-desakan bahkan menghabiskan waktu untuk membanding-bandingkan harga produk yang akan dibeli. Para perempuan yang mementingkan faktor price saat membuat keputusan pembelian juga tidak luput dalam mengalami postpurchase dissonance. Hal ini didukung dengan kutipan pernyataan A, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya USU berikut:

“Oooh iya, pernah sih kemaren. Ee... itu... harganya terlalu mahal ya saya rasa... setelah saya beli. Karena e... produknya tadi yang apa ya... sebenarnya produknya bagus jugak cuman kalau dicompare ke harganya sudah terlalu...apa ya ...bisa di...bilang terlalu ... mahal untuk kelas mahasiswa sih seperti itu. Kalo misalnya untuk orang profesional mungkin itu tidak akan masalah gitu, tapi kalo untuk mahasiswa itu akan terlalu mahal.“

“Ya, kisaran harganya sekitar empat ratus dua puluh sembilan ribu atau lima ratus dua puluh sembilan ribu. Jadi,... i think it’s too much expensive i guess. E... when they promote that is, ee... What we call it... so attractive i guess. Ya... tapi ternyata tak sebagus itu.” (wawancara personal, 28 September, 2012)

Pada pengalaman pembelian A tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor

price produk yang sudah ia beli membuat A merasa bingung atau mengalami

postpurchase dissonance. Ia merasa kecewa telah menghabiskan uang yang berlebihan ketika menyadari bahwa fakta yang ia terima dari produk tersebut.

Presepsinya terhadap faktor price yang mahal tersebut ternyata tak sesuai dengan produk yang diharapkannya tersebut.

Pengalaman B, seorang siswi SMA Kelas XII juga mendukung bahwa faktor

price itu bisa memicu munculnya postpurchase dissonance, sebagai berikut kutipannya:

“pernah kak, waktu beli celana di Petisah, aku belik kan harganya seratus tujuh puluh ribu terus kan, pas keluar toko aku baru sadar kalo bahannya itu tipis kali dan ga mungkin keknya seratus tujuh puluh ribu. Jadi gelisah sih kak, tapi mau

diapain lagi.” (komunikasi personal, 22 September 2012)

Berdasarkan beberapa fakta yang nyata ada di masyarakat tersebut, bahwa dapat dilihat bahwa faktor price seringkali menjadi pemicu terjadinya postpurchase dissonance pada perempuan. Postpurchase dissonance saat membeli produk, terutama yang berhubungan dengan mereka secara langsung seperti pakaian, alat kosmetik, atau benda-benda yang berhubungan dengan gaya hidup perempuan.

Dalam teori-teori Barat yang membahas postpurchase dissonance, seperti yang dikemukakan Sweeney & Soutar (2003) dan Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) sebelumnya bahwa faktor price tidak diperhitungkan menjadi salah satu faktor terjadinya postpurchase dissonance. Kemungkinan ini bisa saja terjadi karena memang bentuk keterlibatan konsumen di dunia Barat yang memang cenderung tinggi dengan produk yang ingin dibelinya. Oleh karena itu, berdasarkan fenomena yang ada di lapangan peneliti ingin melihat dinamika postpurchase dissonance yang terjadi pada perempuan yang terjadi dimana faktor price sebagai pemicu utamanya.

Dokumen terkait