• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

B. Deskripsi Responden II

B.1. Hasil Observasi Selama Wawancara

1. Wawancara pertama

Wawancara pertama dilakukan di rumah responden. Peneliti sudah membuat janji sebelumnya. Pada hari dan jam yang telah ditentukan peneliti datang ke rumah informan untuk pertama kalinya. Tempat dan waktu wawancara juga disesuaikan dengan kenyamanan responden. Pada saat wawancara tersebut, informan tampak menggunakan celana putih di atas lutut dan kaos hitam yang tampak sudah agak pudar warnanya. Informan tampak tidak menggunakan kacamatanya ketika menyambut peneliti. Peneliti sebelumnya membangun rapport bercerita basa-basi tentang kehidupan pekerjaan baru yang digeluti responden. Setelah bercerita panjang lebar sekitar satu jam, maka informan pun menanyakan apa maksud kedatangan peneliti. Kemudian peneliti pun menyatakan tujuan wawancara yang akan dilakukan

dan meminta kesediaan informan untuk diwawancara. Informan pun menyetujuinya dan dengan senang hati mau diwawancarai pada waktu tersebut. Pada wawancara awal, informan terlihat cukup banyak menjelaskan jawaban-jawaban dari pertanyaan yang diberikan.

2. Wawancara kedua

Wawancara kedua juga dilakukan di rumah informan pada waktu sore hari. Peneliti sudah membuat janji sebelumnya. Pada saat tersebut, informan tampak menggunakan celana jeans berwarna krem selutut dan baju kaos berwarna putih yang sudah agak pudar warnanya, dengan kacamata dan rambut pendeknya peneliti menemui informan yang sedang menonton televisi bersama adik laki-lakinya.

Menyadari kehadiran peneliti, adik informan segera bergegas masuk ke kamar tidurnya dengan alasan tidak mau menganggu. Kemudian, karena cuaca yang gerah, maka informan mengajak peneliti untuk wawancara di teras rumah. Wawancara kedua ini tidak selama wawancara pertama. Pada wawancara ini, informan tampak ragu-ragu dalam menyatakan jawabannya, dan seringkali informan mengganti posisi duduknya. Hal ini terjadi ketika peneliti menanyakan beberapa pertanyaan yang menyangkut pengalaman setelah pembelian produk yang dianggap informan tidak sesuai. Informan tampak kurang nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan peneliti. Melihat kondisi tersebut, peneliti tidak terlalu banyak bertanya dan mengakhiri

wawancara, dan berusaha untuk membangun percakapan kembali untuk membangun rapport yang lebih baik untuk kelanjutan wawancara sebelumnya.

3. Wawancara ketiga

Wawancara ketiga juga dilakukan di rumah responden. Dua hari sebelumnya, peneliti sudah membuat janji. Sore hari itu, saat peneliti sampai di rumah informan tampak informan sedanga bersama tiga orang temannya, yang setelah mendapat informasi dari informan dan berkenalan dengan mereka ternyata tetangga responden. Sambil bercerita-bercerita sekitar satu jam bersama informan dan teman-temannya, peneliti pun menanyai informan kapan dapat memulai wawancara. Tampak ketiga teman informan masih fokus menonton sebuah serial drama Korea di laptop responden.

Informan kemudian mengajak peneliti untuk duduk di teras depan rumah agar tidak terganggu dari ketiga temannya yang sesekali tertawa dan berkomentar tentang tayangan yang ada di depan mereka. Peneliti menyetujui dan bergerak ke teras rumah. Sore itu, informan tampak menggunakan celana berwarna coklat di atas lutut, baju kaos berwarna putih, dan memakai kacamata. Wawancara pun dimulai, informan tampak lebih terbuka dan menceritakan panjang lebar pengalaman pembeliannya. Informan sering kali tertawa dan tersenyum saat menceritakan proses pembelian yang dianggapnya sebenarnya salah dan memalukan dirinya.

Suasana pada saat wawancara sedikit terganggu dengan suara pesawat yang terdengar keras saat duduk di teras, ditambah lagi ketika suara azan mulai berkumandang terdengar jelas setelahnya, sehingga peneliti pun berusaha untuk memperkuat suara saat bertanya dan memintanya juga pada responden. Setelah wawancara selesai, peneliti pun mengucapkan terima kasih dan pamit pulang. Informan kemudian dengan senang hati mau mengantar peneliti berjalan sampai simpang gang rumahnya.

4. Wawancara keempat

Wawancara keempat merupakan wawancara terakhir. Kali ini wawancara di lakukan di sebuah café di Kota Kabanjahe. Seminggu sebelumnya, peneliti sudah menghubungi informan untuk menentukan jadwal wawancara keempat. Ternyata sampai awal minggu selanjutnya, informan tidak akan ada di Medan karena harus bekerja di Kabanjahe. Berhubung untuk mengefesienkan waktu, peneliti berinisiatif untuk mewawancarai informan saat berada di Kabanjahe. Informan tidak keberatan dan membuat kesepakatan untuk bertemu di sebuah kafe sehabis informan pulang kerja. Lokasi café tempat wawancara hanya sekitar 100 meter dari tempat kerja responden. Pada saat dijumpai tampak informan menggunakan celana kain hitam panjang, menggunakan kemeja batik lengan sesiku dengan warna dominan krem dan bunga batik coklat berkerah, menggunakan kacamata, menyandang sebuah tas berwarna coklat dan menggenggam blazer hitam lengan panjang dan handphonenya.

Wawancara tidak langsung dilakukan, informan dan peneliti memesan makanan terlebih dahulu dan bercerita basa basi sambil makan. Kemudian, setelah itu wawancara pun dimulai dengan sebelumnya meminta izin pada informan dan menanyakan kenyamanannya. Informan tampak santai dan menganggap dirinya cukup nyaman untuk di wawancarai pada saat tersebut.

Informan dan peneliti duduk meja paling sudut café sehingga tidak terlalu berdekatan dengan banyak orang lainnya. Wawancara pun dimulai, informan tampak menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti. Masih ada seringkali tawa dan senyum ketika informan menjawab hal-hal yang dianggapnya adalah kebodohannya. Pada saat wawancara, informan dua kali kehilangan fokusnya ketika mendengarkan peneliti. Pertama, karena merasa suasana saat itu agak ribut karena banyak pelanggan lain yang masuk, dan kedua kalinya saat informan melihat di luar café ada orangtua dari muridnya baru saja lewat. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama sehingga wawancara terus berjalan dengan baik hingga selesai. Kemudian, sebelum berpisah peneliti mengucapkan terima kasih.

B.2. Rangkuman Hasil Wawancara

B.2.i. Gambaran Umum Pembelian Produk

Informan II bernama Ria (bukan nama sebenarnya) seorang perempuan berdarah Batak bertubuh pendek, berkulit sawo matang, berambut ikal hitam

setelinga, tinggi badan sekitar 145 cm dan memakai kacamata. Ria berdomisili di Medan dan bekerja sebagai seorang wiraswasta.

Ria melakukan pembelian produk untuk tujuan pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Di dalam kesehariannya, Ria lebih merasa nyaman berbelanja sendirian tanpa ditemani oleh orang lain seperti teman atau pun saudaranya. Hal ini karena Ria merasa bahwa ia akan lebih teliti dan membuat keputusan yang tepat saat ia berbelanja sendirian. Ria juga merasa lebih bebas menentukan pilihan produk yang akan dibelinya tanpa interupsi orang lain sehingga ia lebih fokus menentukan pilihan.

Begitu banyak pilihan-pilihan produk yang harus diputuskan dalam pembelian. Sama halnya, Ria juga menghadapi hal tersebut dalam setiap pembelian memenuhi produk. Sebagai langkah awal, Ria terbiasa membuat budget plan untuk melakukan pembelian, terutama pada pembelian produk jangka panjang seperti alat elektronik, baju, dan alas kaki (sepatu dan sandal). Ria akan sangat berpatokan pada

budget plan yang telah ia buat. Kekonsistenan Ria terhadap budget plan yang ia buat membuatnya sangat mempertimbangkan harga produk yang akan dibeli. Ria akan berusaha membeli produk dengan harga yang tidak melewati budget plan yang dibuat dan bahkan tidak akan mau mentolerir untuk memberikan tambahan budget meskipun produk yang mau dibeli itu sudah sangat sesuai dengan harapan Ria.

Sikap Ria yang sangat berpatokan pada budget dalam setiap pembelian produk bukan terjadi begitu saja. Didikan sejak masa kecilnya dari ibunya untuk

melakukan pembelian produk harus sesuai dengan budget yang dimiliki menjadi faktor utama yang terus menguatkan sikap Ria tersebut.

Oleh karena itu, faktor harga produk menjadi hal yang penting bagi Ria. Ria menempatkan harga produk yang akan dibelinya di posisi utama bahan pertimbangan. Setiap produk yang hendak dibeli harus disesuaikan dengan budget yang dibuat sehingga otomatis Ria akan menentukan harga produk yang hendak dibelinya terlebih dahulu di atas segalanya. Sehingga, harga produk yang lebih rendah dari biasanya menjadi satu penarik bagi Ria untuk akhirnya melakukan pembelian. Hal ini terlihat juga dari bagaimana Ria seringkali tertarik membeli produk yang sedang mengalami potongan harga (diskon).

Menomorsatukan faktor harga produk dalam pertimbangan melakukan pembelian, membuat kualitas produk tersingkirkan sebagai pertimbangan pada posisi kedua. Ria menilai kualitas produk berdasarkan merek produk tersebut. Berdasarkan pengalaman yang sering Ria alami bahwa produk dengan merek produk ternama yang seringkali harganya juga lebih tinggi daripada produk lain dengan merek berbeda tidak sesuai dengan kualitas yang diharapkan maka Ria tidak lagi menitikberatkan pembelian produk berdasarkan kualitas produk. Ria juga enggan untuk membeli produk dengan merek produk yang memiliki harga yang lebih tinggi setelah pengalaman tersebut. Pengalaman tersebut terjadi ketika Ria masih duduk di bangku SD saat dibelikan produk sepatu sekolah oleh kakaknya. Pengalaman tersebutlah yang masih tetap mempengaruhi Ria sampai saat ini bahwa pandangan tentang harga

produk yang lebih tinggi menunjukkan kualitas yang lebih baik ternyata tidak berlaku bagi sebagian besar kehidupan pembelian dirinya. Hal ini seringkali dialami Ria saat melakukan pembelian sepatu dan sandal.

Berdasarkan pengalaman tersebut, merek produk bukanlah hal yang utama lagi Ria di dalam pembelian sehari-harinya, tetap kepada harga produk yang disesuaikan dengan budget plan kembali. Kualitas produk menjadi pertimbangan nomor dua setelah harga produk. Hal ini terjadi pada pembelian produk seperti baju, alat elektronik, dan alas kaki. Akan tetapi, pada pembelian produk makanan faktor harga bukanlah menjadi faktor utama melainkan perasaanlah yang berperan penting.

B.2.ii. Dimensi Emotional (Kondisi Emosi)

Ria mengalami keraguan setelah pembelian laptop. Laptop yang dibeli adalah laptop dengan merek Lenovo 838G 840 seharga tiga juta rupiah. Pertimbangan awal membeli laptop karena budget yang dimiliki adalah tiga juta rupiah.

“Kalo kemaren kenapa Lenovo dari harga, budget dulu, budgetnya kemaren harga tiga juta, jadi kami mencari laptop yang hanya tiga juta, rupanya Samsung ga ada, yang ada tiga juta empat ratus, tiga juta lima ratus, di atas tiga juta semua, harga tiga juta ga ada, cari axioo gak ada, acer ga ada, jadi kemarin ternyata di bawah baru siap pameran kan di carefour “ (S.2/W.1,vi,v2/482-492/h.11)

Kemudian, pencarian informasi pun dimulai dari toko ke toko di suatu pusat perbelanjaan elektronik. Pencarian yang dilakukan adalah mencari berbagai merek laptop yang tetap berpatokan pada budget, tidak lebih dari tiga juta rupiah.

Kemudian, Ria mendapati produk laptop Lenovo yang dijual seharga tiga juta sembilan puluh ribu rupiah. Harga tersebut merupakan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan produk yang sama yang sebelumnnya sudah ditanya di toko-tokok sebelumnya. Ria kemudian melakukan penawaran untuk sesuai dengan budgetnya yaitu batas maksimal tiga juta rupiah. Pembelian dilakukan bersama kakak perempuannya.

“Iya, keliling-keliling kami, ternyata dimana-mana kalo merek itu ternyata tiga juta seratus, rata-rata tiap toko segitu cuman pas kami Tanya kemarin tempat itu pun ditawarkannya pun tiga juta seratusnya sama kami, gak bisa lagi kurang, e gak lah kak, budget berapa memang, o cari laptop yang harga tiga juta, ini kan masi tiga jutaannya gitu, ya tapi maksud kami tiga juta yang paling mahal mas, oh yaudah kalo ga ada makasi kami bilang lah gitu ya kan, yaudah deh, karena dimana-mana memang udah, di carefour itu kan sekarang udah dicantuminnya harganya, rata-rata memang tiga juta seratus dibuatnya, dari tadi kami liat tiga juta seratus, kita cari yang lain lagi kalo ada tiga juta katanya itu nanti kita ambil, pergilah kami ke Lenovo yang dibelakang, ada disitu khusus Lenovo, disitu dibuatnya tiga juta Sembilan puluh ribu, berarti gak sampai tiga juta seratus kan, berarti dari sana kurang sepuluh ribu, trus kemaren kami Tanya lagi ga kurang bang, berapa dek, tiga juta kek gini kek gini, udah dikasi tiga juta, itulah kami ambil karena dimana-mana pun tipe yang itu sama tiga juta seratus memang, gak dikasi lagi harga kek gitunya, kebetulan memang itu tadi baru siap orang itu pameran makanya, dari harga dulu, lalu kenapa merek Lenovo, karena orang bilang itu tahan banting, kata orang ya hheh, karena ada teman beli itu berapa kali pun jatuh enggaknya rusak gak kayak laptop yang lain, terus itu kan bisa restart ulang…” (S.2/W.1,w1-w4/b.494-535/h.11-12)

Setelah pembelian, ada keraguan yang muncul dari diri Ria. Perasaan ragu yang dirasakan sudah muncul saat membawa laptop ke rumah. Ada perasaan ragu terhadap harga produk yang lebih murah daripada produk yang lain dengan merek yang sama setelah pembelian. Ada perasaan bertanya-tanya sebenarnya dialami oleh Ria terhadap harga produk laptop yang dibeli.

“itulah kalo kam bilang laptop itulah yang pertama kali kurasakan ragu, bawa barangnya itu pun cemas, benar enggak ini ya, benar enggak ini ya, ketika aku pake pun, tapi setelah aku bawa, memang betul lo keraguan itu membuat terjawab jadinya, bagus gak ini ya, bagus gak in udah kubeli ya gitu, ketika di bawa ke Kabanjahe pun , kakak sendiri gak terlalu ngomel, ganti aja, e… menyenangkan hati aja, aku pribadi ya ini ya akhirnya terjawab keraguan itu, kalo kemaren beli itu memang setelah beli ada ragu sih, luasnya carefour itu semua toko rata rata jual tiga juta dua ratus, ada satu toko tiga juta seratus, tiba tiba kami ke toko itu begitu banyaknya toko computer yang kami tanya Cuma itu yang jualnya tiga juta, karena semalam baru siap pameran katanya, karena katanya alasannya itu, ya kami ambil dengan model yang sama dengan tempat lain, rata rata tipenya itu tiga juta seratus rata-rata, jadi kalo ragu kam bilang itulah pertama kali aku ngerasa ragu setelah beli barang lah dan keraguan itu terjawab ketika barang itu rusak” (S.2/W.4,q1/b.2760 -2786/h.59-60)

Pengalaman keraguan setelah pembelian ini adalah yang pertama kali yang pernah dirasakan oleh Ria. Ada kecemasan yang timbul setelah pembelian laptop tersebut. Tidak hanya berakhir begitu saja, belum ada satu bulan setelah pembelian laptop tersebut rusak. Keraguan yang dirasakan Ria setelah pembelian seakan-akan memberi jawaban dan berakhir dengan penyesalan.

“Laptop yang baru Lenovo delapan tiga, delapan, G delapan empat puluh ya tiga juta, tapi hard disc nya cepat rusak” (S.2/W.1,u1/b.470-474/h.10)

“Ga ada satu bulan, tanggal tujuh bulan tiga kemaren ku beli, sekarang masi tanggal dua, belum sampe makanya tadi kubalekkan ke tokonya” (S.2/W.1.u1/b.475-480/h-10-11)

“Belum pernah, karena kalo produk baju palingan kalo robek dia, jaitannya gimana gitu kan palingan kan kita kurang memperhatikan gitu kan, kalo sandal pun gak gitu nya, kan udah tau kita kualitasnya gimana sebelumnya kan, ini tadi ga tau kita, pas dibuka di tokonya bagus semuanya, tapi pas sampe kabanjahe kalo kubilang, itu lah yang pertama kali aku ragu langsung setelah beli laptop itu, dan langsung terjawab kurasa, kemaren pun pas beli laptop teman, Acer merek yang lain nyantai aja, yakin aja itu barang bagus, tapi yang itu kemaren enggak yakin dengan harganya sangat murah dibandingkan dengan saat itu beberapa toko, bukan beberapa toko malah semua toko yang kami udah datangi pun di carefour itu dan itu tiga juta dua ratus, tiga juta seratus yang paling rendah,ya gitu jadi kalo beli alat elektonik sih, cuman kalo kita ga tau membedakan mana yang asli mana yang rakitan, kalo baju sih kana da kata orang kalo merek baju belakang dan kancing bajunya diliat sama, asli berarti tapi kalo barang elektronik ini kayak laptop aku gabisa membedakan yang originalatau enggak gatau aku, kalo keragua-raguan setelah beli produk terbesar itulah baru beli itu…. Keragu-raguan yang terjawab itulah…” (S.2/W.4,r1/b.2788-2810/h.60)

“Baru itu sih kurasa, selama ini cukup memuaskan sih kurasa beli alat-alat elektronik, handphone kek gitu, baru ini tadilah, aku bilang kalo beli alat-alat elektronik itu sangat memperhitungkan sekali lo fo biasanya, cuman ini tadi kemaren enggak, karena dikasih budget uang tiga juta lima ratus jangan sampai lebih tiga juta lima ratus, maksimal tiga juta lima ratus lah, namanya aku selalu mematokkan pada harga kucarilah dibawah itu tadi ya kan, dapat..cuman kek gitu tadi ya kan…” (S.2/W.4,r2/b.2814-2826/h.60-61)

Setelah pembelian laptop tersebut, Ria menjadi semakin enggan melakukan pembelian produk-produk elektronik dan munculnya pikiran negative setelah pembelian laptop yang rusak tersebut. Pikiran negative tersebut berupa anggapan laptop tersebut mungkin saja bukan produk asli keluaran pabrik.

“Ih, takut, ragu aku gini tadi nanti kasusnya, nanti kita pake rupanya rusak, satu sisi kek gini taulah kita setidaknya mempergunakannya, bedakan dengan kamera biasa kan, kamera yang dulu pake batre dia kan tinggal jepret aja dengan kamera yang sekarang ada yang banyak kan programnya di dalam, setidaknya taulah, kek ini tadi pun, enggaknya banyak, aku cuman buka program, masi ngetik, udah lima menit kek gitu tadi langsung mati, berarti dari sananya kemaren memang kurasa, bertobat aku fo,” (S.2/W.1,y1/b.584 -598/h.13)

“Ternyata kemaren itu kan rame, taulah akhirnya yang muncul pikiran itu pikiran negative, jujur aja kubilang tadi kan langsung disuruh ke kantor servicenya aku ga mau, ku suruh aja mereka “ (S.2/W.1,aa1/b.534-639/h.14) “ Ini, gimanalah ya yang ga sesuai aja sih mutunya kurasa, kalo harganya sih seharga laptop sekarangnya, cuman yang kuragukan itu betul betul produk dari tokonya atau dari Lenovonya langsung atau enggak, sampe kakakku bilang jangan jangan kau beli secondnya gitu, kotak kan bisa minta kotak yang lain, padahal enggak.” (S.2/W.1,z1/b.615-624/h.13)

B.2.iii. Dimensi Wisdom of Purchase

Ria mengalami kebijaksanaan dalam pembelian seringkali terhadap produk pakaian dan alas kaki berupa sepatu dan sandal. Pengalaman Ria membeli produk pakaian seperti pada produk baju, gaun, dan underwear. Ria juga merasa sudah membuat keputusan yang salah ketika sudah membeli produk baju dan ternyata ada produk yang sama dengan harga yang lebih murah ketika ia berjalan meninggalkan tempat membeli produk yang sudah dibeli tersebut.

“Sering sih, sering sekali lah, misalnya kek gini budgetnya cepek, o ada disini, kita belum keliling-keliling misalnya ya, oh ini dapat tujuh puluh lima ribu, sebenarnya belum sampe budget kita tadi kan, cocok, keliling-keliling kita belum kita liat yang lain setelah kita bayar seringkali kita bilang lebih cantik ini ya, lebih bagus enggaknya sampe cepek, sering juga nya kayak gitu karena

kulihat gitu kesalahannya sih kurang sabar mencarinya seringnya sih kek gitu, setelah dapat gitu keknya lebih cantik itu, lebih murah, ataupun misalnya kek gini tadi, kalo aku sering belanja kek gini,buat budget tapi aku ga mau di atas budget aku belanja, kalo soal nyesal, eh sedih, ragunya, gak nyaman itu, ada ya lebih bagus tadi ya kek gitu, kok gak kulihat, tapi udahlah udah dibeli, tapi kalo misalnya untuk beli lagi gak cukup uangnya aku gak mau” (S.2,W.1,n1,n2/b.333-356/h.8)

Hal ini tejadi karena Ria terlalu cepat memutuskan dalam melakukan pembelian, dimana biasanya Ria akan membuat keputusan setelah melakukan perbandingan harga minimal di lima tempat atau toko yang berbeda.

“Kalo misalnya ke pajak tradisional ya, lima… rata-rata lima… Biasanya sih, setelah ke lima toko ini juga ya, biasanya juga sih ke lima toko ini cuma membandingkan harga, e… merek yang sama dan harga yang sama, yang lima toko ini ya, karna bisa aja kan kita telusuri kios-kios yang lain ga semua ada barangnya kan, setelah lima toko, kalo misalnya tiga yang udah sama harganya jarang mengecewakan tapi seringnya kan , kita pandangan pertama ini kan kadang merusak, ih cocok itu tadi, kita lihat lagi yang lain harganya beda,”(S.2/W.4,l1/b.2610-2628/h.56)

Ketika melihat harga produk baju yang sama ternyata yang lebih rendah dari produk lain yang tipenya sama membuat Ria terburu-buru akhirnya memutuskan. Kemudian, setelah pembelian Ria menemukan produk yang sama dengan harga yang lebih rendah. Ria merasa rugi karena terlalu cepat menentukan pilihan produk yang langsung saja dibeli.

“Sering sih, sering sekali lah, misalnya kek gini budgetnya cepek, o ada disini, kita belum keliling-keliling misalnya ya, oh ini dapat tujuh puluh lima ribu, sebenarnya belum sampe budget kita tadi kan, cocok, keliling-keliling kita belum kita liat yang lain setelah kita bayar seringkali kita bilang lebih cantik ini ya, lebih bagus enggaknya sampe cepek, sering juga nya kayak gitu karena

kulihat gitu kesalahannya sih kurang sabar mencarinya seringnya sih kek gitu,

Dokumen terkait