• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bermain game merupakan salah satu bentuk hiburan yang paling terkenal dan menjadi sebuah aktivitas yang diminati oleh masyarakat. Belakangan ini, sebanyak ratusan juta orang di seluruh dunia bermain game. Permainan game

diminati oleh berbagai kalangan usia, mulai dari usia kanak-kanak hingga dewasa.

Game mengalami perkembangan yang cukup pesat. Jika dahulu game dimainkan dalam bentuk tradisional, kini sudah mulai menggunakan joystick, monitor,

keyboard, dan bahkan sudah muncul game yang berbasis online (game online) dan sudah banyak yang bisa dipasang pada ponsel pintar/smartphone (Gray, 2012).

Game sering dianggap memiliki dampak negatif atau menimbulkan kerugian bagi para pemainnya. Kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan dari bermain game misalnya seperti terlalu sering menghabiskan waktu di depan monitor komputer lebih dari lima jam perhari dapat menyebabkan resiko terkena obesitas. Selain itu, perlu diperhatikan konten dari game yang dimainkan, terutama jika game berisikan kekerasan. Beberapa studi menunjukkan bahwa menonton program televisi yang bertemakan kekerasan dapat meningkatkan agresivitas. Hal ini sama dampaknya ketika seseorang bermain game yang bertema kekerasan. (Subrahmanyam, Kraut, Greenfield, & Gross, 2000).

Game dan teknologi yang berkembang saat ini juga sangat populer, salah satunya di kalangan anak-anak usia sekolah yang berusia 9 hingga 12 tahun. Pada

usia 9 hingga 12 tahun, interaksi sosial dengan teman-teman sebayanya memberikan peranan penting (Wong, 2009). Oleh sebab itu, banyak anak-anak yang bermain game dengan teman sebayanya, sehingga tak jarang ditemui anak-anak usia sekolah berkunjung ke tempat penyewaan/rental game.

Munculnya berbagai jenis game yang dapat diakses oleh anak-anak usia sekolah, yang berjenis online ataupun digital atau biasa dipasang pada smartphone

ternyata membuat keresahan di kalangan orang tua dan guru.

“….sering anak saya minta dilebihkan uang jajan rupanya cuma buat main di rental PS”.

“…habis itu kalau disuruh belajar tunggu, tunggu. Asik HP (handphone)

nya aja yang dipegangnya. Nanti nggak belajar dia, bingung juga la orang tua ini mikirkan nilainya..”

(Komunikasi personal dengan orang tua siswa, September 2016)

“memang ada bagusnya juga teknologi ini berkembang, tapi ada juga tak bagusnya….tak bagusnya itu kalau anak-anak udah kecanduan main HP, main game segala macam. Dulu udah pernah ada kejadian anak sekolah sini tahun berapa itu, meninggal gara-gara nggak ingat istirahat,

makan…sampai-sampai ada gangguan di fisiknya, akhirnya meninggal.”

(Komunikasi personal dengan guru, Agustus 2016)

Berdasarkan komunikasi personal yang dilakukan peneliti, terdapat kekhawatiran akan dampak negatif yang ditimbulkan akibat bermain game. Namun, tidak selamanya bermain game memberikan dampak negatif, ternyata game memiliki dampak yang positif.

Penelitian yang dilakukan dalam beberapa tahun belakangan ini menunjukkan bahwa bermain game dapat memberikan dampak yang positif bagi pendidikan dan kesehatan (Behm-Morawitz & Klein, 2009). Beberapa game

diciptakan untuk melatih atau meningkatkan keterampilan tertentu. Ada game

permainan edukasi Packy and Marlon yang dirancang untuk meningkatkan keterampilan merawat diri sendiri untuk anak-anak dan remaja penderita diabetes, Bronkie the Bronchiasaurus untuk memunculkan rasa kemampuan dalam mengelola diri sendiri bagi para penderita asthma, dan Rex Ronan untuk mencegah perilaku merokok (Griffiths, 2002).

Selain itu, bermain game ternyata tidak sepenuhnya membuat pemainnya terisolasi atau tereliminasi dari lingkungan sosial. Gamer juga memiliki beberapa bentuk interaksi sosial, yaitu seperti berbicara, chatting, menonton dengan gamer

yang lainnya (Taylor, 2014). The Media Awareness (dalam Pierce, 2008) menyatakan bahwa bermain game dapat menimbulkan rasa senang dan merupakan bagian dari media hiburan. Selain itu, bermain game dapat meningkatkan kerja sama ketika dimainkan dengan orang lain, serta bermain game dapat meningkatkan rasa percaya diri dan memunculkan harga diri pagi para penggunanya.

Dibutuhkan keterampilan ketika bermain game, karena untuk mencapai target atau meningkatkan level permainan, pemainnya dituntut untuk bekerja keras, melibatkan ketekunan, inteligensi, dan latihan. Dapat dikatakan bahwa bermain game membutuhkan pengetahuan dan keterampilan, sehingga semakin sering bermain, semakin bertambah keterampilan dan pengetahuan yang didapat pada game tersebut (Gray, 2012). Berkaitan dengan hal tersebut, beberapa penelitian belakangan ini mulai mengaitkan antara bermain game dan pengaruhnya terhadap proses kognitif individu.

Salah satu proses kognitif adalah atensi. Atensi adalah bagian dari proses kognitif yang berfungsi untuk mengenali dan mengkategorisasikan suatu stimulus (Kahneman, 1973 dalam Galotti, 2004). Atensi merupakan pemusatan upaya mental pada peristiwa-peristiwa sensorik atau peristiwa-peristiwa mental, serta mengarah pada proses kognitif untuk menyeleksi informasi penting dari dunia sekeliling melalui pancaindera, sehingga otak tidak secara berlebihan dipenuhi oleh informasi-informasi yang jumlahnya tidak terbatas. (Solso, Maclin, & Maclin, 2008).

Atensi berperan penting dalam proses pembelajaran, termasuk pada pembelajaran motorik (Magill, 2004) dan pembelajaran dalam lingkungan formal (Hedges, dkk., 2013) seperti proses belajar di sekolah. Sulit bagi individu untuk dapat fokus pada beberapa hal sekaligus, mengingat banyaknya informasi yang bisa saja datang secara bersamaan, karena keterbatasan atensi pada individu (Matlin, 2005).

Kemampuan atensi yang baik dibutuhkan untuk memudahkan individu dalam memilih dan memproses informasi penting yang berguna selama proses pembelajaran berlangsung. Penelitian yang akan dilakukan ini berfokus pada salah satu bentuk atensi, yaitu kemampuan visual selective attention. Keterbatasan kapasitas atensi pada manusia menyebabkan pentingnya peranan kemampuan

visual selective attention (Matlin, 2005).

Kemampuan visual selective attention merupakan bagian dari selective attention, yaitu kemampuan untuk fokus, sehingga fokus mata hanya tertuju pada objek tertentu saja dan menghiraukan objek lain yang tidak berada di area

kepentingan (Styles, 2005). Kemampuan selective attention merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu, yang mengakibatkan seseorang hanya merespon pada suatu informasi tertentu dan mengabaikan informasi lain yang dianggapnya tidak relevan dengan yang ia inginkan (Milliken, d.k.k,, 1998 dalam Matlin, 2005). Maka, dapat dikatakan bahwa kemampuan selective attention

merupakan kemampuan untuk berfokus pada suatu hal yang penting walaupun banyak informasi atau pesan lain di sekeliling individu.

Visual selective attention adalah bagian penting dari atensi. Atensi muncul karena adanya ketertarikan dan stimulasi. Stimulasi dapat diperoleh dengan bermain game, sehingga video game dapat dikatakan sebagai media pembentuk atensi (Dunckley, 2014). Dalam belajar diperlukan kemampuan untuk fokus, seperti yang dikemukakan guru salah satu sekolah dasar dalam komunikasi personal:

“…kalau belajar tentu lah perlu fokus biar diserapnya apa yang dibilang

guru. Kadang anak-anak ini badannya aja yang di ruangan, pikirannya

kemana-mana”.

(Komunikasi personal, Mei 2015)

Anak-anak yang memasuki usia sekolah dituntut untuk mampu menyerap informasi, terutama yang berkaitan dengan proses belajar di lingkungan formal. Pada anak-anak usia sekolah, kemampuan kognitif mulai berkembang, termasuk kemampuan selective attention, terutama pada anak yang berada pada usia kanak-kanak akhir. Jika dibandingkan, anak-anak yang berada pada tingkat lima dan enam memiliki kemampuan selective attention yang lebih baik dari pada

anak-anak yang lebih muda. Pada masa ini, anak-anak mulai dapat memahami sebab dan akibat, penalaran deduktif dan induktif. (Papalia, d.k.k., 2007).

Beberapa penelitian mengaitkan antara pentingnya kemampuan selective attention dengan prestasi akademik pada anak usia sekolah. Selective attention

merupakan salah satu faktor terkuat yang dapat mempengaruhi kemampuan anak, terutama dalam kemampuan kesusastraan (Lan, Legare, Ponitz, Li, & Morrison, 2011). Sementara itu, penelitian lain mengungkapkan bahwa anak-anak yang memiliki kemampuan selective attention rendah, menunjukkan nilai yang rendah pula pada tes inteligensi dan prestasi akademik (Kishiyama, Boyce, Jimenez, dan Knight, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dye dan Bavelier (2009), disimpulkan bahwa partisipan yang memainkan game memilki nilai yang lebih baik pada tes atensi, jika dibandingkan dengan yang tidak bermain game.

Bermain game dapat mengembangkan kemampuan anak dalam keterampilan memecahkan masalah dan juga mampu mengasah kreativitas anak. Bermain game yang mudah diakses dan sederhana atau yang bergenre casual game seperti “Angry Birds” mampu meningkatkan suasana hati pemainnya serta

mampu memberikan efek rileks (Bowen, 2014). Game yang bergenre casual

merupakan jenis game yang ringan, tidak memiliki tantangan yang berat, serta tidak mengandung unsur-unsur kekerasan, sehingga lebih banyak anak-anak usia sekolah yang mengakses casual game, seperti salah satunya adalah gameDon’t

Tap the White Tile/Piano Tile”.

Don’t Tap the White Tile/Piano Tile merupakan game yang cukup populer dan sudah diunduh sebanyak lebih dari 100 juta pengguna, serta dimainkan sejak

tahun 2014 hingga 2015. Para pemain game ini dituntut untuk mampu memfokuskan mata pada layar. Tugasnya adalah dengan menyentuh kotak hitam, dan menghindari kotak putih. Semakin lama game ini dimainkan, maka laju game

akan semakin cepat. Maka dari itu, dalam bermain game ini, dilibatkan pergerakan mata dan adanya fokus tujuan, sehingga pemain dapat bertahan lebih lama dan mampu mencapai skor yang setinggi-tingginya. Dapat dikatakan bahwa dengan bermain game ini, pemainnya dibiasakan untuk fokus pada objek atau target yang menjadi kepentingan. Fokus pada suatu objek yang menjadi kepentingan merupakan konsep dari kemampuan visual selective attention (Styles, 2005).

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, berkembangnya teknologi dan game

yang mulai dapat dengan mudah diakses oleh anak-anak usia sekolah membuat peneliti ingin melihat dampak dari bermain game terhadap peningkatan kemampuan selective attention pada anak-anak usia sekolah. Kemampuan

selective attention merupakan salah satu kemampuan yang dapat membantu mereka dalam menyerap informasi selama belajar. Salah satu upaya yang dilakukan dalam peningkatan kemampuan selective attention, khususnya pada kemampuan visual selective attention adalah dengan bermain game.

Dokumen terkait