• Tidak ada hasil yang ditemukan

Benarkah Nas Berikut Sabda Nabi?

D

i halaman 105, Muhammad Azhar berkata:

“Urgensi epistemologi Islam kontemporer ini terletak pada pent-ingnya upaya untuk mengkontekstualisasikan interpretasi keislaman sehingga tidak tertinggal jauh dengan perubahan sosial yang terus ter-jadi. Islam sebagai teks keagamaan (baca: Al-Quran) memang sudah final dan tidak akan mengalami perubahan, tetapi interpretasi, rumusan keilmuan Islam (‘ulûm al-Qur’ân, ‘ulûm al-hadîts, ilmu akidah, ilmu fikih, tarikh dan lainnya) harus selalu ditafsir ulang sesuai konteks za-man dan generasi Muslim yang hidup era belakangan. Bukankah Nabi Muhammad Saw. pernah berpesan: “Didiklah generasimu, karena mereka akan menghadapi zaman yang sama sekali berbeda dengan za-manmu”. Bila ditarik ke wilayah filsafat keilmuan Islam menjadi:

“Buatlah epistemologi keilmuan Islam yang baru, karena yang lama sudah tidak sesuai dengan zaman kini dan mendatang”.1

Mari kita lihat:

Di atas, Muhammad Azhar menyebutkan mengenai pentingnya episte-mologi kontemporer. Untuk melegitimasi pendapatnya, beliau menukil

“sabda” Rasululullah Saw yang berbunyi, “Didiklah generasimu, kare-na mereka akan menghadapi zaman yang sama sekali berbeda dengan zamanmu”.

Sayangnya Muhammad Azhar tidak menyebutkan, hadis tadi diri-wayatkan oleh siapa dan dalam kitab apa. Jika pun tidak menyebutkan kitab, jika ada perawi hadis yang disebutkan, akan membantu untuk melihat validitas hadis tadi. Apalagi beliau tidak mencantumkan teks Arabnya. Jadi ini mempersulit untuk melacak kebenaran hadis tersebut.

Akhirnya saya mereka-reka bahasa Arabnya. Dari situ saya menemukan, yaitu:

1 Muhammad Azhar, log. cit. hal. 205

مكنٍمز رنغ نٍمزل نوقولخم مهنإف ، مكرٍمآ ىلع مكدلَوِ اوهركت لَ

Dari redaksi bahasanya, saya curiga bahwa pernyataan tersebut bukan-lah hadis nabi. Sabda Rasululbukan-lah Saw itu sangat fasih (baligh), padat dan jelas. Beliau adalah afshahul Arab. Sementara, bahasa yang digunakan di atas, serasa ganjal. Istilah Arabnya, bahasanya terlalu ra-qiq (ringan).

Dengan kata kunci yang sudah saya dapatkan, saya telusuri ke makta-bah syamilah. Ternyata, pernyataan tadi tidak ada sama sekali di kitab-kitab hadis. Padahal maktabah syamilah menyimpan banyak sekali kitab-kitab hadis. Kesimpulan saya, kemungkinan besar, ia bukan hadis nabi.

Lalu saya mendapatkannya dalam kitab lain yaitu. Ighâtsatul Lahfân karya Ibnul Qayyim dan al-Milal wa an-Nihal karya Syahrastani.1 Dua buku itu menyebutkan bahwa pernyataan di atas merupakan kata-kata dari Socrates. Sementara dalam kitab Lubabul Adab Karya Abu Madzfar Muayyid ad-Daulah asy-Syizari dan Tadzkaratul Hamdûniyyah karya Muhammad bin al-Hasan Hamdun menyatakan bahwa pernyataan di atas merupakan kata-kata Plato.

Pernyataan di atas ada kejanggalan, di antaranya adalah bahwa kita diminta memberikan didikan kepada anak sesuai kondisi zaman.

Artinya bahwa didikan kita, termasuk yang terkait dengan akhlak harus sesuai dengan tuntutan zaman.

Jika zaman berubah karena masyarakat telah bersikap hedonis dan ma-terialis, maka anak kita didik sesuai dengan zamannya, yaitu bersikap hedonis dan materialis. Jika zaman berubah karena masyarakat telah terbiasa dengan budaya korupsi, maka kita didik anak agar terbiasa dengan budaya korupsi. Jika zaman berubah masyarakat bersikap permisif, maka anak-anak kita dididik untuk biasa bersikap permisif.

1 Muhammad bin Abi Bakr Ayyub az-Zar’iy Abu Abdillah, Ighâtsatulluhfân min Mashâ’idi asy-Syaithân, Dar Ma’rifat, Beirut, 1975, jilid 2, hal. 265

Jika manusia modern menganggap Tuhan telah mati, maka didiklah anak kita dengan keyakinan bahwa Tuhan juga telah mati.

Apakah demikian? Tentu saja tidak. Dalam ushul fikih, disebutkan bahwa dalam memahami al-Quran, ada yang disebut dengan ats-tsawâbit, yaitu teks yang pemahamannya tetap dan tidak berubah. Di antara ats-tsawâbit itu adalah ayat-ayat yang terkait dengan etika, baik etika manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia ataupun dengan alam.

Terkait pendidikan dan akhlak ini sudah banyak disebutkan dalam al-Quran dan hadis nabi. Kapan dan di manapun, kita harus bersikap adil.

Kita juga harus jujur, tidak boleh bohong, tidak boleh menipu, tidak boleh melakukan manipulasi, mencemooh orang lain, merendahkan, bersikap takabbur, diperintahkan bersikap zuhud dengan dunia, tamak dengan akhirat, berlaku sabar, penyayang, hormat kepada sesama manusia dan sederet akhlak lainnya.

Kita juga harus tahu etika kita dengan Sang Pencipta. Hak dan kewajiban manusia sebagai hamba Allah seperti yang termuat dalam al -Quran. Harus dilaksanakan dan tidak boleh disesuaikan dengan perkembangan zaman. Etika dengan alam raya, seperti tidak boleh ek-sploitasi alam serampangan, merusak ekosistem, menghancurkan ling-kungan dan lain sebagainya, juga tidak boleh dilanggar. Sementara terkait dengan diri sendiri, manusia diperintahkan untuk menjaga kesehatan dan larangan melakukan bunuh diri juga harus ditaati.

Dengan hewan pun, ada aturan yang harus dilakukan.

Norma dan nilai manusia jika disesuaikan dengan perkembangan za-man akan berbahaya. Manusia akan selalu berubah. Manusia mudah terjerumus ke dalam perbuatan yang dilarang oleh agama. Oleh kare-nanya, mempertahankan nilai dan norma al-Quran dalam pendidikan anak, sangat penting.

Kesimpulannya, statemen di atas bukan hadis nabi dan ia batil (tidak benar). Segala sesuatu yang dibangun di atas kebatilan maka ia juga

batil. Ini sesuai dengan kaedah ushul:

يلع ينب ٍم ينب ٍمو ،لطٍب وهف لطٍب

مارب وهف مارِىلع

Berhati-hatilah kita dalam menisbatkan sesuatu kepada Nabi Muham-mad Saw. Jika salah, bisa-bisa kita masuk kepada ancaman Rasulullah Saw:

ِرٍَّنلا َ ِم ُهَدَعْقَم ِْ َّوََُتَنْلَف اًدِ مَعَتُم َّىَلَع َبَذَك ْ َم ، ٍدَبَِ ىَلَع ٍبِذَكَك َسْنَل َّىَلَع ًٍبِذَك َّنِإ Artinya: “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di Ne-raka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apalagi jika statemen kita yang mengatas namakan nabi itu tidak baik dan bertentangan dengan al-Quran. Tentu ini sangat berbahaya. Pern-yataan di atas juga tidak ada hubungannya dengan epistemologi.

Menarik-narik pernyataan Socrates atau Plato tadi ke ranah epistemolo-gi, kesannya “mekso” saja. Ia murni kata “mutiara” dari seorang filsuf Yunan.

Qaul Jadid dan Qadim,