• Tidak ada hasil yang ditemukan

Benarkah Ushul Fikih Klasik Bersifat Atomistik?

F

itur kemenyeluruhan (ةنلكلا : al-kulliyyah, wholeness). Elemen fitur ini ingin membenahi kelemahan ushul fikih klasik yang sering menggunakan pendekatan reduksionis dan atomistik. Pendekatan atom-istik terlihat dari sikap mengandalkan hanya pada satu nas untuk me-nyelesaikan kasus-kasus yang dihadapinya tanpa memandang nas-nas lain yang terkait. Solusi yang diterapkan adalah menerapkan prinsip holisme melalui operasionalisasi “tafsir tematik” yang tidak lagi terbatas pada ayat-ayat hukum, melainkan juga melibatkan ayat-ayat al -Quran termasuk ayat-ayat yang terkandung di dalamnya pedoman ke-hidupan sosial dan budaya, sebagai pertimbangan dalam pemutusan hukum Islam secara komprehensif.1

Benarkah bahwa ushul fikih klasik hanya sekadar melihat satu nas saja untuk menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapi? Mari kita beranjak dari ushul fikih maqashid dan menuju ushul fikih semantik. Kami akan mengambilkan beberapa contoh berikut:

Contoh Pertama: Muthlaq Muqayyad

Jika terdapat indikator yang dapat dijadikan sebagai argumen bahwa kata tersebut memiliki ikatan tertentu, maka ungkapan kalimat yang dapat dijadikan sandaran hukum adalah ungkapan yang memiliki ikatan tersebut.

Contoh dalam ayat berikut:

ٍ ْيَد ْوَِ ٍَهِب ي َِوُي ٍةَّن َِ َو ِدْعَب ِم Artinya: “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS. an-Nisa: 11)1

1 Ibid. hal 62-63

Ayat di atas tidak ada batasan ukuran wasiat. Namun terdapat batasan dalam ungkapan lain, yaitu hadis nabi yang diriwayatkan Sa’ad bin Abi Waqash sebagai berikut:

رنثك ثلثلا و ثلثلا Artinya: “Sepertiga, dan sepertiga adalah banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim)2

Pertama: Jika muthlaq dan muqayyad memiliki satu kesimpulan hukum, dan juga sebab diturunkannya lafal tersebut juga sama, maka dalam kondisi seperti ini, muthlaq dibawa kepada yang muqayyad.

Contoh firman Allah:

ِ للَّا ِرْنَغِل ِهِب َّلِهُِ ٍَم َو ِري ِزن ِخْلا َمَِْل َو َمَّدلا َو َةَتْنَمْلا ُمُكْنَلَع َم َّرَب ٍَمَّنِإ Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah.” (QS. al-Baqarah: 173)

ًبوُفْسَّم ًٍمَد ْوَِ ًةَتْنَم َنوُكَي نَِ َّلَِإ ُهُمَعََْي ٍمِعٍَط ىَلَع ًٍم َّرَُِم َّيَلِإ َي ِب ْوُِ ٍَم يِف ُد ِجَِ َّلَ لُق َميِْيَل ْوَِ ٍ

َكَّب َر َّنِإَف ٍدٍَع َلَ َو ٍغٍَب َرْنَغ َّرَُْضا ِ َمَف ِهِب ِ للَّا ِرْنَغِل َّلِهُِ ًٍقْسِف ْوَِ ٌسْج ِر ُهَّنِإَف ٍري ِزن ِخ ُفَغ

ٌمن ِب َّر ٌرو

Dalam ayat lain dikatakan: “Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.” (QS. al-An’am: 145)

Lafal ًٍمَد (darah) dalam ayat pertama berbentuk muthlaq sementara dalam ayat kedua berbentuk muqayyad dengan ikatan ًٍبوُفْسَّم ًٍمَد (darah yang mengalir). Sementara kesimpulan hukum dari kedua ayat tersebut adalah sama yaitu bahwa makan darah hukumnya haram. Faktor yang melatar belakangi pengharaman darah juga sama, yaitu madharat yang

1 Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajîz fî Ushûli’l Fiqh, Mu’assasah al-Risâlah, Beirut, cet.

IV 1994, hal 286

2 Dr. Wahbah al-Zuhaili, Ushûl’l Fiqh al-Islâmiy, jilid I, Dâr al-Fikr al-Ma’âshir, cet.

ulang, 1996, Beirut, hal. 209

mugkin ditimbulkan darinya. Maka dalam kondisi seperti ini muthlaq dibawa kepada yang muqayyad. Dengan kata lain bahwa darah yang diharamkan adalah yang mengalir saja. Sementara yang tidak mengalir seperti jantung dan hati tidak diharamkan.

Kedua: Hukum dan sebab turunnya nas antara muthlaq dan muqayyad berbeda. Contoh:

ٍَمُهَيِدْيَِ ْاوُعََْقٍَف ُةَق ِرٍَّسلا َو ُق ِرٍَّسلا َو Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” (QS. al-Maidah: 38)

Dan juga firman Allah:

ِقِفا َرَمْلا ىَلِإ ْمُكَيِدْيَِ َو ْمُكَهوُج ُو ْاوُلِسْغٍف ِةلََّصلا ىَلِإ ْمُتْمُق اَذِإ ْاوُنَمآ َ يِذَّلا ٍَهُّيَِ ٍَي Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” (QS. al-Maidah ayat: 6)

Lafal يِدْيَِ (dua tangan) dalam ayat pertama disebutkan secara muthlaq, sementara dalam ayat kedua disebutkan secara muqayyad, yaitu ditambah dengan ungkapan ِقِفا َرَمْلا ىَلِإ (sampai ke siku-siku). Sementara ketetapan hukum dari dua ayat tersebut memiliki perbedaan. Ayat pertama menerangkan tentang hukuman bagi orang yang mencuri, yaitu dipotong tangannya, sementara ayat kedua menerangkan mengenai tata cara berwudhu, yaitu kewajiban membasuh tangan. Sebab diturunkan hukum dalam ayat pertama ada-lah pencurian, sementara dalam ayat kedua adaada-lah perbuatan yang mes-ti dilakukan sebelum shalat. Dalam kondisi sepermes-ti ini, muthlaq tidak dibawa kepada muqayyad. Namun muthlaq tetap disikapi se-bagai muthlaq dan muqayyad juga disikapi sese-bagai muqayyad. Hal ini disebabkan karena antara kedua ayat tersebut tidak memiliki hubungan sama sekali.

Ketiga: Ketetapan hukum yang terkandung dalam nas berbeda,

semen-tara sebab ketetapan hukum sama. Dalam kondisi seperti ini maka ungkapan yang berbentuk muthlaq tetap difungsikan se-bagai muthlaq, dan muqayyad juga difungsikan sebagai muqayyad.

Contoh:

ُ ِقِفا َرَمْلا ىَلِإ ْمُكَيِدْيَِ َو ْمُكَهوُج ُو ْاوُلِسْغٍف ِةلََّصلا ىَلِإ ْمُتْمُق اَذِإ ْاوُنَمآ َ يِذَّلا ٍَهُّيَِ ٍَي Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” (QS. al-Ma‘idah: 6)

Dan juga:

ُهْنِ م مُكيِدْيَِ َو ْمُكِهوُج ُوِب ْاوَُِسْمٍَف ًٍُِ نَط اًدنِعََ ْاوُمَّمَنَتَف ءٍَم ْاوُد ِجَت ْمَلَف Artinya: “Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. al-Ma‘idah: 6)

Maka kesimpulan hukum yang dihasilkan adalah sebagai berikut:

Ayat pertama diwajibkan membasuh kedua tangan dengan diberi ikatan ِقِفا َرَمْلا ىَلِإ (sampai siku-siku). Sementara ayat kedua tidak diberi ikatan tertentu, atau lafal tersebut berbentuk muthlaq. Sebab hukum dari kedua ungkapan tersebut juga sama, yaitu melaksanakan suatu peker-jaan sebelum menunaikan shalat. Dalam kasus seperti ini muthlaq tidak dibawa kepada muqayyad, namun tiap kalimat difungsikan sebagaima-na tertera dalam ungkapan kalimat masing-masing.

Keempat: Ketetapan hukum muthlaq dan muqayyad sama, namun sebab hukumnya berbeda. Dalam kondisi seperti ini menurut Hanafiyah dan Ja’fariyah, muthlaq difungsikan sebagai muthlaq, dan muqayyad juga difungsikan sebagai muqayyad. Sementara menurut Syafii-yah, muthlaq dibawa pada muqayyad.

Contoh firman Allah mengenai kafarat zhihâr:

ٍةََُق َر ُري ِرَِْتَف Artinya: “Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak.” (QS.

al-Mujadalah: 3)

Dan firman Allah dalam kafarat pembunuhan yang tidak disengaja:

ٌةَمَّلَسُّم ٌةَيِد َو ٍةَنِمْؤُّم ٍةََُق َر ُري ِرَِْتَف ًٍئَََخ ًٍنِمْؤُم َلَتَق َم َو Artinya: “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah ia) memerdekakan hamba-sahaya yang muk-min.” (QS. an-Nisa: 92)

Lafal ٍةََُق َر (hamba sahaya) dalam ayat pertama berbentuk muthlaq dan dalam ayat kedua berbentuk muqayyad. Argumentasi pendapat kedua adalah bahwa ketetapan hukum dari dua nas tersebut sama, hanya saja nas pertama berbentuk muthlaq dan nas kedua muqayyad.

Maka muthlaq harus dibawa kepada muqayyad. Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi benturan (ta’ârudh) antar nas serta untuk mengkon-disikan nas agar selalu serasi.

Sementara argumentasi Hanafiyah adalah bahwa adakalanya perbedaan sebab tersebut yang memicu suatu ayat berbentuk muthlaq sementara dalam ayat lain muqayyad. Jadi dalam ayat pertama memang yang di-maksudkan oleh nas adalah makna muthlaq, sementara dalam ayat yang lain, makna yang dimaksudkan nash adalah muqayyad. Con-tohnya seperti kafarat pembunuh yang tidak disengaja. Lafal ٍةََُق َر (budak) diikat dengan lafal ٍةَن ِم ْؤُّم (budak yang mukmin). Tujuannya adalah agar hukuman bagi pembunuh lebih berat. Sementara dalam ayat zhihâr, beban kafarat mengenai pembebasan budak tidak diberi ikatan dengan budak yang mukmin. Tujuannya adalah untuk mem-berikan keringanan hukum bagi suami, juga untuk menjaga kelangsun-gan pernikahan. Selain itu, membawa muthlaq kepada muqayyad sesungguhnya bertujuan untuk menjaga agar antara dua ayat tidak ter-jadi benturan (ta’ârudh).1

Contoh Kedua: Kata Perintah

Al-amr (kata perintah) memiliki banyak makna, terkadang bermakna wajib, nadb, ibâhah, ancaman, anjuran, meremehkan lawan, doa, dan

lain-lain. Perbedaan dalam memahami makna dalam satu lafal, berim-plikasi pada perbedaan ketetapan hukum antara para ulama, khususnya ketika tidak terdapat indikator (qarînah) yang menunjukkan makna yang dimaksud. Para ulama bersepakat bahwa bentuk kata perintah dengan berbagai maknanya, tidak memiliki makna yang sesungguhnya (haqîqiy). Dalam artian kata perintah (amr) tersebut adalah metafor jika berkaitan dengan sesuatu yang tidak wajib, nadb, dan ibâhah. Jadi perbedaan antara para ulama terdapat dalam tiga makna tersebut, yaitu;

apakah kata perintah dimaksudkan sebagai petunjuk terhadap tiga mak-na secara keseluruhan, atau sebagiannya, atau hanya satu di antara tiga makna?2

Sebagian ulama berpendapat bahwa kata perintah (amr) memung-kinkan untuk memiliki tiga makna karena persamaan lafal yang digunakan. Makna yang dimaksudkan oleh lafal dapat diketahui me-lalui penelitian dan pemilahan makna (murajjah).

Sebagian lain mengatakan bahwa kata perintah (amr) kemungkinan hanya memiliki makna wajib dan nadb saja. Untuk mengetahui yang paling benar di antara keduanya dapat dilakukan sistem pemilahan makna (murajjah).

Sementara Imam al-Ghazali mengatakan bahwa sulit untuk diketahui apakah kata perintah (amr) memiliki makna wajib saja, ataukah nadb saja, ataukah memiliki makna ganda (bil isytirâk). Menurutnya bahwa kata perintah (amr) tidak dapat diketahui ketetapan hukum terkecuali dalam kalimat tersebut terdapat indikator (qarìnah).1

Secara umum, para ulama berpendapat bahwa kata perintah (amr) han-ya memiliki satu dari tiga makna. Dan ketetapan hukum dari padanhan-ya dapat diketahui melalui makna yang sesungguhnya (haqîqiy) sesuai

1 Dr. Abdul Karim Zaidan, Op. cit., hal. 288.

2 Abu al-Husain Muhammad Ibn Ali Ibnu al-Thayib al-Bashriy al-Mu’taziliy, Al-Mu’tamad fî Ushûli’l Fiqh, Jilid I, Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, hal, 50, et, aqq

dengan makna terapan suatu lafal. Jika makna tersebut bertentangan dengan makna terapan suatu lafal, maka kata perintah (amr) mengan-dung makna metafor (majâz).

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan satu dari tiga makna yang dimaksud. Sebagian Malikiyah berpendapat bahwa makna yang dimaksud adalah al-ibâhah, karena kata perintah (amr) digunakan un-tuk meminta agar seseorang melakukan perbuatan tertentu. Dan per-buatan terkecil yang diyakini dapat dikerjakan adalah al-ibâhah. Se-mentara sebagian Syafiiyah berpendapat bahwa kata perintah (amr) memiliki makna an-nadb, dengan alasan bahwa kata perintah dicip-takan untuk meminta pelaksanaan suatu perbuatan.

Sementara sebagian besar ulama berpendapat bahwa kata perintah (amr) menunjukkan makna wajib. Artinya, kata perintah (amr) yang berbentuk muthlaq diciptakan untuk menunjukkan makna tersebut.

Dengan kata lain, bahwa makna yang sesungguhnya adalah wajib, se-mentara makna selainnya adalah metafor (majâz). Maka makna dari kata perintah (amr) dapat berubah dari wajib menuju makna lain jika terdapat indikator (qarìnah) yang menunjukkan pada perubahan makna tersebut. Jika indikator (qarìnah) menunjukkan makna nadb maka kata perintah (amr) akan menunjukkan makna nadb, dan jika indikator (qarìnah) menunjukkan makna ibâhah maka makna yang terkandung dibalik kata perintah (amr) adalah ibâhah.

Contoh Ketiga: al-Kalâm al-Mustaqil al-Munfashil

Yaitu kalimat yang berdiri sendiri dan terpisah dari ungkapan kalimat umum. Contoh:

ٍء َو ُرُق َةَمَلََم َّ ِهِسُفنَأِب َ ْصَّب َرَتَي ُ ٍَقَّلََُمْلا َو Artinya: “ Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (QS. al-Baqarah 228)

Lafal ٍَقَّلََُمْلا adalah lafal ‘âm, mencakup semua wanita yang telah

1 Imam Abu Hamid al-Ghazalîy, Al-Mustashfâ fî Ushûli’l Fiqh, Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 2000, hal 211

ditalak, baik yang sudah digauli ataupun yang belum. Maka ma-sa idah baginya adalah tiga qurû’. Namun dalam nas lain dibedakan antara yang sudah digauli dengan yang belum, yaitu firman Allah:

يُكيَل ٍَمَف َّ ُهوُّسَمَت نَِ ِلَُْق ِم َّ ُهوُمُتْقَّلَط َّمُم ِ ٍَنِمْؤُمْلا ُمُتَِْكَن اَذِإ اوُنَمآ َ يِذَّلا ٍَهُّيَِ ٍَي ْ ي ِم َّ يِهيْنيَليَع ْم

ٍَهَنوُّدَتْعَت ٍةَّدِع Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi per-empuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mere-ka ‘iddah bagimu yang mere-kamu minta menyempurnamere-kannya.” (QS. al-Ahzab: 49)

Kesimpulannya, dari berbagai contoh di atas sebagaimana yang saya sampaikan dalam ushul fikih klasik (semantik), ternyata para ulama tidak hanya melihat satu nas saja dalam menentukan sebuah konklusi hukum. Ayat al-Quran dan hadis nabi adalah satu-kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Memahami satu ayat saja atau satu hadis saja kemudian mengambil kesimpulan hukum akan berakibat fatal.

Bisa saja satu ayat bersifat muthlaq, namun di ayat lain ternyata ada keterangan tambahan yang memberikan qayyad terhadap nas tadi. Atau bisa saja dalam al-Quran, suatu ayat masih bersifat mujmâl (umum), sementara keterangan lebih lanjut berada di sunnah nabi.

Bukankah dalam al-Quran hanya sekadar perintah shalat? Bagaimana detail-detail pelaksanaan shalat? Demikian juga dengan puasa, zakat, haji, dalam al-Quran sangat umum. Sementara detailnya diterangkan oleh hadis nabi. Jadi, tuduhan bahwa rumusan ushul fikih klasik sangat atomistik dan sekadar mengandalkan satu nas saja, terbantahkan dengan sendirinya.

Jika saja Amin Abdullah mau membuka ktab-kitab ushul fikih klasik secara langsung, seperti kitab al-Mankhûl karya Imam Ghazali, al-Mahshûl karya Imam ar-Razi, al-Burhân karya Imam Haramain, dan kitab-kitab ushul lainnya, niscaya beliau tidak akan gegabah

mengam-bil kesimpulan seperti itu. Sayangnya, beliau hanya “kata orang”

dengan menukil pandangan orang lain tanpa merujuk langsung kepada ushul fikih klasik. Akibatnya, tatkala orang lain salah dalam mem-berikan kesimpulan hukum, maka beliau juga ikut salah salah.

Ushul Fikih Klasik Tidak Mengakomodir