Menggugat Fikih Kebinekaan
Wahyudi Sarju Abdurrahim
Menggugat FIkih Kebinekaan
Wahyudi Sarju Abdurrahim, Lc, M.M
ISBN: 978-602-51862-3-3
Judul : Menggugat Fikih Kebinekaan Editor : Mush’ab Bahrah, Lc.
Desain Cover :Dhuha Muhammad Munir Tata Letak : Mush’ab Bahrah, Lc.
Penerbit:
Al Muflihun Publishing Redaksi:
Jl. Wates Km 12 Pedusan RT 59 Argosari Sedayu Bantul DIY 55752 Telp/HP. 0818 266 026
Email: [email protected] Cetakan pertama: Juni 2018
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Persembahan
Buku ini aku persembahkan untuk mereka yang sangat aku cintai;
kedua orang tuaku, istriku dan anak-anakku. Semoga Allah Swt.
senantiasa melimpahkan rahmat dan ampunan kepada mereka.
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Swt atas karunia yang diberikan kepada kita semua. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Saw.
Pada bulan Agustus 2015, Maarif Institute menerbitkan buku “Fikih Kebinekaan”. Buku ini merupakan kumpulan tulisan para intelektual Muhammadiyah. Mereka adalah Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, Drs.
Lukman Hakim Saifuddin, Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Prof. Dr.
Syamsul Anwar, M.A., Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE., Dr. Hamim Ilyas, Dr. Zakiyuddin Baidhawy, Dr. Muhammad Azhar, Hilman Lat- ief, Ph.D., Dr. Zuly Qodir, Dr. M. Tafsir, Dr. Hendar Riyadi, Dr. Mu- hammad Sabri AR., Dr. Biyanto, Dr. Yudi Latif, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, dan Wawan Gunawan Abdul Wahid, Lc., M.A.
Tema yang dibahas terbagi menjadi empat bahasan besar, yaitu lan- dasan filosofis fikih, fikih kenegaraan dan kewarganegaraan, fikih masyarakat dan kemanusiaan, dan fikih kepemimpinan dalam masyarakat majemuk.
Adapun tujuan penulisan buku, seperti yang tertulis pada pendahulu- an buku adalah sebagai berikut, “Ketika “fikih” disandingkan dengan
“kebinekaan”, yang kemudian menjadi judul buku ini, maka maknan- ya adalah pandangan tentang keanekaragaman atau rumusan sikap kaum muslim dalam menghadapi keberbedaan. Tentu saja, tujuan dari fikih kebinekaan bukanlah untuk membuat keseragaman; tidak pula membuat kesamaan pandangan dari pemahaman kaum muslim yang berbeda-beda. Semangat dari Fikih Kebinekaan lebih ditekankan kepada semangat persatuan dan persaudaraan, serta se- mangat untuk menjunjung prinsip keadilan dan kemanusiaan yang didasarkan pada ajaran Islam yang tertuang dalam al-Quran, hadis, serta hasil ijtihad”.
Dari judulnya, saya penasaran. Apalagi judul yang disematkan adalah tentang fikih. Bayangan saya, jika bicara fikih tidak akan lepas dari metodologi ijtihad dan menjadikan al-Quran dan sunnah nabi sebagai pijakan dalam menggali berbagai kesimpulan hukum fikih.
Banyak informasi berharga dalam buku ini. Dari sekian tulisan, ada beberapa kritikan terhadap kajian keislaman dan turas Islam, terutama yang ditulis oleh Amin Abdullah, Hamim Ilyas, dan Muhammad Azhar. Namun menurut pandangan kami, tidak sesuai dengan fakta seperti dalam realitas sejarah dan turas Islam.
Di tambah lagi dengan pisau analisis Barat (baca: hermeneutika- dekonstruksi) untuk mengkaji teks al-Quran, sehingga menimbulkan kerancuan dan pandangan kontraproduktif. Penggunaan hermeneuti- ka dalam kajian al-Quran seperti yang tercantum dalam buku terse- but, menghasilkan pemikiran yang bertolak belakang dengan ijtihad baku para ulama klasik. Fatalnya adalah pandangan relativitas kebenaran dan menganggap hasil ijtihad para ulama secara kese- luruhan merupakan hasil interpretasi manusia yang mungkin benar dan mungkin salah. Relativitas kebenaran tanpa melihat pada standar ijtihad ulama ushul, dapat berakibat sangat fatal karena akan men- dekonstruksi pemikiran Islam secara keseluruhan, termasuk keya- kinan mendasar bagi umat Islam terkait dengan konsep tauhid dan ibadah mahdah.
Saya memandang bahwa pemikiran seperti ini, jika dibiarkan akan berbahaya. Ijtihad sekadar menjadi justifikasi untuk meruntuhkan aja- ran Islam. Ruang-waktu dan konteks sejarah teks menjadi “Tuhan baru” yang dapat dijadikan sebagai alasan mendasar untuk mengubah hukum syariat dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pem- baca teks dianggap mempunyai otoritas mutlak untuk memaknai kan- dungan teks.
Dari sini kami merasa punya tanggung jawab untuk untuk melurus- kan pandangan di atas. Kami membongkar langsung turas Islam dari
sumbernya untuk disampaikan secara obyektif sebagai bukti empiris untuk menunjukkan bahwa apa yang mereka tuding mengenai turas Islam, tidak sepenuhnya benar. Kami juga menyampaikan persoalan mendasar yang sudah menjadi kesepakatan ulama (ijmak) terkait pemahaman teks. Dari sini kita dapat mengetahui, mana hasil ijtihad yang boleh diinterpretasi ulang dan mana yang tidak diperbolehkan serta alasan mendasar terkait standar tadi.
Dalam mengcounter buku fikih kebinekaan, kami sampaikan tulisan atau paragraf yang terdapat dalam buku tersebut yang kami anggap tidak sesuai, kemudian kami counter sesuai dengan pengetahuan pen- dek kami. Modelnya seperti manhaj jadal yang umum digunakan oleh para ulama klasik, namun dalam format yang berbeda. Model counter seperti ini kami pelajari dari para ulama besar seperti Ghaz- ali, Ibnu Rusyd, Zamahsyari, Imam Amidi, Ibnu Taimiyah, dan lain sebagainya.
Kami menggunakan pijakan ushul fikih dan kalam Asy’ari untuk menganalisa pendapat para penulis. Dalam buku ini akan Anda temukan banyak kaedah ushul atau kaedah fikih. Sementara untuk kalam Asy’ari, kami gunakan dalam memandang al-Quran sebagai kalamullah yang azal, sebagai counter atas anggapan tentang al- Quran yang dianggap sebagai produk budaya.
Sesungguhnya masih ada pendapat lain di luar tiga tokoh intelektual yang pendapatnya kontraproduktif. Hanya saja, kami mencukupkan diri pada tiga pemikir tersebut karena banyak terkait dengan funda- mental ajaran Islam.
Pada akhirnya, tidak ada yang sempurna di jagat ini. Manusia sekadar makhluk lemah yang diberi setitik ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Masukan kon- struktif sangat kami harapkan. Semoga buku ini bermanfaat bagi umat. Amin
Cairo, 12 Syawal 1437 H 17 Juli 2016 M Al-Faqir Ilallah,
Wahyudi Sarju Abdurrahim
Daftar Isi
1. Telaah Kriris atas Pemikiran Amin Abdullah ... 11
2. Sistem Pembacaan yang Tidak Orisinil ... 13
3. Amin Abdullah; al-Quran sebagai Muntaj Tsaqafi (Produk Budaya) ... 17
3. Beda antara Produk Budaya dengan Kalamullah ... 21
4. Ada Campur Tangan Manusia dalam “Pembuatan” al-Quran ... 23
5. Asbabun Nuzul, Dialektika Materialis, dan Dekonstruksi al-Quran ... 27
6. Maqashid Syariah atau Maqashid Budaya? ... 37
7. Benarkah Ushul Fikih Klasik Bersifat Atomistik? ... 47
8. Ushul Fikih Klasik Tidak Mengakomodir Kehidupan Sosial dan Budaya dalam Putusan Hukum? ... 57
9. Benarkah Pembacaan Teks Ulama Klasik Tidak Tematis? ... 65
10. Pemisahan Syariat dan Fikih, Ide Barukah? ... 69
11. Soal Budaya, Ternyata Amin Abdullah Tidak Konsisten ... 73
12. Inilah Kerancuan Jika Urf Digabung dengan Wawasan Keilmuan ... 75
13. Cara Pandang Terhadap Hukum Islam Perlu Direformasi? ... 79
14. Benarkah Maqashid Tradisional Tidak Mempunyai Dimensi Sosial dan Publik? ... 83
15. Telaah Kritis atas Pemikiran Hamim Ilyas ... 87
16. Rekonstruksi Ilmu Fikih? ... 89
17. Kitab Tafsir Pra-Industri Tidak Inspiratif? ... 93
18. Periodisasi Sejarah yang Keliru ... 99
19. Tema Bahasa Tafsir “Abad Tengah” Sangat Terbatas? ... 103
20. Ulama Islam Tidak Berwawasan? ... 107
21. Terkait Turas Islam, Hamim Ilyas Ternyata Tidak Konsisten . 111 22. Tafsir Pra-Modern Tidak Bisa Dijadikan Rujukan ... 113
23. Ternyata Solusi Krisis Adalah Tafsir Hermeneutika? ... 117
24. Antara Idealisme dan Contoh Praktis ... 121
25. Telaah Kritis atas Pemikiran Muhammad Azhar ... 123
26. Mengganti Keyakinan Fikih Klasik? ... 125 27. Pemikiran Keislaman Islam didominasi Corak Epistemologi
Klasik... 127
28. Literatur Islam Klasik Masih Bersifat Normatis-Bayani?... 131
29. Wacana Keislaman Klasik Belum Beranjak ke Wilayah Transformasi Sosial? ... 135
30. Epistemologi Keilmuan Islam Klasik Masih Bersifat Eksklusif ... 143
31. Khazanah Islam Klasik Terkait dengan Ruang Historis Masa Lalu ... 147
32. Epistemologi Islam Klasik Harus Diganti? ... 155
33. Ilmu Tauhid Harus Direkonstruksi? ... 163
34. Tafsir Ulang atas Rumusan Keilmuan Islam... 169
35. Epistemologi Lama Ketinggalan Zaman? ... 175
36. Benarkah Nas Berikut Sabda Nabi? ... 181
37. Qaul Jadid dan Qadim, Justifikasi Subyektifitas Penafsir? ... 185
38. Fikih Berubah sesuai Dinamika Zaman? ... 187
39. Illat Sebagai Justifikasi Perubahan Fikih? ... 195
40. Nilai-nilai Syariat Umumnya Bersifat Universal? ... 201
41. Teks Akidah pun Ahistoris? ... 207
42. Formalisasi Hukum Islam Sama Artinya Kembali ke Masa Lalu? ... 215
43. Kaedah Ushul yang Diselewengkan ... 219
44. Produk Fikih yang Tekstual? ... 223
45. Produk Keilmuan Klasik Mengabaikan Dimensi Perubahan ... 229
46. Studi Keislaman Klasik Berdimensi Fenomena Clash of Civilization? ... 243
43. Khazanah Islamic Studies Tidak Peka Sosial ... 259
Penutup ... 269
Daftar Pustaka ... 275
Tentang Penulis ... 289
Bagian Pertama:
Telaah Kritis atas Pemikiran
Amin Abdullah
Sistem Pembacaan yang Tidak Orisinil
B
eberapa waktu lalu, saya mendapatkan hadiah buku dari rekan yang baru saja pulng dari Tanah Air. Bukunya cukup istimewa, karena ditulis oleh para intelektual Muhammadiyah. Buku ini cukup fenomenal dan pernah menjadi perdebatan di internal Muhammadiyah.Buku itu adalah “Fikih Kebinekaan”.
Awalnya saya baca sekilas, dari sambutan-sambutan hingga akhir buku. Saya lihat judul setiap artikel, lalu juga saya lihat literatur yang dijadikan sebagai rujukan. Dari situ saya menemukan banyak keanehan, keunikan dan bahkan “kelucuan”. Akhirnya saya tertarik untuk mulai membaca satu per satu secara tuntas.
Tulisan yang pertama kali saya baca adalah tulisannya M. Amin Abdullah. Judulnya “Memaknai al Ruju ilaa al-Qur’an wa al Sunnah;
dari Qiraah Taqlidiyah ke Tarikhiyyah Maqashidiyah”. Ia menulis dari halaman 49-83. Tulisannya cukup lugas dan jelas. Di dalamnya banyak memberikan peta pemikiran mengenai sistem pembacaan teks para ulama. Juga kritik terhadap kajian turas Islam yang dianggap terlalu rigit. Dari bacaan saya terhadap tulisan beliau, saya mempunyai beberapa catatan, di antaranya sebagai berikut:
Pertama, dilihat dari judul, nampak bahwa beliau mengkaji mengenai cara pembacaan teks dengan merujuk pada al-Quran dan sunnah. Ini terlihat dari judul ekornya, yaitu “dari Qiraah Taqlidiyah ke Tarikhiyyah”. Penulis ingin menyampaikan kritikannya terhdap sistem pembacaan teks yang dikaji para ulama klasik. Kemudian setelah memberikan catatan terhadap sistem pembacaan ulama tersebut, beliau menawarkan sistem bacaan yang lebih sesuai dengan konteks kontemporer.
Jelas sekali dalam tulisannya, beliau memberikan kritikan terhadap cara baca ulama klasik terhadap teks (al-Quran Sunnah). Sayangnya kritikan tajam beliau ini bukan murni dari pendapat beliau. Semua kritikannya adalah “kata orang”. Beliau tidak membaca langsung turas
Islam, namun dari orang kedua yang membaca turas Islam, lalu mengkritiknya, dan kritik orang kedua ini yang beliau jadikan pegangan.
Dari mana kita tahu bahwa kritikannya itu bukan murni dari pendapat beliau? Dari litelatur yang digunakan. Meski beliau mengkritik turas Islam namun tidak satu pun kitab kuning yang dijadikan sebagai referensi. Semua litelatur yang digunakan adalah litelatur kontemporer.
Itu pun sebagian besar dari intelektual yang beraliran kiri atau sekuler atau dari para orientalis. Ini bukti nyata bahwa beliau sekadar menggunakan litelatur sekunder dan bukan primer.1 Bagi seorang peneliti, literatur mempunyai posisi yang sangat vital. Penelitian bisa diterima dan dianggap obyektif jika banyak menggunakan literatur primer. Jika penelitian sekadar mengandalkan literatur sekunder, maka penelitiannya dianggap kurang obyektif. Ia sekadar menukil dan mengemukakan hasil penelitian orang lain. Di sini tidak ada orisinalitas atas obyek yang diteliti. Contohnya, beliau banyak bicara tentang maqashid syariah, tapi tidak ada buku maqashid syariah dari ulama klasik yang dijadikan sebagai rujukan. Padahal di situ beliau banyak memberikan kritikan seputar ilmu maqashid klasik. Al-Muwâfaqât Syathibi yang sangat monumental pun, luput dari bahan rujukan beliau.
Semestinya M. Amin Abdullah membaca langsung turas Islam secara mandiri. Dari hasil bacaannya, baru ia menyimpulkan mengenai sistem pembacaan teks para ulama klasik. Jadi yang disampaikan beliau ini benar-benar karya beliau secara obyektif dan orisinil.
1 Perhatikan literatur yang digunakan Amin Abdullah berikut ini:
1. Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhûm al-Nash: Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Maghrib: al- Markaz al-Tsaqafy al-Araby
2. Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi: Central Institute of Islamic Research.
3. Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporarary Approach, London and New York: Routledge.
4. Roel Meijer, “Introduction”, dalam Roel Meijer (Ed.), Global Salafism: Islam’s New Religious Movement, London: Hurst & Comopany.
Soal Penggunaan literatur sekunder ini saya anggap sebagai kelemahan mendasar dan sangat fatal sehingga menggugurkan semua kesimpulan yang disampaikan dalam lembaran-lembaran selanjutnya.
5. Muhammad al-Masa’ari, “Definite Proof of the Illegitimacy of the Saudi State”, da- lam Ibrahim M. Abu-Rabi’ (ed.), The Contemporary Arab Reader on Political Islam, Edmonton, Canada: The Univesity of Alberta Press, 2010.
6. Roel Meijer, “Commanding Right and Forbidding Wrong as a Principle of Social Ac- tion: The Case of the Egyptian al-Jama’a al-Islamiyya”, dalam Roel Meijer (Ed.), Global Salafism: Islam’s New Religious Movement, London: Hurst & Company.
7. Reuven Paz, Debate within the Family: Jihadi-Salafi debates on the Strategy, Takfir, Extremism, Suicide Bombings and the sense of Apocalypse”, dalam Roel Meijer (Ed.), Global Salafism: Islam’s New Religious Movement, London: Hurst & Company.
8. Abdullah Saeed, Islamic Thought: Introduction, New York: Routledge.
9. Mowafg Abrahem Masuwd, “Re-reading of the Islamic Heritage: Reality and the Qur’an between the Tafsîr, Hermeneutics and Takfîr”, paper kelas belum diterbitkan, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Januari, 2015.
10. Khaled Abou El-Fadl, Speaking in God’s Name, Oxford: Oneworld Publications.
11. Khaled Abou El-Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Wowen, Oxford: Oneworld Publications.
12. Ronald L. Netler, “Mohamed Talbi on understanding the Qur’an”, dalam Suha Taji- Farouki (Ed.), Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an, Oxford: Oxford University Press.
13. Amina Wadud, Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam, Oxford: One- world.
14. Jasser Auda, Maqasid al-Syari’ah as a Philosophy of Islamic Law: A Systems Ap- proach, London dan Washington: The International Institute of Islamic Thought.
15. Abdul Karim Soroush yang disitir Clinton Bennett, Muslims and Modernity: An In- troduction to the Issues and Debates, London dan New York: Continuum.
16. Ibrahim M. Abu-Rabi’, “A Post-September 11 Critical Assessment of Modern islam- ic History”, dalam Ian Markham dan Ibarhim M. Abu-Rabi’ (eds.), 11 September: Reli- gious Perspectives on the Causes and Consequences, Oxford: Oneworld Publications.
17. Muhammad al- Talbi, ‘Iyâlullâh: Afkâr Jadîdah fî ‘Alâqah al-Muslim bi Nafsihi wa bi al-Âkharîn, Tunisia: Dar Siras li al-Nasyr.
Amin Abdullah; al-Quran sebagai Muntaj Tsaqafi (Produk Budaya)
S
ebelumnya saya menyatakan bahwa dalam tulisannya, M. Amin Abdullah menggunakan literatur sekunder dan bukan literatur primer. Model penulisan seperti ini saya anggap sebagai sebuah kesalahan fatal sehingga tulisan di lembaran-lembaran selanjutnya dianggap gugur. Meski demikian, saya akan mencoba untuk mem- berikan catatan dari tulisan beliau tersebut.
Di halaman 50 dituliskan sebagai berikut:
Adalah Nasr Hamid Abu Zaid, lewat perspektif kajian linguistik, bu- daya dan sejarah, yang menegaskan bahwa al-Quran tidak dapat dipisahkan dari fenomena budaya dan sejarah Arab pada saat al- Quran diturunkan (muntaj ats-tsaqafi, produk budaya). Bahasa lain dari apa yang biasa dan umum digunakan dalam ulumul quran yaitu azbabunnuzul (sebab-sebab diturunkannya al-Quran).1
Di sini, Amin Abdullah mengamini pernyataan Nasir Hamid tersebut.
Bukan hanya menerima mentah-mentah, bahkan beliau mendukung pernyataan Nasr.
Benarkah al-Quran produk budaya?
Sebelumnya kita harus pahami dulu apa itu budaya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya/bu·da·ya/ n 1 pikiran; akal budi: hasil –; 2 adat istiadat: menyelidiki bahasa dan –; 3 sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju): jiwa yang –; 4 cak sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah su- kar diubah.2
Dari beberapa makna tadi, bisa disimpulkan bahwa budaya tidak le- pas dari hasil kreasi pikiran manusia. Budaya bisa dimaknai sebagai
1 Amin Abdullah pada buku Fikih Kebinekaan, Mizan Pustaka, 2015 hal. 50
2 Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, 2008, hal. 226.
tradisi atau kebiasaan yang berkembang dan terpatri di masyarakat.
Di antara produk dari budaya ini adalah bahasa, adat istiadat, perilaku dan lain sebagainya. Jika kita mengatakan bahwa al-Quran adalah produk budaya, itu artinya kita mengatakan bahwa al-Quran merupa- kan produk dari masyarakat dan bukan wahyu Tuhan.
Budaya bisa berubah sesuai dengan ruang waktu. Budaya bisa berkembang dan bahkan bisa hilang sama sekali. Eksistensi sebuah budaya tergantung kepada masyarakat setempat. Banyak bahasa di dunia yang dulu ada, seperti bahasa Mesir Kuno, Jawa Kuno, Babilo- nia, dan lain sebagainya, sekarang bahasa itu sudah tidak ada lagi.
Demikian juga dengan tradisi dan kebiasaan di suatu masyarakat, banyak yang dulu ada, sekarang sudah tidak ada dan digantikan dengan budaya baru. Jika kita mengatakan al-Quran sebagai produk budaya, itu sama artinya kita mengatakan bahwa al-Quran bisa berkembang sesuai dengan tatanan masyarakat, bisa ditambah dan dikurangi, dan bisa saja suatu saat nanti akan tiada. Al-Quran juga bisa berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jika masyarakat sudah tidak membutuhkan lagi, al-Quran bisa dicampakkan layaknya budaya-budaya yang ada di dunia ini.
Budaya adalah makhluk. Ia bermula dari ketiadaan, lalu menjadi ada.
Suatu saat nanti, ia akan tiada lagi. Ini adalah ciri-ciri dari sifat ma- khluk. Jika kita mengatakan bahwa al-Quran adalah produk budaya, maka sama artinya kita mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk.
Ia dulu tidak ada, kemudian ada dan suatu saat nanti ia akan sirna.
Jadi, al-Quran bukan lagi kalamullah yang bersifat azal. Al-Quran sekadar hasil kreasi manusia yang bersifat fana.
Pernyataan bahwa al-Quran produk budaya implikasinya sangat be- sar. Dengan anggapan ini, nilai sakralitas al-Quran punah seketika. Al -Quran bukan lagi kitab suci yang layak dijadikan sebagai pedoman hidup. Al-Quran tidak ada bedanya dengan primbon Jawa atau buku- buku sastra lainnya yang merupakan hasil kreasi manusia. Pantaslah jika kemudian, Nasr Hamid Abu Zaid oleh Pengadilan Mesir dijatuhi
vonis kafir. Hal itu, karena secara tidak langsung, ia sudah tidak percaya lagi dengan al-Quran. Jika seseorang sudah tidak pecaya al- Quran sebagai kalamullah dan merupakan wahyu dari Allah, lantas untuk apa lagi beragama?
Beda antara Produk Budaya dengan Kalamullah
D
i halaman 50, Amin Abdullah menukil pendapat Nasr Hamid se- bagai berikut:Al-Quran bagi umat manusia adalah kitab suci. Al-Quran adalah kalam ilahi (kalam Allah). Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Mu- hammad melalui malaikat Jibril. Meskipun al-Quran sepenuhnya ada- lah bersifat divine (ilahiyah, ketuhanan), namun sepenuhnya ia juga menggunakan bahasa manusia (insaniyah, kemanusiaan)-dalam hal ini adalah bahasa Arab. Dengan menggunakan media bahasa, maka risalah atau pesan yang disampaikan menjadi dapat dikomunikasikan, dipa- hami dan dimengerti oleh manusia para penerima pesan ketuhanan ter- sebut. Dalam hal penggunaan bahasa manusia sebagai media komu- nikasi untuk menyampaikan pesan ketuhanan yang suci, maka keterli- batan dan peran budaya juga ada terselip di situ. Karena bahasa adalah fenomena budaya. Bi shawtin wa harfin (dengan suara dan huruf) ada- lah fenomena budaya.1
Mari kita lihat:
Ungkapan di atas sesunggunya tidak problematik, bahkan ini menjadi kesepakatan ulama ushul dan ulama kalam. Ulama ushul tatkala me- letakkan ilmu semantik, atas kesadaran mereka bahwa bahasa al-Quran yang berupa bahasa Arab adalah bahasa makhluk. Jadi para ulama kalam dan ushul “mengotak-atik” bahasa al-Quran yang makhluk itu.2
Para ulama dari kalangan Asy’ari, seperti Imam Razi, Imam Haramain, dan lainnya berpendapat bahwa al-Quran bisa dipahami dari dua di- mensi: Pertama, dimensi kemanusiaan, yaitu bahasa Arab sebagai ba- hasa manusia. Kedua, dimensi ketuhanan, yaitu ruhul Quran yang azal.1
1 Amin Abdullah, ibid, hal. 50
2 Menurut Dr. Muhammad Bakar Ismail Habib bahwa Tuhan menurunkan kitab suci dengan bahasa manusia sebagai rahmat dan belas kasih Tuhan kepada hamba-Nya.
Lebih lengkapnya, lihat Dr. Muhammad Bakar Ismail Habib, Ushûlu’l Fiqhi Wafq manhâji Ahli al-Sunnati wa al-Jamâ’ati al-Qur’ân al-Karîm dalîlu al-Adillati wa Ashlu al -Ushûl, cet. 1, 1999, hal. 77
Jika berhenti sampai sini saja, tentu masih bisa diterima. Sayangnya perkataan tadi dinegasikan oleh pernyataan setelahnya yaitu:
Adalah Nasr Hamid Abu Zaid, lewat perspektif kajian linguistik, bu- daya dan sejarah, yang menegaskan bahwa al-Quran tidak dapat dipisahkan dari fenomena budaya dan sejarah Arab pada saat al-Quran diturunkan (muntaj ats-tsaqafi, produk budaya). Bahasa lain dari apa yang biasa dan umum digunakan dalam ulumul quran yaitu azbabun- nuzul (sebab-sebab diturunkannya al-Quran).2
Paragraf terakhir ini sangat kontradiktif dan menegasikan atas pern- yataan sebelumnya yang menyatakan bahwa al-Quran sebagai kalamul- lah. Mengapa demikian? Karena sangat berbeda antara al-Quran yang bisa ditinjau dari dua dimensi, dengan al-Quran sebagai produk budaya.
Yang pertama tetap menguatkan al-Quran sebagai kalamullah, semen- tara yang kedua menafikan al-Quran sebagai kalam Allah. Hal ini kare- na produk budaya artinya adalah hasil kreasi umat manusia. Artinya, al- Quran adalah buatan umat manusia.
1 Qadhi Abu Ya’la al-Hambali, Tahqiq Dr. Wadi’ Zaidan al-Haddad, Al-Mu’tamad Fî Ushulîddîn, Dar al-Masyriq, Lebanon, 92. Lihat juga, Muhammad ‘Abdul ‘Azhim Azzarqani, Manâhilu’l ‘Irfân fî ‘Ulûmi’l Qur’an, jilid I, Dâr al-Kutub al-‘llmiyyah, Beirut, cet I, 1988, hal. 18.
Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad bin Idris bin Abdurrahman al-Maliki, Al-Furûq aw Anwârul Burûq Fî Anwâ’il Furûq, Jilid 3, hal. 75.
Nizhamuddin al-Hasan bin Muhammad bin Husain al-Qummi an-Nisaburi, Gharâ’ibul Qur’ân wa Raghâ’ib, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, jilid 5, 1996, hal. 622.
Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-Badri, At-Tuhfah As-Sunniyyah Syarhu Manzhûmati Ibni Abî Dâwûd al-Ha’iyyah, Mathabi Adhwa al-Muntada, jilid 1, hal. 21. Idhuddin Ab- durrahman bin Hamad al-Iji, Kitâbul Mawâqif, Darul Jailid, Beirut, jilid 3, 1997, hal.
135.
2 Amin Abdullah, Op. Cit.
Ada Campur Tangan Manusia dalam “Pembuatan” al-Quran?
D
i buku Fikih Kebinekaan hal. 50 M. Amin Abdullah menyatakan sebagai berikut:Meskipun al-Quran sepenuhnya adalah bersifat divine (ilahiyah, ketuhanan), namun sepenuhnya ia juga menggunakan bahasa manusia (insaniyah, kemanusiaan)-dalam hal ini adalah bahasa Arab.
Namun pendapat di atas dimentahkannya sendiri. Dia mengamini pen- dapat yang menyatakan bahwa ayat-ayat al-Quran ada unsur humani- tasnya. Di sini, dia tidak konsisten. Perhatikan pernyataan berikut (halaman 52):
Aspek divinitas dan humanitas menjadi persoalan serius dalam pembic- araan para mutakallimun (ahli teologi Islam) dan juga fuqaha (para ahli fikih) sejak awal munculnya Islam. Apakah al-Quran 100% divinitas dan 100% humanitas? Atau 50% dan 50% pembagiannya? Atau 75%
dan 25%.1 Mari kita lihat:
Jelas sekali persetujuan beliau mengenai pendapat yang menyatakan bahwa ada unsur humanitas dalam al-Quran. Bahkan sampai ada yang berpendapat 100 persen al-Quran humanitas. Ini artinya ada campur tangan manusia dalam “pembuatan” ayat suci al-Quran.
Amin Abdullah menyatakan bahwa pendapat ini disandarkan dari para fukaha dan mutakallimun. Sayangnya beliau sama sekali tidak me- nyebutkan, siapakah ulama kalam dan fukaha yang berpendapat bahwa ayat-ayat al-Quran ada sisi humanitasnya? Di buku apa pendapat ini tertulis? Dengan demikian, kita bisa mengklarifikasi pendapat Amin Abdullah tersebut.
Jika kita membuka turas Islam, seluruh ulama Islam tanpa terkecuali, termasuk ulama kalam baik dari Ahli Sunnah, Muktazilah, Murjiah,
1 Amin Abdullah, ibid. hal. 50.
Khawarij, Syiah dan lainnya, para ulama mazhab dari Hanafiyah, Syafiiyah, Hambaliyah, Zhahiriyah, Malikiyah, Jakfariyah dan lain se- bagainya, dari kalangan mufassir, dan lain-lain bersepakat bahwa al- Quran adalah murni kalamullah. Tidak ada unsur kemanusiaan sama sekali dalam kitab Allah.1 Pendapat para ulama itu berasal dari firman Allah sendiri dalam kitab suci. Perhatikan firman Allah berikut:
ٍمي ِرَك ٍلوُس َر ُل ْوَقَل ُهَّنِإ
( 91
) ٍ ينيِكَم ِش ْرَعْلا يِذ )
) ٍ ينيِمَِ َّميَم ٍ ٍيََيُم (20 ْميُكيُُي ِبٍيََ ٍيَم َو (21
) ٍنوُنْجَمِب 22
(
Artinya: “Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila.” (QS. at- Takwir: 19-22)
Allah sendiri menantang siapapun dari golongan jin dan manusia yang bisa membuat al-Quran, supaya membuatnya. Firman Allah:
ُد ْ ِم ْمُكَءاَدَهُش اوُعْدا َو ِهِلْثِم ْ ِم ٍة َروُسِب اوُتْأَف ٍَنِدَُْع ىَلَع ٍَنْل َّزَن ٍَّمِم ٍبْي َر يِف ْمُتْنُك ْنِإ َو ِنو
ْنِإ ِ َّللَّا
) َ نِقِدٍََ ْمُتْنُك ْ َّديِعُِ ُة َرٍيَجي ِِيْلا َو ُسٍَّنلا ٍَهُدوُق َو يِتَّلا َرٍَّنلا اوُقَّتٍَف اوُلَعْفَت ْ َل َو اوُلَعْفَت ْمَل ْنِإَف (23
) َ ي ِرِفٍَكْلِل 24
(
Artinya: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong- penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) – dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari Neraka yang bahan ba-
1 Abu Ya’la, log. cit. hal. 42.
Abdul Muhsin bin Hamad bin Abdul Muhsin bin Abdullah bin Hamad al-Ibad al-Badr, Al-Intishâr li Ahli as-Sunnah wal Hadîs fî Raddi Abâthili Hassân al-Mâliki, Darul Fadilah, Riyadh, jilid 1, 2003, hal. 37.
Syamsuddin Abu al-Aun Muhammad bin Ahmad bin Salim As-Safarini al-Hanbali, Lawâmi’ul Anwâr Al-Bahiyyah wa Sawâthi’u al-Asrâr al-Atsariyyah Li Syarhi Addurrah al-Madhiyyah Fî Aqdi Al-Firqah al-Mardhiyyah, Muassasah al-Khaifin, jilid 1, hal. 162
karnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kaf- ir.” (QS. al-Baqarah: 23-24)
Allah juga menyatakan bahwa jika seluruh manusia dan jin berkongsi untuk membuat al-Quran, niscaya ia tidak akan pernah mampu mem- buatnya. Firman Allah:
يَك ْوَل َو ِهِلْثِمِب َنوُتْأَي َلَ ِنَآ ْرُقْلا اَذَه ِلْثِمِب اوُتْأَي ْنَِ ىَلَع ُّ ِجْلا َو ُسْنِ ْلْا ِتَعَمَتْجا ِ ِئَل ْلُق ْميُهيُُيْعيَب َنٍ
ا ًرنِهَظ ٍضْعَُِل
Artinya: “Katakanlah: “ Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS. al-Isra’: 88)
Allah sendiri berjanji akan selalu menjaga al-Quran dari campur tangan manusia. Firman Allah:
َنوُظِفٍََِل ُهَل ٍَّنِإ َو َرْكِ ذلا ٍَنْل َّزَن ُ َِْن ٍَّنِإ
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr: 9)
Tudingan bahwa ada sisi humanitas di ayat-ayat al-Quran bukanlah pendapat baru. Ini sudah ada sejak masa Nabi Muhammad Saw. Per- hatikan firman Allah berikut:
َِّللَّا ِنوُد ْ ِم ْمُتْعَََتْسا ِ َم اوُعْدا َو ٍ ٍَي َرَتْفُم ِهِلْثِم ٍر َوُس ِرْشَعِب اوُتْأَف ْلُق ُها َرَتْفا َنوُلوُقَي ْمَِ
ْميُتيْنيُك ْنِإ
) َ نِقِدٍََ
يُتيْنَِ ْليَهيَف َويُه َّلَِإ َهيَلِإ َلَ ْنَِ َو ِ َّللَّا ِميْلِعِب َل ِزْنُِ ٍَمَّنَِ اوُمَلْعٍَف ْمُكَل اوُُن ِجَتْسَي ْمَل ْنِإَف (13 ْم
) َنوُمِلْسُم 14
(
Artinya: “Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat- buat al-Qur’an itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), maka da- tangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”. Jika mere-
ka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka ketahuilah, sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka maukah kamu ber- serah diri (kepada Allah)?” (QS. Hud: 13-14)
Jadi, tulisan Amin Abdullah tentang humanitas al-Quran itu, sekaligus menegasikan pendapat dia sebelumnya. Saya sendiri bingung membaca tulisan beliau ini. Tulisan yang sangat pendek, tapi banyak sekali ter- dapat kontradiksi antara satu dengan lainnya. Tidak ada konsistensi da- lam berpendapat. Apakah beliau paham dengan apa yang dituliskannya, atau sekadar menukil saja dari pendapat orientalis tanpa ada sikap kritis sama sekali? Atau ini membenarkan pendapat saya sebelumnya bahwa pemikiran beliau sebenarnya sekadar membebek pada pemikiran orien- talis?
Asbabun Nuzul, Dialektika Materialis, dan Dekonstruksi al-Quran
M
enurut Amin Abdullah, al-Quran turun di ruang waktu tertentu.Ia turun di budaya dan sosial politik Arab masa lalu. Untuk me- mahami nas al-Quran, harus paham terhadap azbabun nuzul sebagai bagian dari konteks Arab pada waktu ini.
Tentang pentingnya azbabun nuzul, beliau menyatakan:
Adapun yang disebut dalam kategori kontekstualitas adalah mereka yang menekankan betapa pentingnya memahami konteks sejarah, so- sial dan budaya dari etika dan hukum (ethico-legal) dari sisi al-Quran dan berikut khazanah tafsir yang menyertainya sepanjang zaman.
Mereka menekankan betapa pentingnya memahami muatan isi etika dan hukum al-Quran dalam cahaya sinar konteks politik, sosial, se- jarah, budaya dan ekonomi pada saat ia diturunkan, kemudian diinter- pretasikan/ditafsirkan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan begitu mereka berpendapat adanya kebebasan yang tinggi bagi para cerdik cendekia dan ulama setiap masa yang dilalui sejarah peradaban Islam, lebih-lebih era modern sekarang ini, untuk menen- tukan apa dan mana saja yang diyakini atau dianggap sebagai hal yang tidak tetap (unchangeable/al-mutaghayyirat) serta apa dan mana saja yang diyakini dan dianggap sebagai hal yang tetap (changeable/ats- tsawabit) dalam wilayah muatan dan ini etika dan hukum.1
Kemudian di halaman 60 juga ada ungkapan senada sebagai berikut:
Oleh karenanya, bagi para penafsir kontekstual progresif, arti dan peran asbabun nuzul menjadi sangat penting. Konteks sosial dan bu- daya saat pewahyuan sangat penting.2
Perkataan mengenai urgensi asbabun nuzul tersebut masih diulang be- berapa kali di lembaran setelahnya. Benarkah sedemikian penting asba- bun nuzul?
Jika kita membaca kitab turas seperti kitab al-Itqân karya Imam Suyuthi, atau karya ulama kontemporer seperti Mustafa Muslim, az- Zarqani, dan lainnya1, kita akan mendapatkan beberapa hikmah mengenai pentingnya asbabun nuzul, di antaranya untuk membantu
1 Amin Abdullah, log. cit, hal 54-55
2 Amin Abdullah, log. cit. hal. 60
memahami nas dan juga membuka hikmah atas suatu nas. Selain Imam Suyuthi, para ulama ushul dan fukaha, seperti Imam Subki dan Imam Syathibi juga berpendapat senada, bahwa asbabun nuzul dapat mem- bantu dalam memahami nas.2
Misalnya kita melihat pernyataan Imam Haramain sebagai berikut:
Hanya saja, asbabun nuzul ini bukan segala-galanya. Hal ini mengingat bahwa tidak semua ayat al-Quran mempunyai asbabun nuzul. Terkait hal ini, imam Suyuthi berpendapat bahwa ayat al-Quran dibagi menjadi dua, pertama yang memang ada asbabun nuzulnya dan kedua ayat-ayat yang tidak memiliki asbabun nuzul.3
Perhatikan pernyataan Imam Suyuthi berikut ini:
Untuk ayat yang mempunyai asbabun nuzul, hukum yang berlaku tidak khusus untuk person atau peristiwa tertentu saja, namun hukum berlaku umum. Di sini yang digunakan adalah kaedah:
بُسلا صوصخب لَ ظفللا مومعب ةرُعلا Artinya: Ibrah (ketetapan hukum) diambil dari keumuman lafal dan bukan dari kekhususan sebab turunnya ayat.1
Jika sebatas ini saja, apa yang disampaikan oleh Amin Abdullah benar adanya. Namun yang ingin ia sampaikan sesungguhnya lebih dari ini.
Tulisan terkait sosio kultural bahasa dan budaya Arab dianggap
1 Mustafa Muslim, Mabâhist fî Attafsîr al-Maudhû’iy, Dar al-Qalam, cet 5, 2005, hal 41.
Ahmad bin Abdullah Azahrani, At-Tafsîr al-Maudhû’iy Lil Qur’ân al-Karîm Wa Namâdzij Minhu, Al-Jam’iah al-Islamiyyah bil Madinah, hal. 17. Muhammad Abdul Adzhim Az-Zarqani, Manâhilul Irfân Fî ‘Ulîmil Qur’ân, Mathba’ah Isa al-Babiy Al- Halabiy, jilid 1, hal 106.
Abdurrahman bin Abi Bakar Jalaluddin as-Suyuti, Al-Itqân fî ‘Ulûmil Qur’ân, Al-Hai’ah al-Mishriyyah al-Aammah lil kitab, 1974, jilid 1, hal. 107.
2 Ali bin Abdul Kafi As-Subki, Al-Ibhâj Fî Syarhi al-Minhâj ‘Ala Minhâjil Wushûl Ilâ ‘Ilmil Ushûl, Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1404 H, jilid 2 hal. 188.
Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi al-Gharnathi Asy-Syathibi, Al- Muwâfaqât, Dar Ibnu Affan, 1997, jilid 4, hal. 487.
Muhammad ath-Thahir bin Muhammad bin Muhammad ath-Thahir Ibni Asyur at- Tunisi, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, Ad-Dar At-Tunisiyyah li Annasyr wa At-tauzi, 1984, jilid 1 hal. 24
3 Imam Suyuti, Op. cit.
mempunyai andil penting dalam “pembentukan” al-Quran. Perhatikan kutipan berikut:
Adalah Nasr Hamid Abu Zaid, lewat perspektif kajian linguistik, bu- daya dan sejarah, yang menegaskan bahwa al-Quran tidak dapat dipisahkan dari fenomena budaya dan sejarah Arab pada saat al-Quran diturunkan (muntaj ats-tsaqafi, produk budaya). Bahasa lain dari apa yang biasa dan umum digunakan dalam ulumul quran yaitu asbabun nuzul (sebab-sebab diturunkannya al-Quran).2
Di sini ada semacam pengakuan mengenai terjadinya dialektika antara realitas sosial, politik, dan budaya dengan nas al-Quran. Jadi, dia ingin membuktikan bahwa al-Quran sebagai produk budaya dengan keberadaan asbabun nuzul itu. Unsur realitas sosial dalam pemben- tukan suatu pemikiran, merupakan ciri khas dialektika materialis. Di sini, realitas dianggap segala-galanya. Unsur materi mempunyai andil besar dalam segala tindak tanduk manusia. Bahkan al-Quran sebagai kitab suci pun tidak lepas dari pengaruh dialektika sosial ini.
Benarkan demikian? Tentu saja tidak. Al-Quran adalah kalamullah yang azal.3 Sebelum budaya Arab ada, al-Quran dengan lafal dan mak- na sudah ada. Bahkan sebelum alam raya ini ada, al-Quran sudah ada.
Model dialog pada ayat al-Quran yang terkadang memberikan jawaban atas peristiwa tertentu itu, sesungguhnya sudah ada sebelum orang itu bertanya. Artinya bahwa peristiwa tertentu itu, bukan menjadi sebab terbentuknya ayat al-Quran. Sekali lagi, ini karena sifat al-Quran yang azal, baik dari sisi lafal maupun maknanya. Dalam kitab Majmû’
Fatâwa, Ibnu Taimiyah berkata, “Istidlal dengan al-Quran sangat ber- gantung pada keyakinan seseorang bahwa lafal al-Quran berasal dari Allah, kemudian ia paham mengenai apa yang dimaksud dari lafal ter- sebut”.1
Bukti bahwa al-Quran adalah kalamullah yang azal, di antaranya se- bagai berikut:
1 Ibid, jilid 1, hal. 110
2 Amin Abdullah, log. cit. hal. 50
3 Abu Ya’la, Op. cit. hal. 42. Abdul Muhsin bin Hamad bin Abdul Muhsin bin Abdullah bin Hamad al-Ibad al-Badr, Op. cit. jilid 1, 2003, hal. 37.
Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Usman Qaimaz adz-Dzahabi, Maktabah al-Adwa as-Salaf, Riyadh, jilid 1, hal. 217.
Syamsuddin Abu al-Aun Muhammad bib Ahmad bin Salim As-Safarini al-Hanbali, op.
cit. jilid 1, hal. 162
هاَنْل َزْنَأ اَّنِإ ِرْدَقْلا ِةَلْنَل يِف
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan al-Quran pada lailatul qadar.“ (QS. al-Qadar: 1)
Menurut Ibnu Abbas bahwa ayat al-Quran turun secara keseluruhan di langit pertama pada malam lailatul qadr. Kemudian ayat al-Quran turun secara periodik kepada Nabi Muhammad selama 23 tahun. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa al-Quran pertama kali turun di Baitul Izza, lalu turun ke Bumi secara bertahap.2
ِلَٰذ ۚ ُهَنَمْأَم ُهْغِلْبَِ َّمُم ِ َّللَّا َم َلََك َعَمْسَي ٰىَّتَب ُه ْر ِجَأَف َك َرٍَجَتْسا َ نِك ِرْشُمْلا َ ِم ٌدَبَِ ْنِإ َو َلَ ٌم ْويَق ْميُهيَّنَأيِب َك
َنوُمَلْعَي Artinya: “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sem- pat mendengar firman Allah (al-Qur’an), kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. at-Taubah: 6)
Ayat ini secara tegas menerangkan bahwa al-Quran adalah kalamullah.
Kalamullah berarti sifat allah. Allah sendiri qadim, maka sifat Allah juga harus qadim. Karena al-Quran adalah sifat Allah berarti ia qadim.
Jika ia qadim, berarti keberadaan al-Quran bersama dengan keberadaan Allah. Artinya al-Quran yang berbahasa Arab, baik lafal dan maknan- ya, sudah ada sejak azal. Ia ada sebelum bahasa Arab dan kondisi sosial budaya politik bangsa Arab ada. Bahkan al-Quran sudah ada sebelum alam raya seisinya itu ada.
Selain itu, ayat di atas, Allah menyebutkan bahwa al-Quran adalah wahyu Allah. Wahyu artinya firman Allah. Jika ia firman Allah, berarti
1 Yusuf Hamid al-Alim, Al-Maqâshid al-Ammah li asy-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Dar al- Alamiyyah lil Kitab al-Islamiy, 1994, hal. 110.
2 Muhammad Abdul Adzhim Az-Zarqani, Manâhilul Irfân Fî ‘Ulûmil Qur’ân, Mathba’ah Isa al-Babiy Al-Halabiy, jilid 1, hal. 41. Muhammad Faruq An-Nabhan, Al-Madkhal Ilâ Ulûmil Qur’ân al-Karîm, Daru Alimil Qur’an, Halab, 2005, hal 21.
Usman bin Abdurrahman bin Utsman Asy-Syahruzawi Abu Amru, Adabul Mufti Wa Mustafti, Maktabah al-Ulum Wal Hikam, Beirut, jilid 1 hal. 117.
As-Sarkhasi, Ushûl As-Sarkhashi, Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, jilid 1, hal. 18.
Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Irsyâdul Fuhul ilâ Tahqîqil Haq min Ilmil Ushûl, Dar Al-Kitab Al-Arabiy, 1999, jilid 1, hal. 39
ia bukan makhluk.1 Jika ia bukan makhluk berarti ia qadim. Jika ia qa- dim, berarti ia telah ada jauh sebelum langit dan Bumi ini diciptakan.
Ia ada bersama dengan Allah Sang Pencipta.
ِنٍَق ْرُفْلا َو ٰىَدُهْلا َ ِم ٍ ٍَنِ نَب َو ِسٍَّنلِل ىًدُه ُنآ ْرُقْلا ِهنِف َل ِزْنُِ يِذَّلا َنٍََُم َر ُرْهَش Artinya: “ (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (QS. al-Baqarah:
185)
Ayat di atas menggunakan kata َل ِزْنُِ yang artinya “diturunkan” itu artinya al-Quran sudah ada sebelum bangsa Arab itu ada. Jadi, Allah tinggal menurunkan al-Quran sesuai dengan tempat dan waktu yang Ia kehendaki.
Sebenarnya, asbabun nuzul sebagaimana yang dikatakan Amin Abdul- lah sekadar sebagai pintu masuk menuju makna lain yang lebih esensi- al. Ia sekadar legitimasi awal mengenai model penafsiran al-Quran secara bebas. Menurutnya al-Quran turun dalam konteks budaya masa lalu dan dalam kodisi sosial politik yang berbeda. Karena saat ini kon- disi sudah berubah, maka perlu kiranya menafsirkan al-Quran sesuai dengan konteks kontemporer. Inilah maksud sesungguhnya di balik jargon asbabun nuzul itu. Perhatikan kalimat berikut:
Asbabun nuzul bagi para mufassir kontekstual progresif perlu melibat- kan pemaknaan arti ayat-ayat al-Quran (dan juga hadis) dalam sinaran konteks perkembangan nilai-nilai baru-modern, seperti hak asasi manu- sia dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini.1
Dalam paragraf lainnya, ia menyatakan sebagai berikut:
Mereka menekankan betapa pentingnya memahami muatan isi etika dan hukum al-Quran dalam cahaya sinar konteks politik, sosial, se- jarah, budaya dan ekonomi pada saat ia diturunkan, kemudian diinter- pretasikan/ditafsirkan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan begitu mereka berpendapat adanya kebebasan yang tinggi bagi para cerdik cendekia dan ulama setiap masa yang dilalui sejarah peradaban Islam, lebih-lebih era modern sekarang ini, untuk menen-
1 Muhammad Abdussalam Kaffafi dan Abdullah Syarif, Fî ‘Ulûmil Qur’ân wa Mu- hâdharât, Dar Nahdhah al-‘Arabiyyah, Beirut, hal. 24.
tukan apa dan mana saja yang diyakini atau dianggap sebagai hal yang tidak tetap (unchangeable/al-mutaghayyirat) serta apa dan mana saja yang diyakini dan dianggap sebagai hal yang tetap (changeable/ats- tsawabit) dalam wilayah muatan dan ini etika dan hukum.2
Yang saya garis bawahi di sini adalah kalimat berikut:
Dengan begitu mereka berpendapat adanya kebebasan yang tinggi bagi para cerdik cendekia dan ulama setiap masa yang dilalui sejarah peradaban Islam, lebih-lebih era modern sekarang ini, untuk menen- tukan apa dan mana saja yang diyakini atau dianggap sebagai hal yang tidak tetap (unchangeable/al-mutaghayyirat) serta apa dan mana saja yang diyakini dan dianggap sebagai hal yang tetap (changeable/ats- tsawabit) dalam wilayah muatan dan ini etika dan hukum.
Pertanyaannya, apa itu tetap (changeable/ats-tsawabit) dan apa itu tid- ak tetap (unchangeable/al-mutaghayyirat) seperti yang dipahami ulama ushul?
Para ulama ushul mengatakan bahwa yang disebut dengan tsawâbit adalah ayat-ayat qath’iyyât yang mempunyai satu makna saja.1 Karena ia sekadar satu makna, maka tidak ada tafsiran lain selain apa yang langsung kita pahami dari nas.
Tsawâbit ini sering juga disebut dengan istilah qath’iyyât, atau ayat- ayat al-Quran yang sifatnya qat’iy. Qath’iyyât ini dibagi menjadi tiga macam, pertama terkait dengan akidah, kedua terkait dengan akhlak, dan ketiga terkait dengan muamalah dunyawiyyah.
Di antara ayat qat’iy yang terkait dengan akidah contohnya adalah surat al-ikhlas:
﴿ ٌدَبَِ ُ َّللَّا َوُه ْلُق
﴿ ُدَمَّصلا ُ َّللَّا ﴾1
﴿ ْدَلوُي ْمَل َو ْدِلَي ْمَل ﴾2
﴿ ٌدَبَِ ا ًوُفُك ُهَّل ُكَي ْمَل َو ﴾3 4
﴾
Artinya: “Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa (1) Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu (2) Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan (3) Dan tidak ada seorangpun
1 Amin Abdullah, log. cit, hal. 61.
2 Ibid.
yang setara dengan Dia. (4)”
Ayat ini disebut dengan tsawâbit atau qath’iyyât. Bahwa Allah hanya satu, tidak bisa ditafsirkan ulang. Sejak kapanpun, dalam kondisi apa- pun, bagaimanapun perubahan dunia, tidak dapat mengubah konsep ke- Esaan Allah. Jadi, ayat tsawâbit dalam akidah ini sama sekali tidak bisa diubah.
Atau ayat-ayat yang terkait dengan alam ghaib seperti Surga, Neraka, Kiamat dan lain sebagainya. Ia adalah urusan akidah yang tidak bisa ditafsirkan ulang. Ia adalah ayat-ayat yang tsawâbit atau qath’iyyât.
Kedua, terkait dengan muamalah dunyawiyah, contoh ayat warisan:
ِ ۡنَنَثنُ ۡۡٱ ِ ظَب ُلۡثِم ِرَكَّذلِل ۚ ; ۡمُڪِدٰـَل ۡوَِ ٓىِف ُ َّللَّٱ ُمُكن َِوُيۖ
Artinya: “Allah perintahkan kamu mengenai (pembagian harta pusaka untuk) anak-anak kamu, yaitu bagian seorang anak lelaki menyamai bagian dua orang anak perempuan…” (QS. an-Nisa: 11)
Siapapun yang membaca ayat ini langsung paham bahwa bagian laki- laki menyamai dua bagian perempuan. Atau 2 banding 1. Ayat ini tidak bisa dipahami dengan makna lainnya. Karena ia hanya mempunyai satu makna saja, maka ini yang disebut dengan tsawâbit atau qath’iyyât.
Contoh dalam akhlak:
ِطْسِقْلٍِب ُسٍَّنلا َموُقَنِل َنا َزنِمْلا َو َبٍَتِكْلا ُمُهَعَم ٍَنْل َزْنَِ َو ِ ٍَنِ نَُْلٍِب ٍَنَلُس ُر ٍَنْلَس ْرَِ ْدَقَل Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan mizan (neraca, keadilan) supaya manu- sia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. al-Hadid: 25)
1 Muhammad as-Sayyid Al-Jalind, Al-Wahyu Wal Insan, Qirâ’ah Ma’rifiyyah, Daru Quba Littiba’ah Wa An-Nasyr Wa At-Taizi’, Cairo, hal. 105.
Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Muhammad Syamsudin bin Muhammad Bahaud- din bin Manla Ali Khalifatul Qalmuniy al-Husaini, Tafsir al-Qur’ân al-Hakîm, (Tafsir al- Manâr), Al-Hai’ah al-Misriyyah al-Ammah lil Kitab, 1990, jilid 6, hal. 335.
Muhammad bin Ismail bin al-Amir Ash-Shan’aniy, Ushîlul Fiqhi Al-Musamma Ijâbatu as-Sail Syarhu Baghiyyatil Amal, Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, 1986, hal. 147.
Ayat di atas memerintahkan kita berlaku adil. Di ayat lain Allah berfir- man:
ِييْغيَُيْلا َو ِرَكْنُمْلا َو ِءٍَشَِْفْلا ِ َع ىَهْنَي َو ىَب ْرُقْلا يِذ ِءٍَتيِإ َو ِنٍَسْبِ ْلْا َو ِلْدَعْلٍِب ُرُمْأَي َ َّللَّا َّنِإ ْميُكيُظيِعيَي
لِنلا( َنو ُرَّكَذَت ْمُكَّلَعَل Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan ber- buat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS.
an-Nahl: 90)
Ayat di atas memerintahkan kita untuk selalu berbuat adil kepada siapapun juga. Meski dunia berubah dan masyarakat semakin modern, keadilan tidak bisa diganti dengan kezhaliman. Karena ia sifatnya pasti dan tidak bisa diubah, maka ia disebut dengan tsawâbit atau qath’iyyât.
Hal-hal yang sifatnya tsawâbit dan tidak bisa diubah tadi, oleh Amin Abdullah dimentahkan. Seluruh ayat al-Quran dapat ditafsirkan sesuai dengan konteksnya masing-masing. Tsawâbit dan mutaghayyirât bisa berubah sesuai dengan kehendak mujtahid. Jika demikian, maka terkait ke-Esaan Allah bisa ditafsirkan ulang. Demikian juga dengan Surga, Neraka, Kiamat dan lain sebagainya bisa berubah maknanya sesuai dengan kebebasan mujtahid. Shalat, puasa, haji, waris, hudud, qisas, dan semua ayat-ayat yang sifatnya tsawâbit bisa berubah makna sesuai dengan konteks kontemporer. Keadilan, kejujuran, kedermawanan, kesopanan, kebersihan, dan semua etika Islam yang selama ini diang- gap tsawâbit bisa diubah sesuka hati.
Ini dikuatkan dengan perkataan beliau di paragraf lainnya:
Dengan begitu, makna ats-tsawabit dan al-
mutaghayyirât atau qatiy dan zhanniy juga perlu dirumuskan ulang sesuai dengan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan.1
Jika al-Quran bisa berubah sesuai ruang waktu, sesuai konteks budaya dan kebebasan mutlak mufassir tanpa ada batasan yang jelas, lantas apa yang tertinggal dari al-Quran? Pandangan seperti ini sesungguhnya ingin menghancurkan al-Quran secara total. Pada akhirnya umat
“membuang” jauh-jauh kitab suci dan menggantinya dengan pemikirannya sendiri yang konon lebih modern.
Model tafsir seperti ini akan membenarkan semua model penafsiran tanpa ada standar yang jelas. Mujtahid punya kebenaran mutlak atas apa yang dia maknai. Inilah sesungguhnya hermeneutika yang pada akhirnya bertujuan untuk menghancurleburkan kitab suci al-Quran.
1 Amin Abdullah, log. cit, hal. 61
Maqashid Syariah atau Maqashid Budaya?
M
aqashid syariah merupakan tujuan utama diturunkannya hukum syariat demi kemaslahatan hamba baik di dunia maupun di akhirat. Maqashid syariah berpijak pada maslahat. Hanya saja, masla- hat di sini bukan maslahat tanpa ada standar yang jelas dan hanya ber- dasarkan dari kepentingan individu saja. Maslahat di sini, berpijak dari hasil kajian induktif terhadap nas al-Quran dan hadis Rasulullah Saw.
Imam Syathibi membagi maslahat menjadi tiga, yaitu dharûriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât. Dharûriyyât adalah maslahat yang terkait dengan kehidupan primer umat manusia. Jika ia tidak terpenuhi, maka akan terjadi ketimpangan bagi dirinya baik di dunia maupun di akhirat.
Untuk maslahat dharûriyyât ini, imam Syathibi membagi menjadi lima, yaitu menjaga agama, jiwa, harta, akal dan kehormatan atau ke- turunan.1
Hâjiyyât adalah maslahat yang terkait dengan kebutuhan manusia, di mana jika ia tidak dilaksanakan maka akan memberatkan bagi dirinya.
hâjiyyât ini lebih kepada sifat rahmat Allah kepada manusia agar dapat melaksanakan berbagai macam perintah-Nya tanpa beban yang melebi- hi kemampuannya. Dalam istilah ilmu ushul, kebutuhan ini disebut dengan raf’ul haraj.2 Contoh: ketika safar, agar tidak ada masyaqqah dan kesempitan bagi hamba, maka seorang hamba diberikan dispensasi dengan melaksanakan shalat jama’ dan qashar. Bagi orang tua yang sudah tidak bisa berpuasa, maka ia diperkenankan untuk tidak puasa dan cukup membayar fidyah saja. Maslahat hâjiyyât ini di antaranya berlandaskan dari firman Allah:
ٍج َرَب ْ ِم ِ يِ دلا يِف ْمكْنَلَع َلَعَج ٍَم َو Artinya: ”Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. al-Hajj ayat: 78)
1 Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Gharnathi asy-syathibi, Al-Muwâfaqat, Dar Ibnu Affan, 1997, jilid 1, hal. 5
2 Ibid, hal. 231
Tahsîniyyât adalah kebutuhan tambahan, di mana jika tidak ia lak- sanakan, maka tidak akan mempengaruhi eksistensi dia di dunia.
Tahsîniyyât sekadar kebutuhan tambahan untuk memberikan penyem- purnaan terhadap kebutuhan lainnya, baik yang terkait dengan dharûriyyât,atau hâjiyyât.1
Contoh, shalat yang wajib adalah shalat lima waktu. Namun ia diberi keleluasaan untuk memberikan tambahan shalat sunnah. Puasa yang wajib adalah puasa Ramadhan, namun ia diberi keleluasaan untuk melaksanakan berbagai puasa sunnah. Jika ia tidak melakukan shalat sunnah, atau tidak melaksanakan puasa sunnah, maka ia tidak mendapatkan dosa. Ibadah yang telah dilakukan tetap sempurna. Jadi, shalat sunnah dan puasa sunnah ini masuk dalam tahsîniyyât terkait dengan dharûriyyât.
Dari mana kita dapat mengetahui mengenai maqashid syariat? Ilmu maqashid diketahui setelah melakukan kajian induktif (istiqrâ`) ter- hadap ayat al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad Saw. Dari hasil istiqrâ` itu lah kemudian disimpulkan mengenai tujuan dasar dari hukum syariat. Istiqrâ` ini sangat penting, utamanya untuk mengetahui mengenai illat dan hikmah suatu hukum. Pengetahuan terhadap illat ini merupakan langkah awal untuk dapat mengetahui tujuan hukum syari- at.
Bagaimana kita dapat mengetahui illat dan hikmah suatu hukum? Para ulama menyatakan bahwa illat atau hikmah dari syariat utamanya dapat diketahui dari kajian kebahasaan. Hal ini karena seluruh ayat al-Quran dan juga hadis nabi semuanya menggunakan bahasa yaitu bahasa Arab.
Dengan demikian, untuk dapat mengetahui makna-makna tersebut mau
1 Ibid, jilid 2, hal. 62. Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Gharnathi asy-Syathibi, Al- I’tishâm, hal. 316.
Abdul Wagab Khilaf, Ilmu Ushûlil Fiqh, Maktabah ad-Da’wah, hal. 206. Al-Imam Jam- aluddin Abdurrahim al-Isnawi, Nihâyatussûl Syarhu Minhâjil Wushûl, Dar al-Kutub al- Ilmiyah, Beirut, 1999, jilid 2 hal. 300.
Muhammad Ibrahin Al-Hafnawi, Dirâsât Ushûliyyah Fil Qur’ân al-Karîm, Maktabah wa Matba’ah al-Isy’a Al-Fanniyyah, Cairo, 2002, hal. 330
tidak mau harus masuk ke dalam ranah kajian bahasa Arab.
Bahasa Arab menjadi pintu utama menuju ilmu maqashid. Tanpa pengetahuan terhadap bahasa Arab, ilmu maqashid mustahil dapat dirumuskan. Ibnu Taimiyah sering mengulang-ulang mengenai urgensi bahasa Arab untuk dapat mengetahui mengenai maqashid syariah. Da- lam kitab Iqtidhâ as-Shirâth al-Mustaqîm, beliau berkata, “Pemahaman terhadap kitab Allah sangat bergantung kepada pemahaman yang baik terhadap bahasa Arab, baik terkait dengan lafal maupun makna. Juga bergantung kepada pengetahuan mengenai nâsikh dan mansûkh, penge- tahuan mengenai kewajiban yang ada dalam kitab al-Quran, baik yang berkenaan dengan budi pekerti, perintah kebaikan dan sesuatu yang dibolehkan. Artinya juga harus dipahami mengenai perbedaan kata perintah yang mengandung arti sebagai sebuah kewajiban dan perintah yang mempunyai indikator sehingga maknanya dapat diketahui sebagai sesuatu yang bukan kewajiban”.1
Bahasa Arab tidak saja terkait dengan bahasa secara leksikal saja, na- mun juga konteks struktur sempurna dari bahasa. Bahasa terkait dengan pembicara, orang yang diajak bicara, dan juga lingkungan yang melatar belakangi munculnya bahasa. Ketiga komponen tadi mempu- nyai hubungan yang sangat erat. Makna dari sebuah ungkapan kalimat, banyak ditentukan oleh semua faktor tadi.
Oleh karena itu, tatkala kita ingin memahami maksud dari suatu ka- limat, sangat perlu untuk melihat siapa yang berbicara, siapa yang di- ajak bicara, dan mengapa ia bicara demikian. Dari sini kita akan tahu, mengapa kalimat yang digunakan bentuknya seperti itu. Dari situ, kita lebih bisa akurat dan obyektif tatkala menilai makna-makna yang di- maksudkan oleh penutur bahasa.
Kaitan dengan ini, al-Badawi dalam kitabnya, Maqâshid as-Syarî’ah
‘inda as-Syâthibi mengatakan, “Ada hubungan sangat erat antara
1 Ahmad Ibnu Abdul Halim Ibu Taimiyah al-Harani Abu al-Abbas, Aiqtidha ash-Shirath al-Mustaqim Mukhlafatu Ashhabil Jahim, Maktabahn As-Sunnah al-Muhammadiyyah, Cairo, hal. 207
maqashid dengan ungkapan kalimat. Keduanya merupakan dua sisi ma- ta uang yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya menjadi sarana untuk mengetahui sumber dan makna yang terkandung dalam suatu kalimat.1 Selain itu, untuk dapat mengetahui makna bahasa secara benar, juga harus memahami model struktur kalimat yang digunakan. Sangat pent- ing untuk melihat kalimat sebelum dan setelahnya. Jadi pemahamannya tidak sepotong-sepotong. Jika kita hanya memahami penggalan ka- limat, sangat mungkin pemahaman kita ini bersifat parsial dan tidak utuh”.
Bahkan untuk dapat memahami makna dan maksud ayat al-Quran, tid- ak hanya melihat pada struktur sebuah ayat al-Quran, namun juga ket- erkaitan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Bisa saja, dalam satu ayat masih bersifat umum, namun di ayat lain sudah ada yang mengkhu- suskannya. Bisa saja di satu ayat ungkapan yang digunakan masih muthlaq, namun di ayat lainnya sudah muqayyad. Bisa jadi di suatu ayat masih bersifat global (mujmâl), namun di ayat yang lain sudah dit- erangkan secara mendetail (mufasshal).
Tidak hanya melihat al-Quran secara independen, bahkan sangat pent- ing untuk melihat hadis Nabi Muhammad Saw. Hadis ini, meski ia bukan firman Allah secara langsung, namun pada hakekatnya ia adalah wahyu Allah melalui lisan Nabi Muhammad Saw.
Contohnya ayat mujmâl berikut ini:
ةٍكزلا اوُتآ َو َة َلََّصلا اوُمنِقَِ َو Artinya: “Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat.” (QS. al- Muzammil: 20)
Jika kita hanya menggunakan makna bahasa dari ayat di atas, maka orang yang berdoa saja, sudah dianggap shalat. Hal itu karena makna bahasa dari shalat adalah doa. Kenyataannya tidak demikian. Syariat
1 Lengkapnya, lihat buku kami, Wahyudi Abdurrahim, Ijtihad Semantik dalam Ushul Fikih, Lentera Pustaka Yogyakarta .
telah mengubah makna shalat dari makna bahasa menjadi makna syar’i. Shalat bukan sekadar doa, namun ibadah tertentu dengan cara tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam dengan niat tertentu.
Dari mana kita dapat mengetahui mengenai ibadah shalat tadi? Jika kita buka lembaran ayat-ayat al-Quran maka kita tidak akan menemukannya. Seluruh ayat-ayat al-Quran terkait dengan perintah shalat masih sangat umum. Kita baru akan menemukan tata cara ibadah shalat secara mendetail ketika kita membuka hadis-hadis Rasulullah Muhammad Saw.
Contoh lain adalah firman Allah:
ًلَنَُِس ِهْنَلِإ َ ٍَََتْسا ِ َم ِتْنَُْلا ُّج ِب ِسٍَّنلا ىَلَع ِ ِللَّ َو Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (QS. Ali Imran: 97)
Dalam al-Quran tidak ada keterangan rinci terkait tata cara ibadah haji.
Keterangan secara rinci baru akan kita temukan dalam sunnah nabi.
Beliau bersabda:
مككس ٍنم ينع اوذخ Artinya: Ambillah dariku (tata cara) ibadah haji kamu sekalian.
Rasulullah telah menerangkan secara jelas tata cara ibadah haji dengan amal perbuatan beliau, kemudian beliau meminta para sahabat untuk mengikutinya.
Dari berbagai pendapat para ulama, tidak ada satu pun yang meletak- kan asbabun nuzul dan sosio-kultural-politik tatkala ayat al-Quran turun untuk dijadikan sebagai salah satu sarana mengetahui ilmu maqa- shid. Apalagi kemudian menjadikannya “poros” ilmu maqashid.
Mengapa para ulama tidak menjadian asbabun nuzul dan sosio-kultural -politik sebagai bagian dari sarana untuk mengetahui ilmu maqashid?
Jawabannya sangat sederhana, yaitu bahwa tidak semua ayat al-Quran ada asbabun nuzulnya. Jika demikian, berarti tidak semua ayat al- Quran punya “keterkaitan” dengan sosio-kultural-politik. Jika kita me- maksakan konteks sejarah, sosial dan budaya sebagai bagian dari sara- na untuk mengetahui ilmu maqashid, maka akan banyak ayat al-Quran terbuang karena tidak mempunyai maqashid.
“Keterkaitan” sengaja saya beri tanda kutip karena pada prinsipnya me- mang tidak ada hubungan sama sekali antara ayat al-Quran dengan so- sio-kultural-politik. Al-Quran adalah kalamullah yang sifatnya azal yang tidak terpengaruh dengan ruang waktu.
Beda dengan bahasa Arab. Seluruh ayat al-Quran dan sunnah nabi ber- bahasa Arab. Bahasa juga kunci awal untuk mengetahui makna. Jadi, sangat rasional dan logis ketika menjadikan bahasa sebagai piranti awal untuk mengetahi mengenai maqashid syariah.
Tentu ini berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Amin Abdullah.
Beliau sama sekali tidak menyinggung mengenai urgensi bahasa ini.
beliau lebih sering menyinggung mengenai keterkaitan asbabun nuzul, sosio-kultural-politik dalam ilmu maqashid. Bahkan menurutnya, pemaknaan al-Quran yang sesuai dengan konteks hanya bisa dilakukan tatkala kita mengetahui mengenai asbabun nuzul, sosio-kultural-politik.
Perhatikan paragraf berikut:
Adapun yang disebut dalam kategori kontekstualitas adalah mereka yang menekankan betapa pentingnya memahami konteks sejarah, sosial dan budaya dari etika dan hukum (ethico-legal) dari sisi al-Quran dan berikut khazanah tafsir yang menyertainya sepanjang zaman. Mereka menekankan betapa pentingnya memahami muatan isi etika dan hukum al-Quran dalam cahaya sinar konteks politik, sosial, sejarah, budaya dan ekonomi pada saat ia diturunkan, kemudian diinterpretasikan/
ditafsirkan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan be- gitu mereka berpendapat adanya kebebasan yang tinggi bagi para
cerdik cendekia dan ulama setiap masa yang dilalui sejarah peradaban Islam, lebih-lebih era modern sekarang ini, untuk menentukan apa dan mana saja yang diyakini atau dianggap sebagai hal yang tidak tetap (unchangeable/al-mutaghayyirat) serta apa dan mana saja yang di- yakini dan dianggap sebagai hal yang tetap (changeable/ats-tsawabit) dalam wilayah muatan dan ini etika dan hukum.1
Kemudian di halaman 60 juga ada ungkapan senada sebagai berikut:
Oleh karenanya, bagi para penafsir kontekstual progresif, arti dan peran asbabun nuzul menjadi sangat penting. Konteks sosial dan bu- daya saat pewahyuan sangat penting.2
Terkait maqashid syariah, perhatikan paragraf berikut:
Fikih Kebinekaan dan Fikih Keindonesiaan seperti yang belakangan dirindukan oleh semua kalangan, lebih-lebih oleh para pendukung cara baca al-Quran yang tarikhiyyah maqashidiyyah atau kontekstual–
progresif hanya dimungkinkan adanya dan dimungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut, jika pemahaman maqashid al- syariah (tujuan/maksud utama beragama Islam) yang selama ini hanya dipahami secara tradisional digeser ke pemahaman maqashid secara kontemporer.1
Bagaimana maqashid yang dianggap cara baca kontemporer itu? Per- hatikan paragraf berikut:
Konteks sosial, budaya, ekonomi, politik dan perkembangan ilmu pengetahuan perlu ikut serta membentuk cara baca dan cara memahami isi pesan dan risalah autentik al-Quran. Perjumpaan antara cara baca al- Quran dan al-hadis yang bercorak taqlidiyah dan cara baca tarikhiyyah maqashidiyyah meniscayakan adanya pergeseran paradigma dalam membaca pesan-pesan al-Quran yang telah dirumuskan oleh para cerdik cendekia dan ulama terdahulu.2
1 Amin Abdullah, log. cit. hal. 54-55
2 Amin Abdullah, ibid, hal. 60