• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muhammad Saiful Aziz

Hari ini dunia tengah dilanda sebuah krisis yang cukup hebat. Krisis ini tidak hanya dialami oleh beberapa negara saja, namun hampir seluruh negara di dunia. Dari sekian banyak yang mengalami, Indonesia menjadi salah satu negara yang terdampak cukup besar terkait dengan krisis ini. Krisis ini adalah hadirnya

Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang menjadi pandemi

dunia. Tercatat per tanggal 15 Juni 2020, di dunia terdapat 7.761.609 kasus, 430.241 kematian, dan 216 negara terdampak. Sementara di Indonesia terdapat 39.294 kasus positif, 15.123 sembuh, dan 2.198 meninggal dunia (Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, 2020).

Hadirnya Covid-19 tersebut selain tentunya berdampak pada kesehatan masyarakat dunia, salah satu yang terdampak cukup besar adalah pada sektor ekonomi. World Economic

Forum (WEF) memandang penyebaran virus Corona mulai

menunjukkan dampak ekonomi terhadap dunia. Banyak negara yang memprediksikan ekonominya akan resesi. Dalam hal ini, pertumbuhan ekonomi sejumlah negara sempat diprediksi negatif. Bahkan, ditegaskannya, negara-negara berkembang lebih sulit tiga kali lipat dibanding negara maju dalam menyelesaikan Covid-19 ini. International Monetary Fund (IMF) sempat memproyeksikan bahwa 170 negara akan mengalami pertumbuhan pendapatan per kapita negatif tahun ini (Praditya, 2020).

Dalam konteks Indonesia, pandemi ini juga cukup besar memberikan dampak pada sektor ekonomi. Pandemi ini mampu membuat indeks bursa saham sempat rontok, rupiah terperosok, dan pelaku di sektor riil berteriak kesulitan dalam

menjalankan usaha. Lembaga keuangan dunia, ekonom, dan otoritas pemerintah sempat membuat sejumlah prediksi ekonomi Indonesia bisa masuk dalam skenario terburuk jika pandemi tidak ditangani dengan benar. Pada perdagangan 24 Maret 2020, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup turun 1,3% di level 3.937. Sepanjang pekan itu, IHSG telah menyentuh posisi terendahnya sepanjang delapan tahun terakhir. IHSG sempat jatuh di level 3.000 yakni pada 24 Juni 2012 di posisi 3.955,58. Tak hanya merontokkan pasar modal, Covid-19 juga menjatuhkan nilai tukar rupiah. Tercatat pada 23 Maret 2020, harga jual dolar Amerika Serikat di lima bank besar menembus 17 ribu rupiah (Aria, 2020).

Selain memberikan dampak secara ekonomi, Covid-19 juga memberikan dampak berupa krisis politik. Di Kosovo, Covid-19 bahkan mampu meruntuhkan Perdana Menterinya yakni Albin Kurti. 82 dari 120 suara legislatif mendukung penuh mosi tak percaya terhadap Perdana Menteri yang baru seumur jagung menjabat tersebut dengan tidak ingin menetapkan status darurat terhadap pandemi Covid-19 (Kumparan, 2020). Maka Covid-19 benar-benar menjadi krisis yang cukup besar di berbagai sektor bagi berbagai negara dunia, tak hanya Indonesia.

Namun selain memberikan dampak di sektor kesehatan, ekonomi, dan politik tersebut, nyatanya pandemi Covid-19 juga menyebabkan bencana informasi pada masyarakat. Pasca munculnya Covid-19, masyarakat menjadi kian deras dalam menerima paparan informasi yang kian bercampur antara yang benar dan salah sehingga menyulitkan masyarakat dalam mengidentifikasi kebenaran informasi. Kini banjir informasi benar-benar memapar masyarakat dalam setiap klik di layar gawai mereka.

Sebagai contoh dengan adanya pandemi ini, banyak influencer maupun orang-orang yang tidak memiliki keahlian maupun otoritas terkait turut serta memberikan paparan informasi soal

berbagai informasi berlandaskan klaim teori konspirasi tentang kesehatan. Lalu muncul banyak sekali disinformasi seperti informasi yang sempat beredar bahwa garam dapur dapat digunakan untuk melawan Covid-19. Beberapa hal tersebut tentu saja baru sebagian dari banyaknya disinformasi yang diterima masyarakat.

Banjir informasi ini kemudian berpotensi menjebak masyarakat dalam informasi keliru yang diterima secara terus menerus sehingga terkonstruksi sebagai sebuah kebenaran. Lalu pernahkah kita menanyakan pada diri kita sendiri bahwa benarkah apa yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran adalah benar, atau jangan-jangan merupakan sebuah realitas semu yang kita konsumsi secara terus-menerus sehingga kita yakini sebagai sebuah kebenaran?

Multi Bencana Informasi dalam Masyarakat Informasi

Dalam merespon pertanyaan tersebut, maka sebelumnya kita perlu menyadari bahwa kita sejatinya tengah berada pada multi bencana informasi. Lalu kita kini juga telah menjadi bagian dari yang dinamakan dengan masyarakat informasi. Adapun masyarakat informasi merujuk pada masyarakat pasca industri di mana informasi memainkan peran penting. (Nath, 2017).

Yang pertama adalah kita kini berada pada suatu era yang dinamakan dengan post truth atau pasca kebenaran. Kamus Oxford mendefinisikan post truth sebagai keadaan di mana orang merespon lebih banyak perasaan dan keyakinan daripada fakta. Dalam fenomena post truth ini, seseorang tidak membantah fakta yang jelas atau mudah dikonfirmasikan tanpa alasan. Seseorang cenderung melakukannya ketika itu untuk keuntungannya. Ketika keyakinan seseorang terancam oleh fakta yang tidak nyaman, mereka terkadang lebih baik untuk menantang fakta yang ada. Ini bisa terjadi baik disadari ataupun tidak disadari karena terkadang orang yang kita ingin yakinkan adalah diri kita sendiri. Tetapi

intinya adalah bahwa hubungan post-truth semacam ini hanya terjadi ketika kita berusaha untuk menegaskan sesuatu yang lebih penting bagi kita daripada kebenaran itu sendiri (Mcintyre, 2018). Dalam era digital ini, post-truth tumbuh subur dalam ruang ambigu antara kebenaran dan kebohongan serta nalar dan naluri. Lalu kebenaran digantikan oleh kepercayaan (Jandrić, 2018).

Bencana kedua yang kita hadapi adalah adanya efek echo

chambers atau ruang gema. Gagasan echo chambers ini adalah

cara metaforis untuk menggambarkan situasi di mana hanya ide, informasi, dan kepercayaan tertentu yang dibagikan (Jamieson & Cappella; Sunstein dalam Dubois & Blank, 2018). Orang-orang yang berada dalam efek ini ini hanya akan menemukan hal-hal yang sudah mereka setujui. Tanpa pergerakan ide dan informasi yang bebas, orang-orang di dalam ruang gema tersebut akan percaya bahwa hanya inilah yang ada. Dalam situasi seperti ini, siapa pun yang tidak setuju akan diberi informasi yang salah dan sengaja tidak mengetahui yang terburuk. Melalui peluang untuk memilih informasi dan komunitas yang mendukung kepercayaan yang ada serta melalui personalisasi algoritmik, beberapa khawatir bahwa internet akan membuat lebih mudah bagi warga negara untuk menemukan diri mereka dalam echo chambers (Ksiazek, Malthouse, & Webster; Sunstein dalam Dubois & Blank, 2018).

Bencana ketiga yang kita hadapi dalam pandemi ini adalah adanya infodemi. Dirjen World Health Organization (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyampaikan “Tapi kami tidak hanya memerangi epidemi, kami sedang berjuang melawan infodemi. Berita palsu menyebar lebih cepat dan lebih mudah daripada virus ini, dan sama berbahayanya.” dalam Munich

Security Conference (World Health Organization, 2020). WHO

kemudian menjelaskan bahwa infodemi adalah jumlah informasi yang berlebihan tentang suatu masalah, yang membuatnya sulit untuk mengidentifikasi solusinya. Mereka dapat menyebarkan informasi yang salah, disinformasi dan rumor selama keadaan

darurat kesehatan. Infodemi dapat menghambat respon kesehatan masyarakat yang efektif dan menciptakan kebingungan dan ketidakpercayaan di antara orang-orang (United Nations, 2020).

Disinformasi dan Matinya Kepakaran

Maka berbagai bencana informasi tersebut menyebabkan kita sebagai masyarakat informasi sangat rentan terpapar disinformasi. Adapun disinformasi merupakan upaya yang disengaja bahkan sering diatur untuk membingungkan atau memanipulasi masyarakat melalui memberikan informasi yang tidak jujur kepada mereka (Ireton, 2018). Disinformasi terkadang dicampur dengan laporan berita tentang peristiwa yang didokumentasikan untuk meningkatkan aura keasliannya (Bennett, 2018). Meskipun disinformasi dapat membagikan properti dengan informasi yang salah (misalkan kebenaran, akurasi, kelengkapan, nilai), disinformasi adalah informasi yang sengaja menipu. Niat di balik penipuan semacam itu tidak dapat diketahui, tetapi dapat mencakup alasan sosial yang termotivasi dan baik serta alasan-alasan antagonis yang bermotivasi pribadi (Karlova & Fisher, 2013).

Selanjutnya kita kini juga tengah berada dalam suatu era yang oleh seorang profesor dari Amerika Serikat Tom Nichols disebut sebagai matinya kepakaran. Nichols (2017) menyebutkan bahwa matinya kepakaran bukan hanya penolakan atas pengetahuan yang mapan. Hal ini pada dasarnya adalah penolakan terhadap sains dan rasionalitas yang tidak memihak, yang merupakan dasar dari peradaban modern. Ini adalah sebuah tanda bahwa secara kronis kita skeptis terhadap pemerintah dan menjadi mangsa takhayul. Hal tersebut menunjukkan bahwa kini kita tengah berada pada dunia yang berorientasi informasi di mana masyarakat percaya diri sebagai ahli dalam segala hal. Fenomena di mana kini banyak pihak-pihak yang merasa menjadi pakar dalam segala hal, utamanya pada masa pandemi ini benar-benar menyadarkan kita

bahwa kini kita tengah berada pada era matinya kepakaran. Hal ini dibuktikan misalnya dengan banyaknya beredar klaim-klaim yang dilandaskan pada teori konspirasi.

Bijak dalam Menjadi Masyarakat Informasi

Dengan adanya berbagai hal tersebut, maka kita benar-benar harus mampu untuk bijak dalam menjadi masyarakat informasi. Menjadi penting untuk memperoleh informasi yang tepat yang oleh Tiongkok, hal ini menjadi kunci keberhasilan dalam melakukan langkah mitigasi (Hua & Shaw, 2020). Yang pertama, kita perlu untuk kritis terhadap berbagai informasi yang kita terima sehingga kita tidak begitu saja menerima berbagai informasi yang kita terima sebagai sebuah kebenaran. Yang kedua kita perlu terbuka menerima berbagai informasi yang kita terima bahkan di luar dari komunitas informasi yang kita miliki untuk kemudian disaring kebenarannya agar kita tidak terjebak dalam ruang gema yang menjebak kita dalam kebenaran semu. Yang ketiga kita perlu untuk memerika validitas dari setiap informasi yang kita terima. Hal ini dapat kita lakukan salah satunya dengan menggunakan fitur hoax buster yang ada pada laman www. covid19.go.id yang telah disediakan pemerintah. Yang keempat, kita perlu untuk mendasarkan informasi pada pihak-pihak yang memiliki kompetensi keilmuan ataupun otoritas terkait dalam mendasarkan informasi. Berbagai usaha tersebut dapat kita lakukan dalam menghadapi berbagai banjir informasi yang ada.

Daftar Pustaka Buku:

Ireton, C. (2018). Journalism, ‘Fake News’ & Disinformation. Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.

Jandrić, P. (2018). Post-truth and Critical Pedagogy of Trust. In M. A. Peters, S. Rider, M. Hyvönen, & T. Besley, Post Truth,

Fake News: Viral Modernity & Higher Education (pp.

101-111). Singapore: Springer.

Mcintyre, L. (2018). Post Truth. London: MIT Press.

Nichols, T. (2017). The Death of Expertise: The Campaign Against

Established Knowledge and Why It Matters. New York:

Oxford University Press. Jurnal:

Bennett, W. L. (2018). The Disinformation Order: Disruptive Communication and The Decline of Democratic Institutions. European Journal of Communication, 122-139. doi: 10.1177/0267323118760317

Dubois, E., & Blank, G. (2018). The Echo Chamber is Overstated: The Moderating Effect of Political Interest and Diverse Media. Information, Communication, and Science, 1-17. doi: 10.1080/1369118X.2018.1428656

Hua, J., & Shaw, R. (2020). Coronavirus (COVID-19) “Infodemic” and Emerging Issues through a Data Lens: The Case of China. International Journal of Environmental Research and

Public Health, 1-12. doi: 10.3390/ijerph17072309

Karlova, N. A., & Fisher, K. E. (2013). A Social Diffusion Model of Misinformation and Disinformation for Understanding Human Information Behaviour. Information Research, 573. Nath, H. K. (2017). The Information Society. Space and Culture,

Website:

Aria, P. (2020, Maret 26). Ekonomi Indonesia dalam Skenario

Terburuk Akibat Virus Corona. Retrieved April 14, 2020, from

katadata.co.id: https://katadata.co.id/telaah/2020/03/26/ ekonomi-indonesia-dalam-skenario-terburuk-akibat-virus-corona

Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. (2020, April 12).

Data Sebaran. Retrieved April 12, 2020, from Gugus Tugas

Percepatan Penangan Covid-19: https://www.covid19.go.id/ Kumparan. (2020, Maret 26). Pemerintahan Kosovo Tumbang

karena Virus Corona. Retrieved April 14, 2020, from

kumparan.com: https://kumparan.com/kumparannews/ pemerintahan-kosovo-tumbang-karena-virus-corona-1t6GIyD2oCg

Praditya, I. I. (2020, April 12). Dampak Corona, Pertumbuhan

Ekonomi 170 Negara Diprediksi Negatif. Retrieved April 14,

2020, from liputan6.com: https://www.liputan6.com/bisnis/ read/4225298/dampak-corona-pertumbuhan-ekonomi-170-negara-diprediksi-negatif

United Nations. (2020, March 31). UN Tackles ‘Infodemic’ of

Misinformation and Cybercrime in COVID-19 Crisis.

Retrieved June 13, 2020, from United Nations: https:// www.un.org/en/un-coronavirus-communications-team/ un-tackling-%E2%80%98infodemic%E2%80%99-misinformation-and-cybercrime-covid-19

World Health Organization. (2020, February 15). Munich Security

Conference. Retrieved June 13, 2020, from World Health

Organization: https://www.who.int/dg/speeches/detail/ munich-security-conference

Strategi Respon Komunikasi Krisis Pandemi