• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Model Humas Pemerintah di Masa Pandemi

Taufiqur Rahman

Beberapa waktu yang lalu beredar luas tagar Indonesia Terserah di tengah pandemi Covid-19 yang masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir di Indonesia. Tagar ini merupakan ekspresi simbolik kekecewaan publik terhadap langkah-langkah pemerintah dan respon masyarakat dalam penanggulangan pandemi ini. Secara lebih khusus tagar ini merupakan kritik tajam untuk manajemen humas dalam situasi krisis yang dijalankan oleh pemerintah selama pandemi Covid-19 melanda negeri ini. Steven Fink (1986), seoang pakar manajemen krisis, menyatakan bahwa krisis adalah sebuah momen penting untuk menentukan arah pada suatu kondisi yang lebih baik atau lebih buruk (a turning point for better or worse). Krisis yang dikelola dengan baik akan menjadi berkah, sebaliknya kegagalan mengelola krisis akan membawa ke jurang kehancuran.

Kritik terhadap lemahnya koordinasi pemerintah dan kurangnya sense of crisis di kalangan pejabat publik sudah muncul sejak awal penyebaran Covid-19. Beberapa upaya perbaikan sudah dilakukan, tetapi nampaknya belum mampu menguatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam melakukan manajemen krisis. Manajemen humas dan komunikasi publik yang baik sangat diperlukan dalam situasi krisis, karena pasti akan terjadi keresahan dan kepanikan yang membuat aliran informasi menjadi sulit untuk dikendalikan.

Kurangnya kehati-hatian dalam penyampaian kebijakan pemerintah kepada publik membuat masyarakat bingung dan seperti kehilangan pegangan. Sehingga munculnya ekspresi

kekecewaan seperti yang muncul dalam tagar Indonesia Terserah menjadi hal yang dapat dimaklumi.

Model-Model Humas

Perkembangan dunia kehumasan atau Public Relations (PR) tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial politik yang melingkupinya. Grunig & Hunt (1984) mencoba memetakan sejarah dan praktik dunia kehumasan secara global dengan membuat klasifikasi 4 (empat) model humas yang selama ini dipraktekkan oleh para praktisi humas di berbagai negara khususnya di Amerika Serikat. Empat model tersebut adalah model publisitas/agen pemberitaan (publicity/press agentry

model), model informasi publik (public information model),

model asimetris dua arah (two-way asymmetric model) dan model simetris dua arah (two-way symmetric model).

Menurut Grunig & Hunt, praktik humas pada awalnya menekankan pada kegiatan propaganda yang dapat dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Berbagai tipu muslihat dan kecurangan biasa dilakukan agar sebuah organisasi atau individu dapat meraih publisitas optimal di media massa. Model yang kemudian disebut dengan model publisitas atau agen pemberitaan ini dominan pada akhir abad ke-19.

Pada awal abad ke-20 seiring dengan menguatnya pengaruh jurnalistik pada dunia humas, muncul sebuah model baru yang disebut dengan model informasi publik. Pada masa ini kejujuran dalam menyampaikan informasi mulai mendapatkan perhatian yang serius. Para praktisi humas bertindak seperti layaknya wartawan yang berusaha menyajikan informasi yang benar kepada khalayak. Meskipun masih cenderung satu arah, namun pada masa ini kesadaran akan hak-hak publik untuk menerima informasi yang benar dan akurat sudah mulai diperhatikan.

Momentum perkembangan berikutnya muncul pada sekitar tahun 1920-an ketika praktik humas modern mulai dikembangkan

oleh Edward L. Bernays yang kita kenal sebagai salah satu perintis

Public Relations modern. Praktek yang berkembang pada masa

ini disebut dengan model asimetris dua arah, karena meskipun sudah ada kesadaran untuk membangun komunikasi dua arah antara praktisi PR dengan para stakeholder-nya, tetapi jalinan komunikasi dua arah tersebut masih bersifat asimetris. Sudah ada upaya untuk mendengar suara publik (stakeholder), akan tetapi umpan balik tersebut dimanfaatkan secara sepihak oleh praktisi humas untuk keuntungan organisasi/perusahaan.

Inovasi terbaru dalam praktik humas menurut Grunig & Hunt berkembang pada akhir abad ke-20 ketika mulai ada kesadaran mengenai pentingnya upaya untuk menjalin hubungan yang seimbang antara organisasi/perusahaan dengan para stakeholder-nya. Jalinan hubungan yang ideal ini disebut dengan model simetris dua arah. Bentuk kesadaran ini muncul diantaranya seperti yang dikemukakan oleh Arthur W. Page mantan wakil direktur Public Relations AT&T yang mengatakan: “All business

in a democratic country begins with public permission and exists by public approval” (Dozier, Grunig dan Grunig 1995: 41).

Untuk lebih jelasnya perbedaan karakteristik dari keempat model tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:

MODEL AGENTRYPRESS FORMATIONPUBLIC IN- ASYMMETRICTWO-WAY SYMMETRICTWO-WAY

Tujuan Propaganda Diseminasi

informasi Persuasi ilmiah Pema-haman bersama Alur ko-munikasi Satu arah, kejujuran tidak terlalu penting Satu arah, kejujuran itu penting Dua arah tidak seim-bang Dua arah seimbang

MODEL AGENTRYPRESS FORMATIONPUBLIC IN- ASYMMETRICTWO-WAY SYMMETRICTWO-WAY Bentuk Peneli-tian Sedikit, hanya mengandal-kan kliping media Sedikit, kadang melakukan readibility test/reader-ship survey Feedback Formative research Evaluation of attitudes Formative research Evaluation of under-standing Tokoh

Utama PT Barnum Ivy Lee Edward Bernays Bernays, pengajar, praktisi PR profesional Tempat model ini diprak-tekan Kegiatan olah raga, teater, promosi produk Lembaga pemerintah, organisasi nirlaba, organisasi bisnis Organisasi bisnis kom-petitif Kegiatan bisnis dengan regulasi ketat (Diadaptasi dari Grunig & Hunt, 1984: 22)

Dari kilasan sejarah tersebut dapat kita lihat bahwa perkembangan dunia humas semakin mengarah pada keberpihakan terhadap publik dan kesadaran untuk menempatkan para stakeholder sebagai mitra sejajar organisasi. Dengan demikian upaya untuk membangun relasi yang simetris untuk mencapai win-win solution adalah hal yang niscaya dalam praktek humas modern.

Kecenderungan global yang dikemukakan oleh Grunig & Hunt tersebut di atas sesungguhnya juga sangat relevan dengan konteks Indonesia. Proses reformasi dan transisi menuju demokrasi yang sedang kita jalani saat ini merupakan sebuah indikasi semakin pentingnya posisi publik dalam proses pengambilan kebijakan.

Dalam dunia politik kecenderungan tersebut nampak sangat nyata. Fenomena semakin menguatnya posisi lembaga legislatif di tingkat pusat maupun daerah, terbukanya kran kebebasan pers

serta semakin terbukanya ruang publik untuk menyampaikan pendapat merupakan gejala-gejala penting yang harus disikapi secara serius oleh para praktisi humas di Indonesia.

Problem Manajemen Humas Pemerintah

Ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi dari kelemahan langkah-langkah manajemen humas pemerintah di masa pandemi Covid-19 sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan. Tiga hal yang paling mendasar adalah informasi yang tidak transparan, informasi yang tidak terdefinisikan secara jelas dan informasi yang tidak konsisten (lack of transparency, clarity, and consistency).

Informasi yang tidak transparan

Pemerintah cenderung tidak transparan dalam penyampaian informasi kepada publik terutama di awal-awal munculnya kasus Covid-19. Presiden Jokowi sendiri mengakui bahwa pemerintah menyembunyikan beberapa informasi dengan tujuan untuk tidak menimbulkan kepanikan di tengah-tengah masyarakat. Kekhawatiran ini bisa dipahami, tetapi jika informasi terus ditutup-tutupi akan menimbulkan kecurigaan dan spekulasi informasi di tengah masyarakat. Amanah dari Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik menyatakan bahwa badan publik wajib mengumumkan secara serta merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum (UU KIP Pasal 10 ayat 1). Memang ada pengecualian kategori informasi yang tidak boleh dibuka ke publik termasuk riwayat penyakit seseorang, tetapi informasi ini tetap bisa dibuka atas seizin pihak yang bersangkutan.

Dalam dunia kehumasan dikenal prinsip bahwa kejujuran itu penting meskipun tidak semua informasi harus disampaikan ke publik (you have to tell the truth, but not the whole truth). Di sini peran tim komunikasi krisis sangat penting dalam memilah-milah informasi mana yang seharusnya disampaikan dan informasi mana yang tidak perlu disampaikan ke publik.

Informasi yang tidak jelas

Reaksi awal pemerintah Indonesia dalam menghadapi ancaman penyebaran Covid-19 sudah nampak gamang. Beberapa pejabat publik terkesan menganggap ringan potensi krisis ini sehingga tidak dilakukan upaya antisipasi yang serius. Perbaikan dilakukan dengan menunjuk Achmad Yurianto sebagai juru bicara remi pemerintah untuk penanganan Covid-19. Namun setelah ada juru bicara resmi, beberapa pejabat publik ternyata tetap bebas bersuara sesuai perspektif masing-masing.Peran juru bicara yang mestinya berperan sebagai representasi pemerintah dalam menyampaikan kebijakan dan informasi kepada publik terdistorsi hanya sebatas menyampaikan perkembangan statistik harian penyebaran Covid-19.

Diskusi publik lebih banyak menjadi ajang perdebatan istilah yang tidak strategis seperti membedakan antara mudik dan pulang kampung, membedakan istilah darurat sipil, lockdown, karantina wilayah atau PSBB sampai menafsirkan ajakan presiden untuk berdamai dengan Covid-19. Sementara itu esensi dari penanggulangan pandemi untuk memutus mata rantai penyebaran virus nyaris tidak tersampaikan dengan baik kepada masyarakat.

Kebijakan yang dikomunikasikan oleh pemerintah mestinya jelas, terukur dan tidak multitafsir. Misalnya ketika pemerintah mengambil kebijakan larangan mudik, ,maka harus dipahami bahwa esensi larangan mudik adalah pembatasan pergerakan masyarakat. Maka pembatasan itu harus diberlakukan dengan tegas dalam bentuk larangan bepergian dengan kriteria yang jelas siapa yang boleh pergi dan siapa yang harus tetap tinggal di rumah.

Inkonsistensi informasi

Informasi yang tidak jelas menjadi semakin membingungkan dengan adanya kebijakan yang terkesan tidak konsisten.

Transportasi umum yang pada awalnya diminta berhenti beroperasi, tiba-tiba dilonggarkan kembali di tengah kebijakan larangan mudik. Akibatnya masyarakat menjadi bingung aturan mana yang seharusnya mereka ikuti. Msayarakat yang semula sudah siap untuk tidak mudik menjadi berpikir ulang untuk memanfaatkan celah dari kebijakan pelonggaran transportasi umum.

Kebijakan PSBB yang sudah diberlakukan di beberapa kota ternyata juga tidak berjalan dengan baik. Terbukti dengan masih adanya kegiatan yang menimbulkan kerumunan yang beberapa diantaranya justru melibatkan pejabat pemerintah. Penyelenggaraan konser amal virtual yang mengambil tema bersatu melawan Corona mendapat kritik tajam karena banyak publik figur yang terlibat dalam konser itu justru tidak memberikan contoh yang benar sesuai protokol kewaspadaan Covid-19.

Konsistensi ini diuji kembali dalam penyelenggaraan shalat Idul Fitri tahun ini. Ormas-ormas Islam besar terutama Muhammadiyah dan NU telah berupaya membantu pemerintah dengan mengeluarkan fatwa kepada warganya untuk melaksanakan shalat Idul Fitri di rumah, tetapi beberapa pemerintah daerah tetap memberikan kesempatan penyelenggaraan shalat Idul Fitri secara massal. Kecenderungan masyarakat untuk membandingkan antara ketatnya penutupan tempat ibadah dan longgarnya penutupan tempat-tempat keramaian lain akhirnya menimbulkan berbagai aksi perlawanan yang kontra produktif terhadap implementasi protokol kewaspadaan Covid-19.

Mencari Model Humas yang Tepat

Dengan mengacu empat model humas yang dikemukakan oleh Grunig & Hunt di atas, dapat dilihat bahwa humas pemerintah di masa pandemi cenderung mengunakan perpaduan model informasi publik dan model asimetris dua arah. Pemerintah lebih

banyak tampil sebagai narasumber informasi manun kurang responsif dalam mengelola umpan balik dari masyarakat. Bahkan ada beberapa pejabat publik yang justru membangun narasi propaganda dengan menyampaikan pernyataan yang cenderung menyepelekan bahaya wabah Covid-19. Model informasi publik dan model asimetris dua arah memang masih umum dipakai oleh instansi pemerintah dalam berkomunikasi dengan publik, namun propaganda harus dihindari karena akan kontraproduktif dengan berbagai protokol kewaspadaan yang sudah dibuat oleh pemerintah. Akan lebih baik lagi kalau pemerintah mengedepankan model simetris dua arah yang menempatkan masyarakat sebagai mitra sejajar dalam penanggulangan pandemi.

Keberhasilan humas pemerintah dalam situasi krisis harus diawali dengan kekompakan segenap jajaran pemerintah. Informasi-informasi penting yang perlu dikomunikasikan kepada publik seharusnya disampaikan satu pintu. Gugus tugas penanggulangan Covid-19 mestinya didukung oleh tim komunikasi krisis yang kuat melalui peran kementerian komunikasi dan informatika. Kominfo selama ini cenderung terlalu fokus mengurus hoax tentang Covid-19 yang meskipun juga penting tetapi itu hanya salah satu dari aspek komunikasi krisis yang perlu dikelola. Tim komunikasi krisis harus mampu menjamin tersedianya informasi publik yang transparan, jelas, konsisten dan partisipatif agar dapat menjadi acuan bagi segenap elemen masyarakat agar lebih siap dalam menghadapi pandemi ini. Perbaikan manajemen komunikasi publik ini semakin penting untuk dilakukan dalam menghadapi era new normal atau

new reality yang tetap membutuhkan kewaspadaan tinggi agar

Daftar Pustaka

Dozier, D.M., Grunig, L.A., Grunig, J.E. (1995) Manager’s

guide to excellence in public relations and communication management. New Jersey: Lawrence Erlbaum.

Fink, S. (1986). Crisis management: Planning for the inevitable. New York: American Management Association.

Grunig, J. & Hunt, T. (1984). Managing public relations. NY: Holt, Rinehart & Winston.