BENTUK-BENTUK KEKERASAN DALAM NOVEL
PEREMPUAN KEMBANG JEPUN
Pada bab sebelumnya telah dianalisis masalah pendudukan Jepang di Indonesia yang terjadi di kota Surabaya, sebuah peristiwa yang mengungkapkan perjuangan rakyat Surabaya dalam memperjuangkan kemerdekaan RI. Dari tinjauan sosiologi sastra, novel Perempuan Kembang Jepun mengisahkan pendudukan Jepang di Indonesia dan permasalahannya dipandang sebagai refleksi dan realitas yang terjadi dalam masyarakat. Maka dari itu permasalahan-permasalahan sosisal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat ditampilkan melalui keluarga Sujono, wanita penghibur dan rakyat Surabaya yang mengalami kekerasan-kekerasan pada masa penjajahan Jepang.
Pada bab ini, penulis memfokuskan penelitian pada bentuk-bentuk kekerasan yang dialami para tokoh dalam novel Perempuan Kembang Jepun. Kekerasan ini terjadi dalam kehidupan keluarga Sujono dan Sulis maupun Sujono dan Matsumi. Hidup serba kekurangan, penderitaan berkepanjangan, cinta dan kebahagiaan yang kurang sempurna sebagai unsur pemicu timbulnya tindak kekerasan. Tokoh-tokoh yang mengalami tindak kekerasan adalah Sujono, Matsumi, Sulis, Lestari, dan Joko. Selain itu, ada kelompok-kelompok yang mengalami tindak kekerasan dari Jepang. Mereka adalah orang-orang Belanda, perempuan- perempuan Cina dan Korea serta bangsa Indonesia sendiri. Bentuk-bentuk kekerasan berupa pukulan, caci maki,
pemerkosaan, penganiayaan, penghinaan, pemaksaan itulah bentuk kekerasan yang dapat ditemui dalam novel Perempuan Kembang Jepun.
Dari hal di atas, penulis akan mendeskripsikan dan mengklasifikasikan bentuk-bentuk kekerasan yang ada dalam novel Perempuan Kembang Jepun dalam dua bentuk tindak kekerasan. Tindak kekerasan intensional adalah tindak kekerasan yang disengaja dan tindak kekerasan bukan intensional adalah tindak kekerasan yang kemungkinannya tidak disengaja. Bentuk-bentuk kekerasan yang ada dalam novel Perempuan Kembang Jepun akan dirurut sebagai berikut.
3.1 Tindak Kekerasan Intensional
Tindak kekerasan intesional merupakan tindakan yang disengaja untuk memaksa, menaklukkan, mendominasi, mengendalikan, menguasai, menghancurkan melalui cara-cara fisik, psikologi, deprivasi, ataupun gabungannya dalam beragam bentuk. Dari pengertian di atas, maka tindak kekerasan dapat digolongkan dalam beberapa bentuk tindak kekerasan, yaitu tindak kekerasan fisik, tindak kekerasan seksual atau reproduksi, tindak kekerasan psikologi dan tindak kekerasan deprivasi. Tindak kekerasan intensional pada novel Perempuan Kembang Jepun dapat dipaparkan sebagai berikut
3.1.1 Tindak kekerasan fisik
Tindak kekerasan fisik bentuknya berupa pemukulan, pengeroyokan, penggunaan senjata untuk menyakiti, melukai, penyiksaan, penghancuran fisik, pembunuhan dan penggunaan obat untuk menyakiti. Tindak kekerasan fisik
berhubungan langsung fisik ini dapat dilihat melalui penderitaan tokoh Sulis. Ini tampak dalam kutipan berikut:
(1)“Mas Sujono tetap berusaha menyeretku. Aku bertahan berada di dalam kamar petaknya.
Tolong…! Aku melonglong panjang, membelah senyap yang mati”.(Lan fang, 2006 :61)
Dari kutipan (1), terlihat jelas jika Sulis mengalami bentuk kekerasan fisik dari Sujono. Ia dipaksa untuk keluar dari rumah Sujono. Disini secara kekerasan fisik Sulis mendapat perlakuan kasar, ia diusir paksa dengan cara diseret agar keluar dari rumah oleh Sujono.
Kutipan berikut adalah kekerasan dialami tokoh Sujono, ia ditampar ketika ia berusaha meyakinkan ayah Sutini jika ia tidak menghamili Sulis. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
(2)“Mendadak ku dengar bunyi bergelegar. Sunyi seakan terkapar. Laki-laki itu menampar Sujono. Matanya merah menyalang” ( Lan Fang, 2006:63) Dalam kutipan (2), terlihat Sujono mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh ayah Sutini. Kekerasan itu adalah kekerasan fisik di mana Sujono mendapat tamparan dari ayah Sutini. Di sini, Sujono berusaha membela dirinya karena ia tahu Sulis belum tentu hamil akibat perbuatannya sebab saat itu Sulis juga berhubungan dengan laki-laki lain.
Tindak kekerasan yang sama masih dialami Sujono. Suara bergelegar itu terdengar nyaring untuk kedua kalinya. Ayah Sutini kembali menempeleng mas Sujono” ( Lan Fang, 2006:63).
Sujono kembali mengalami tindak kekerasan, ia kembali mendapat tamparan. Sujono hendak menjelaskan kepada ayah Sutini bahwa ia benar-benar mencintai Sutini bukan Sulis. Ia juga berusaha untuk menjelaskan kembali jika Sulis hamil bukanlah karena perbuatannya. Sujono mengetahui jika Sulis juga berhubungan dengan Mas Wandi. Dari kutipan di atas, sudah terlihat sangat jelas bahwa Sujono mengalami tindak kekerasan fisik, yaitu mendapat tamparan.
Kekerasan kembali terjadi pada tokoh Sulis ini terlihat dalam kutipan berikut
(3)“Dan, seketika itu juga, tangannya melayang meninju mataku! “Kamu jangan melotot padaku!” sentaknya. Aku sempoyongan, terhuyung, dan terlempar, sambil menutup wajahku karena mataku yang sakit dan air mata yang berlinang. Aku terjerembap di lantai. Telentang dengan punggung terasa nyeri karena terhempas begitu keras” (Lan Fang, 2006: 78).
Dalam kutipan (3), terlihat kekerasan tetap dialami oleh Sulis. Setelah mendapat penghinaan dari suaminya, ia ditinju karena dianggap kurang ajar dan telah berani melotot melihat suaminya. Kutipan (3) ini masih tergolong kekerasan fisik. Hal ini dikarenakan Sulis masih mendapat perlakuan kasar dari suaminya.
Kekerasan terus dialami oleh Sulis.
(4)“Besoknya, tampaklah gambar biru di sekeliling mataku dan seluruh tulang berulangku seakan remuk sehingga tidak bias bangun dari tikar. Mataku sembap dan bengkak karena bekas pukulan juga karena menangis semalaman” (Lan Fang, 2006: 81)
Kutipan (4) mengungkapkan hal yang sama dengan kutipan sebelumnya. Kekerasan masih terjadi pada diri Sulis. Kekerasan fisik terlihat pada penyiksaan
tulang Sulis pun serasa remuk menjadi gambaran kekerasan yang dialaminya Hal yang sama juga terjadi pada kutipan berikut:
(5)“Setiap kali aku menanyakan mengenai Matsumi atau uang belanja, pecahlah perang di antara kami yang selalu berakhir dengan buku-buku tangannya membekas biru di pipiku” (Lan Fang, 2006: 83).
Kutipan (5) memiliki kapasitas yang sama dengan kutipan (4). Kekerasan yang terjadi di sini adalah kekerasan fisik. Terlihat dengan jelas bagaimana Sulis menjadi korban pemukulan Sujono. Hal ini digambarkan melalui kata-kata kiasan ”pecahlah perang di antara kami yang selalu berakhir dengan buku-buku tangannya membekas biru di pipiku”.
Tindak kekerasan fisik juga dialami Matsumi ketika ia memutuskan menikah dengan Sujono dan tidak mau lagi bekerja pada kelab hiburan milik Hanada-san. Ini telihat pada kutipan berikut.
(6)“Kubiarkan Hanada-san melampiaskan marah sepuas hatinya. Ia bukan saja menempelengi dan menjambakku, tapi juga menendang dan menginjak kepalaku” (Lan Fang, 2006: 143).
Dalam kutipan (6), terlihat bagaimana marahnya Hanada-san pada Matsumi saat tahu ia akan keluar dari kelab hiburannya dan memilih tinggal bersama Sujono, laki-laki yang hanya bekerja kuli. Hanada-san merasa pekerjaan Sujono tidak akan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka kelak. Kekerasan ini jelas termasuk kekerasan fisik karena keseluruhan tindak kekerasan pada kutipan ini berorientasi pada fisik. Kekerasan fisik juga dialamai Lestari putri dari Sujono. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut
(7)“Aku sudah tahu apa yang akan terjadi besok harinya bila ayah bekerja. Aku akan menerima pukulan dan cakaran dari perempuan itu” (Lan Fang, 2006: 247).
Kutipan (7), menyiratkan hal yang sama pada kutipan sebelumnya. Kekerasan fisik terlihat pada pukulan dan cakaran yang diterima Lestari setelah ayahnya berangkat kerja. Lestari kembali mengalami kekerasan pada kutipan berikut.
(8)“Ibu pulang. Mata perempuan itu terbelalak melihat keadaanku. Kau apakan anakku?! Serunya setengah menjerit. Belum selesai kebinggunganku, dengan kalap tangan perempuan itu menjambak rambutku lalu membenturkan kepalaku berkali-kali ke tembok. Ia menengadahkan kepalaku, menyentakku, lalu dengan satu gerakan secepat kilat, jemari berkuku panjang itu mencakar pipiku. Berulang-ulang, perempuan itu membenamkan kukunya yang runcing di pipiku sampai berdarah! ” (Lan Fang, 2006: 252).
Dalam kutipan (8), terlihat kekerasan tetap dialami oleh Lestari setelah terjadi kasus pemerkosaan. Kekerasan yang Lestari alami pada kutipan ini adalah kekerasan fisik berupa penyiksaan dari ibunya. Bentuk penyiksaan itu berupa penjambakan rambut, pembenturan kepala ke tembok, dan pencakaran pipi hingga berdarah. Kekerasan kembali dialami Lestari dalam kutipan (9).
(9) “Tak cukup hanya itu. Ia mengambil sebuah garpu bengkok yang berkarat. Sebelah tangannya menjambak rambutku dan memaksa wajahku tengadah ke arahnya. Sebelah tangannya asyik menggeruskan garpu bengkok itu ke seluruh wajahku. Jangan…jangan, bu! Ampun, bu…! Aku melolong kesakitan” (Lan Fang, 2006: 252).
Kutipan (9) terlihat bagaimana puncak penyiksaan yang dilakukan oleh Sulis kepada Lestari. Tersirat dengan jelas bagaimana proses ”penggerusan garpu
dan minta ampun tapi, tidak dipedulikan sama sekali oleh Sulis. Dalam proses ini, kekerasan yang terjadi juga merupakan kekerasan fisik. Dari kutipan (9), terlihat bahwa setiap gerak Sulis selalu berorientasi pada penyiksaan, penggunaan senjata untuk menyakiti dan melukai Lestari.
(10) “Belum cukup ibu mengambil suamiku, sekarang kau merusak anakku! Tangan perempuan yang kupanggil ibu itu mencengkeram kuat rambutku sehingga segumpal rambutku terserabut” (Lan Fang, 2006: 252).
Dalam kutipan (10), terlihat bahwa Lestari kembali menjadi korban kekerasan
yang dilakukan oleh „ibunya‟. Kekerasan yang terjadi pada kutipan (10),
dikategorikan ke dalam kekerasan fisik karena berorientasi pada penyiksaan fisik yang berupa penjabakkan rambut hingga segumpal rambut Lestrari terserabut.
Kekerasan juga terjadi pada tokoh Joko, anak Sujono dan Sulis. Ini terlihat dalam kutipan berikut.
(11) “Ayah menghajar Joko sampai mulut, pipi, dan pelipis pemuda itu berdarah. Ayah juga menghajar Joko sampai babak belur seperti ibu menyiksaku. Ayah menempelengnya, menendangnya, menginjak wajah, dada, dan perutnya, sampai ia terkapar dengan pelipis dan bibir pecah. Matanya membengkak biru. Wajahnya pun bersimbah darah” (Lan Fang, 2006: 253).
Dalam kutipan (11), setelah pulang kerja dan melihat keadaan anak gadisnya, Sujono sudah dapat memperkirakan musibah apa yang baru saja terjadi. Ia melampiaskan amarahnya kepada Joko, anak lelakinya. Kekerasan yang terjadi di sini adalah kekerasan fisik berupa pemukulan dan penyiksaan yang dilakukan oleh Sujono terhadap anaknya, Joko. Sujono melakukan kekerasan fisik karena dilatarbelakangi
oleh sikap anak laki-lakinya yang telah melakukan kekerasan seksual terhadap anak gadisnya.
Kekerasan kembali dialami tokoh Sulis pada kutipan dibawah ini.
(12) ”Ayah melepaskan aku dari seretan ibu. Ia mendorong ibu sampai terjerembab. Wajahnya yang bengis mencium lantai. Lalu ayah menyeretnya ke arah pintu seakan-akan hendak membuang bangkai tikus. Ibu menggeliat-geliat mempertahankan diri agar tidak terlempar keluar” (Lan Fang, 2006: 255).
Dalam kutipan (12), terlihat Sujono begitu menyayangi anak gadisnya, ia tidak tega melihat perlakuan kasar Sulis terhadap Lestari sehingga Sujono juga membalas perlakuan sama kepada Sulis dengan menyeretnya dan hendak membuangnya. Adanya kiasan dengan menggunakan perumpamaan “seakan-akan membuang bangkai tikus” memberi gambaran bagaimana penyiksaan yang dilakukan oleh Sujono kepada Sulis begitu sadis. Sujono sudah tidak memperdulikan Sulis yang menggeliat-geliat mempertahankan dirinya agar tidak terlempar ke luar. Dalam hal ini, kekerasan yang terjadi masih sama kategorinya dengan kekerasan yang ada pada kutipan (11), yaitu kekerasan fisik. Kekerasan kembali dialami Sulis pada kutipan berikut:
(13) “Tubuh ibu diinjak-injak dan ditendang, ibu bersikukuh memegangi daun pintu sambil meringkuk. Akhirnya, ayah menjambak dan menarik rambut ibu untuk menariknya ke luar. Rambutnya tercabut dari kulit kepala. Ibu melolong panjang.” (Lan Fang, 2006: 255).
Kutipan (13) mendeskripsikan bagaimana puncak penyiksaan yang dilakukan oleh Sujono kepada Sulis. Terlihat dengan jelas bagaimana proses penyiksaan terjadi
ke tubuh Sulis perlahan dan terus berlanjut, hingga rambut Sulis tercabut dari kulit kepalanya. Sulis tidak melawan penyiksaan yang dilakukan oleh Sujono tersebut. Ia seakan-akan mengerti bahwa penyiksaan ini merupakan pelampiasan terhadap apa yang telah ia lakukan kepada Lestari. Dari kutipan (13), terlihat setiap gerak Sujono berorientasi pada penyiksaan fisik terhadap Sulis.
3.1.2 Tindak Kekerasan Seksual atau Reproduksi
Tindak kekerasan seksual atau reproduksi bentuknya berupa serangan atau upaya fisik untuk melukai pada alat seksual reproduksi atau serangan psikologis (kegiatan merendahkan atau menghina) yang diarahkan pada penghayatan seksual subjek. Tindak kekerasan seksual atau reproduksi ini dialami Sulis, Matsumi, Lestari atau Kaguya, tentara Belanda dan para wanita penghibur. Hal ini dilihat pada kutipan-kutipan berikut.
(14) “Belum tuntas rasa sakitku, belum sempurna kesadaranku, mas Sujono bagaikan banjir badang, bagaikan harimau kelaparan, datang menerpa, menggulung, menindihku! Ia mengangkat kedua pahaku tinggi-tinggi, melipatnya sampai keatas dada, mendorong kepalaku sampai membentur dinding kamar. Aku merintih kesakitan. Air mataku membanjir, tapi ia tidak peduli. Ia menyetubuhiku lagi dengan kasar dan lama. Ia memperkosaku!!!!” (Lan Fang, 2006: 78)
Dalam kutipan (14), terlihat bahwa kekerasan kembali dialami oleh Sulis. Belum tuntas rasa sakit yang ia alami saat ditinju dan belum sempurna kesadarannya, ia diperkosa. Adanya kiasan dengan menggunakan perumpamaan “bagaikan banjir badang, bagaikan harimau kelaparan, datang menerpa, menggulung, menindihku” memberi gambaran betapa tiba-tiba dan kasarnya perlakuan dari Sujono. Dalam hal
ini terjadi dua kekerasan yaitu, kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Kekerasan fisiknya berupa penyiksaan yang dialami oleh Sulis dan kekerasan seksualnya berupa cara Sujono menyetubuhi istrinya dengan kasar dan paksa sehingga mengesankan Sujono telah memperkosa istrinya sendiri. Hal ini terlihat pada kutipan “Ia memeperkosaku”. Contoh kekerasan lain dapat dilihat pada kutipan berikut:
(15) “Tiba-tiba, tangan mas Sujono bergerak cepat dan mencekal pergelengan tanganku, lalu menyentakku duduk kembali di sisinya. Hanya dengan sekali sentak, ia menarik tubuhku sehingga terjatuh di sisinya. Dan mendadak saja, ia sudah berada di atas tubuhku. Ia menindihku sehingga aku tidak bisa bergerak” (Lan Fang, 2006: 53).
Dalam kutipan (15), terlihat bahwa terjadinya kekerasan seksual yang dilakukan oleh Sujono terhadap Sulis dengan cara pemaksaan hubungan seksual. Kekerasan seksual kembali terjadi pada suatu kelompok atau golongan. Mereka adalah prajurit Belanda yang menjadi tahanan Jepang, para wanita-wanita penghibur baik dari Cina, Korea serta Indonesia yang tinggal di asrama-asrama pelacuran. Ini tampak pada kutipan berikut.
(16) “Tentara Belanda yang ditawan bukan saja mendapatkan pukulan, tendangan, tempelengan bahkan penyiksaan sampai mereka mengeluarkan raungan seperti orang sekarat. Jari-jari mereka dijepit, punggung dan dada disetrika, bahkan penis diestrum dengan listrik” (Lan Fang, 2006: 112).
Kutipan (16) menjelaskan kekerasan yang dipaparkan melalui latar yang terjadi saat itu. Kekerasan ini termasuk kategori kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Terlihat dengan jelas bagaimana tentara Jepang terhadap tentara Belanda
mereka dipukul, ditendang, dan ditempeleng. Sedangkan, kekerasan seksualnya terlihat pada upaya untuk melukai alat reproduksi dengan cara disentrum.
Kekerasan kembali dilakukan oleh tentara Jepang.
(17) ‟Mereka menggagahi perempuan-perempuan di sana dengan penuh nafsu. Seorang perempuan harus digilir sepuluh sampai lima belas tentara Jepang karena jumlah tentara Jepang sangat banyak” (Lan Fang, 2006: 113).
Kekerasan pada pemaparan latar (17), terjadi kekerasan yang dilakukan oleh tentara Jepang terhadap perempuan-perempuan pribumi. Kekerasan yang ada merupakan kekerasan seksual karena menceritakan perbuatan tentara-tentara Jepang yang melakukan pemaksaan hubungan seks kepada perempuan pribumi. Tragisnya lagi, satu orang perempuan harus digilir sepuluh hingga lima belas orang tentara Jepang. Selain itu, mereka pun tidak dibayar. Alih-alih membayar, para perempuan itu diberi tempelengan dan siksaan yang di luar batas kemanusiaan.
Kekerasan kembali terjadi pada salah seorang wanita penghibur.
(18) “Ia ditempeleng sampai mulutnya berdarah. Mulut berdarahnya dipaksa menganga. Dan masuklah kemaluan laki- laki itu sampai menohok keujung tenggorokannya. Ia ingin muntah tetapi tidak bisa kerena tersumpal kemaluan yang membatu. Sampai lahar itu muncrat di dalam mulutnya” (Lan Fang, 2006: 114).
Kutipan diatas mendeskripsikan terjadinya kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Kekerasan fisik yang terjadi adalah wanita itu ditempeleng sampai mulutnya berdarah sedangkan kekerasan seksualnya adalah mulut wanita itu dipaksa menganga dan kemaluan laki-laki itu dimasukan ke mulutnya sampai menohok
ketenggorokannya. Bentuk kekerasan ini mengarah pada kekerasan seksual karena wanita itu dipaksa melakukan oral seks.
Kekerasan kembali terjadi pada wanita penghibur berikut.
(19) ”Mereka seperti koboi dalam pertandingan pacu kuda. Bergerak naik- turun, maju-mundur sambil mengayunkan pecut agar kudanya semakin kuat bergerak” (Lan Fang, 2006: 114).
Pada kutipan (19) tergambar yang dilakukan tentara Jepang adalah kekerasan seksual yang mengarah pada kekerasan fisik. Kekerasan seksual yang terjadi adalah mereka berhubungan seks seperti seorang koboi yang sedang menunggangi kuda. Kekerasan fisik yang terjadi adalah mereka mengayunkan pecut ke tubuh wanita tersebut. Tentara Jepang memperlakukan wanita-wanita penghibur seperti binatang.
Bentuk kekerasan lainnya adalah kekerasan seksual yang dialami tokoh Matsumi. Ia tidak diperlakukan dengan baik oleh Sujono seperti seorang isteri tetapi tubuh Matsumi diperlakukan seperti daging sate. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut
(19) “Ia bukan saja mengangkangkan kedua kakiku, tapi juga mengangkat bahkan melipatnya. Ia membalik-balik tubuhku seperti sate” (Lan Fang, 2006: 148).
Dalam kutipan (19), terlihat bagaimana menderitanya Matsumi, ia mendapat perlakuan keji dari suaminya sendiri. Kekerasan yang terjadi pada kutipan ini adalah kekerasan seksual. Matsumi diperlakukan secara tidak sewajarnya. Hal ini terlihat pada kutipan “Ia membalik-balik tubuhku seperti sate”. Kebuasan Sujono dalam
membuat penulis berkesimpulan jika kekerasan yang terjadi adalah kekerasan seksual.
Bentuk tidak kekerasan kembali dialami tokoh Sulis. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
(20) “Kutinju matanya yang melotot! Langsung ada memar biru tercetak di sana. Kupukul mulutnya yang mengoceh! Segera darah segar meleleh dari sudut mulutnya yang pecah. Kuperkosa tubuhnya yang pendek dan berkulit gelap!” (Lan Fang, 2006: 191).
Dalam kutipan (20), terlihat terjadi kasus pemukulan, penyiksaan dan pemerkosaan terhadap Sulis. Kekerasan yang terjadi dapat dikategorikan sebagai kekerasan yang mengarah pada penyiksaan fisik. Sedangkan pada kasus pemerkosaan mengarah pada kekerasan seksual. Kekerasan juga terjadi pada kutipan berikut:
(21) “Kami seperti sepasang pemain sumo yang sedang bergulat dan saling membanting. Semakin ia melawan dan memberontak, aku semakin kasar menyetubuhinya” (Lan Fang, 2006: 191)
Pada kutipan (21), terlihat kekerasan yang tetap dialami oleh Sulis walaupun ia sudah mencoba melawan dan memberontak. Adanya kiasan “Kami seperti pemain
sumo yang sedang bergulat dan saling membanting” memberi gambaran bagaimana
penyiksaan yang diterima oleh Sulis walaupun ia sudah mencoba melawan dan memberontak seolah-olah Sujono tidak memperdulikan hal tersebut. Dalam hal ini, kekerasan yang terjadi masih sama kategorinya dengan kekerasan yang ada pada kutipan (21), yaitu kekerasan fisik dan seksual. Kekerasan fisik mengarah pada
penyiksaan fisik yang dialami oleh Sulis dan kekerasan seksual mengarah pada cara Sujono menyetubuhi Sulis dengan kasar.
Bentuk tindak kekerasan yang dialami tokoh Kaguya (Lestari). Ia diperkosa oleh Joko, kakaknya hasil dari hubungan Sujono dan Sulis. Ini terlihat dalam kutipan berikut.
(22) “Ia langsung menyentak kainku hingga jatuh ke lantai. Aku berdiri berdiri telanjang di depannya! Ia mendorongku kasar sampai rebah di lantai. Aku meronta dan berontak, tapi ia tidak mempedulikannya. Joko memasukan sesuatu ke selangkanganku yang disusul rasa sakit, nyeri dan bercak darah” (Lan Fang, 2006: 251).
Dalam kutipan (22), terlihat bagaimana perlakuan Joko kepada Lestari. Kekerasan yang terdapat pada kutipan ini dikategorikan dalam kekerasan seksual. Hal ini terlihat pada upaya Joko memaksa Lestari untuk melakukan hubungan seksual (pemerkosaan). Walaupun Lestari sudah meronta dan memberontak hal tersebut, seakan-akan tidak dipedulikan oleh Joko.
3.1.3 Tindak Kekerasan Psikologis.
Tindak kekerasan psikologis dapat berupa penyerangan harga diri, penghancuran motivasi, perendahan, kegiatan mempermalukan, upaya membuat takut, teror dalam banyak manifestasinya. Tindak kekerasan psikologis ini dialami tokoh Lestari (Kaguya), Sulis dan rakyat Indonesia. Tindak kekerasan psikologis yang dialami oleh tokoh dan kelompok atau golongan ini dapat kita lihat pada kutipan-kutipan berikut
Tindak kekerasan psikologis yang dialami tokoh Sulis. Ini terlihat dalam kutipan berikut
(23) “Ia selalu mencelaku karena ketika ia mengawiniku aku dalam keadaan mengandung muda. Ia tidak percaya anak yang kukandung adalah benih yang ditanamnya” (Lan fang, 2006:39)
Pada kutipan (23), kekerasan yang dialami Sulis merupakan tindak kekerasan psikoligis. Sulis sering mendapat celaan dari Sujono. Sulis merasa dirinya direndahkan oleh Sujono,sehinga Sujono pun tidak mengakui anak yang dikandung Sulis adalah anak kandungnya. Hal ini membuat Sulis mendapat tekanan psikologis Bentuk kekerasan psikologis lainnya yang dialami Sulis tampak pada kutipan (24).
(24) ”Tapi mas Sujono justru menghidariku. Ia melepaskan diri dari tanggung jawab.
Aku bertekad harus membuat Mas Sujono mengawiniku”. (Lan fang, 2006:57)
Pada kutipan (24) Sulis mendapatkan tindak kekerasan psikologis. Sulis tahu bahwa Sujono berusaha untuk menghidar dari dirinya dan tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya sehingga Sulis berusaha untuk membuat Sujono mengawininya. Sujono berupaya membuat Sulis merasa takut ditinggalkan. Hal ini mengakibatkan Sulis mengalami tekanan psikologis. Kutipan (25) juga mendeskripsikan terjadinya kekerasan psikologis.
(25) ”Aku akan menjadi perempuan tidak laku! Aku akan mempunyai anak haram! aku akan semakin melarat karena harus menghidupi seorang anak tanpa bapak! aku akan menjadi gunjingan setiap perempuan di kamar petak! Oh Gusti…!” (Lan fang, 2006:58)
Dari kutipan (25), Sulis mengalami kekerasan psikologis. Ia secara pribadi dipermalukam dengan tindakan Sujono. Sulis takut menjadi perempuan tidak laku, memiliki anak haram, hidup melarat dan menjadi gunjingan orang. Psikologis Sulis benar-benar merasa dipermalukan di depan orang banyak dikarenakan ada upaya dari Sujono untuk tidak mau menikah dengannya.