ABSTRAK
Demon, Melkior. 2009. Tindak Kekeresan dalam Novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang, Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma
Penelitian ini mengkaji tindak kekerasan dalam novel Perempuan Kembang Jepun yang sangat dipengaruhi oleh sejarah perjuangan masyarakat Surabaya. Tujuan penelitian ini mengkaji dan menganalisis sejarah perjuangan masyarakat Surabaya sampai memunculkan tindak kekerasan yang terjadi dalam novel Perempuan kembang Jepun sebagai sebuah realitas sosial yang terjadi di masyarakat.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra, untuk membicarakan sastra. Penelitian diawali dengan mendeskripsikan perjuangan masyarakat Surabaya pada tahun 1942–1945 untuk mengungkapkan kenyataan sosial masyarakat yang terjadi pada saat itu yang kemudian dipakai sebagai dasar untuk menganalisis tindak kekerasan yang terjadi di keluarga dan masyarakat dalam novel Perempuan Kembang Jepun.
Dalam novel Perempuan Kembang Jepun ditemukan bahwa kekejaman tentara Jepang saat menjalankan pemerintahannya di Indonesia tidak berperikemanusiaan. Mulai dari kerja paksa atau romusha, perampasan hak-hak rakyat sampai pada pengambilan wanita-wanita secara paksa dan mempekerjakan mereka di tempat-tempat hiburan sebagai budak seks tentara Jepang. Hal ini membuat rakyat marah dan melakukan perlawanan terhadap Jepang. Tentara nasional dibantu rakyat bersama-sama mengangkat senjata berperang melawan penjajah. Pemberontakan, pembunuhan terjadi di setiap sudut kota Surabaya. Sampai pada akhirnya Jepang kalah dan mengakui kemerdekaan Indonesia.
Perang antara Indonesia dan Jepang membawa dampak sosial yang cukup luas bagi masyarakat. Situasi yang serba tidak menentu seperti ini membawa dampak pada kehidupan keluarga Sujono. Faktor pemenuhan kebutuhan hidup menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam keluarga Sujono. Kekerasan fisik, seksual, psikologi dan deprivasi menjadi sebuah masalah yang tidak terpecahkan dalam keluarga Sujono. Maka munculnya ketidak harmonisan dalam keluarga Sujono. Selain itu, wanita-wanita penghibur dan rakyat Indonesia adalah kelompok-kelompok yang menjadi korban kekerasan dari tentara Jepang.
ABSTRACT
Demon, Melkior. 2010. Violence in Perempuan Kembang Jepun Novel by Lan Fang. A Literature Socoilogi—Review. Yogyakarta : Indonesia Literature Study Program, Sanata Dharma University.
This observation analyzes the violence in Perempuan Kembang Jepun novel that was influenced by the struggle of Surabaya people in 1945.The purpose of this obsevation is analyzing the struggle of Surabaya people history which brought up the violence that was described in Perempuan Kembang Jepun as a social reality.
The approach that is used in this observation is literature sociology approach, based on the opinion the literature is a reflect of socia process. This approach moves in the external elements of literature in order to talk about literature it self.This observation stars with describing the struggle of surabaya people in 1942-1945 to reveal the social reality at the time which later would be used to analyze the violince in family and society of Perempuan Kembang Jepun.
Perempuan Kembang Jepun described that the violence in japan colonial domination is umbelievable.Romusa of forced labor,human rights exploitation,up to women kidnapping for prostitution reason of Japanese army.These situation exploded the reaction of Surabaya people to fight the Japanese army.Rebellion and slaying happened in many places in Surabaya in order to fight the Japanese army.These ended with the defeated of Japanese army and the acknowledgment of Indonesian independence.
The wer betwen Indonesia and Japan brought up plenty of social results.The unstable situation also influenced Sujono’s family.The economical factor became the main reason of violence’s that happened in Sujono’s family.Physical violence,sexual violence, psychology, and depression were unfinished problems in Sujono's family.Beside that,prostitutes and Indonesian people were the victims of Japanese’s violence.
TINDAK KEKERASAN
DALAM NOVEL PEREMPUAN KEMBANG JEPUN KARYA LAN FANG
(Analisis Sosiologi Sastra)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Oleh
Melkior Demon Solo NIM : 014114058
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Hidup seperti sebuah karya seni dimana kita bisa berimajinasi,
bisa merasakan, bisa memahami dan menikmati walaupun tidak
sesempurna yang kita harapkan karna itulah seninya hidup
(Melkior Demon Solo)
Skripsi ini kupersembahkan untuk
Yesus Kristus Sang Juru Selamatku, Bapa dan Mama yang mencintaiku, Melly, Piter, Pino, dan keponakan ku Cindy dan No Wio yang selalu mengasihiku, serta semua
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapak di Surga yang telah memberi kelimpahan dan tuntunan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul Tindak Kekerasan dalam Novel Perempuan Kembang Jepun sebuah Analisis Sosiologi Sastra, ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma.
Skripsi ini dapat terwujud berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. SE Peni Adji, S.S. M.Hum, dan Drs. B. Rahmanto. M.Hum, selaku dosen pembimbing, yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing sampai tersusunnya skripsi ini
2. Para dosen Jurusan Sastra Indonesia, yang telah dengan sabar mendidik penulis;
3. Para karyawan dan karyawati sekretariat Sastra dan BAAK yang selalu mempermudah pengurusan administrasi;
4. Para karyawan dan karyawati Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu mempermudah peminjaman buku-buku;
5. Ayahanda dan Ibunda, yang telah memberi dukungan secara material dan spiritual kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat selesai;
ABSTRAK
Demon, Melkior. 2009. Tindak Kekeresan dalam Novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang, Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma
Penelitian ini mengkaji tindak kekerasan dalam novel Perempuan Kembang Jepun yang sangat dipengaruhi oleh sejarah perjuangan masyarakat Surabaya. Tujuan penelitian ini mengkaji dan menganalisis sejarah perjuangan masyarakat Surabaya sampai memunculkan tindak kekerasan yang terjadi dalam novel Perempuan kembang Jepun sebagai sebuah realitas sosial yang terjadi di masyarakat.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra, untuk membicarakan sastra. Penelitian diawali dengan mendeskripsikan perjuangan masyarakat Surabaya pada tahun 1942–1945 untuk mengungkapkan kenyataan sosial masyarakat yang terjadi pada saat itu yang kemudian dipakai sebagai dasar untuk menganalisis tindak kekerasan yang terjadi di keluarga dan masyarakat dalam novel Perempuan Kembang Jepun.
Dalam novel Perempuan Kembang Jepun ditemukan bahwa kekejaman tentara Jepang saat menjalankan pemerintahannya di Indonesia tidak berperikemanusiaan. Mulai dari kerja paksa atau romusha, perampasan hak-hak rakyat sampai pada pengambilan wanita-wanita secara paksa dan mempekerjakan mereka di tempat-tempat hiburan sebagai budak seks tentara Jepang. Hal ini membuat rakyat marah dan melakukan perlawanan terhadap Jepang. Tentara nasional dibantu rakyat bersama-sama mengangkat senjata berperang melawan penjajah. Pemberontakan, pembunuhan terjadi di setiap sudut kota Surabaya. Sampai pada akhirnya Jepang kalah dan mengakui kemerdekaan Indonesia.
Perang antara Indonesia dan Jepang membawa dampak sosial yang cukup luas bagi masyarakat. Situasi yang serba tidak menentu seperti ini membawa dampak pada kehidupan keluarga Sujono. Faktor pemenuhan kebutuhan hidup menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam keluarga Sujono. Kekerasan fisik, seksual, psikologi dan deprivasi menjadi sebuah masalah yang tidak terpecahkan dalam keluarga Sujono. Maka munculnya ketidak harmonisan dalam keluarga Sujono. Selain itu, wanita-wanita penghibur dan rakyat Indonesia adalah kelompok-kelompok yang menjadi korban kekerasan dari tentara Jepang.
ABSTRACT
Demon, Melkior. 2010. Violence in Perempuan Kembang Jepun Novel by Lan Fang. A Literature Socoilogi—Review. Yogyakarta : Indonesia Literature Study Program, Sanata Dharma University.
This observation analyzes the violence in Perempuan Kembang Jepun novel that was influenced by the struggle of Surabaya people in 1945.The purpose of this obsevation is analyzing the struggle of Surabaya people history which brought up the violence that was described in Perempuan Kembang Jepun as a social reality.
The approach that is used in this observation is literature sociology approach, based on the opinion the literature is a reflect of socia process. This approach moves in the external elements of literature in order to talk about literature it self.This observation stars with describing the struggle of surabaya people in 1942-1945 to reveal the social reality at the time which later would be used to analyze the violince in family and society of Perempuan Kembang Jepun.
Perempuan Kembang Jepun described that the violence in japan colonial domination is umbelievable.Romusa of forced labor,human rights exploitation,up to women kidnapping for prostitution reason of Japanese army.These situation exploded the reaction of Surabaya people to fight the Japanese army.Rebellion and slaying happened in many places in Surabaya in order to fight the Japanese army.These ended with the defeated of Japanese army and the acknowledgment of Indonesian independence.
The wer betwen Indonesia and Japan brought up plenty of social results.The unstable situation also influenced Sujono’s family.The economical factor became the main reason of violence’s that happened in Sujono’s family.Physical violence,sexual violence, psychology, and depression were unfinished problems in Sujono's family.Beside that,prostitutes and Indonesian people were the victims of Japanese’s violence.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. iv
HALAMAN PERNYATAAN PERTSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………... v
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
1.6.1 Sosiologi Sastra ... 10
1.6.2 Tindak Kekerasan ... 11
1.7 Metode Penelitian... 14
1.7.1 Pendekatan ... 14
1.7.2 Metode Penelitian……… 14
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data………..…… 15
1.7.4 Sumber Data………. 15
1.8 Sistematika Penyajian………. 17
BAB II KEKERASAN PADA ZAMAN PENJAJAHAN JEPANG ... 17
2.1 Kekerasan Seksual pada Zaman Penjajahan Jepang... 18
2.2 Sejarah Kekerasan Seksual Tentara Jepang di Asia, Sebelum Masuk ke Indonesia………. 19
2.3 Karayukisan sebelum Tahun 1930, dan Pelacuran Tentara Jepang……….. 24
2.4 Pemaksaan Menjadi Pelacur dan Kamp Tawanan Wanita Eropa……… .. 28
BAB III BENTUK- BENTUK KEKERASAN DALAM NOVEL PEREMPUAN KEMBANG JEPUN……….. 31
3.1 Tindak Kekerasan Intensional……… 32
3.1.1 Tindak Kekerasan Fisik………... … . 32
3.1.3 Tindak Kekersan Psikologi………. .. 44
3.1.4 Tindak Kekerasan Deprivasi………... 51
3.2 Tindak Kekerasan Bukan Intensional………... 55
BAB IV PENUTUP ... 57
4.1 Kesimpulan ... 57
4.2 Saran……….. 61
DAFTAR PUSTAKA ... 62
BAB I
TINDAK KEKERASAN
DALAM NOVEL PEREMPUAN KEMBANG JEPUN KARYA LAN FANG
TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
1.1 Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan suatu karya yang dihasilkan melalui proses kreatif pengarang. Dalam proses ini, dibutuhkan suatu kreativitas dalam diri pengarang. Kreativitas ini dapat bersumber pada imajinasi pengarang atau hasil observasi pengarang terhadap realitas yang dihadapinya. Hal ini juga dijelaskan oleh Jakob Sumardjo (1979:65) yang mengatakan bahwa karya sastra merupakan hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Lebih jauh lagi, Sumardjo menjelaskan jika penciptaan sebuah karya sastra dipengaruhi oleh latar belakang pengarang, lingkungan serta kepribadian pengarang itu sendiri Jakob Sumarjo(1975:66). Dengan kata lain, karya sastra mempunyai kaitan yang erat dengan pengalaman jiwa pengarangnya, sebab sebuah karya sastra merupakan suatu seleksi dari kehidupan dan juga merupakan suatu refleksi terhadap kehidupan itu sendiri yang direncanakan dengan tujuan tertentu.
pengungkapannya sastra mengambil nilai-nilai yang diakui keberadaannya dalam masyarakat. Dengan kata lain, karya sastra sangat dekat hubungannya dengan masyarakat.
Selain kehidupan masyarakat atau aspek sosial, sumber penciptaan karya sastra juga dapat bersumber dari realitas sejarah. Kuntowijoyo (1987 : 127) menambahkan bahwa realitas dalam karya sastra itu dijadikan sebagai objek. Oleh karena itu, realitas yang berupa peristiwa sejarah itu dicoba dan diterjemahkan dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Sehingga, karya sastra dapat dijadikan sarana bagi pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah, karya sastra dapat juga merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.
Novel Perempuan Kembang Jepun karya Lang Fang termasuk salah satu novel menganbil latar sejarahdi dalamnya. Peristiwa sejarah yang terjadi, yaitu pada tahun 1942 sampai 1945 di kota Surabaya pada masa peralihan penjajahan di Indonesia ketika berakhirnya masa penjajahan Belanda di Indonesia dan awal zaman penjajahan Jepang di Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, merupakan masa untuk memperjuangkan kemerdekaan dan pembebasan dari penindasan kaum penjajahan. Peristiwa sejarah inilah yang menjadi latar waktu dalam novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang.
Kobayashi,seorang Jenderal Jepang. Sebelumnya, Matsumi sudah sering melayani Shosho Koboyashi di Jepang. Ia menjadi salah satu geisha yang paling cantik di daerah Gion dan paling disukai Shosho Koboyashi. Matsumi adalah anak seorang nelayan miskin yang tinggal di pinggiran kota. Ketika berumur sepuluh tahun, ia mengikuti tuan Takeshi ke Kyoto. Di sana, Matsumi dijual di Okiya, rumah penitipan calon geisha. Di Gion,Matsumi mendapat pelajaran menjadi seorang geisha. Di tempat itu jugalah Matsumi menjadi geisha yang sangat terkenal. Karena kecantikan dan kepiawaianya bemain alat musik serta pandai melayani tamu akhirnya Matsumi dibayar oleh Shosho Koboyashi untuk menemaninya selama ia bertugas di Indonesia.
Setelah beberapa hari menempuh perjalanan yang melelahkan dari Jakarta ke Surabaya, akhirnya Matsumi tiba di Surabaya. Matsumi dijemput oleh anak buah Shosho Kaboyashi Di pelabuhan Perak. Kaboyashi juga memerintahkan Matsumi harus berganti nama menjadi Tjoa Kim Hwa yang dalam bahasa Cina artinya ular bunga emas. Matsumi harus menggantikan identitasnya sebagai orang Cina agar lebih
Kembang Jepun. Di sinilah ia bertemu dengan seorang pria pribumi, Sujono. Nasib Matsumi berubah semenjak ia berkenalan dengan Sujono, buruh pemalas yang memiliki sifat nasionalis tinggi. Sujono memiliki keinginan menjadi seorang tentara dan berjuang membela tanah airnya. Akan tetapi, itu cuma khayalannya, sementara kehidupan istri dan anaknya, Joko ditelantarkan begitu saja karena Sujono ingin menjadi seorang pejuang. Sujono tidak mencintai Sulis, mereka berkeluarga karena terpaksa. Menurut Sujono, anak yang dikandung Sulis bukan anak kandungnya kerena saat itu Sulis juga berhubungan dengan mas Wandi, seorang penarik becak di kawasan pelabuhan Perak. Dengan alasan itu, Sujono bisa berbuat sesuka hatinya, mabuk-mabukan, berjudi, pulang pagi dan pada akhirnya Sulislah yang menjadi korban. Tendangan pukulan dan makian menjadi teman hidup Sulis setiap kali Sujono pulang mabuk. Kerap kali Sulis harus melayani nafsu seks Sujono yang liar.
terhadap keluarga. Sujono tidak pernah menyadari jika dirinya adalah tulang punggung keluarga. Sekarang, Sujono memperlakukan Matsumi bukan sebagai sosok seorang istri, tetapi tidak lebih sebagai seorang wanita penghibur. Sujono yang gila seks lebih menikmati keindahan tubuh Matsumi dibanding bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Walaupun Sujono memang benar-benar mencintai Matsumi, Matsumi telah sadar jika dia hanyalah objek pemuas nafsu seks Sujono dan bagian pelarian dari kehidupan rumah tangga Sujono yang kerap diwarnai pertengkaran.
dan menikah dengan Takeda seorang pelukis yang cukup bepengaruh di Kyoto. Sujono dan Kaguya (Lestari) hidup dan tinggal di rumah Matsumi di Surabaya, sedangkan Sulis dan Joko tetap tinggal di rumah satu petak.
Melalui karya sastra ini, pengarang memberikan refleksi kepada pembaca tentang kekerasan apa saja yang terjadi pada masa itu. Dalam novel Perempuan Kembang Jepun, dikisahkan tentang kekerasan yang terjadi dalam sebuah rumah tangga yang tinggal di kota Surabaya di daerah pemukiman kumuh seputar jalan Kembang Jepun dan Pelabuhan Perak. Keluarga yang dibangun Sujono adalah keluaga yang kurang harmonis, hidup dalam kukungan penderitaan dan kekerasan rumah tangga. Sujono memperlakukan istrinya dengan sangat kejam, ia tidak begitu menghargai sulis sebagai seorang istri. Hal ini mendeskripsikan kekerasan tetap dialami oleh Sulis setelah mendapat penghinaan dari suaminya, ia ditinju karena dianggap kurang ajar dan telah berani melotot melihat suaminya. Pada akhirnya, Sulis mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Begitu pula Matsumi, ia mendapat perlakuan yang kasar dari Sujono. Di mata Sujono, derajat Matsumi lebih rendah dari seorang jugun ianfu, pelacur, lonte murahan yang biasa dipakai oleh orang-orang Jepang. Caci-maki dan kekerasaan seksual sering dialami Matsumi. Selain itu, tokoh Lestari juga mengalami kekerasan yang dilakukan oleh ibu kandungnya, Matsumi dan Sulis wanita yang sering disebutnya sebagai ibu.
kekerasan inilah yang menjadi objek penelitian penulis. Sebagai langkah awal, penulis mendeskripsikan peristiwa sejarah di kota Surabaya pada tahun 1942-1945 sebagai realitas sejarah yang menginspirasikan seorang pengarang menulis novel sejarah. Analisis realitas sejarah inilah yang menjadi aspek sosiologis dan membentuk jarak realitas sejarah dengan karya sastra. Realitas sejarah inilah yang membentuk jarak hubungan dan keterikatan karya sastra dan masyarakatnya. Selajutnya, penulis menganalisis dan mendeskripsikan dan mengklasifikasikan bentuk-bentuk tindak kekerasan yang ada dalam novel ini.
1.2. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang tersebut, peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimanakah peristiwa sejarah yang terjadi di kota Surabaya pada tahun 1941- 1945?
1.2.2 Bagaimanakah bentuk-bentuk kekerasan dalam novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut
1.3.1. Mendeskripsikan peristiwa sejarah yang terjadi di kota Surabaya pada tahun 1941- 1945.
1.4Manfaat Penelitian
1.4.1 Penelitian ini bermanfaat bagi peningkatan apresiasi Sastra Indonesia bagi masyarakat, yakni menambah kritik sastra, khususnya dalam bidang sosiolagi sastra.
1.4.2 Penelitian ini bermanfaat untuk menambah perbendaharan kajian-kajian tentang sastra secara khusus dalam permasalahan sastra dan sebagai bahan kajian terhadap masalah sosial yang berbentuk kekerasan dalam karya sastra.
1.4.3 Penelitian ini ditujukan kepada pembaca sastra untuk melihat kembali peristiwa sejarah dalam novel-novel yang berlatarkan sejarah yang ada di Indonesia.
1.4.4 Penelitian ini sebagai bahan pembelajaran dalam menyelesaikan persoalan keluarga tanpa menggunakan tindak kekerasan sebagai jalan keluarnya.
1.5Tinjauan Pustaka
Sejauh pengamatan penulis, belum ada yang meneliti tentang novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang secara lebih mendalam. Hanya ada
kawasan Kembang Jepun, Surabaya, tahun 1940-an, sebagai latar pengisahannya (Kompas, 07 Jan2007, Damhurimuhammad. blogspot.com).
Resensi novel yang kedua, adalah Audifax (2007) dengan judul resensinya Sosok Antara Ada dan Tiada. Menurut Audifax, novel yang termasuk kategori bacaan
dewasa ini bertutur mengenai "kebenaran" dan "kesalahan", sekaligus mengajak pembaca untuk melampaui keduanya. Menurut Audifax lagi, novel ini berisikan tentang refleksi mengenai "diri" tokoh dalam setiap bab. "Diri" yang dimaksud sebagai penanda identitas seperti: Orang Cina, orang pribumi, orang Jepang, geisha, jugun ianfu, kuli pengangkut kain, tukang becak, penjual jamu, dan lain-lain.
Sejauh pengamatan penulis, belum ada yang melakukan penelitian novel Kembang Jepun dengan kekerasan sebagai objek kajian penelitian. Inilah yang
membuat penulis meneliti tindak kekerasan dalam novel Kembang Jepun karya Lan Fang.
1.6 Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sosiologi sastra, dan teori kekerasan menurut Poerwandari. Teori sosiologi sastra digunakan untuk melihat hubungan atau keterikatan antara sastra dan masyarakat. Dalam pemahaman konsep kekerasan, penulis menggunakan teori kekerasan menurut E. Kristi Poerwandari.
1.6.1 Sosiologi Sastra
masyarakat dan sastra. Pendekatan sosiologi sastra perlu dipakai karena penelitian ini akan membahas tentang bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh para tokoh dalam novel Perempuan Kembang Jepun. Dalam asumsi penulis, tindak kekerasan juga mencerminkan permasalahan sosiologis.
Pendekatan sosiologi menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu (Ratna, 2004: 59). Dasar filosofis pendekatan sosiologi adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksud disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. Pendekatan sosiologi juga memiliki implikasi metodologis, berupa pemahaman mendasar mengenai kehidupan dalam masyarakat.
mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami gejala sosial budaya yang ada (Damono, 1978: 2).
Dalam penelitian ini penulis memakai pendekatan yang pertama untuk menganalisis novel Perempuan Kembang Jepun sebagai tinjauan sosiologi sastra. Hal ini disebabkan karena dalam menelaah novel Perempuan Kembang Jepun penulis menganalisis unsur-unsur di luar karya sastra yaitu unsur sejarah dan sosial. kedua unsur ini merupakan sebuah realitas sosial yang terjadi yang kemudian dipakai pengarang sebagai pendukung terciptanya sebuah karya sastra.
1.6.2 Tindak Kekerasan
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976: 425), kekerasan adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.
Poerwandari (2004: 13-14) mendefenisikan kekerasan sebagai semua bentuk tindakan baik intensional (sengaja) maupun bukan intensional (tidak sengaja) yang menyebabkan manusia (lain) mengalami luka, sakit, penghancuran, dan bukan cuma dalam artian fisik, tetapi juga psikologis. Kekerasan yang dimaksud dapat dilakukan oleh individu, kelompok, negara, dapat juga dilakukan oleh orang yang dekat dengan korban maupun orang yang tidak dikenal oleh korban.
Poerwandari (2004: 13) membagi kekerasan menjadi dua, yaitu (a), tindak kekerasan intensional dan (b) tindak kekerasan yang bukan intensional.
Tindak kekerasan intensional adalah tindakan yang disengaja untuk memaksa, menaklukkan, mendominasi, mengendalikan, menguasai, menghancurkan melalui cara-cara fisik, psikologi, deprivasi, ataupun gabungannya dalam beragam bentuk. Berdasarkan penjelasan di atas, Poerwandari membagi tindak kekerasan intensional menjadi empat, yaitu
(1), kekerasan fisik bentuknya berupa pemukulan, pengeroyokan, penggunaan senjata untuk menyakiti, melukai, penyiksaan, penghancuran fisik, pembunuhan dan penggunaan obat untuk menyakiti.
(2), kekerasan seksual reproduksi bentuknya berupa serangan atau upaya fisik untuk melukai pada alat seksual reproduksi atau serangan psikologis (kegiatan merendahkan atau menghina) yang diarahkan pada penghayatan seksual subjek. Misalnya: manipulasi seksual pada anak, pemaksaan hubungan seksual/perkosaan, pemaksaan bentuk-bentuk hubungan seksual, sadisme dalam relasi seksual, mutilasi alat seksual, pemaksaan aborsi, penghamilan paksa, dan bentuk-bentuk lain.
(3), kekerasan psikologis berupa penyerangan harga diri, penghancuran motivasi, perendahan, kegiatan mempermalukan, upaya membuat takut, teror dalam banyak manifestasinya. Misalnya: makian kata-kata kasar, ancaman, penguntitan, penghinaan dan banyak bentuk kekerasan fisik/seksual yang berdampak psikologis, misalnya: penelanjangan dan pemerkosaan.
bekerja) dalam berbagai bentuknya, misalnya: pengurungan, pembiaran tanpa makanan dan minuman, pembiaran orang sakit serius.
(b) Tindak Kekerasan Bukan Intensional
Tindakan kekerasan bukan intensional adalah tindak kekerasan yang mungkin tidak disengaja, tetapi didasari oleh ketidaktahuan (ignorancy), kekurang pedulian, atau alasan-alasan lain yang menyebabkan subjek secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam upaya pemaksaan, penaklukan, penghancuran, dan perendahan manusia lain. Misalnya, pembiaran terjadinya pemerkosaan yang diketahui oleh pemimpin, yang dilakukan oleh anak buahnya. Dalam hal ini, atasan tidak melakukan pemerkosaan, tetapi sikapnya yang membiarkan dapat diartikan ia menyetujui karena ia tidak mencegah atau memberi sanksi kepada bawahannya (penekanan pada sisi implikasi/akibat) (Poerwandari 2004: 15)
1.7 Metode Penelitian
Pada bagian ini akan dikemukakan tentang pendekatan, teknik penelitian, data dan sumber data penelitian.
1.7.1 Pendekatan
Dalam penelitian ini, pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan sosiologi sastra yang menelaah secara objektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra menganalisis manusia dalam masyarakat dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu (Ratna, 2004:45). Dari hal ini, dapat diperoleh gambaran tentang cara manusia menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang menempatkan anggota masyarakat di tempat masing-masing
(Damono, 1979:7). 1.7.2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Metode adalah cara kerja untuk memahami suatu objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Suatu metode yang dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek yang bersangkutan (Yudiono, 1986: 14).
unsur kekerasan. Metode deskripsi digunakan oleh peneliti untuk memaparkan dan melaporkan hasil penelitian ini
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik merupakan penjabaran dari metode dalam sebuah penelitian yang disesuaikan dengan alat sifat. Teknik ini merupakan cara kerja yang operasional dalam penelitian karya sastra (Sudaryanto, 1993:26).
Teknik pengumpulan data diperoleh melalui studi pustaka. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak dan teknik catat. Teknik simak yaitu dengan membaca karya sastra tersebut kemudian dianalisis. Sedangkan, teknik catat yaitu teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data yang terdapat dalam sebuah karya sastra tersebut kemudian ditulis ke dalam kartu data.
1.7.4. Sumber Data
Sumber data adalah tempat data itu diambil atau diperoleh. Kerena penelitian ini merupakan penelitian sastra maka sumber datanya pun berupa karya sastra yaitu novel dengan identitas sebagai berikut:
Judul : Perempuan Kembang Jepun Pengarang : Lang Fang
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit : Oktober 2006
Judul : Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia Pengarang : Roeslan Abdulgani
Penerbit : Yayasan Idayu Tahun terbit : 1974
Tebal buku : 8 mm Ukuran : 14 x 18 cm Cetakan : I
Judul : Seks Dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial Penerbit : PT Gramedia Jakarta
Pengarang : Capt. R.P Suyono Tahun terbit : 2005
Tebal buku : 21cm
Ukuran : 15 x 21,5 cm Cetakan : IX
1.8 Sistematika Penyajian
berisi analisis bentuk-bentuk kekerasan yang terdapat dalam novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang. Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan
BAB II
KEKERASAN PADA ZAMAN PENJAJAHAN JEPANG
Bab ini merupakan paparan mengenai kondisi sosial masyarakat yang melatari cerita pada novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang. Metode yang akan digunakan adalah metode analisis dan deskripsi. Penulis akan menganalisis unsur sejarah dalam novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang sebagai realitas sosial yang diangkat Lan Fang dalam Perempuan Kembang Jepun. Dalam menganalisis unsu-unsur sejarah tersebut, penulis mengawali dengan kekerasan seksual pada zaman penjajahan Jepang. Kemudian, analisis dilanjutkan sejarah kekerasan seksual tentara Jepang di asia sebelum masuk ke Indonesia. Selanjutnya Karayukisan sebelum Tahun 1930 dan Pelacuran Tentara Jepang. Pada bagian akhir, akan dibahas tentang pemaksaan menjadi pelacur dan kamp tawanan wanita Eropa. Hal ini dikarenakan dalam novel Perempuan Kembang Jepun sebagian besar ceritanya mengambil latar pada masa penjajahan Jepang di Indonesia dan perang kemerdekaan Indonesia dari tahun 1942 sampai tahun 1945. Kekerasan seksual pada perempuan merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan dari prajurit Jepang dalam menjalankan tugas mereka sebagai negara penjajah
2.1 Kekerasan Seksual pada Zaman Penjajahan Jepang
penghibur. Para pemimpin Jepang pada waktu memasuki pulau Jawa memerlukan wanita yang bersedia ”dipakai” untuk hiburan. Kata “bersedia” adalah sebuah kata yang dapat diartikan secara luas. Prostitusi terjadi secara terbuka (legal). Hal ini dibenarkan dalam ketentaraan Jepang. Kebiasaan itu merupakan awal dari pemaksaan wanita menjadi objek hiburan tentara Jepang di Indonesia ( Suyono, 2005: 262).
Pada awalnya, mereka melakukan kepada penduduk Cina di Semarang, kemudian mengambil wanita-wanita Indo, dan akhirnya menyusul gadis-gadis Indonesia atau wanita pribumi. Akibat pelacuran yang dipaksakan, banyak terjadi pembunuhan terhadap bayi atau in-fanticide, bahkan timbul reaksi bunuh diri dari wanita-wanita yang dipaksa melayani nafsu seks para serdadu Jepang ( Suyono, 2005: 262).
kembali menjadi pelacur di tanah air, meskipun dengan tujuan berbeda yaitu menyambung hidup. ( Suyono, 2005: 263).
2.2 Sejarah Kekerasan Seksual Tentara Jepang di Asia, Sebelum Masuk ke Indonesia.
Pulau Formosa merupakan bekas jajahan bangsa Portugis. Setelah itu, Jepang berkuasa atas pulau Formosa dan namanya diganti menjadi Taiwan. Di pulau Formosa ini, Jepang menerapkan sistim pemerintahan yang sentralistis. Pada awalnya, Formosa masuk dalam wewenangnya Kementrian Daerah Seberang kemudian beralih ke kementrian dalam negeri Jepang. Gubernur Jepang di Formosa mempunyai kekuasaan penuh setelah terbentuknya rezim militer dan hampir mendekati cara pemerintahan imperial kerajaan di pusat. Setelah Formosa menjadi bagian dari daerah pendudukan Jepang, produksi makanan dapat ditingkatkan menjadi 50 persen dan akhirnya dapat berdiri sendiri. Jepang dengan cara pemeritahan yang sentralistis, terus berusaha melakukan integritas dan memasukan rasa menjadi orang Jepang kepada penduduknya. Loyalitas dan kepatuhan terhadap kerajaan imperial Jepang diharuskan secara mutlak. Banyak penduduk Cina di sana yang kemudian dipakai menjadi mata-mata, dan kaum wanitanya dipaksa menjadi wanita penghibur. Sebenarnya, kebijakan yang dilakukan pemerintah Jepang kepada Indonesia merupakan fotocopy dari apa yang dilakukan pemerintahan Jepang tehadap Formosa atau yang sekarang dikenal dengan nama Taiwan ( Suyono, 2005: 264).
1905, ketika Port Arthur telah diambil alih oleh Jepang dari Rusia. Setalah itu, terjadi imigran besar-besaran orang Jepang. Korea menjadi sumber bahan baku dan juga merupakan pasaran bagi produk-produk Jepang. Dengan demikian, Korea menjadi salah satu tiang penyangga bagi kerajaan Jepang. Para elit Korea diajak kerja sama dengan Jepang. Para kepala desa diberi hak dan kewajiban sebagaimana pernah dilakukan di Indonesia. Senjata utama Jepang untuk memaksakan kehendak dan tujuannya adalah kenpeitai, sejenis polisi militer Jepang yang mempunyai wewenang yang begitu luas ( Suyono, 2005: 265).
dan menyeluruh di Korea. Tetapi, negara Korea tetap miskin, karena bahan-bahan mineral dan batu bara sudah disedot sebelumya oleh Jepang ( Suyono, 2005: 266).
Akhirnya, untuk mendapat kehidupan lebih layak lagi ratusan ribu orang Korea bersama keluarganya ke Manchukuo untuk menyambung hidup. 20.000 wanita yang di antaranya merupakan pelacur-pelacur. Baru terbukti pada tahun 1992 bahwa dari 20.000 pelacur itu ternyata kebanyakan adalah anak-anak yang baru berumur 12 tahun. Perempuan-perempuan ini diambil atau diculik Jepang langsung dari sekolah-sekolah mereka. Sejak tahun 1941, mereka harus melayani 700.000 serdadu Jepang sebagai budak seks di tempat-tempat pelacuran. Para wanita itu, sebelum tahun 1938 telah berangkat ke Tiongkok sebagai karayukisan untuk bekerja atau mencari nafkah di sana. Karayukisan bukanlah budak seks dalam pengertian Jepang, melainkan comfort woman atau wanita penghibur yang dipekerjakan di tempat-tempat rekreasi
para prajurit ( Suyono, 2005: 267).
Tempat-tempat pelacuran khusus, yang dipergunakan untuk kepentingan serdadu Jepang dinamakan “rumah hiburan,” dan dapat ditemukan di Singapura, Formosa, Manchuria dan Pilipina. Setelah tahun 1942, hal ini juga terjadi di Indonesia. Sejak tahun 1938, Korea merupakan pemasok utama gadis-gadis dan wanita-wanita pekerja seks. Sehingga wanita-wanita yang bekerja di tempat pelacuran itu kebanyakan wanita Korea ( Suyono, 2005: 267).
1904-terjadi pemerkosaan yang dilakukan prajurit Jepang di daerah Manchuria selatan. Oleh karena itu, bekas tangsi atau bangunan-bangunan Rusia oleh tentara Jepang diubah menjadi pusat-pusat pengendalian para pelacur untuk kepentingan tentaranya. Pemerkosaan tehadap penduduk Cina di Nanking, telah menyebabkan seluruh penduduk di sana akhirnya anti Jepang dan kemudian melakukan perlawanan. Pemerkosaan dan pembunuhan secara keji oleh prajurit Jepang tidak dapat dihindarkan lagi oleh orang-orang Cina. ( Suyono, 2005: 268).
Rumah hiburan yang pertama di Nanking dibuka pada tahun 1938, memakai istilah comfort yang artinya adalah hiburan bagi orang yang menderita. Rumah di mana para wanita hiburan itu tinggal sangat menggelikan sebab pasti akan terbayangkan gadis-gadis geisha yang gembira sambil memetik shamisen atau gitar dan memandikan pria di ofuro serta memberikan mereka massage shiatsu. Keadaan yang sebenarnya adalah kebalikannya, rumah pelacuran itu benar-benar kotor dan hina di luar dugaan orang yang beradab. Para wanita penghibur oleh tentara Jepang disebut sebagai “tempat kencing umum.” Banyak dari penghuni yang bunuh diri setelah mengetahui tujuan dibangunnya rumah-rumah tersebut. Ada yang meninggal karena dibunuh dan ada juga yang meninggal karena sakit. Bagi mereka yang masih hidup, harus siap menerima hinaan selama hidup dan menanggung malu. Tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya memilih hidup sendiri dan ada juga menjadi mandul ( Suyono, 2005: 2679).
Di Nanking, mudah sekali perempuan menjadi korban perkosaan. Serdadu Jepang memperkosa wanita-wanita Cina dari berbagai tingkatan sosial, baik wanita tani, guru wanita, para pekerja kasar, gadis-gadis karyawan kantor, isteri-isteri para pegawai, maupun para dosen atau professor universitas. Bahkan, permerkosaan terjadi terhadap para biarawati Buddha. Di Nanking, serdadu jepang selalu mencari wanita, dan ketika merampok rumah masyarakat dan tidak segan-segan menyeret para prianya untuk dieksekusi. Bila ada wanita yang tinggal di rumah, diperkosa di depan keluarganya. Ada yang berusaha melarikan diri ke zona sentral yaitu orang-orang Amerika dan Eropa, mereka ditangkap dalam perjalananya kemudian diperkosa secara beramai-ramai. Ada pula tentara Jepang memasang jebakan dengan menyebarkan berita tentang adanya pasar murah dan para wanitanya dapat menukar itik dan ayamnya dengan beras. Tetapi ketika mereka datang, mereka sudah diincar para serdadu Jepang untuk diperkosa. Kejadian-kejadian pemerkosaan sebagian besar terjadi pada siang hari dan di depan banyak orang. Tempat-tempat suci pun menjadi target tentara jepang. Mereka bisa saja memperkosa wanitanya di biara, gereja dan sekolah-sekolah Kristen. Bagi tentara Jepang, umurpun tidak jadi masalah yang penting hasrat seksualnya terpenuhi. Apabila ada perlawanan dari wanita-wanita tersebut, tentara Jepang tidak segan-segan untuk membunuh atau menyiksa wanitanya beserta seluruh keluarganya ( Suyono, 2005: 269).
2.3 Karayukisan sebelum Tahun 1930 dan Pelacuran Tentara Jepang
pelacuran. Tetapi, sebelum Jepang masuk ke Indonesia, yakni pada zaman Belanda, wanita penghibur sudah dikenal dengan istilah karayukisan sebuah istilah Jepang untuk mengatakan selir atau pelacur Jepang di Jawa. Pada waktu itu, perbandingan antara pria dan wanita sangat jauh. Pada tahun 1900 perbandingan antar wanita dan pria adalah 47:100, dan pada tahun 1930 menjadi 88 :100. Di Sumatera, perbandingannya 61 wanita Eropa terhadap prianya ( Suyono, 2005: 277).
Ketika itu, perkawinan antarbangsa pribumi dengan orang Eropa masih belum dapat diterima, sehingga memelihara selir atau wanita simpanan merupakan hal yang lumrah. Pada abad 19, ondernemer karet atau tembakau hanya menggunakan tenaga orang Eropa yang masih bujang. Karena itu merupakan hal yang wajar bila terjadi dilema kerena kekurangan wanita. Memelihara gundik masih dapat diterima, meskipun bagi yang memelihara telah dianggap merusak moralnya. Tempat pelacuran illegal dianggap sebagai kebijakan yang dapat diterima meskipun secara medis belum tentu aman. Dalam situasi ini, peran karayukisan menjadi amat perlu ( Suyono, 2005: 278).
mulai dari cara menuangkan teh atau sake, bernyanyi, memandikan pria sampai sampai pada melayani tamu di ranjang ( Suyono, 2005: 279).
Wanita Jepang yang datang ke Indonesia dan ingin menjadi karayukisan mempunyai pasaran yang lebih tinggi dan banyak permintaan. Mereka memiliki kelebihan dalam melayani pria dibandingkan dengan yang lainnya. Wanita-wanita ini berasal dari golongan orang-orang miskin. Mereka dijual oleh orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga atau dipanggil oleh pemeritah Jepang dengan alasan tugas negara. Namun, wanita Jepang teteplah menjadi istimewa karena mereka datang dari luar negeri. Di Surabaya sampai ada jalan yang dinamakan Kembang Jepun weg yang berarti jalan dari kembang-kembang Jepang. Hampir 1000 pelacur
Jepang yang tersebar di seluruh pulau Jawa. Izin tinggal bagi mereka juga bervariasi antara 15 bulan dan 11 tahun. Pelacur-pelacur Jepang rata-rata berumur 16 sampai 24
tahun. Sehingga banyak tempat-tempat pelacuran dikelola oleh orang Jepang ( Suyono, 2005: 279).
Karayukisan yang terdapat di Indonesia sebelum perang termasuk bisnis
barat. Maka, sebagai tindak lanjutnya untuk mengatur dan mengontrol kehidupan para karayukisan, pemerintah Jepang membuka konsulat Jepang di Batavia ( Suyono, 2005: 280).
Dalam pemerintahan Jepang, posisi angkatan perang Jepang di luar hubungan diplomatik antar negara, mereka tetap melakukan kebijaksanaan tersendiri. Pada tahun 1937 dan 1938 sistim pelacuran diterapkan secara paksa pada negara-negara yang berada di dalam kekuasaan Jepang dan berada ditangan pucuk pimpinan tentara Jepang. Dalam ketentaraan Jepang, hal itu sudah menjadi sebuah institusi atau lembaga. Pemakaian wanita sebagai suatu sarana di dalam ketentaraan juga mulai meningkat. Hal ini mempunyai pengaruh terhadap keberadaan Jepang di Indonesia dan dapat menimbulkan sikap oposisi dari masyarakat Indonesia disebabkan karena pengambilan beras secara paksa oleh tentara Jepang, sehinga rakyat kelaparan, pengambilan secara paksa orang-orang untuk menjadi romusha, dan terutama pengambilan wanita untuk dijadikan pelacur bagi tentara Jepang ( Suyono, 2005: 280).
seperti itu merupakan sebuah status bagi orang Jepang. Kedatangan bala tentara Jepang ke Indonesia telah menempatkan karayukisan itu ke dalam lembaga ketentaraan Jepang. Berbeda dengan para pelacur Korea, status mereka ditiadakan atau dihapus oleh pucuk pimpinan tentara. Dalam pelacuran di kalangan tentara Jepang, posisi wanita Jepang yang ada di sana sangat menentukan. Sekalipun posisi wanita Jepang secara sosial, ekonomi dan fisiknya berada di bawah pria, bagi serdadu Jepang hubungan seksual di rumah pelacuran diperbolehkan ( Suyono, 2005: 281).
2.4 Pemaksaan Menjadi Pelacur dan Kamp Tawanan Wanita Eropa
Imbasnya, mereka mengalami kelainan jiwa yang disebabkan oleh kamp syndrome, yaitu para wanita dikurung dalam kamp, tidak ada hubungan dengan dunia luar, dan juga tidak ada informasi yang masuk. Meraka harus berkata ”kiotske! ‟siap‟ dan setelah itu naore (membungkuk), mereka dipukul, ditempeleng dan dikurung Jepang sebagai hukumannya ( Suyono, 2005: 282).
Pada umumnya, pengambilan paksa di kamp-kamp interniran dimulai dengan meminta daftar yang dibawa oleh seorang heitan atau prajurit pribumi yang bekerja untuk Jepang. Dalam kelompok wanita-wanita tersebut, akan ditunjuk salah satu dari mereka sebagai pemimpin. Fungsinya untuk memudahkan berkoordinasi dengan para tentara Jepang yang membutuhkan wanita penghibur. Nama-nama yang sudah terdaftar itulah yang menjadi sukarelawan pelacuran. Mereka dipilih dan dipaksa agar memberi kesan seolah-olah mereka pelacur sungguhan. Tidak sampai di situ, ada wanita yang dibawa ke biara. Di sana, mereka tinggal selama beberapa bulan dan kemudian dipanggil untuk bekerja dan pada akhirnya menjadi pekerja seks bagi tentara Jepang. ( Suyono, 2005: 284).
penghibur. Bila ada yang tidak menuruti kemauan serdadu Jepang, mereka akan diperkosa secara paksa ( Suyono, 2005: 285).
Kehidupan mereka sangat menyakitkan. Berpindah-pindah dari satu kamp ke kamp lain itulah yang dilakukan Jepang terhadap para wanita dan gadis-gadis
tersebut. Ada yang berasal dari kamp Surabaya di pindahkan ke kamp Gedangan, Semarang. Ada yang dari kamp Gedangan pindah ke kamp Halmahera.
Pada tahun 1944, rumah pelacuran dengan wanita-wanita Eropa ditutup atas perintah pusat komando balatentara Jepang. Semua wanita dan gadis-gadis dikumpulkan kemudian dipindahkan ke kamp ”kota Paris”. Pada tanggal 30 mei 1944, para wanita dan gadis-gadis dipulangkan. Mereka pergi dan menetap di pinggiran kota Paris ( Suyono, 2005: 288).
BAB III
BENTUK-BENTUK KEKERASAN DALAM NOVEL
PEREMPUAN KEMBANG JEPUN
Pada bab sebelumnya telah dianalisis masalah pendudukan Jepang di Indonesia yang terjadi di kota Surabaya, sebuah peristiwa yang mengungkapkan perjuangan rakyat Surabaya dalam memperjuangkan kemerdekaan RI. Dari tinjauan sosiologi sastra, novel Perempuan Kembang Jepun mengisahkan pendudukan Jepang di Indonesia dan permasalahannya dipandang sebagai refleksi dan realitas yang terjadi dalam masyarakat. Maka dari itu permasalahan-permasalahan sosisal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat ditampilkan melalui keluarga Sujono, wanita penghibur dan rakyat Surabaya yang mengalami kekerasan-kekerasan pada masa penjajahan Jepang.
pemerkosaan, penganiayaan, penghinaan, pemaksaan itulah bentuk kekerasan yang dapat ditemui dalam novel Perempuan Kembang Jepun.
Dari hal di atas, penulis akan mendeskripsikan dan mengklasifikasikan bentuk-bentuk kekerasan yang ada dalam novel Perempuan Kembang Jepun dalam dua bentuk tindak kekerasan. Tindak kekerasan intensional adalah tindak kekerasan yang disengaja dan tindak kekerasan bukan intensional adalah tindak kekerasan yang kemungkinannya tidak disengaja. Bentuk-bentuk kekerasan yang ada dalam novel Perempuan Kembang Jepun akan dirurut sebagai berikut.
3.1 Tindak Kekerasan Intensional
Tindak kekerasan intesional merupakan tindakan yang disengaja untuk memaksa, menaklukkan, mendominasi, mengendalikan, menguasai, menghancurkan melalui cara-cara fisik, psikologi, deprivasi, ataupun gabungannya dalam beragam bentuk. Dari pengertian di atas, maka tindak kekerasan dapat digolongkan dalam beberapa bentuk tindak kekerasan, yaitu tindak kekerasan fisik, tindak kekerasan seksual atau reproduksi, tindak kekerasan psikologi dan tindak kekerasan deprivasi. Tindak kekerasan intensional pada novel Perempuan Kembang Jepun dapat dipaparkan sebagai berikut
3.1.1 Tindak kekerasan fisik
berhubungan langsung fisik ini dapat dilihat melalui penderitaan tokoh Sulis. Ini tampak dalam kutipan berikut:
(1)“Mas Sujono tetap berusaha menyeretku. Aku bertahan berada di dalam kamar petaknya.
Tolong…! Aku melonglong panjang, membelah senyap yang mati”.(Lan fang, 2006 :61)
Dari kutipan (1), terlihat jelas jika Sulis mengalami bentuk kekerasan fisik dari Sujono. Ia dipaksa untuk keluar dari rumah Sujono. Disini secara kekerasan fisik Sulis mendapat perlakuan kasar, ia diusir paksa dengan cara diseret agar keluar dari rumah oleh Sujono.
Kutipan berikut adalah kekerasan dialami tokoh Sujono, ia ditampar ketika ia berusaha meyakinkan ayah Sutini jika ia tidak menghamili Sulis. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
(2)“Mendadak ku dengar bunyi bergelegar. Sunyi seakan terkapar. Laki-laki itu menampar Sujono. Matanya merah menyalang” ( Lan Fang, 2006:63) Dalam kutipan (2), terlihat Sujono mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh ayah Sutini. Kekerasan itu adalah kekerasan fisik di mana Sujono mendapat tamparan dari ayah Sutini. Di sini, Sujono berusaha membela dirinya karena ia tahu Sulis belum tentu hamil akibat perbuatannya sebab saat itu Sulis juga berhubungan dengan laki-laki lain.
Sujono kembali mengalami tindak kekerasan, ia kembali mendapat tamparan. Sujono hendak menjelaskan kepada ayah Sutini bahwa ia benar-benar mencintai Sutini bukan Sulis. Ia juga berusaha untuk menjelaskan kembali jika Sulis hamil bukanlah karena perbuatannya. Sujono mengetahui jika Sulis juga berhubungan dengan Mas Wandi. Dari kutipan di atas, sudah terlihat sangat jelas bahwa Sujono mengalami tindak kekerasan fisik, yaitu mendapat tamparan.
Kekerasan kembali terjadi pada tokoh Sulis ini terlihat dalam kutipan berikut
(3)“Dan, seketika itu juga, tangannya melayang meninju mataku! “Kamu jangan melotot padaku!” sentaknya. Aku sempoyongan, terhuyung, dan terlempar, sambil menutup wajahku karena mataku yang sakit dan air mata yang berlinang. Aku terjerembap di lantai. Telentang dengan punggung terasa nyeri karena terhempas begitu keras” (Lan Fang, 2006: 78).
Dalam kutipan (3), terlihat kekerasan tetap dialami oleh Sulis. Setelah mendapat penghinaan dari suaminya, ia ditinju karena dianggap kurang ajar dan telah berani melotot melihat suaminya. Kutipan (3) ini masih tergolong kekerasan fisik. Hal ini dikarenakan Sulis masih mendapat perlakuan kasar dari suaminya.
Kekerasan terus dialami oleh Sulis.
(4)“Besoknya, tampaklah gambar biru di sekeliling mataku dan seluruh tulang berulangku seakan remuk sehingga tidak bias bangun dari tikar. Mataku sembap dan bengkak karena bekas pukulan juga karena menangis semalaman” (Lan Fang, 2006: 81)
tulang Sulis pun serasa remuk menjadi gambaran kekerasan yang dialaminya Hal yang sama juga terjadi pada kutipan berikut:
(5)“Setiap kali aku menanyakan mengenai Matsumi atau uang belanja, pecahlah perang di antara kami yang selalu berakhir dengan buku-buku tangannya membekas biru di pipiku” (Lan Fang, 2006: 83).
Kutipan (5) memiliki kapasitas yang sama dengan kutipan (4). Kekerasan yang terjadi di sini adalah kekerasan fisik. Terlihat dengan jelas bagaimana Sulis menjadi korban pemukulan Sujono. Hal ini digambarkan melalui kata-kata kiasan ”pecahlah perang di antara kami yang selalu berakhir dengan buku-buku tangannya membekas biru di pipiku”.
Tindak kekerasan fisik juga dialami Matsumi ketika ia memutuskan menikah dengan Sujono dan tidak mau lagi bekerja pada kelab hiburan milik Hanada-san. Ini telihat pada kutipan berikut.
(6)“Kubiarkan Hanada-san melampiaskan marah sepuas hatinya. Ia bukan saja menempelengi dan menjambakku, tapi juga menendang dan menginjak kepalaku” (Lan Fang, 2006: 143).
(7)“Aku sudah tahu apa yang akan terjadi besok harinya bila ayah bekerja. Aku akan menerima pukulan dan cakaran dari perempuan itu” (Lan Fang, 2006: 247).
Kutipan (7), menyiratkan hal yang sama pada kutipan sebelumnya. Kekerasan fisik terlihat pada pukulan dan cakaran yang diterima Lestari setelah ayahnya berangkat kerja. Lestari kembali mengalami kekerasan pada kutipan berikut.
(8)“Ibu pulang. Mata perempuan itu terbelalak melihat keadaanku. Kau apakan anakku?! Serunya setengah menjerit. Belum selesai kebinggunganku, dengan kalap tangan perempuan itu menjambak rambutku lalu membenturkan kepalaku berkali-kali ke tembok. Ia menengadahkan kepalaku, menyentakku, lalu dengan satu gerakan secepat kilat, jemari berkuku panjang itu mencakar pipiku. Berulang-ulang, perempuan itu membenamkan kukunya yang runcing di pipiku sampai berdarah! ” (Lan Fang, 2006: 252).
Dalam kutipan (8), terlihat kekerasan tetap dialami oleh Lestari setelah terjadi kasus pemerkosaan. Kekerasan yang Lestari alami pada kutipan ini adalah kekerasan fisik berupa penyiksaan dari ibunya. Bentuk penyiksaan itu berupa penjambakan rambut, pembenturan kepala ke tembok, dan pencakaran pipi hingga berdarah. Kekerasan kembali dialami Lestari dalam kutipan (9).
(9) “Tak cukup hanya itu. Ia mengambil sebuah garpu bengkok yang berkarat. Sebelah tangannya menjambak rambutku dan memaksa wajahku tengadah ke arahnya. Sebelah tangannya asyik menggeruskan garpu bengkok itu ke seluruh wajahku. Jangan…jangan, bu! Ampun, bu…! Aku melolong kesakitan” (Lan Fang, 2006: 252).
dan minta ampun tapi, tidak dipedulikan sama sekali oleh Sulis. Dalam proses ini, kekerasan yang terjadi juga merupakan kekerasan fisik. Dari kutipan (9), terlihat bahwa setiap gerak Sulis selalu berorientasi pada penyiksaan, penggunaan senjata untuk menyakiti dan melukai Lestari.
(10) “Belum cukup ibu mengambil suamiku, sekarang kau merusak anakku! Tangan perempuan yang kupanggil ibu itu mencengkeram kuat rambutku sehingga segumpal rambutku terserabut” (Lan Fang, 2006: 252).
Dalam kutipan (10), terlihat bahwa Lestari kembali menjadi korban kekerasan
yang dilakukan oleh „ibunya‟. Kekerasan yang terjadi pada kutipan (10),
dikategorikan ke dalam kekerasan fisik karena berorientasi pada penyiksaan fisik yang berupa penjabakkan rambut hingga segumpal rambut Lestrari terserabut.
Kekerasan juga terjadi pada tokoh Joko, anak Sujono dan Sulis. Ini terlihat dalam kutipan berikut.
(11) “Ayah menghajar Joko sampai mulut, pipi, dan pelipis pemuda itu berdarah. Ayah juga menghajar Joko sampai babak belur seperti ibu menyiksaku. Ayah menempelengnya, menendangnya, menginjak wajah, dada, dan perutnya, sampai ia terkapar dengan pelipis dan bibir pecah. Matanya membengkak biru. Wajahnya pun bersimbah darah” (Lan Fang, 2006: 253).
oleh sikap anak laki-lakinya yang telah melakukan kekerasan seksual terhadap anak gadisnya.
Kekerasan kembali dialami tokoh Sulis pada kutipan dibawah ini.
(12) ”Ayah melepaskan aku dari seretan ibu. Ia mendorong ibu sampai terjerembab. Wajahnya yang bengis mencium lantai. Lalu ayah menyeretnya ke arah pintu seakan-akan hendak membuang bangkai tikus. Ibu menggeliat-geliat mempertahankan diri agar tidak terlempar keluar” (Lan Fang, 2006: 255).
Dalam kutipan (12), terlihat Sujono begitu menyayangi anak gadisnya, ia tidak tega melihat perlakuan kasar Sulis terhadap Lestari sehingga Sujono juga membalas perlakuan sama kepada Sulis dengan menyeretnya dan hendak membuangnya. Adanya kiasan dengan menggunakan perumpamaan “seakan-akan membuang bangkai tikus” memberi gambaran bagaimana penyiksaan yang dilakukan
oleh Sujono kepada Sulis begitu sadis. Sujono sudah tidak memperdulikan Sulis yang menggeliat-geliat mempertahankan dirinya agar tidak terlempar ke luar. Dalam hal ini, kekerasan yang terjadi masih sama kategorinya dengan kekerasan yang ada pada kutipan (11), yaitu kekerasan fisik. Kekerasan kembali dialami Sulis pada kutipan berikut:
(13) “Tubuh ibu diinjak-injak dan ditendang, ibu bersikukuh memegangi daun pintu sambil meringkuk. Akhirnya, ayah menjambak dan menarik rambut ibu untuk menariknya ke luar. Rambutnya tercabut dari kulit kepala. Ibu melolong panjang.” (Lan Fang, 2006: 255).
ke tubuh Sulis perlahan dan terus berlanjut, hingga rambut Sulis tercabut dari kulit kepalanya. Sulis tidak melawan penyiksaan yang dilakukan oleh Sujono tersebut. Ia seakan-akan mengerti bahwa penyiksaan ini merupakan pelampiasan terhadap apa yang telah ia lakukan kepada Lestari. Dari kutipan (13), terlihat setiap gerak Sujono berorientasi pada penyiksaan fisik terhadap Sulis.
3.1.2 Tindak Kekerasan Seksual atau Reproduksi
Tindak kekerasan seksual atau reproduksi bentuknya berupa serangan atau upaya fisik untuk melukai pada alat seksual reproduksi atau serangan psikologis (kegiatan merendahkan atau menghina) yang diarahkan pada penghayatan seksual subjek. Tindak kekerasan seksual atau reproduksi ini dialami Sulis, Matsumi, Lestari atau Kaguya, tentara Belanda dan para wanita penghibur. Hal ini dilihat pada kutipan-kutipan berikut.
(14) “Belum tuntas rasa sakitku, belum sempurna kesadaranku, mas Sujono bagaikan banjir badang, bagaikan harimau kelaparan, datang menerpa, menggulung, menindihku! Ia mengangkat kedua pahaku tinggi-tinggi, melipatnya sampai keatas dada, mendorong kepalaku sampai membentur dinding kamar. Aku merintih kesakitan. Air mataku membanjir, tapi ia tidak peduli. Ia menyetubuhiku lagi dengan kasar dan lama. Ia memperkosaku!!!!” (Lan Fang, 2006: 78)
Dalam kutipan (14), terlihat bahwa kekerasan kembali dialami oleh Sulis. Belum tuntas rasa sakit yang ia alami saat ditinju dan belum sempurna kesadarannya, ia diperkosa. Adanya kiasan dengan menggunakan perumpamaan “bagaikan banjir badang, bagaikan harimau kelaparan, datang menerpa, menggulung, menindihku”
ini terjadi dua kekerasan yaitu, kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Kekerasan fisiknya berupa penyiksaan yang dialami oleh Sulis dan kekerasan seksualnya berupa cara Sujono menyetubuhi istrinya dengan kasar dan paksa sehingga mengesankan Sujono telah memperkosa istrinya sendiri. Hal ini terlihat pada kutipan “Ia memeperkosaku”. Contoh kekerasan lain dapat dilihat pada kutipan berikut:
(15) “Tiba-tiba, tangan mas Sujono bergerak cepat dan mencekal pergelengan tanganku, lalu menyentakku duduk kembali di sisinya. Hanya dengan sekali sentak, ia menarik tubuhku sehingga terjatuh di sisinya. Dan mendadak saja, ia sudah berada di atas tubuhku. Ia menindihku sehingga aku tidak bisa bergerak” (Lan Fang, 2006: 53).
Dalam kutipan (15), terlihat bahwa terjadinya kekerasan seksual yang dilakukan oleh Sujono terhadap Sulis dengan cara pemaksaan hubungan seksual. Kekerasan seksual kembali terjadi pada suatu kelompok atau golongan. Mereka adalah prajurit Belanda yang menjadi tahanan Jepang, para wanita-wanita penghibur baik dari Cina, Korea serta Indonesia yang tinggal di asrama-asrama pelacuran. Ini tampak pada kutipan berikut.
(16) “Tentara Belanda yang ditawan bukan saja mendapatkan pukulan, tendangan, tempelengan bahkan penyiksaan sampai mereka mengeluarkan raungan seperti orang sekarat. Jari-jari mereka dijepit, punggung dan dada disetrika, bahkan penis diestrum dengan listrik” (Lan Fang, 2006: 112).
mereka dipukul, ditendang, dan ditempeleng. Sedangkan, kekerasan seksualnya terlihat pada upaya untuk melukai alat reproduksi dengan cara disentrum.
Kekerasan kembali dilakukan oleh tentara Jepang.
(17) ‟Mereka menggagahi perempuan-perempuan di sana dengan penuh nafsu. Seorang perempuan harus digilir sepuluh sampai lima belas tentara Jepang karena jumlah tentara Jepang sangat banyak” (Lan Fang, 2006: 113).
Kekerasan pada pemaparan latar (17), terjadi kekerasan yang dilakukan oleh tentara Jepang terhadap perempuan-perempuan pribumi. Kekerasan yang ada merupakan kekerasan seksual karena menceritakan perbuatan tentara-tentara Jepang yang melakukan pemaksaan hubungan seks kepada perempuan pribumi. Tragisnya lagi, satu orang perempuan harus digilir sepuluh hingga lima belas orang tentara Jepang. Selain itu, mereka pun tidak dibayar. Alih-alih membayar, para perempuan itu diberi tempelengan dan siksaan yang di luar batas kemanusiaan.
Kekerasan kembali terjadi pada salah seorang wanita penghibur.
(18) “Ia ditempeleng sampai mulutnya berdarah. Mulut berdarahnya dipaksa menganga. Dan masuklah kemaluan laki- laki itu sampai menohok keujung tenggorokannya. Ia ingin muntah tetapi tidak bisa kerena tersumpal kemaluan yang membatu. Sampai lahar itu muncrat di dalam mulutnya” (Lan Fang, 2006: 114).
ketenggorokannya. Bentuk kekerasan ini mengarah pada kekerasan seksual karena wanita itu dipaksa melakukan oral seks.
Kekerasan kembali terjadi pada wanita penghibur berikut.
(19) ”Mereka seperti koboi dalam pertandingan pacu kuda. Bergerak naik-turun, maju-mundur sambil mengayunkan pecut agar kudanya semakin kuat bergerak” (Lan Fang, 2006: 114).
Pada kutipan (19) tergambar yang dilakukan tentara Jepang adalah kekerasan seksual yang mengarah pada kekerasan fisik. Kekerasan seksual yang terjadi adalah mereka berhubungan seks seperti seorang koboi yang sedang menunggangi kuda. Kekerasan fisik yang terjadi adalah mereka mengayunkan pecut ke tubuh wanita tersebut. Tentara Jepang memperlakukan wanita-wanita penghibur seperti binatang.
Bentuk kekerasan lainnya adalah kekerasan seksual yang dialami tokoh Matsumi. Ia tidak diperlakukan dengan baik oleh Sujono seperti seorang isteri tetapi tubuh Matsumi diperlakukan seperti daging sate. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut
(19) “Ia bukan saja mengangkangkan kedua kakiku, tapi juga mengangkat bahkan melipatnya. Ia membalik-balik tubuhku seperti sate” (Lan Fang, 2006: 148).
membuat penulis berkesimpulan jika kekerasan yang terjadi adalah kekerasan seksual.
Bentuk tidak kekerasan kembali dialami tokoh Sulis. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
(20) “Kutinju matanya yang melotot! Langsung ada memar biru tercetak di sana. Kupukul mulutnya yang mengoceh! Segera darah segar meleleh dari sudut mulutnya yang pecah. Kuperkosa tubuhnya yang pendek dan berkulit gelap!” (Lan Fang, 2006: 191).
Dalam kutipan (20), terlihat terjadi kasus pemukulan, penyiksaan dan pemerkosaan terhadap Sulis. Kekerasan yang terjadi dapat dikategorikan sebagai kekerasan yang mengarah pada penyiksaan fisik. Sedangkan pada kasus pemerkosaan mengarah pada kekerasan seksual. Kekerasan juga terjadi pada kutipan berikut:
(21) “Kami seperti sepasang pemain sumo yang sedang bergulat dan saling membanting. Semakin ia melawan dan memberontak, aku semakin kasar menyetubuhinya” (Lan Fang, 2006: 191)
Pada kutipan (21), terlihat kekerasan yang tetap dialami oleh Sulis walaupun ia sudah mencoba melawan dan memberontak. Adanya kiasan “Kami seperti pemain
sumo yang sedang bergulat dan saling membanting” memberi gambaran bagaimana
penyiksaan fisik yang dialami oleh Sulis dan kekerasan seksual mengarah pada cara Sujono menyetubuhi Sulis dengan kasar.
Bentuk tindak kekerasan yang dialami tokoh Kaguya (Lestari). Ia diperkosa oleh Joko, kakaknya hasil dari hubungan Sujono dan Sulis. Ini terlihat dalam kutipan berikut.
(22) “Ia langsung menyentak kainku hingga jatuh ke lantai. Aku berdiri berdiri telanjang di depannya! Ia mendorongku kasar sampai rebah di lantai. Aku meronta dan berontak, tapi ia tidak mempedulikannya. Joko memasukan sesuatu ke selangkanganku yang disusul rasa sakit, nyeri dan bercak darah” (Lan Fang, 2006: 251).
Dalam kutipan (22), terlihat bagaimana perlakuan Joko kepada Lestari. Kekerasan yang terdapat pada kutipan ini dikategorikan dalam kekerasan seksual. Hal ini terlihat pada upaya Joko memaksa Lestari untuk melakukan hubungan seksual (pemerkosaan). Walaupun Lestari sudah meronta dan memberontak hal tersebut, seakan-akan tidak dipedulikan oleh Joko.
3.1.3 Tindak Kekerasan Psikologis.
Tindak kekerasan psikologis yang dialami tokoh Sulis. Ini terlihat dalam kutipan berikut
(23) “Ia selalu mencelaku karena ketika ia mengawiniku aku dalam keadaan mengandung muda. Ia tidak percaya anak yang kukandung adalah benih yang ditanamnya” (Lan fang, 2006:39)
Pada kutipan (23), kekerasan yang dialami Sulis merupakan tindak kekerasan psikoligis. Sulis sering mendapat celaan dari Sujono. Sulis merasa dirinya direndahkan oleh Sujono,sehinga Sujono pun tidak mengakui anak yang dikandung Sulis adalah anak kandungnya. Hal ini membuat Sulis mendapat tekanan psikologis Bentuk kekerasan psikologis lainnya yang dialami Sulis tampak pada kutipan (24).
(24) ”Tapi mas Sujono justru menghidariku. Ia melepaskan diri dari tanggung jawab.
Aku bertekad harus membuat Mas Sujono mengawiniku”. (Lan fang, 2006:57)
Pada kutipan (24) Sulis mendapatkan tindak kekerasan psikologis. Sulis tahu bahwa Sujono berusaha untuk menghidar dari dirinya dan tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya sehingga Sulis berusaha untuk membuat Sujono mengawininya. Sujono berupaya membuat Sulis merasa takut ditinggalkan. Hal ini mengakibatkan Sulis mengalami tekanan psikologis. Kutipan (25) juga mendeskripsikan terjadinya kekerasan psikologis.
Dari kutipan (25), Sulis mengalami kekerasan psikologis. Ia secara pribadi dipermalukam dengan tindakan Sujono. Sulis takut menjadi perempuan tidak laku, memiliki anak haram, hidup melarat dan menjadi gunjingan orang. Psikologis Sulis benar-benar merasa dipermalukan di depan orang banyak dikarenakan ada upaya dari Sujono untuk tidak mau menikah dengannya.
Bentuk tindak kekerasan psikologis berikutnya kembali dialami Sulis. Ia berusaha agar Sujono mau menikah dengannya, namun Sujono tidak mau. Ini terdapat pada kutipan berikut
(26) “Mau apa kamu ke sini?!” sergahnya dengan nada tidak senang. “Kamu harus mengawiniku, Mas. Aku hamil…anakmu, Mas!” “Tidak!”
Air mataku yang sejak tadi menumpuk di pelupuk mata, bergulir deras tanpa mampu kucegah.
Kenapa laki-laki itu begitu culas? Hatiku terasa sakit. (Lan fang, 2006:60)
Dalam kutipan (26) terlihat bahwa Sulis mendapat perlakuan yang tidak baik oleh Sujono. Permintaan untuk menikah dengan Sujono ditolak dengan keras oleh Sujono. Di sini, Sulis mendapat kekerasan psikologi karena ia merasa dirinya direndahkan oleh Sujono. Sulis juga mengalami tekanan psikologi karena ia hamil dan Sujono tidak mau menerima keadaannya.
(27) “Orang-orang dikecam ketakutan yang amat sangat bila melihat tentara Jepang. Mereka takut panen beras dan telur mereka diambil paksa, takut
suami dan anak laki-laki mereka dipaksa menjadi romusa. Perempuan-perempuan muda bersembunyi karena takut dibawa dengan paksa untuk menjadi jugun ianfu (perempuan penghibur) bagi tentara Jepang” (Lan Fang, 2006: 73).
Kutipan (27) mendeskripsikan penyiksaan yang dilakukan tentara-tentara Jepang bagi masyarakat pribumi. Pada kutipan ini, terjadi kekerasan fisik berupa perampasan hasil panen. Kekerasan psikologis berupa perendahan martabat suami dan anak laki-laki mereka dijadikan romusa hal tersebut membuat orang-orang dikecam ketakutan dan takut untuk ke luar rumah. Perempuan-perempuan muda mengalami kekerasan seksual karena mereka dipaksa menjadi perempuan penghibur bagi tentara Jepang
Kekerasan psikologis lainnya terjadi pada tokoh Sulis. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
(28) “Kalau perlu duit, belanja ya kamu saja yang kerja, jualan jamu lagi,
jangan minta kepadaku…….Kutelan kepahitan itu mentah-mentah. Aku
merasa terhina. Tetapi aku bisa apa?” (Lan Fang, 2006: 75).