KEKERASAN PADA ZAMAN PENJAJAHAN JEPANG
Bab ini merupakan paparan mengenai kondisi sosial masyarakat yang melatari cerita pada novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang. Metode yang akan digunakan adalah metode analisis dan deskripsi. Penulis akan menganalisis unsur sejarah dalam novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang sebagai realitas sosial yang diangkat Lan Fang dalam Perempuan Kembang Jepun. Dalam menganalisis unsu-unsur sejarah tersebut, penulis mengawali dengan kekerasan seksual pada zaman penjajahan Jepang. Kemudian, analisis dilanjutkan sejarah kekerasan seksual tentara Jepang di asia sebelum masuk ke Indonesia. Selanjutnya Karayukisan sebelum Tahun 1930 dan Pelacuran Tentara Jepang. Pada bagian akhir, akan dibahas tentang pemaksaan menjadi pelacur dan kamp tawanan wanita Eropa. Hal ini dikarenakan dalam novel Perempuan Kembang Jepun sebagian besar ceritanya mengambil latar pada masa penjajahan Jepang di Indonesia dan perang kemerdekaan Indonesia dari tahun 1942 sampai tahun 1945. Kekerasan seksual pada perempuan merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan dari prajurit Jepang dalam menjalankan tugas mereka sebagai negara penjajah
2.1 Kekerasan Seksual pada Zaman Penjajahan Jepang
Dalam pemerintahan Jepang, seksualitas juga diatur secara terpusat, sehingga mereka membutuhkan para wanita sebagai bentuk pelampiasan pasca berperang.
penghibur. Para pemimpin Jepang pada waktu memasuki pulau Jawa memerlukan wanita yang bersedia ”dipakai” untuk hiburan. Kata “bersedia” adalah sebuah kata yang dapat diartikan secara luas. Prostitusi terjadi secara terbuka (legal). Hal ini dibenarkan dalam ketentaraan Jepang. Kebiasaan itu merupakan awal dari pemaksaan wanita menjadi objek hiburan tentara Jepang di Indonesia ( Suyono, 2005: 262).
Pada awalnya, mereka melakukan kepada penduduk Cina di Semarang, kemudian mengambil wanita-wanita Indo, dan akhirnya menyusul gadis-gadis Indonesia atau wanita pribumi. Akibat pelacuran yang dipaksakan, banyak terjadi pembunuhan terhadap bayi atau in-fanticide, bahkan timbul reaksi bunuh diri dari wanita-wanita yang dipaksa melayani nafsu seks para serdadu Jepang ( Suyono, 2005: 262).
Pada periode pemerintahan Jepang di Indonesia, segala kebijakan ketentaraan Jepang secara langsung diatur oleh pemeritahan pusat yakni dari Tokyo. Kebijakan untuk mengatasi kebutuhan seksual para serdadu Jepang telah lebih dahulu dilakukan di daerah yang dikuasai sebelumnya, seperti Formosa, Korea, dan Manchukuo. Karena telah diatur oleh pusat, pelacuran ini telah berimbas kepada kehidupan orang Indonesia, orang indo, dan Cina di Indonesia. Hal yang menjebak banyak wanita menjadi perempuan penghibur adalah janji-janji Jepang untuk memperbaiki nasib diri dan keluarga mereka. Banyak dari mereka diajak belajar ke Jepang, ke Saigon bekerja sebagai palang merah, atau sebagai pegawai pemerintahan. Namun, pada akhirnya mereka dipekerjakan sebagai wanita-wanita penghibur, atau dengan kata lain menjadi pelacur untuk keperluan tentara Jepang. Akibatnya, wanita-wanita ini pasca masa perang sukar diterima kembali oleh keluarganya. Sehingga, pada akhirnya mereka
kembali menjadi pelacur di tanah air, meskipun dengan tujuan berbeda yaitu menyambung hidup. ( Suyono, 2005: 263).
2.2 Sejarah Kekerasan Seksual Tentara Jepang di Asia, Sebelum Masuk ke Indonesia.
Pulau Formosa merupakan bekas jajahan bangsa Portugis. Setelah itu, Jepang berkuasa atas pulau Formosa dan namanya diganti menjadi Taiwan. Di pulau Formosa ini, Jepang menerapkan sistim pemerintahan yang sentralistis. Pada awalnya, Formosa masuk dalam wewenangnya Kementrian Daerah Seberang kemudian beralih ke kementrian dalam negeri Jepang. Gubernur Jepang di Formosa mempunyai kekuasaan penuh setelah terbentuknya rezim militer dan hampir mendekati cara pemerintahan imperial kerajaan di pusat. Setelah Formosa menjadi bagian dari daerah pendudukan Jepang, produksi makanan dapat ditingkatkan menjadi 50 persen dan akhirnya dapat berdiri sendiri. Jepang dengan cara pemeritahan yang sentralistis, terus berusaha melakukan integritas dan memasukan rasa menjadi orang Jepang kepada penduduknya. Loyalitas dan kepatuhan terhadap kerajaan imperial Jepang diharuskan secara mutlak. Banyak penduduk Cina di sana yang kemudian dipakai menjadi mata-mata, dan kaum wanitanya dipaksa menjadi wanita penghibur. Sebenarnya, kebijakan yang dilakukan pemerintah Jepang kepada Indonesia merupakan fotocopy dari apa yang dilakukan pemerintahan Jepang tehadap Formosa atau yang sekarang dikenal dengan nama Taiwan ( Suyono, 2005: 264).
1905, ketika Port Arthur telah diambil alih oleh Jepang dari Rusia. Setalah itu, terjadi imigran besar-besaran orang Jepang. Korea menjadi sumber bahan baku dan juga merupakan pasaran bagi produk-produk Jepang. Dengan demikian, Korea menjadi salah satu tiang penyangga bagi kerajaan Jepang. Para elit Korea diajak kerja sama dengan Jepang. Para kepala desa diberi hak dan kewajiban sebagaimana pernah dilakukan di Indonesia. Senjata utama Jepang untuk memaksakan kehendak dan tujuannya adalah kenpeitai, sejenis polisi militer Jepang yang mempunyai wewenang yang begitu luas ( Suyono, 2005: 265).
Kerajaan Jepang berusaha untuk membuat Korea seperti Jepang. Hal yang dilakukan Jepang mulai dari pendidikan dasar yakni menghilangkan pelajaran sejarah Korea dari sekolah-sekolah. Tidak hanya nama geografis kota, dusun dan tempat- tempat di Korea yang dirubah tetapi nama dari orang-orang korea sendiri pun diubah menjadi nama Jepang. Penyerahan Jepang secara mutlak terjadi setelah bom-bom atom dijatuhkan oleh Amerika atas Jepang pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. Peristiwa itu mempunyai hikmah penting yang menyelamatkan bangsa Indonesia menjadi tidak mengalami nasib yang dialami Korea. Pada awalnya, memang terciptan kemajuan ekonomi di Korea, di mana semua penduduk menikmatinya. Fenomena itu sebenarnya diharapkan Jepang atas Indonesia yaitu ketika menggantikan kedudukan Belanda sebagai penjajah. Tapi, pada waktu itu terjadi depresi, rakyat Korea menderita kelaparan dan mulai melakukan penjualan anak-anak gadisnya untuk dijadikan pelacur. Upaya seperti itu bisa memenuhi kebutuhan hidup secara drastis
dan menyeluruh di Korea. Tetapi, negara Korea tetap miskin, karena bahan-bahan mineral dan batu bara sudah disedot sebelumya oleh Jepang ( Suyono, 2005: 266).
Akhirnya, untuk mendapat kehidupan lebih layak lagi ratusan ribu orang Korea bersama keluarganya ke Manchukuo untuk menyambung hidup. 20.000 wanita yang di antaranya merupakan pelacur-pelacur. Baru terbukti pada tahun 1992 bahwa dari 20.000 pelacur itu ternyata kebanyakan adalah anak-anak yang baru berumur 12 tahun. Perempuan-perempuan ini diambil atau diculik Jepang langsung dari sekolah- sekolah mereka. Sejak tahun 1941, mereka harus melayani 700.000 serdadu Jepang sebagai budak seks di tempat-tempat pelacuran. Para wanita itu, sebelum tahun 1938 telah berangkat ke Tiongkok sebagai karayukisan untuk bekerja atau mencari nafkah di sana. Karayukisan bukanlah budak seks dalam pengertian Jepang, melainkan comfort woman atau wanita penghibur yang dipekerjakan di tempat-tempat rekreasi para prajurit ( Suyono, 2005: 267).
Tempat-tempat pelacuran khusus, yang dipergunakan untuk kepentingan serdadu Jepang dinamakan “rumah hiburan,” dan dapat ditemukan di Singapura, Formosa, Manchuria dan Pilipina. Setelah tahun 1942, hal ini juga terjadi di Indonesia. Sejak tahun 1938, Korea merupakan pemasok utama gadis-gadis dan wanita-wanita pekerja seks. Sehingga wanita-wanita yang bekerja di tempat pelacuran itu kebanyakan wanita Korea ( Suyono, 2005: 267).
Kekuasaan Jepang di Manchukuo bertambah setelah terjadi peperangan antara Cina dan Jepang dan juga peperangan antara Rusia dan Jepang pada tahun 1904-
terjadi pemerkosaan yang dilakukan prajurit Jepang di daerah Manchuria selatan. Oleh karena itu, bekas tangsi atau bangunan-bangunan Rusia oleh tentara Jepang diubah menjadi pusat-pusat pengendalian para pelacur untuk kepentingan tentaranya. Pemerkosaan tehadap penduduk Cina di Nanking, telah menyebabkan seluruh penduduk di sana akhirnya anti Jepang dan kemudian melakukan perlawanan. Pemerkosaan dan pembunuhan secara keji oleh prajurit Jepang tidak dapat dihindarkan lagi oleh orang-orang Cina. ( Suyono, 2005: 268).
Rumah hiburan yang pertama di Nanking dibuka pada tahun 1938, memakai istilah comfort yang artinya adalah hiburan bagi orang yang menderita. Rumah di mana para wanita hiburan itu tinggal sangat menggelikan sebab pasti akan terbayangkan gadis-gadis geisha yang gembira sambil memetik shamisen atau gitar dan memandikan pria di ofuro serta memberikan mereka massage shiatsu. Keadaan yang sebenarnya adalah kebalikannya, rumah pelacuran itu benar-benar kotor dan hina di luar dugaan orang yang beradab. Para wanita penghibur oleh tentara Jepang disebut sebagai “tempat kencing umum.” Banyak dari penghuni yang bunuh diri setelah mengetahui tujuan dibangunnya rumah-rumah tersebut. Ada yang meninggal karena dibunuh dan ada juga yang meninggal karena sakit. Bagi mereka yang masih hidup, harus siap menerima hinaan selama hidup dan menanggung malu. Tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya memilih hidup sendiri dan ada juga menjadi mandul ( Suyono, 2005: 2679).
Wanita Cina yang menjadi korban pemerkosaan atau dipaksa menjadi wanita penghibur oleh Jepang diperkirakan antara 20.000 sampai dengan 80.000 ribu wanita.
Di Nanking, mudah sekali perempuan menjadi korban perkosaan. Serdadu Jepang memperkosa wanita-wanita Cina dari berbagai tingkatan sosial, baik wanita tani, guru wanita, para pekerja kasar, gadis-gadis karyawan kantor, isteri-isteri para pegawai, maupun para dosen atau professor universitas. Bahkan, permerkosaan terjadi terhadap para biarawati Buddha. Di Nanking, serdadu jepang selalu mencari wanita, dan ketika merampok rumah masyarakat dan tidak segan-segan menyeret para prianya untuk dieksekusi. Bila ada wanita yang tinggal di rumah, diperkosa di depan keluarganya. Ada yang berusaha melarikan diri ke zona sentral yaitu orang-orang Amerika dan Eropa, mereka ditangkap dalam perjalananya kemudian diperkosa secara beramai- ramai. Ada pula tentara Jepang memasang jebakan dengan menyebarkan berita tentang adanya pasar murah dan para wanitanya dapat menukar itik dan ayamnya dengan beras. Tetapi ketika mereka datang, mereka sudah diincar para serdadu Jepang untuk diperkosa. Kejadian-kejadian pemerkosaan sebagian besar terjadi pada siang hari dan di depan banyak orang. Tempat-tempat suci pun menjadi target tentara jepang. Mereka bisa saja memperkosa wanitanya di biara, gereja dan sekolah-sekolah Kristen. Bagi tentara Jepang, umurpun tidak jadi masalah yang penting hasrat seksualnya terpenuhi. Apabila ada perlawanan dari wanita-wanita tersebut, tentara Jepang tidak segan-segan untuk membunuh atau menyiksa wanitanya beserta seluruh keluarganya ( Suyono, 2005: 269).
2.3 Karayukisan sebelum Tahun 1930 dan Pelacuran Tentara Jepang
pelacuran. Tetapi, sebelum Jepang masuk ke Indonesia, yakni pada zaman Belanda, wanita penghibur sudah dikenal dengan istilah karayukisan sebuah istilah Jepang untuk mengatakan selir atau pelacur Jepang di Jawa. Pada waktu itu, perbandingan antara pria dan wanita sangat jauh. Pada tahun 1900 perbandingan antar wanita dan pria adalah 47:100, dan pada tahun 1930 menjadi 88 :100. Di Sumatera, perbandingannya 61 wanita Eropa terhadap prianya ( Suyono, 2005: 277).
Ketika itu, perkawinan antarbangsa pribumi dengan orang Eropa masih belum dapat diterima, sehingga memelihara selir atau wanita simpanan merupakan hal yang lumrah. Pada abad 19, ondernemer karet atau tembakau hanya menggunakan tenaga orang Eropa yang masih bujang. Karena itu merupakan hal yang wajar bila terjadi dilema kerena kekurangan wanita. Memelihara gundik masih dapat diterima, meskipun bagi yang memelihara telah dianggap merusak moralnya. Tempat pelacuran illegal dianggap sebagai kebijakan yang dapat diterima meskipun secara medis belum tentu aman. Dalam situasi ini, peran karayukisan menjadi amat perlu ( Suyono, 2005: 278).
Di Jepang, perbedaan pengertian antara selir dan pelacur adalah sama. Kerena selir dapat saja terjadi atau dapat dialami oleh seorang wanita yang disebabkan oleh kemiskinan. Hal ini banyak terjadi dengan banyak karayukisan selain sebagai orang wanita Jepang, juga mempunyai status tersendiri. Bagi para wanita Jepang yang datang ke Indonesia dan ingin menjadi karayukisan, memiliki nilai jual yang tinggi dan sangat diistimewakan. Faktor yang membuat mereka sangat istimewa adalah mereka memiliki kelebihan dalam melayani seorang pria. Mereka dibekali pendidikan
mulai dari cara menuangkan teh atau sake, bernyanyi, memandikan pria sampai sampai pada melayani tamu di ranjang ( Suyono, 2005: 279).
Wanita Jepang yang datang ke Indonesia dan ingin menjadi karayukisan mempunyai pasaran yang lebih tinggi dan banyak permintaan. Mereka memiliki kelebihan dalam melayani pria dibandingkan dengan yang lainnya. Wanita-wanita ini berasal dari golongan orang-orang miskin. Mereka dijual oleh orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga atau dipanggil oleh pemeritah Jepang dengan alasan tugas negara. Namun, wanita Jepang teteplah menjadi istimewa karena mereka datang dari luar negeri. Di Surabaya sampai ada jalan yang dinamakan Kembang Jepun weg yang berarti jalan dari kembang-kembang Jepang. Hampir 1000 pelacur Jepang yang tersebar di seluruh pulau Jawa. Izin tinggal bagi mereka juga bervariasi antara 15 bulan dan 11 tahun. Pelacur-pelacur Jepang rata-rata berumur 16 sampai 24
tahun. Sehingga banyak tempat-tempat pelacuran dikelola oleh orang Jepang ( Suyono, 2005: 279).
Karayukisan yang terdapat di Indonesia sebelum perang termasuk bisnis perdagangan yang illegal. Mereka didatangkan dari derah-daerah miskin di Jepang, yang sebelumnya tahun 1920-an negara Jepang masih miskin. Para karayukisan ini didatangkan secara illegal dari Singapura sebagai tempat penyalur karayukisan. Tetapi, setelah ada larangan dari pemerintah Hindia-Belanda sebagian besar dari mereka dipulangkan ke Jepang. Namun, ada sebagian kecil masih bekerja secara illegal di pulau Jawa. Bagi Jepang, karayukisan merupakan suatu hal yang
barat. Maka, sebagai tindak lanjutnya untuk mengatur dan mengontrol kehidupan para karayukisan, pemerintah Jepang membuka konsulat Jepang di Batavia ( Suyono, 2005: 280).
Dalam pemerintahan Jepang, posisi angkatan perang Jepang di luar hubungan diplomatik antar negara, mereka tetap melakukan kebijaksanaan tersendiri. Pada tahun 1937 dan 1938 sistim pelacuran diterapkan secara paksa pada negara-negara yang berada di dalam kekuasaan Jepang dan berada ditangan pucuk pimpinan tentara Jepang. Dalam ketentaraan Jepang, hal itu sudah menjadi sebuah institusi atau lembaga. Pemakaian wanita sebagai suatu sarana di dalam ketentaraan juga mulai meningkat. Hal ini mempunyai pengaruh terhadap keberadaan Jepang di Indonesia dan dapat menimbulkan sikap oposisi dari masyarakat Indonesia disebabkan karena pengambilan beras secara paksa oleh tentara Jepang, sehinga rakyat kelaparan, pengambilan secara paksa orang-orang untuk menjadi romusha, dan terutama pengambilan wanita untuk dijadikan pelacur bagi tentara Jepang ( Suyono, 2005: 280).
Pengambilan wanita-wanita Indonesia oleh Jepang dilakukan dengan berbagai tipu daya. Banyak wanita Indonesia dididik sebagai perawat dan dikirim ke Jepang. Ternyata, gadis-gadis itu dipakai tentara Jepang untuk dijadikan Jugun Ianfu, yaitu wanita penghibur. Banyak di antara mereka bunuh diri setelah perang berakhir, karena malu untuk kembali ke keluarganya. Sama halnya dengan yang terjadi di negara-negara Asia lainya, jarang dari mereka yang dapat diterima kembali oleh keluarganya. Meskipun pelacuran Jepang sudah dikenal, di Indonesia pekerjaan
seperti itu merupakan sebuah status bagi orang Jepang. Kedatangan bala tentara Jepang ke Indonesia telah menempatkan karayukisan itu ke dalam lembaga ketentaraan Jepang. Berbeda dengan para pelacur Korea, status mereka ditiadakan atau dihapus oleh pucuk pimpinan tentara. Dalam pelacuran di kalangan tentara Jepang, posisi wanita Jepang yang ada di sana sangat menentukan. Sekalipun posisi wanita Jepang secara sosial, ekonomi dan fisiknya berada di bawah pria, bagi serdadu Jepang hubungan seksual di rumah pelacuran diperbolehkan ( Suyono, 2005: 281).
2.4 Pemaksaan Menjadi Pelacur dan Kamp Tawanan Wanita Eropa
Pelacuran yang diterapkan pemeritahan Jepang dalam hal ini militer tidak hanya memperlakukan wanita Asia tetapi juga perempuan Eropa dan wanita indo atau campuran Indonesia Eropa. Wanita-wanita ini merupakan tahanan perang yang dibawa ke kamp-kamp interniran. Di sana, mereka dipaksa untuk menjadi pelacur, diperkosa dan diperlakukan secara asusila oleh tamu-tamu yang berasal dari ketentaraan Jepang. Ada beberapa wanita dipilih dan dimasukan ke dalam organisasi kemiliteran Jepang, mereka melayani para prajurit Jepang secara bergantian, sehingga kemudian muncul penyakit kelamin. Namun, hubungan seks dalam ketentaraan Jepang merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Ada wanita Belanda yang mendaftarkan diri secara suka rela sebagai pelacur. Hal ini dilakukan agar Jepang tidak mengambil paksa gadis-gadis yang masih muda. Mereka harus siap menjaga dan merawat diri terhadap penyakit kelamin dan segala sesuatu yang berhubungan
Imbasnya, mereka mengalami kelainan jiwa yang disebabkan oleh kamp syndrome, yaitu para wanita dikurung dalam kamp, tidak ada hubungan dengan dunia luar, dan juga tidak ada informasi yang masuk. Meraka harus berkata ”kiotske! ‟siap‟ dan setelah itu naore (membungkuk), mereka dipukul, ditempeleng dan dikurung Jepang sebagai hukumannya ( Suyono, 2005: 282).
Pada umumnya, pengambilan paksa di kamp-kamp interniran dimulai dengan meminta daftar yang dibawa oleh seorang heitan atau prajurit pribumi yang bekerja untuk Jepang. Dalam kelompok wanita-wanita tersebut, akan ditunjuk salah satu dari mereka sebagai pemimpin. Fungsinya untuk memudahkan berkoordinasi dengan para tentara Jepang yang membutuhkan wanita penghibur. Nama-nama yang sudah terdaftar itulah yang menjadi sukarelawan pelacuran. Mereka dipilih dan dipaksa agar memberi kesan seolah-olah mereka pelacur sungguhan. Tidak sampai di situ, ada wanita yang dibawa ke biara. Di sana, mereka tinggal selama beberapa bulan dan kemudian dipanggil untuk bekerja dan pada akhirnya menjadi pekerja seks bagi tentara Jepang. ( Suyono, 2005: 284).
Pemilihan gadis-gadis oleh prajurit Jepang berusia 15 atau 16 tahun. Sebenarnya, untuk kategori usia pelacur sangat bervariatif. Ada juga wanita yang baru beranak satu atau ibu-ibu muda yang masih kelihatan segar dan enerjik. Wanita-wanita yang dipilih atau sudah ditunjuk oleh tentara Jepang akan dipekerjakan sebagai pelayan di restoran-restoran. Keinginan untuk hidup yang lebih baik membuat mereka percaya akan janji-janji tentara Jepang, tetapi hasilnya mereka dipekerjakan sebagai wanita
penghibur. Bila ada yang tidak menuruti kemauan serdadu Jepang, mereka akan diperkosa secara paksa ( Suyono, 2005: 285).
Kehidupan mereka sangat menyakitkan. Berpindah-pindah dari satu kamp ke kamp lain itulah yang dilakukan Jepang terhadap para wanita dan gadis-gadis tersebut. Ada yang berasal dari kamp Surabaya di pindahkan ke kamp Gedangan, Semarang. Ada yang dari kamp Gedangan pindah ke kamp Halmahera.
Pada tahun 1944, rumah pelacuran dengan wanita-wanita Eropa ditutup atas perintah pusat komando balatentara Jepang. Semua wanita dan gadis-gadis dikumpulkan kemudian dipindahkan ke kamp ”kota Paris”. Pada tanggal 30 mei 1944, para wanita dan gadis-gadis dipulangkan. Mereka pergi dan menetap di pinggiran kota Paris ( Suyono, 2005: 288).
Paparan tentang kekerasan pada masa penjajahan Jepang tersebut, akan dipakai sebagai landasan analisis tentang bentuk-bentuk kekerasan dalam novel Perempuan Kembang Jepun pada bab III.