• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam perusahaan pengembang, direksi merupakan pihak yang paling memiliki peranan penting, baik dalam mengatur perseroan, mengelola maupun untuk memajukannya. Setiap jabatan dalam perseroan memiliki tugas dan kewajiban serta wewenang. Peraturan tentang pembagian tugas dan tanggungjawab setiap anggota direksi pada perusahaan pengembang ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan dilakukan oleh komisaris atas nama RUPS yang dimuat dalam anggaran dasar perseroan.

Sehubungan dengan hal tersebut, direksi perusahaan pengembang dalam menjalankan tugas kepengurusan senantiasa harus:

1. Bertindak dengan itikad baik.

2. Memperhatikan kepentingan perseroan semata-mata dan bukan kepentingan dari pemegang saham.

3. Melakukan kepengurusan perseroan dengan baik, sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya, dengan tingkat kecermatan yang wajar, dengan ketentuan bahwa direksi tidak diperkenankan untuk memperluas maupun mempersempit ruang lingkup geraknya sendiri.

4. Tidak berada dalam suatu keadaan yang dapat mengakibatkan kepentingan dan atau kewajibannya terhadap perseroan berbenturan dengan kepentingan perseroan, kecuali dengan pengetahuan dan persetujuan perseroan.

Keempat hal tersebut di atas menjadi penting karena mencerminkan suatu hubungan saling ketergantungan di antara perusahaan dan direksi, dimana kegiatan

dan aktivitas perusahaan pengembang bergantung pada direksi sebagai organ yang dipercayakan untuk melakukan pengurusan perseroan. Keberadaan perseroan merupakan sebab keberadaan direksi, sehingga tanpa perseroan, direksi tidak akan pernah ada. Hubungan inilah dinamakan dengan fiduciary relation,yang selanjutnya melahirkanfiduciary dutybagi direksi terhadap perseroan yang telah mengangkatnya sebagai pengurus dan perwakilan bagi perseroan. Direksi dikatakan mempunyai

fiduciary duty manakala dia dipercayakan untuk berbuat sesuatu untuk kepentingan perseroan atau untuk kepentingan pihak ketiga, dimana dia seolah-olah berbuat untuk kepentingan dirinya sendiri.

Setiap anggota direksi perusahaan pengembang bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya.113 Pertanggungjawaban ini berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi apabila ada 2 (dua) orang anggota direksi atau lebih. Meski demikian, UUPT juga memberikan pembatasan tanggung jawab direksi perusahaan pengembang dalam pengurusan perseroan. Pembatasan tanggung jawab direksi dapat kita temui dalam Pasal 97 ayat (5) UUPT yang menyebutkan bahwa anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi atas kerugian perseroan terbatas apabila dapat membuktikan bahwa :

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Penyesuaian anggaran dasar jika tidak dilakukan oleh perusahaan pengembang memang tidak serta merta membuat perusahaan tersebut bubar, namun demikian jika karena kelalaian ini menyebabkan perseroan menjadi bubar atas putusan pengadilan negeri maka dalam hal ini pengurus perseroan menjadi bertanggung jawab atas bubarnya perusahaan pengembang dimaksud. Direksi perusahaan pengembang dinyatakan bertanggung jawab karena kelalaiannya sehingga perusahaan tidak dapat melakukan penyesuaian anggaran dasar, membuat perseroan bubar atas dasar keputusan pengadilan, karena tugas kepengurusan perseroan sehari-hari berada ditangan direksi perseroan. Direksi perusahaan pengembang menjadi bertanggung jawab penuh secara pribadi jikalau penyesuaian tidak dilakukan akibat kelalaian direksi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Akan tetapi direksi dimaksud diatas dapat lepas dari tanggung jawab apabila dapat membuktikan bahwa kerugian perseroan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, direksi telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan menerapkan prinsip kehati-hatian untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan

tujuan perseroan, direksi tidak mempunyai benturan kepentingan dan direksi telah mengambil tindakan pencegahan timbulnya atau berlanjutnya kerugian perseroan114.

Konsekuensi hukum yang diberikan oleh undang-undang juga sebagai suatu bentuk paksaan terhadap perseroan agar melakukan penyesuaian terhadap anggaran dasarnya. Jangka waktu 2 (dua) tahun untuk melakukan penyesuaian pada UUPT 1995 diberikan tanpa ada konsekuensi bagi perseroan jika tidak melakukan penyesuaian, mungkin hal ini yang menjadi dasar bagi pemerintah sehingga memberikan ancaman bagi perseroan pada UUPT Nomor 40 Tahun 2007.

Untuk perbuatan-perbuatan tertentu, direksi perusahaan pengembang wajib meminta persetujuan RUPS atau dewan komisaris. Jadi, keabsahan dari perbuatan direksi itu terikat pada perbuatan pelengkap tertentu, yaitu persetujuan RUPS atau dewan komisaris dari perusahaan. Namun, persetujuan tadi bukan merupakan instruksi yang wajib dilaksanakan oleh direksi perusahaan pengembang. Jadi, sekalipun direksi telah meminta dan memperoleh persetujuan RUPS atau komisaris, akan tetapi direksi tetap bebas untuk memutuskan apakah perbuatan hukum yang bersangkutan akan dilakukannya atau tidak. Bahkan apabila keadaan menunjukkan bahwa pelaksanaan perbuatan itu seyogyanya diurungkan, maka direksi wajib membatalkannya. Ini sesuai dengan tanggung jawab direksi perusahaan pengembang dan masing - masing anggota direksi sebagai mana diatur dalam UUPT. Oleh karena itu, direksi tidak pernah dapat bersembunyi dibelakang persetujuan RUPS atau komisaris. Pemberian persetujuan oleh RUPS atau komisaris tidak dapat membebaskan direksi dari

114

tanggung jawabnya atas pengurusan PT untuk kepentingan dan tujuan serta usaha perusahaan pengembang.

Didalam perusahaan pengembang terdapat pemisahan antara PT sebagai suatu

legal entity dengan para pemegang saham dari perseroan. Berkaitan dengan keterbatasan tanggung jawab pemegang saham perseroan pengembang, dalam hal-hal tertentu dapat ditembus atau diterobos, sehingga tanggung jawab pemegang saham menjadi tidak lagi terbatas. Penerobosan keterbatasan tanggungjawab pemegang saham dalam perseroan terbatas (corporate veil) itu dikenal dengan istilah piercing the corporate veil. Dalam istilah Indonesia, biasa dikenal dengan penyingkapan tirai perusahaan. TeoriPiercing The Corporate Veilini diakui dalam berlakunya Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 tersebut, yang diarahkan kepada pihak pemegang saham, direksi, bahkan dalam hal yang sangat khusus juga terhadap dewan komisaris dari suatu perseroan terbatas.

Sebagai mana diketahui, bahwa UUPT sampai batas-batas tertentu mengakui berlakunya doktrinpiercing the corporate veilini, sungguhpun pengaturannya sangat sederhana. Penerapan doktrinpiercing the corporate veildalam tindakan perusahaan pengembang menyebabkan tanggungjawab hukum tidak hanya dapat dimintakan dari perseroan terbatas tersebut (meskipun dia berbentuk badan hukum), tetapi pertanggungjawaban hukum dapat juga dimintakan terhadap pemegang sahamnya. Dalam pengembangannya doktrin piercing the corporate veil, juga membebankan tanggungjawab hukum kepada organ perusahaan yang lain seperti direksi atau komisaris.

Undang-Undang Perseroan Terbatas mengakui doktrin piercing the corporate veil seperti tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 :

Ayat (1): Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung-jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimilikinya.

Ayat (2): Gugatan perseroan. Gugatan perseroan merupakan gugatan yang dapat diajukan oleh atau terhadap PT atau organ-organnya ke pengadilan berdasarkan ketentuan dari UUPT atau Anggaran Dasar PT tersebut.

Menurut UUPT, maka gugatan perseroan ini terdiri dari gugatan-gugatan sebagai berikut:

1) Gugatan terhadap keputusan Rapat Umum Pemegang Saham, direksi, dan/atau dewan komisaris. Gugatan ini diajukan ke Pengadilan Negeri dalam wilayah perseroan terbatas berkedudukan. Gugatan diajukan oleh pemegang saham sebagai penggugat (berapapun persentase atau jumlah saham yang dipegangnya) terhadap perseroan (sebagai tergugat), jika ada tindakan perseroan terbatas yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan yang wajar sehingga merugikan pemegang saham yang bersangkutan.115

2) Gugatan terhadap kesalahan anggota direksi.

Bahwa direksi perusahaan pengembang mempunyai semacam fiduciary duty

kepada perusahaan yang dipimpinnya. Apabila direksi melanggar tugas

fiduciary duty itu, khususnya jika dia melakukan kesalahan (baik dengan kesengajaan atau kelalaian), maka pihak pemegang saham dapat mewakili

115

perusahaan untuk menggugat direksi tadi dan seluruh hasil dari gugatan tersebut (misalnya dalam bentuk ganti rugi dari direksi) akan menjadi milik perusahaan, bukan milik pemegang saham penggugat. Gugatan yang diajukan oleh pemegang saham atas nama perseroan terbatas tersebut dikenal dengan “gugatanderivatif”. Dengan demikian, UUPT mengakui dengan tegas prinsip gugatan derivatif ini sampai batas-batas tertentu. Agar dapat mengajukan gugatan dimaksud, pemegang saham penggugat haruslah memegang saham minimal 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara. Disamping batasan minimum 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, ketentuan lain untuk gugatan derivatif ini adalah bahwa gugatan derivatif hanya dapat ditujukan terhadap Direksi (sebagai tergugat), dan juga terhadap anggota Dewan Komisaris. Dengan demikian, menurut UUPT, pihak pemegang saham tidak dapat mewakili perseroan untuk menggugat pihak dalam Perseroan Terbatas selain dari Direksi dan Dewan Komisaris dan juga tidak dapat digugat (secara derivatif) terhadap pihak ketiga di luar Perusahaan. Dalam hal gugatan derivatif yang ditujukan terhadap Direksi Perseroan, karena pihak “anggota” Direksi yang melakukan kesalahan, maka tidak mungkin anggota Direksi itu yang mewakili perseroan, karena akan ada conflict of interest, sungguhpun dalam hal-hal yang normal, pihak Direksilah yang bertindak mewakili Perseroan didalam dan diluar pengadilan. Dalam hal ini diperkenankan jika gugatan diajukan oleh pihak pemegang saham.

Namun demikian, gugatan atas nama Perusahaan Pengembang yang diajukan berdasarkan Pasal 97 ayat (6) Undang-Undang Perseroan Terbatas, yakni dalam hal Direksi perusahaan memiliki conflict of interest, termasuk jika Direksi perusahaan pengembang menjadi tergugat, itu bukanlah gugatan

derivatif. Sebab pihak pemegang saham menurut Pasal 97 ayat (6) tersebut dianggap resmi oleh RUPS atau Anggaran Dasar, dan bertindak bukan lagi dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham, melainkan gugatan perseroan. Kebetulan saja perseroan diwakili oleh orang yang berasal dari pemegang saham. Jadi, berbeda dengan gugatan berdasarkan Pasal 97 ayat (6), dan Pasal 114 ayat (6).

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila : a) Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. b) Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung

dengan itikad uruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi. c) Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh perseroan.

d) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, gugatan yang dapat dilakukan adalah Gugatan Atas Perseroan. Dalam melaksanakan upaya hukum secara perdata,

salah satu yang dikenal adalah upaya hukum pengajuan gugatan bagi pihak yang dirugikan karena tindakan pihak lain. Demikian halnya dengan subjek hukum mandiri, Perusahaan Terbatas berhak mengajukan gugatan atapun diajukan gugatan atas tindakannya. Di samping gugatan yang bersifat umum, maka terdapat gugatan perseroan, yakni gugatan yang khusus terbit dalam hukum perseroan, bukan dari hukum acara pada umumnya.

Bahkan hal yang sama secara mutatis mutandis juga berlaku dalam bidang pidana, sehingga muncul pula apa yang dapat disebut sebagai dakwaan perseroan. Dalam hal ini juga perseroan ataupun para pihak di dalamnya dapat berupa tergugat/terdakwa ataupun sebagai penggugat/pelapor.116

Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dikenal berbagai model gugatan/permohonan ke Pengadilan dalam kaitannya dengan gugatan atas Perseroan Terbatas. Model-model gugatan terhadap perseroan itu adalah Gugatan biasa.

Gugatan Biasa ini merupakan gugatan yang dapat diajukan oleh atau terhadap Perseroan Terbatas atau organ-organnya ke Pengadilan berdasarkan ketentuan di luar dari ketentuan UUPT atau di luar anggaran dasar dari Perseroan Terbatas tersebut.117 Dan gugatan biasa ini terlibat dari kasus-kasus biasa seperti gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) atau wanprestasi.

Dokumen terkait