• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Kerangka Teori

1. Politik Resistensi

1.2. Bentuk-Bentuk Resistensi

Perlawanan sejarah dari orang-orang yang lemah, tertanam erat dalam realitas pengalaman sehari-hari yang bersahaja, namun berarti musuh bukanlah kekuatan-kekuatan sejarah yang impersonal, melainkan orang-orang nyata. Nilai-nilai yang dipertahankan oleh para kaum lemah umumnya biasa-biasa saja.

Titik tolak mereka adalah praktik-praktik dan norma-norma yang terbukti efektif di masa lampau, dan kelihatan mengandung harapan akan mengurangi atau membalikkan kerugian-kerugian yang telah mereka derita. Tujuan perlawanan sama bersahajanya dengan nilai yang diperjuangkannya (James C. Scott 2000. h, 454).

15

Scott, dengan konsep perlawanan sehari-hari (every day forms of resistence) dalam kasus perlawanan petani, mengartikan perlawanan sebagai perjuangan yang biasa-biasa saja, namun terjadi terus menerus, dari kaum tani terhadap orang-orang yang berupaya menarik tenaga kerja, makanan, sewa dan keutungan dari mereka (Scott 1985. h, 303).

Kebanyakan perlawanan bentuk ini tidak sampai pada tarap pembangkangan terang-terangan secara kolektif. Senjata yang digunakan oleh kelompok-kelompok tidak berdaya, seperti mengambil makanan, menipu, berpura-pura patuh, mencuri kecil-kecilan, pura-pura tidak tahu, mengupat dibelakang, membakar, melakukan sabotase, menolak sewa dan pajak. (Scott 1994, h. 302)

Menurut Scott tujuan perlawanan petani bukanya secara langsung menggulingkan atau mengubah sistem dominasi, melainkan lebih terarah untuk tetap hidup dalam sistem itu.

Adapun perlawanan sehari-hari adalah informal dan sering tidak terbuka. Scott juga menjelaskan perbedaan antara perlawanan sungguh-sungguh bersifat terorganisir, sistematis; berprinsip atau tanpah pamri mempunyai akibat-akibat revolusioner; dan mengadung tujuan meniadakan dominasi. Sebaliknya, perlawanan insidental bersifat; tidak terorganisir, tidak sistematis, individual, bersifat untung-untungan, tidak berakibat revolusioner, dan menyesuaikan sistem dominan.

Pada pembahasan yang lain Scott juga menjelaskan bahwa resistensi ini ada yang berwujud nyata (terbuka) ada yang tidak nyata (tertutup). Resistensi berwujud nyata argumentasinya bersifat (1) Organik, sitematik dan kooperatif (2) Berprinsif tidak mementingkan diri sendiri, (3) Tidak berkonsekuwensi revolusioner (4) Mencakup gagasan atau maksud-maksud yang meniadakan basis dominasi itu sendiri. Sedangkan resistensi

16

yang tidak nyata argumentasinya bersifat (1) Tidak teratur, tidak sistematik dan terjadi secara individual (2) Bersifat oportunistik dan mementingkan diri sendiri (3) Tidak berkonsekwensi revolusioner (4) Menyiratkan dalam maksud atau arti mereka akomodasi terhadap sistem dominasi. (Scott 2000. h, 385-386)

Scott menyampaikan bahwa resistensi muncul berbasis pada hubungan antar kelas dan pertarungan antar kelas, hal tersebut berlaku sebagai tindakan resistensi perorangan maupun resistensi kolektif, dan resistensi kelas ini memuat tindakan-tindakan yang dilakukan kelas yang lemah atau yang termarjinalkan (Scott menyebutkan kelas yang kalah) yang ditujukan untuk menolak klaim yang dibuat kelas-kelas yang kuat atau kelas yang menindas (Scott menyebutkan kelas atas) kepada kelas yang lemah. (James C. Scott 2000. h,382).

Masyarakat marjinal menurut Scott akan mendapatkan kesempatan yang cukup aman, untuk mengungkapkan kemampuan mereka yang menge-sankan dengan cara memutar-balikkan konsepsi-konsepsi kaum penindas. Mereka memberi tekanan kepada nilai-nilai demikian, dan kalau perlu memanipulasinya demi kepentingan-kepentingan materi dan simbolis mereka sebagai sebuah kelas. Mereka menolak karakterisasi yang diberikan para penindas terhadap mereka (Scott 2000. h, 399-400). Dan kemampuan imajinasi kelompok-kelompok yang dikuasai tetaplah ada untuk membalik atau menolak ideologi-ideologi dominan yang universal dan dianggap sebagai bagian substantif dari peralatan budaya atau pun keagamaan mereka yang baku. (Scott 2000. h, 432).

Kasus resistensi Orang Rimba terhadap Kebijakan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas Propinsi Jambi, sangat memperlihatkan bagaimana dominasi negara menciftakan idiologi-idiologi dominan yang universal dalam mengatur

17

kehidupan Orang Rimba di bukit Duabelas, sehingga sangat wajar ketika Orang Rimba mempunyai kesempatan cukup mereka akan melawan segalah bentuk dominasi negara yang mencoba mengatur mereka tanpa memperhatikan nilai-nilai tradisi budaya yang telah melembaga dalam kehidupan mereka.

Orang Rimba sebagai masyarakat adat yang terus berusaha mempertahankan kehidupan maupun identitas yang diyakini, tentu perlawanan dijadikan senjata untuk menghentikan segalah bentuk aksi yang diperankan oleh negara sebagai kelas yang kuat, yang akan merugikan kehidupan maupun identitas bagi komunitas masyarakat Rimba. Reaksi semata-mata merupakan sifat resistensi yang dilakukan oleh masyarakat Rimba untuk mengcounter segala bentuk ketidak cocokan yang dibuat oleh negara dalam upaya mengatur kehidupan yang mereka jalani.

Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Solichin Abdul Wahab bahwa perubahan-perubahan tertentu dalam sikap-sikap kelompok masyarakat terhadap tujuan dari hasil kebijakan publik memaikan peran yang cukup signifikan dalam proses implementasi, kegagalan sebuah kebijakan dalam proses implementasinya bisa berasal dari tidak adanya dukungan atau malah adanya resistensi terhadap sebuah kebijakan publik yang dikeluarkan. (Solichin Abdul Wahab 1991.h,50).

Resistensi yang dilakukan oleh Orang Rimba adalah gerakan kesaharian individual, walaupun dilakukan secara kolektif sangat jarang dilakukan dengan bentuk kekerasan yang radikal. Orang Rimba melakukan penolakan-penolakan kecil yang mencoba melanggar segalah ketentuan Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas. Terkadang Perlawanan tersebut nyata dan terbuka (lebih bersifat kolektif), namun terkadang juga perlawanan tersebut tidak nyata atau sama

18

sekali tertutup yang kemudian dilancarkan secara diam-diam ( Lebih bersifat individual).

Berkaitan dengan argumentasi Scott bahwa perjuangan maupun perlawanan orang-orang yang termarjinalkan akan selaluh kalah, namun sedikit berbeda dengan temuan penulis dalam kasus resistensi yang dilakukan oleh Orang Rimba dalam menentang kebijakan RPTNBD, Orang Rimba yang dikenal hidup dalam kondisi yang termarjinalkan menampilkan perlawanan yang mengesankan, sehingga bisa dikatakan bahwa kearifan perlawanan yang dilakukan oleh Orang Rimba dinilai efektif dalam menyuarakan tuntutan-tuntutan yang mereka sampaikan. Keberhasilan perlawanan yang dilakukan oleh Orang Rimba dalam menentang kebijakan RPTNBD tidak terlepas dari munculnya kesadaran kolektif dan adanya peran pihak-pihak eksternal yang membantu, terutama para NGO yang bergerak dibelakang layar yang mengorganisasikan para pemimpin-pemimpin adat untuk mengajukan keberatan dan protes terhadap lahirnya kebijakan RPTNBD.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang lemah, termarjinalkan ataupun Orang yang kalah (dalam argumentasi Scott) yang melakuka aksi perlawanan secara individu akan tetap menang dalam mengalahkan dominasi negara ketika munculnya kesadaran kolektif dalam komunitas mereka serta adanya dorongan kekuatan eksternal yang membantu mereka untuk mengorganisasikan diri sehingga akan tetap mampu menampilkan perlawanan yang mengesankan dengan membalikan konsepsi-konsepsi dan indiologi-idiologi dominan yang diperankan oleh negara. Sehingga menurut analisis penulis bahwa tesis yang disampaikan oleh Scott bertolak belakang dengan hasil temuan penulis, dimana Scott

19

lebih mengutarakan bahwa orang-orang yang termarjinalkan akan selalu kalah dalam kondisi apapun.

Dalam tahap kemunculan sebuah perlawanan serta proses berkembangnya sebuah aksi perlawanan, Smelser membuat konsep ’value-added’ (Smelser 1976, h. 12-17). Smelser menyebutkan ada 5 (lima) Tahap kemunculan dan proses berkembanganya sebuah aksi perlawanan. (1) Pernyataan spontan tentang ketidakpuasan bersama. (2) Pemilihan pimpinan gerakan. (3) Transformasi tindakan tidak terstruktur menjadi tindakan terorganisir. (4) Munculnya Konfrontasi dengan lawan gerakan. (5) Pencapaian hasil.

Tahapan-tahapan kemunculan gerakan sebagaimana yang disampaikan oleh Smelser menggabarkan sebuah evolusi gerakan perlawanan Orang Rimba dari perlawanan individual yang merupakan prilaku keseharian mereka, menjadi perlawanan kolektif yang merupakan gerakan bersama berdasarkan kesadaran kolektif yang muncul.

Dokumen terkait