i
RESISTENSI ORANG RIMBA
(Studi Tentang Perlawanan Orang Rimba Menghadapi Kebijakan Rencanan Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas Propinsi
Jambi)
Tesis
Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-2
Diajukan oleh BURLIAN SENJAYA NIM. 09/293655/PSP/03760
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011
ii
iii
i
KATA PENGANTAR
Orang Rimba saat ini dapat dikatagorikan sebagai masyarakat ekologis yang tersisa, dimana hutan tidak hanya menjadi sumber ekonomi dalam kehidupan mereka, akan tetapi hutan juga berfungsi sebagai identitas sosial dalam menerjemahkan segalah dinamika kehidupan yang sarat akan nilai tradisi dan budaya, begitu pentingnya hutan bagi mereka sehingga mereka harus trus berjuang menyalamatkan rumah mereka ditengah-tengah maraknya kebijakan konversi hutan maupun kejahatan illegal logging yang menyebabkan semakin susutnya hutan Taman Nasional Bukit Duabelas.
Kemudian Lahirnya kebijakan RPTNBD seakan-akan mepercepat proses marjinalisasi Orang Rimba dari sumber daya mereka sendiri, kebijakan yang ingin mengatur kehidupan Orang Rimba di dalam kawasan berdampak negatif bagi dinamika kehidupan Orang Rimba, sehingga mereka harus kehilangan hak ekonomi yang dihasilkan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas dan hak identitas yang lahir dari proses interaksi dengan hutan kemudian menjadi tata adat dan pedoman dalam setiap kehidupan mereka.
Studi ini menjadi pelengkap dari sekian banyak studi yang mendiskusikan tentang problematika kehidupan Orang Rimba di kawasan Bukit Duabelas Propinsi Jambi. Namun, dengan keterbatasan yang dimiliki, penulis berupaya menampilkan suguhan yang berbeda yang mencoba menggambarkan bahwa Orang Rimba bukan lah masyarakat yang lemah, mereka senantiasa berjuang untuk merebut kembali hak yang mereka yakini, yang telah melekat dalam kehidupan selama bergantinya generasi, sehingga perjuangan ini lah yang kemudian penulis terjemahkan sebagai bentuk perlawanan (resistance) Orang Rimba merebut hak di Bukit Duabelas.
Dalam proses penulisan tesis ini tentu banyak hambatan yang harus penulis hadapi, lebih-lebih topik yang penulis angkat sedikit menyudutkan peran para pemegang kebijakan yang mengharuskan penulis bertemu langsung berdiskusi sebagai sumber data, tidak jarang mereka enggan untuk berkomentar terhadap kasus tersebut, sehingga terkadang proses akademis ini sedikit terhambat. Namun, penulis patut bersyukur kepada Allah SWT karna berbagai hambatan
ii
tersebut selalu ada solusi sehingga proses penyelasaian karya ini dapat terselesaikan dengan baik.
Rasa bangga, penghargaan dan terima kasih pun dilayangkan kepada Pemerintah Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi yang telah memberikan kesempatan belajar kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada S2 Ilmu Politik Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM Yogyakarta, muda-mudahan ini menjadi bukti keseriusan pemerintah daerah Kabupaten Sarolangun dalam memajukan dunia pendidikan serta mencerdaskan para putra daerahnya sebagai penerus tongkat estapet kepemimpinan Kabupaten Sarolangun kedepan.
Tulisan ini tentu tidak lepas dari proses pembimbingan yang cukup matang. Untuk itu, ucapan terima kasih yang tak terbatas penulis sampaikan kepada kedua dosen pembimbing, Bapak Drs.
Haryanto, MA (pembimbing I) dan mas Nanang Indra Kurniawan, SIP, MPA (pembimbing II) yang telah memberikan sentuhan- sentuhan akademis dalam tesis ini dan meluangkan waktunya untuk membaca dan mengoreksi tulisan ini baik secara substansial maupun redaksional. Disamping itu juga ucapan terima kasih penulis haturkan juga kepada; Bapak Dr. Bambang Udayana, MA dan mas Sigit Pamunkas, SIP. MA sebagai tim penguji yang telah banyak memberikan masukan demi perbaikan tesis ini.
Selama menjalani proses perkuliahan di kota pelajar Yogyakarta, banyak ilmu yang penulis terima dari para dosen sebagai bekal penyelesaian tulisan ini. Karenanya, ucapan terima kasih patut disampaikan kepada mereka : Pak Josef Riwu Kaho, Prof. Pratikno, Prof. Purwo Santoso, Prof. Mochtar Mas’oed, Pak Lambang Trijono, Pak Aris Mundayat, Bli I Ketut Putra Erawan, Bli AAGN Ari Dwipayana, Mas Abdul Gafar Karim, Mas Harul Hanif dan Mba Nur Azizah, Mas Wawan Masudi, terima kasih untuk semuanya. Tak ketinggalan, penulis sangat mengapresiasi kebaikan dan bantuan Mba Nur, Mba Ana dan Mas Rangga yang telah bersedia menerima titipan konsep/rancangan tesis penulis untuk selanjutnya disampaikan kepada para pembimbing, juga telah membantu menyelesaikan persyaratan administrasi lainnya.
Proses pendidikan di S2 PLOD UGM menjadi lengkap ketika penulis berjumpa dengan sahabat-sahabat seperjuangan yang datang dari penjuru pulau, dari Sabang sampai Merauke dari Nianmas
iii
sampai Pulau Rote (kata pak beye), melalui mereka-mereka ini lah penulis mendapatkan ilmu baru yang belum pernah penulis peroleh, salut atas daya kritis dan kebersamaan mereka semua: Pak Yanto Kaliwon, Pak Anis Sanak, Bang Ginda, Bang Rian, Frid, Zaenudin, Pace Dain, Josly, Bang Helmi, Bang Aji, Bang Pambudi, Bang Akhmal, Eko, Vio, Zoni, Daing Dermawan, Fajar, Bang Ipon, Ibu Oliv, Ayu Marini, Grece, Ros, Mbak Ima, Amel, Ina, Pak Najamudin, Kang Sofyan, Kang Jajang, Mas Jun, Bang Irmon, Bang Iron, Pak Pendeta Coni, Darus, Pak Ali Lating, Pak Subkhan Tomaito, Ibu Erni, Pak Abdul Kaunar dan semua teman yang saya lupa tidak sebut nama mereka.
Ketika melakukan penelitian ini, banyak pihak yang bersimpati untuk memberikan data dan informasi terkait topik penelitian ini.
Penghargaan dan terima kasih untuk itu, penulis sampaikan kepada Bang Barok (LSM Walhi Jambi), bang Zuzi (Balai TNBD), Pak Rindwan (Kepala Bali TNBD), Kasubaklinmas Kabupaten Sarolangun, Depsos Kabupaten Sarolangun, Balai TNBD Kabupaten Sarolangun, dan para Temenggung Orang Rimba di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas.
Akhirnya, karya ini didedikasikan sebagai ungkapan cinta penulis kepada kedua orang tua yang telah berdoa siang dan malam demi kesuksesan anaknya, Ayahanda Hafis Mahidin dan Ibunda Nur Asiah, kepada kakak-kakakku, Ayu Tutik Hasnidar, Bang Dodong (Filmaroco SH), Bang Idham Kholik, Ayu Vera, Ayu Gusnawita, Bang Sam’un Rozi, adik tercinta Line Maria Ulfa, ketiga keponakan yang selalu mengisi kecerian dalam hidupku; Alya, Kanza, dan Amel, serta seseorang yang doanya selalu menemani dalam setiap bait-bait tulisan tesis ini terima kasih atas kesabaranya “Adinda Desi”, kepada keluarga besar yang tidak bisa disebutkan satu persatu Terima kasih untuk semua doa, kebaikan dan ketulusannya. I love you all.
Yogyakarta, 29 Maret 2011
Burlian Senjaya
iv
DAFTAR ISIKATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL... vii
DAFTAR GAMBAR... viii
DAFTAR BAGAN... ix
ABSTRAK... x
ABSTRACT... xii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang……… 1
B. Rumusan Masalah………... 8
C. Tujuan Penelitian... 9
D. Mamfaat Penelitian...… ………….... 9
E. Kerangka Teori……….... 10
1. Politik Resistensi……….... 10
1.1. Penyebab Munculnya Resistensi……… 10
1.2. Bentuk-Bentuk Resistensi……….. 14
2. Kebijakan Publik……… 19
2.1. Pelaksanaan Kebijakan Publik……….... 19
2.2. Kegagalan Kebijakan Publik……….. 25
F. Kerangka Berpikir………. 29
G. Defenisi Konseptual dan Operasional……….. 30
H. Metode Penelitian……….... 31
I. Sistematika Penulisan……….. 35
BAB II MARJINALISASI ORANG RIMBA DI BUKIT DUA BELAS……… 38
A. Sejarah Keberadaan Orang Rimba di Bukit Duabelas... 38
B. Bagunan Organisasi Sosial Orang Rimba... 44
C. Pelaksanaan Kebijakan RPTNBD... 47
1. Lahirnya Kebijakan RPTNBD... 48
2. Analisis Kepongahan Kebijakan RPTNBD... 56
D. Tekanan Penduduk desa Interaksi……….…... 71
E. Hilangnya Hak Ekonomi………... 79
1. Berhuma (berladang)………... 80
2. Berkebun………... 84
v
3. Berburu………... 85
4. Mengumpulkan Bahan Makanan………... 88
5. Memafaatkan Sungai………... 89
6. Berdagang Dengan Orang Teran………... 90
F. Hilangnya Hak Identitas………... 92
1. Tradisi dan Adat Istiadat………... 94
2. Kepercayaan Orang Rimba………... 98
G. Catatan Penutup………... 103
BAB III PERTARUNGAN MEREBUT “HAK” DI BUKIT DUABELAS………..…... 105
A. Perlawanan Sebagai Perjungan Mempertahankan Hak………...… 105
B. Kemunculan Sebuah Perlawanan………... 108
1. Prilaku Individu Sebagai Embrio Gerakan Perlawanan……...……… 110
2. Bentuk-Bentuk Perlawanan Individual...………. 111
2.1 Orang Rimba Trus Membuka Ladang Baru………...….… 111
2.2 Mistis dan Gaib Sebagai Senjata Perlawanan………... 113
2.3 Melakukan Pengrusakan Tanaman BKSDA………... 115
2.4. Bekerja Harus dengan Upah…………...…... 116
2.5. Jerat Sebagai Senjata Perlawanan……...… 117
2.6. Kebodohan Sebagai Senjata Perlawanan……... 119
C. Evolusi Gerakan Perlawanan dan Peran NGO…... 121
1. Peran NGO dalam Perlawanan Kolektif…...….. 122
2. Bentuk-Bentuk Perlawanan Kolektif………….….. 126
2.1. Secara Formal……….. 126
2.2. Melalui Aksi Demonstrasi…………..………. 133
2.3. Perlawanan Secara Adat………...……. 134
D. Catatan Penutup... 138
BAB IV EFEKTIVITAS PERLAWANAN ORANG RIMBA... 140
A. Karakteristik Perlawanan Orang Rimba………...….. 140
B. Respon Pemerintah Terhadap Perlawanan Orang Rimba……… …...…… 148
vi
C. Analisis Efektivitas Perlawanan Orang Rimba…... 154
D. Catatan Penutup………...…... 161
BAB V PENUTUP………...….. 162
A. Kesimpulan………..……... 162
B. Saran………..………. 166
DAFTAR PUSTAKA……….. 168
vii
DAFTAR TABEL
Tabel. 1. Kebijakan Tentang Zonasi……… 51 Tabel. 2. Tanah-tanah Keramat Orang Rimba……… 100 Tabel. 3. Peran NGO dalam Perlawanan Kolektif……….. 124 Tabel. 4. Upayah Perjuangan Formal……….. 126 Tabel. 5. Korelasi Perlawanan Kolektif………... 144 Tabel. 6. Korelasi Perlawanan Individual……… 146
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar. 1. Tempat Tinggal Orang Rimba... 40
Gambar. 2. Peta TNBD, penenpatan zona... 54
Gambar. 3. Peta Tekanan Perladangan desa interaksi... 72
Gambar. 4. Orang Rimba meminta dukungan menteri... 132
Gambar. 5. Peta kesepakatan zona TNBD... 153
ix
DAFTAR BAGAN
Bagan. 1. Kerangka Berpikir……… 29 Bagan. 2. Struktur kepemimpinan Adat Orang Rima……. 46 Bagan. 3. Analisis munculnya Perlawanan Individu…….. 121 Bagan. 4. Analisis munculnya Perlawanan Kolektif……… 137
x
ABSTRAKOrang Rimba sebagai masayarakat adat yang hidup di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas Propinisi Jambi, dinamika kehidupanya tidak lepas dari hutan. Minimal ada dua persoalan penting yang menyebabkan mereka (Orang Rimba) tidak bisa dipisahkan dari kehidupan hutan. Pertama, persoalan ekonomi yang menjadi tumpuan keberlangsungan hidup sebagai tempat berburu, meramu, serta memamfaatkan hasil hutan yang menjadi sumber ekonomi terpenting dalam kehidupana mereka. Kedua.
Hutan menjadi identitas kehidupan dalam menjalankan berbagai kearifan tradisi dan budaya, yang diwariskan para leluhur sebagai pedoman dalam menjalankan arti penting kehidupan bagi Orang Rimba.
Lahirnya kebijakan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD) yang dikeluarkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Propinsi Jambi, dengan membagi kawasan taman nasional menjadi enam zona berbeda (zona Inti, zona Rimba, zona Pemafaatan Tradisional, zona zona Pamafaatan Pariwisata, zona Pemafaatan Terbatas, zona Rehabilitas) dan menempatkan dinamika kehidupan Orang Rimba hanya pada zona tradisional saja menyebabkan Orang Rimba mengalami proses marjinalisasi yang hebat dari sumber daya alam mereka sendiri, sehingga untuk memperebutkan hak itu kembali, Orang Rimba melakukan resistensi dengan tuntutan mengembalikan hak ekonomi dan hak identitas yang hilang seiring lahirnya kebijakan RPTNBD.
Dengan menggunakan desain penelitian studi kasus (case study) melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini menemukan bahwa penyebab resistensi Orang Rimba terhadap kebijakan RPTNBD dikarenakan implementasi kebijakan yang tidak mampu mengakomodir kepentingan Orang Rimba. Orang Rimba tidak lah dinilai sebagai asset bagi kelangsungan ekosistem kawasan konservasi, kebijakan RPTNBD lebih mengedepankan aspek ekonomi ekologis daripada memperhatikan kultur kehidupan masyarakat adat di dalam kawasan konservasi tersebut, dan kebijakan menyebabkan hilangnya sumber ekonomi mereka serta hak untuk menjalankan identitas yang sarat akan tradisi
xi
dan budaya. Kemudian dalam penelitian ini juga, penulis menemukan untuk menghadapi kebijakan RPTNBD tersebut Orang Rimba melakukan perlawanan Individual yang kemudian berevolusi menjadi gerakan kolektif. Perlawanan kolektif merupakan aksi protes yang berbentuk aksi demonstrasi, perlawanan secara formal, dan perlawanan secara adat. Dalam perlawanan kolektif peran beberapa NGO sangat urgen terutama membangun karakter Orang Rimba, mobilisasi gerakan, networks jaringan, dan pendampingan dalam setiap gerakan perlawanan, sehingga perlawanan dinilai efektif dalam menyuarakan tuntutan, sedangkan perlawanan individual lebih bersifat tertutup, dan cendrung merupakan prilaku keseharian Orang Rimba yang kecewa terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah melalui kebijakan RPTNBD.
Temuan penelitian ini membenarkan apa yang disampaikan oleh Gurr bahwa orang bisa melakukan resistensi jika ia merasa sesuatu yang dihargainya dirampas atau way of life-nya terancam oleh perkembangan baru, disamping itu juga Scott menjelaskan adanya ‘simplifikasi negara’ dimana negara cenderung melegalisasi dan meregulasi kebijakan publik yang terlalu ketat dan seragam untuk kepentingan sendiri, di tengah-tengah kelompok masyarakat yang berbeda-beda karena pluralitas kebudayaan yang mereka milki. Maka tidak salah menurut Scott pada masyarakat yang sudah termarjinalkan seperti ini lah, mereka akan melakukan perlawanan baik secara terang-terangan atau dengan konsep perlawanan sehari-hari yang lebih cendrung tertutup. (every day forms of resistence)
Kata kunci : Kebijakan RPTNBD, Marjinalisasi Orang Rimba di Bukit Duabelas, Resistensi Orang Rimba.
xii
ABSTRACTOrang Rimba as indigenous communities that’s live in the area of Bukit Duabelas National Park in Jambi Province, they activity can not be separated from the forest. At least two important issues that cause they life can not be separated from the forest. The First, the economic problems that’s become the foundation of survival as a place of hunting, gathering, and to use forest products became the most important economic resource in their activity.
Second. Forest becomes the identity of life in running a variety of wisdom traditions and culture that bequeathed by the founding fathers as a guide in carrying out the significance of life for Orang Rimba.
Management Planning of Bukit Duabelas National Park (RPTNBD) issued by office of Natural Resources Conservation (BKSDA), Jambi Province, by dividing the park into six different zones (core zone, Rimba zone, Traditional zone, Tourism zone, Used Limited zone, and Rehabilitation zone) and put the dynamics life of Orang Rimba only on traditional zone, causing Orang Rimba have a great process of marginalization from their own natural resources, so that the right to fight back, Orang Rimba did resistance to the demands to restore of economic rights and identity rights, with the birth of RPTNBD policy.
This research is using case study, through a qualitative approach, this study found that the cause of resistance against the policy of The RPTNBD by Orang Rimba, due to the implementation of policies that are not able to accommodate the interests of Orang Rimba. Orang Rimba who are in the region was not as an asset for the sustainability of ecosystem conservation areas. The policy of RPTNBD more forward the ecological economic aspects rather than considering the culture of indigenous peoples living within the conservation area, and the policy is causing Orang Rimba loss of economic resources and the right to carry identity is full of tradition and culture. This study also, the authors found to deal with these RPTNBD policy, Orang Rimba fought Individual Resistence who later evolved into a collective movement. Collective resistance is a form of protest demonstrations, formal resistance, and is customary resistance, in collective resistance that’s very urgent is role of some
xiii
NGOs, especially to build the character of Orang Rimba, the mobilization of the movement, the network and the assistance in every movement of resistance, so resistance is considered effective in voicing demands, while the individual resistance is more closed and the behavior of everyday people are disappointed of Orang Rimba against regulations made by the government policies in RPTNBD.
The findings of this study confirm what is presented by Gurr that people can make resistance when he felt something stolen or respect for his way of life threatened by new developments, besides that, Scott also explains the existence of 'state simplification' where countries trend to legalize and regulate public policy that is too strict and uniform for its own sake, in the middle of groups of different people because of their cultural plurality. So, nothing wrong according to Scott on the already marginalized communities such as this is, they will take the fight either overtly or with the concept of everyday resistance which tends more closed (every day forms of Resistance).
Keywords: RPTNBD Policy, Marginalization of Orang Rimba at Bukit Duabelas National Park, Resistance of Orang Rimba.
1
BAB I PENDAHULUANA. LATAR BELAKANG
Studi ini difokuskan pada resistensi yang dilakukan oleh Orang Rimba Bukit Duabelas Propinsi Jambi dalam menghadapi Kebijakan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD). Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Dua Belas atau disingkat RPTNBD merupakan program resmi negara yang dikeluarkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Propinsi Jambi. Program ini dijadikan sebagai acuan bagi terlaksananya visi dan misi pembentukan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), yang kemudian disahkan pada Bulan Desember tahun 2004. Program ini muncul menurut BKSDA dikarenakan adanya tekanan dan ancaman terhadap keutuhan dan kelestarian kawasan TNBD yang relatif sudah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan, terutama yang berkaitan dengan kegiatan illegal logging serta perambahan areal untuk kepentingan perladangan maupun perkebunan, disamping itu juga diasumsikan adanya pergeseran nilai dan orientasi – yang berkonotasi negatif – dari sekelompok Orang Rimba, seperti penjualan lahan perladangan dan keterlibatan dalam kegiatan illegal logging (Wawancara dengan Ridwan Kepala Balai TNBD , Agustus 2010)
Sebagai mana yang tertuang di dalam dokumen RPTNBD bahwa, tujuan dari Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas ini, dalam rangka mewujudkan fungsi TNBD sebagai kawasan pelestarian alam dan kawasan budaya komunitas Orang Rimba melalui sistem zonasi, yang kemudian diharapkan memberikan sumbangan optimal bagi peningkatan kesejahteraan
2
dan mutu kehidupan masyarakat adat dan lokal serta pembangunan daerah dan nasional yang mengangkat citra pengelolaan konservasi nasional.
Taman Nasional Bukit Duabelas sendiri mempunyai luas wilayah 60.500 hektar1 dan secara administratif berada di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Batanghari, Kabupaten Tebo, dan Kabupaten Sarolangun, Propinsi Jambi. TNBD dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem. Selain ditetapkanya sebagai taman nasional, ada bentuk pengelolaan kawasan konservasi lainnya yaitu, Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Sedangkan kebijakan pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas berisi tentang pembentukan zonasi, yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona rehabilitas, zona tradisional dan zona lain yang menyesuaikan dengan kebutuhan setempat. Zona inti menurut aturannya adalah kawasan yang tidak boleh dimasuki, diakses, dan dimanfaatkan oleh masyarakat, termasuk masyarakat adat, demikian pula dengan zona rimba dan zona rehabilitas, dalam hal ini Orang Rimba sebagai masyarakat adat yang sudah lama mendiami kawasan bukit Duabelas hanya boleh menempati (menjalankan aktifitas ekonomi dan tradisi) zona tradisional yang berada pada pinggir kawasan TNBD. (Lihat peta penempatan zona
“Bab II”)
Secara umum kondisi Orang Rimba saat ini menurut pandangan penulis terbagi menjadi dua kelompok, yaitu; kelompok
1 Luas Taman Nasional Tersebut setelah adanya ketetapan dari menteri kehutanan RI untuk merubah status Cagar Biosfer Bukit Duabelas menjadi Taman Nasional Bukit Dudabelas sekaligus menambah luas arealnya menjadi 60.500 ha. Kemudian baru pada Tahun 2001, tepatnya 26 Januari 2001 Presiden RI Abdurahman Wahid mendeklarasikan terbentuknya Taman Nasional Bukit Duabelas.
3
yang masih bertahan di dalam hutan, mereka mempertahankan keorisinalitasnya dengan tetap menjalankan dinamika kehidupan rimba berdasarkan tata aturan adat yang mereka milik, dengan ciri khas kehidupan yang masih berpindah-pindah. kemudian kelompok yang sudah hidup menetap dengan interaksi sosial yang sudah cukup intens kepada masyarakat di luar komunitas mereka, dan sudah mulai meninggalkan kehidupan rimba serta berkeinginan kuat menjadi masyarakat biasa, kelompok ini sudah mulai hidup menempati perumahan yang difasilitasi oleh Dinas Sosial (Depsos) yang berada di luar kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas.
Berdasarkan kondisi kekinian Orang Rimba tersebut, penelitian ini lebih mengarakan dan melihat pada resistensi yang dilakukan oleh Orang Rimba dalam kawasan, tentunya mereka yang masih kuat mempertahankan jati diri sebagai Orang Rimba dengan tetap berpegang teguh pada kehidupan hutan, serta kehidupan yang sarat akan tradisi dan budaya yang sekaligus menjadi bukti eksisnya identitas yang mereka miliki.
Saat ini dapat disebutkan bahwa Orang Rimba merupakan salah satu masyarakat adat yang dikategorikan sebagai “Masyarakat Ekosistem” yang tersisa, masyarakat yang telah beradaptasi dan bergantung pada ekosistem lokal. Identitas-identitas kolektif, tradisi budaya, dan praktek-praktek Orang Rimba membuat mereka berjuang mepertahankan identitasnya sebagai sebuah ekosistem yang produktif (Fikret Berkes1999, h.16). Masyarakat ekosistem memprotes ketidak adilan sosial dan ekologis pada saat modal investasi membiayai pengeksploitasian Sumber Daya Alam (SDA) secara legal maupun illegal dari tanah-tanah adat yang ditempati oleh masyarakat ekosistem. Pengikisan budaya dan gangguan para penjajah baik melalui tangan negara atau melalui tangan pihak- pihak swasta mengancam identitas kolektif masyarakat adat beserta
4
sumber daya utama yang menjadi tumpuan hidup mereka. ( Janis B Alcorn 2001, h.16)
Orang Rimba atau yang sering disebut juga dengan Suku Anak Dalam yang ada di Propinsi Jambi, merupakan sebuah kelompok masyarakat adat yang dari dulu hingga saat ini masih tetap memperjuangkan keorisinilannya di tengah-tengah gempuran kekuatan kebijakan yang lahir dari tangan-tangan pemerintah, terutama berkaitan dengan upaya pemerintah untuk mengalifungsikan hutan sebagai tempat pengembaraan Orang Rimba menjadi lahan perkebunan, lahan pemukiman maupun perubahan status hutan menjadi kawasan konsevasi (Taman Nasional).
Orang Rimba merupakan masyarakat pecinta hutan sejati, mereka senantiasa menggunakan seluruh ruang di dalam hutan sebagai tempat membangun interaksi sosial sesama komunitas Orang Rimba. Kepercayaan, adat dan tradisi muncul dari proses interaksinya dengan hutan, bagi mereka hutan bukan saja diartikan sebagai sumber kehidupan akan tetapi juga merupakan simbol sebuah kepercayaan, merubah hutan berarti merubah kodrat tuhan maka akan timbul kerusakan hutan, tidak ada lagi binatang buruan, sumber daya hutan lainya akan sulit ditemukan akhirnya berdampak pada sumber perekonomian.
Keberadaan Orang Rimba saat ini adalah keberadaan yang terancam terhadap arus perubahan, terutama perubahan yang ingin dilakukan oleh negara. Kebijakan pemerintah mengatur dan ikut campur dalam kehidupan Orang Rimba tentu menjadi ancaman tersendiri bagi ekositem mereka, karena bagi Orang Rimba kehidupan mereka adalah hutan. Orang Rimba mempunyai aturan adat dalam menjaga kelestarian dan keberlangsungan hutan TNBD, dengan aturan adat tersebut mereka memafaatkan hasil hutan Bukit Duabelas sebagai sumber ekonomi kehidupan, disamping itu ragam
5
tradisi dan budaya menjadi kearifan tersediri dalam kehidupan hutan mereka, dan semua kearifan tradisi dan adat istiadat sebagai identitas tersebut berjalan seiring dengan proses alamiah kehidupan hutan yang mereka jalani.
Dengan lahirnya kebijakan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas yang dikeluarkan oleh pemerintah Propinsi Jambi melalu Badan Konservasi Sumber Daya Alam serta membagi-bagi hutan tempat tinggal Orang Rimba dalam beberapa zona berbeda, berdampak pada kehidupan Orang Rimba, baik ekonomi maupun kehidupan yang sarat akan tradisi dan budaya.
Dengan kata lain RPTNBD merupakan ancaman bagi hak Orang Rimba untuk tetap tinggal, mengelola dan memanfaatkan serta menjalankan tradisi dan Budaya di Bukit Dubelas. Lahirnya RPTNBD jelas-jelas merupakan bentuk kesewenang-wenangan (dalam pandangan Orang Rimba) yang dilakukan oleh BKSDA Jambi, tanpa pernah berunding dengan Orang Rimba yang mendiami daerah tersebut, BKSDA secara sepihak telah memutuskan masa depan Orang Rimba sesuai dengan keinginannya, tentunya kebijakan tersebut juga akan menjauhkan kehidupan hutan Orang Rimba, ada satu kalimat terkenal dalam komunitas Orang Rimba yang bunyinya, hutan adalah rumah kami, kalimat itu sangat tepat untuk menggambarkan arti penting hutan bagi Orang Rimba Bukit Duabelas, yang juga merupakan Sesudungon tempat Orang Rimba berlindung dari panas dan hujan yang merupakan rumah bagi Orang Rimba dimanapun saja berada.
Setidaknya lahirnya kebijakan RPTNBD telah menghilangkan 2 (dua) hak Orang Rimba sebagai warga negara yang mempuyai hak dalam menetukan arah kehidupan mereka sendiri, hak tersebut yaitu; pertama, Hak Ekonomi, kebijakan RPTNBD dengan hanya menempatkan Orang Rimba pada zona tradisional menyebabkan sumber-sumber ekonomi mereka hilang,
6
mereka tidak bisa memasuki zona lain dengan hasil hutan yang melimpah untuk berburu, meramu, maupun memafaatkan hasil hutan lainya, padehal sebelum adanya kebijakan RPTNBD seluruh kawasan Bukit Duabelas merupakan areal pengembaraan mereka untuk mencari sumber ekonomi, baik dimamfaatkan sendiri maupun dijual kepada penduduk desa interaksi untuk menghasilkan barang-barang yang tidak bisa mereka peroleh di hutan, sehingga hak ekonomi ini berkurang bahkan tidak bisa mereka lakukan lagi.
Kedua, Hak Untuk Menjalankan Identitas, hak identitas ini menjelaskan bahwa setelah lahirnya kebijakan RPTNBD Orang Rimba tidak dapat menjalankan kehidupan yang sarat akan tradisi dan budaya sebagai bukti eksisnya identitas yang mereka miliki.
Orang Rimba melaksanakan tradisi Besesandingon yaitu perpindahan tempat tinggal dikarenakan adanya penyakit menular di tempat tinggal asal, kemudian mereka juga melaksanakan tradisi melangun ketika Orang Rimba meninggal maka kawasan tempat meninggalnya dianggap tidak baik lagi untuk ditinggali karena akan membawa sial, oleh sebab itu mereka harus berpindah tempat mencari tempat baru (Achmanto Mendatu 2004, h. 3). Tradisi maupun kepercayaan seperti ini tentu tidak dapat mereka lakukan lagi ketika ruang hutan yang dijadikan sebagai tempat untuk menjalankan tradisi tersebut sudah semakin sempit, hanya zona tradisional saja yang boleh mereka tempati sedangkan dalam menjalankan tradisi tersebut mereka diharuskan pindah pada kawasan yang lain yang saat ini dijadikan zonan larangan bagi Orang Rimba.
Terlepas dari hilangnya dua hak tadi, keberadaan Orang Rimba pada zona tradisional yang berada dipinggir kawasan ternyata menambah permasalahan baru dalam kehidupan mereka.
Zona tradisional berdampingan langsung dengan penduduk desa- desa interaksi yang sebagian besar kehidupanya bersumber dari
7
hutan, sehingga Orang Rimba harus berkompetisi dengan mereka dalam mencari kehidupan dari sumber hutan, tentu ini menjadi kompetisi yang tidak sehat karena Orang Rimba masih mengelola hutan dengan pola tradisional, sedangkan penduduk-penduduk desa interaksi lebih maju dalam hal mengelola hutan, kondisi seperti ini lah yang tidak jarang menimbulkan konflik, dan dalam berkonflik Orang Rimba selalu kalah sehingga pada akhirnya mereka termarjinalkan dari tanah mereka sendiri.
Terhadap kebijakan yang demikian (RPTNBD) sangat terlihat pemeritah tidak memposisikan Orang Rimba di dalam kawasan TNBD sebagai sebuah aset kearifan lokal penjaga keberlangsungan ekosistem kawasan konservasi. Kebijakan RPTNBD lebih mengedepankan aspek ekonomi ekologis ketimbang memperhatikan kultur kehidupan masyarakat adat di dalam kawasan konservasi, sehingga kebijakan RPTNBD ini lebih cendrung menggunakan pendekatan instrumentalis, dengan implemetasi yang cendrung top down (state centrise), presfektif negara dengan sifat memaksa, seharusnya kebijakan RPTNBD ini menggunakan implementasi dengan pendekatan Botton Up dimana implementasi kebijakan tersebut mengsinkronkan content dengan contexts kebijakan, dengan pendekatan ini kebijakan RPTNBD dapat dipahami bukan hanya merubah ruang interaksi sosial kehidupan Orang Rimba dari satu suasana ke suasanan yang lain saja (atas nama memanusiakan manusia), akan tetapi kebijakan disesuaikan dengan sistem nilai sosial budaya yang telah melembaga dalam komunitas Orang Rimba.
Sehingga pada akhirnya kebijakan dengan presfektif negara ini lah menimbulkan resistensi dari komunitas Orang Rimba Bukit Duabelas. Resistensi Kolektif dan Individual mewarnai kearifan perlawanan yang dilancarkan oleh Orang Rimba dalam menghadapi kebijakan RPTNBD, perlawanan bukan lah sebuah gerakan yang
8
rovolusioner yang hendak menggulingkan sebuah kekuasaan, akan tetapi tujuan perlawanan sama bersahajanya dengan nilai yang diperjuangkannya, perlawanan hanya semata-mata menuntut “hak”
(hak Identitas dan Hak Ekonmi) yang telah dirampas. Kemenangan perlawanan bukan menjadi tujuan akhir, tujuan akhir dari perlawanan ketika hak yang menjadi keyakinan Orang Rimba itu kembali dan mereka dapat menjalankan kehidupan yang selaras dengan identitas yang mereka perjuangkan.
Puncak dari perjuangan secara khusus memberikan dampak, sehingga pemerintah merevisi kebijakan RPTNBD yang mengakomodir kepentingan Orang Rimba, dan secara umum perjuangan telah mampu merubah pandangan masyarakat luas tentang keberadaan Orang Rimba yang bukan sebagai masyarakat lemah yang tidak berdaya ketika ditindas atau masyarakat yang diam dan pasif, sesungguhnya Orang Rimba selalu berjuang melakukan perlawanan terhadap ketidak adilan sosial yang mereka terima, dan politik resistensi secara tidak langsung menjadi sebuah bukti bargaining position yang ingin mereka sampaikan, penolakan yang dilakukan semata-mata bukti bahwa segalah bentuk kebijakan pemerintah ternyata tidak jarang akan membawa dampak buruk terhadap kesensaraan kehidupan yang mereka jalani.
B. RUMUSAN MASALAH Permasalahan Pokok:
“Bagaimana resistensi Orang Rimba Bukit Duabelas dalam menghadapi Kebijakan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD) dengan tuntutan (1) Mengembalikan hak ekonomi di Bukit Duabelas (2) Mengembalikan hak identitas dalam menjalankan tradisi budaya ”
9
Pembahasan Terhadap Permasalahan Pokok Meliputi Pertayaan Berikut:
1) Apa penyebab munculnya resistensi Orang Rimba terhadap kebijakan RPTNBD?
2) Bagaimana bentuk resistensi yang dilakukan oleh Orang Rimba?
3) Bagaimana tingkat efektivitas gerakan resistensi Orang Rimba dalam mewujudkan tujuan gerakan (Mengembalikan hak ekonomi di Bukit Duabelas dan Mengembalikan hak identitas dalam menjalankan tradisi budaya) ?
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian:
1. Menganalisis penyebab kemunculan gerakan resistensi Orang Rimba dalam kaitanya dengan historisitas keberadaan mereka di Bukit Duabelas, dinamika kehidupan mereka di Bukit Duabelas (aspek tradisi, ritual, pemenuhan kehidupan ekonomi) dan implementasi kebijakan Rencanan Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas.
2. Menganalisis bentuk dan proses pembentukan gerakan resistensi yang dilakukan oleh Orang Rimba sebagai upaya mengembalikan hak ekonomi di Bukit Duabelas dan hak identitas dalam menjalankan tradisi budaya sebagai bukti eksisnya sebuah komunitas mereka.
3. Menganalisis tingkat efektivitas perlawanan Orang Rimba dalam menyuarakan tuntutan untuk mengembalikan hak ekonomi dan hak identitas yang hilang seiring dengan lahirnya kebijakan RPTNBD.
Mamfaat Penelitian
1. Akademis, untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang kajian gerakan perlawanan yang mempertahankan
10
identitas sosial sebagai bukti eksisnya sebuah komunitas, khususnya mengambarkan kuatnya sense of belonging terhadap sebuah identitas.
2. Praktis, Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pihak terkait dalam pengelolaan kebijakan terhadap keberadaan Komunitas masyarakat Rimba yang merupakan masyarakat adat yang tergolong etnis minoritas, sebuah warisan budaya yang sekaligus ciri khas kearifan lokal yang ada di Propinsi Jambi.
E. KERANGKA TEORITIK
Penelitian ini menggunakan penjelasan dari beberapa konsep yang menjadi fokus kajian dalam penelitian. Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak, kejadian keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep, penelitian diharapkan akan dapat menyederhanakan pemikiran dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian (events) yang berkaitan satu dengan lainnya (Masri Singarimbun 1995, h.33). Peranan konsep dalam penelitian sangat besar karena konsep menghubungkan dunia teori dan dunia observasi, antara abstraksi dan realitas. Dalam penelitian sosial peranannya menjadi bertambah penting karena “realitas”
sosial menjadi perhatian ilmu sosial, banyak yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia (Masri Singarimbun 1995,h.34). Dalam penelitian ini terdapat konsep-konsep yang perlu dijelaskan yaitu: Politik Resistensi dan Kebijakan Publik. Peneliti mencoba menjadikan konsep-konsep tersebut sebagai pisau analisis dimensi politik, sosial, dan ekonomi untuk menganalisis kasus Resistensi Orang Rimba menghadapi Kebijakana Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas Propinsi Jambi.
1. Politik Resistensi
1.1. Penyebab Munculnya Resitensi
11
Resistensi atau resistance diartikan dengan kata
‘perlawanan’ (Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry 1994.h,673). Sepintas memang sangat sesui mengartikan resistance dengan kata perlawanan. Akan tetapi, ketika dilihat dari psiko__linguistik, kata perlawanan dalam sense__bahasa Indonesia memiliki konotasi yang mengadung kekuatan
‘eksternal’. Artinya, kata ini selalu mengilustrasikan adanya dua pihak yang saling berkonfrontasi satu sama lain. Kedua pihak tersebut memiliki kekuasaan masing-masing yang ’diadu’ untuk saling meruntuhkan. Ketika kedua kekuasaan tersebut diadu untuk saling meruntuhkan, di sinilah perlawanan tersebut terjadi.
Resistensi sebagai sebuah gerakan perlawanan, menurut Blumer kemunculannya disebabkan adanya kondisi yang penuh kegelisahan, dikarenakan perasaan ketidak puas terhadap kehidupan sehari-hari serta adanya keiginan dan harapan untuk meraih tatanan hidup yang baru (Herbert Blumer 1969.h, 8).
Kemudian Scott menggambarkan dalam beberapa kasus perlawanan masyarakat kepada negara, kemunculanya disebabkan adanya ‘simplifikasi negara’ (dalam presfektif Scott), dimana negara cenderung melegalisasi dan meregulasi kebijakan publik yang terlalu ketat dan seragam untuk kepentingan sendiri, di tengah kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda-beda karena pluralitas kebudayaan yang mereka miliki. (James C. Scott 1981, h. 300)
Kemudian Ted Robert Gurr (1971) membuat penjelasan tentang penyebab munculnya resitensi (kekerasan politik) dengan menggunakan konsep "perampasan" (deprivation).
Menurut Gurr yang menyebabkan orang melakukan resistensi adalah perampasan. Orang bisa melakukan resistensi jika ia merasa sesuatu yang dihargainya dirampas atau way of life-nya terancam oleh perkembangan baru. Rasa dirampas ini menurut
12
Gurr disebut "relative deprivation". Perasaan ini muncul akibat tidak sesuainya keinginan dengan kemampuan mencapai apa yang diinginkan. Kemampuan untuk mencapai keinginan dirasakan ada, tapi upaya mencapainya dihambat atau digagalkan.
Ketika kondisi yang menimbulkan perasaan dirampas maka akan menuai sebuah kekerasan atau perlawanan, dengan kata lain perlawanan ini merupakan manifestasi dari letusan frustasi emosional di kalangan kaum marginal (orang terpinggirkan) yang rasa keadilannya Terkoyak. Gurr menyebutkan bahwa terjadinya kekerasan merupakan manisfestasi dari makin besarnya ”deprivasi relatif” yang menyangkut berbagai kehidupan masyarakat. Maksudnya, adanya kesenjangan yang lebar antara nilai harapan seperti keterbukaan, demokratisasi dan kehidupan yang lebih baik dengan nilai kemampuan untuk mendapatkan nilai harapan itu.
Gurr juga menyampaikan bahwa perlawanan-perlawanan pada umumnya merupakan serangan terhadap penguasa. Yang diserang adalah pihak yang dianggap menjalankan kekuasaan, termasuk golongan pesaing politik, pemimpin yang berkuasa serta kebijakan yang dikeluarkan oleh negara (penguasa).
Merekalah yang dianggap telah merampas. Gurr menyebutkan kemunculan resistensi disebabkan : Pertama, timbul perasaan tidak puas di kalangan masyarakat. Ini di sebabkan ketimpangan antara "hak" dan "kemampuan". Kemampuan untuk mendapatkan hal-hal yang diinginkan dianggap sudah ada, sementara hak untuk mencapainya dihambat oleh kekuatan penguasa. Rasa tidak puas tersebut kemudian berkembang menjadi politis. Politisasi inilah yang berfungsi memberi makna sosial pada suatu ketidak puasan pribadi (individual). Ia juga menyebarluaskan rasa solider dan keyakinan bahwa kemarahan
13
yang dirasakan bukan sekadar mengguncang kepentingan pribadi, tapi sudah menyangkut kepentingan orang banyak (kolektif). Kedua, kemunculan resistensi disebabkan adanya sarana untuk menyalurkan rasa tidak puas tersebut.
Kemurkaan akan meledak dalam bentuk tindak kekerasan yang ditujukan pada sasaran penguasa dan kaki-tangannya.
Dalam kehidupan masyarakat majemuk, yang paling dikwatirkan orang dan paling dicemasi ketika terjadinya perampasan dalam kesejahteraan ekonomi. Pada masyarakat semacam ini orang kurang berminat pada masalah-masalah kemasyarakatan, dan sangat kurang peduli pada hal-hal yang menyangkut partisipasi politik, status, dan ideologi. Kondisi Revolusioner ketika perasaan yang dirampas itu cukup meluas, maka ia akan menemukan sendiri pembenaran politisnya. Bila politisasi semacam itu tidak diberi panyaluran yang wajar atau tidak ditanggapi secara baik oleh penguasa, maka gerakan politik yang didasari perasaan dirampas akan bereaksi dalam bentuk kemarahan dan perlawanan. Meledaknya perlawanan menjadi tindak kekerasan tergantung pada bagaimana penguasa menanggapi kemarahan yang sudah meningkat menjadi gerakan politis.
Dalam melihat proses sosial ditengah-tengah masyarakat yang meledak dalam bentuk kekerasan tadi, Gurr menyebut ada dua macam kondisi sosial yang menonjol. Pertama, "perasaan dirampas yang mengendur" (decremental deprivation). Gejala- gejala yang tampak dalam bentuk ini antar lain: (1). Merosotnya pengaruh dan status golongan kelas menengah (2). Hilangnya pengaruh elit (3). Dilarangnya golongan oposisi berpolitik (4).
langkahnya kesempatan kerja bagi pekerja kasar (5).
Terganggunya keadaan keamanan (6). Krisis ekonomi melanda bangsa; (7). Meningkatnya perasaan tak aman karena
14
disintegrasi struktur sosial (8). Buyarnya sistem nilai. Bentuk perasaan dirampas kedua dinamakan "perasaan dirampas yang berkepanjangan" (progressive deprivation). Bentuk ini sering muncul jika kemajuan ekonomi tiba-tiba disusul oleh kemerosotan yang tajam, atau kondisi masyarakat yang diserang tiba-tiba oleh suatu kemunduran perkembangan, keadaan seperti ini lah yang akibatnya dapat berbentuk tindakan-tindakan revolusioner.
Pandangan Gurr memberikan pembenaran terhadap kasus perlawanan Orang Rimba menghadapi Kebijakan RPTNBD, secara umum perlawanan ini muncul ketika Orang Rimba merasa sesuatu yang dihargainya dirampas atau way of life-nya terancam oleh perkembangan baru. Dengan ungkapan sederhana Orang Rimba akan melawan ketika sumber ekonomi yang menjadi hak mereka dan dinamika kehidupan yang menjadi indentitas mereka dirampas, kondisi seperti ini lah yang memunculkan letusan frustrasi emosional di kalangan Orang Rimba sebagai masayarakat adat yang rasa keadilannya terkoyak setelah lahirnya kebijakan RPTNBD.
1.2. Bentuk-Bentuk Resistensi
Perlawanan sejarah dari orang-orang yang lemah, tertanam erat dalam realitas pengalaman sehari-hari yang bersahaja, namun berarti musuh bukanlah kekuatan-kekuatan sejarah yang impersonal, melainkan orang-orang nyata. Nilai-nilai yang dipertahankan oleh para kaum lemah umumnya biasa-biasa saja.
Titik tolak mereka adalah praktik-praktik dan norma-norma yang terbukti efektif di masa lampau, dan kelihatan mengandung harapan akan mengurangi atau membalikkan kerugian-kerugian yang telah mereka derita. Tujuan perlawanan sama bersahajanya dengan nilai yang diperjuangkannya (James C. Scott 2000. h, 454).
15
Scott, dengan konsep perlawanan sehari-hari (every day forms of resistence) dalam kasus perlawanan petani, mengartikan perlawanan sebagai perjuangan yang biasa-biasa saja, namun terjadi terus menerus, dari kaum tani terhadap orang-orang yang berupaya menarik tenaga kerja, makanan, sewa dan keutungan dari mereka (Scott 1985. h, 303).
Kebanyakan perlawanan bentuk ini tidak sampai pada tarap pembangkangan terang-terangan secara kolektif. Senjata yang digunakan oleh kelompok-kelompok tidak berdaya, seperti mengambil makanan, menipu, berpura-pura patuh, mencuri kecil-kecilan, pura-pura tidak tahu, mengupat dibelakang, membakar, melakukan sabotase, menolak sewa dan pajak. (Scott 1994, h. 302)
Menurut Scott tujuan perlawanan petani bukanya secara langsung menggulingkan atau mengubah sistem dominasi, melainkan lebih terarah untuk tetap hidup dalam sistem itu.
Adapun perlawanan sehari-hari adalah informal dan sering tidak terbuka. Scott juga menjelaskan perbedaan antara perlawanan sungguh-sungguh bersifat terorganisir, sistematis; berprinsip atau tanpah pamri mempunyai akibat-akibat revolusioner; dan mengadung tujuan meniadakan dominasi. Sebaliknya, perlawanan insidental bersifat; tidak terorganisir, tidak sistematis, individual, bersifat untung-untungan, tidak berakibat revolusioner, dan menyesuaikan sistem dominan.
Pada pembahasan yang lain Scott juga menjelaskan bahwa resistensi ini ada yang berwujud nyata (terbuka) ada yang tidak nyata (tertutup). Resistensi berwujud nyata argumentasinya bersifat (1) Organik, sitematik dan kooperatif (2) Berprinsif tidak mementingkan diri sendiri, (3) Tidak berkonsekuwensi revolusioner (4) Mencakup gagasan atau maksud-maksud yang meniadakan basis dominasi itu sendiri. Sedangkan resistensi
16
yang tidak nyata argumentasinya bersifat (1) Tidak teratur, tidak sistematik dan terjadi secara individual (2) Bersifat oportunistik dan mementingkan diri sendiri (3) Tidak berkonsekwensi revolusioner (4) Menyiratkan dalam maksud atau arti mereka akomodasi terhadap sistem dominasi. (Scott 2000. h, 385-386)
Scott menyampaikan bahwa resistensi muncul berbasis pada hubungan antar kelas dan pertarungan antar kelas, hal tersebut berlaku sebagai tindakan resistensi perorangan maupun resistensi kolektif, dan resistensi kelas ini memuat tindakan- tindakan yang dilakukan kelas yang lemah atau yang termarjinalkan (Scott menyebutkan kelas yang kalah) yang ditujukan untuk menolak klaim yang dibuat kelas-kelas yang kuat atau kelas yang menindas (Scott menyebutkan kelas atas) kepada kelas yang lemah. (James C. Scott 2000. h,382).
Masyarakat marjinal menurut Scott akan mendapatkan kesempatan yang cukup aman, untuk mengungkapkan kemampuan mereka yang menge-sankan dengan cara memutar- balikkan konsepsi-konsepsi kaum penindas. Mereka memberi tekanan kepada nilai-nilai demikian, dan kalau perlu memanipulasinya demi kepentingan-kepentingan materi dan simbolis mereka sebagai sebuah kelas. Mereka menolak karakterisasi yang diberikan para penindas terhadap mereka (Scott 2000. h, 399-400). Dan kemampuan imajinasi kelompok- kelompok yang dikuasai tetaplah ada untuk membalik atau menolak ideologi-ideologi dominan yang universal dan dianggap sebagai bagian substantif dari peralatan budaya atau pun keagamaan mereka yang baku. (Scott 2000. h, 432).
Kasus resistensi Orang Rimba terhadap Kebijakan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas Propinsi Jambi, sangat memperlihatkan bagaimana dominasi negara menciftakan idiologi-idiologi dominan yang universal dalam mengatur
17
kehidupan Orang Rimba di bukit Duabelas, sehingga sangat wajar ketika Orang Rimba mempunyai kesempatan cukup mereka akan melawan segalah bentuk dominasi negara yang mencoba mengatur mereka tanpa memperhatikan nilai-nilai tradisi budaya yang telah melembaga dalam kehidupan mereka.
Orang Rimba sebagai masyarakat adat yang terus berusaha mempertahankan kehidupan maupun identitas yang diyakini, tentu perlawanan dijadikan senjata untuk menghentikan segalah bentuk aksi yang diperankan oleh negara sebagai kelas yang kuat, yang akan merugikan kehidupan maupun identitas bagi komunitas masyarakat Rimba. Reaksi semata-mata merupakan sifat resistensi yang dilakukan oleh masyarakat Rimba untuk mengcounter segala bentuk ketidak cocokan yang dibuat oleh negara dalam upaya mengatur kehidupan yang mereka jalani.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Solichin Abdul Wahab bahwa perubahan-perubahan tertentu dalam sikap-sikap kelompok masyarakat terhadap tujuan dari hasil kebijakan publik memaikan peran yang cukup signifikan dalam proses implementasi, kegagalan sebuah kebijakan dalam proses implementasinya bisa berasal dari tidak adanya dukungan atau malah adanya resistensi terhadap sebuah kebijakan publik yang dikeluarkan. (Solichin Abdul Wahab 1991.h,50).
Resistensi yang dilakukan oleh Orang Rimba adalah gerakan kesaharian individual, walaupun dilakukan secara kolektif sangat jarang dilakukan dengan bentuk kekerasan yang radikal. Orang Rimba melakukan penolakan-penolakan kecil yang mencoba melanggar segalah ketentuan Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas. Terkadang Perlawanan tersebut nyata dan terbuka (lebih bersifat kolektif), namun terkadang juga perlawanan tersebut tidak nyata atau sama
18
sekali tertutup yang kemudian dilancarkan secara diam-diam ( Lebih bersifat individual).
Berkaitan dengan argumentasi Scott bahwa perjuangan maupun perlawanan orang-orang yang termarjinalkan akan selaluh kalah, namun sedikit berbeda dengan temuan penulis dalam kasus resistensi yang dilakukan oleh Orang Rimba dalam menentang kebijakan RPTNBD, Orang Rimba yang dikenal hidup dalam kondisi yang termarjinalkan menampilkan perlawanan yang mengesankan, sehingga bisa dikatakan bahwa kearifan perlawanan yang dilakukan oleh Orang Rimba dinilai efektif dalam menyuarakan tuntutan-tuntutan yang mereka sampaikan. Keberhasilan perlawanan yang dilakukan oleh Orang Rimba dalam menentang kebijakan RPTNBD tidak terlepas dari munculnya kesadaran kolektif dan adanya peran pihak-pihak eksternal yang membantu, terutama para NGO yang bergerak dibelakang layar yang mengorganisasikan para pemimpin- pemimpin adat untuk mengajukan keberatan dan protes terhadap lahirnya kebijakan RPTNBD.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang lemah, termarjinalkan ataupun Orang yang kalah (dalam argumentasi Scott) yang melakuka aksi perlawanan secara individu akan tetap menang dalam mengalahkan dominasi negara ketika munculnya kesadaran kolektif dalam komunitas mereka serta adanya dorongan kekuatan eksternal yang membantu mereka untuk mengorganisasikan diri sehingga akan tetap mampu menampilkan perlawanan yang mengesankan dengan membalikan konsepsi-konsepsi dan indiologi-idiologi dominan yang diperankan oleh negara. Sehingga menurut analisis penulis bahwa tesis yang disampaikan oleh Scott bertolak belakang dengan hasil temuan penulis, dimana Scott
19
lebih mengutarakan bahwa orang-orang yang termarjinalkan akan selalu kalah dalam kondisi apapun.
Dalam tahap kemunculan sebuah perlawanan serta proses berkembangnya sebuah aksi perlawanan, Smelser membuat konsep ’value-added’ (Smelser 1976, h. 12-17). Smelser menyebutkan ada 5 (lima) Tahap kemunculan dan proses berkembanganya sebuah aksi perlawanan. (1) Pernyataan spontan tentang ketidakpuasan bersama. (2) Pemilihan pimpinan gerakan. (3) Transformasi tindakan tidak terstruktur menjadi tindakan terorganisir. (4) Munculnya Konfrontasi dengan lawan gerakan. (5) Pencapaian hasil.
Tahapan-tahapan kemunculan gerakan sebagaimana yang disampaikan oleh Smelser menggabarkan sebuah evolusi gerakan perlawanan Orang Rimba dari perlawanan individual yang merupakan prilaku keseharian mereka, menjadi perlawanan kolektif yang merupakan gerakan bersama berdasarkan kesadaran kolektif yang muncul.
2. Kebijakan Publik
2.1. Pelaksanaan Kebijakan Publik
Idealnya sebuah kebijakan publik dapat diartikan bahwa kebijakan tersebut berhasil ketika diterapkan, kebijakan dirumuskan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan, setelah diimplementasikan kebijakan tidak menimbulkan resistensi dari objek kebijakan dan yang terpenting kebijakan dapat berdampak positif dan memberikan kemamfaatan terhadap pelaksana (implementor) kebijakan sebagai wujud suksesnya sebuah tujuan, dan yang terpenting lagi berdampak positif dan memberikan mamfaat kepada objek (masyarakat) kebijakan sebagai bentuk kesejahteraan mampun ketertiban.
20
Kebijakan publik dengan pemahaman yang sederhana dirumuskan melalui defenisi yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah segalah sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah. Defenisi tersebut memberikan sebuah gambaran bahwa kebijakan publik merupakan aturan main dalam kehidupan bersama, baik berkenaan dengan hubungan antar warga ataupun hubungan antar warga dengan pemerintah. (Rian Nugroho 2003, h. 4).
Terlepas dari pemahaman sederhana yang telah dibangun untuk melengkapai pemahaman tentang kebijakan publik, para ilmuan politik telah lebih dahulu menyampaikan defenisi tentang kebijakan publik, sebagaimana defenisi kebijakan publik yang disampaikan oleh Chadler dan Plano, menurut mereka bahwa kebijakan publik adalah pemamfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah- masalah publik atau pemerintah. Sehingga kebijakan tersebut diharapkan dapat membantu para pelaksana pada tingkatan birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Namun pada sisi yang berbeda Chadler dan Plano juga mengungkapkan juga bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.
Sama halnya dengan pemahaman sederhana yang telah dibangun diatas Thomas R. Dye memberikan pengertian dasar mengenai kebijakan publik sebagai apa yang tidak dilakukan maupun yang dilakukan oleh pemerintah, kemudian pengertian ini dikembangkan dan diperbaharui oleh ilmuan-ilmuan yang berkecimpung langsung dalam ranah kebijakan publik sebagai penyempurnaan karena arti tersebut jika diterapkan, maka ruang
21
lingkup studi ini menjadi sangat luas, disamping kajiannya yang hanya terfokus pada negara sebagai pokok kajian. (di dalam Hesel Nogi Tangkilisan, 2003. h, 1)
Kemudian untuk melengkapi pemahaman tentang kebijakan publik Anderson memberikan defenisi kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan- badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah: (1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan yang berorientasi pada tujuan (2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah.
(3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan (4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu (5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
Sebagai perbandingan Woll menyatakan bahwa kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui sesuatu yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dalam pelaksanaan kebijakan publik terdapat tiga tingkatan pengaruh sebagai implikasi dari tindakan pemerintah, yaitu: (1) adanya pilihan kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainya yang bertujuan menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat. (2) adanya output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan, pengangaran, pembentukan personil dan membuat
22
regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat (3) adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. (di dalam Hesel Nogi Tangkilisan, 2003.
h, 2).
Berangkat dari defenisi dan pemahaman yang telah dibangun diatas tentu tujuan akhir dari kebijakan publik adalah bagaimana merumuskan ataupun menghasilkan sebuah kebijakan yang mampu mengakomodir kepentingan pemerintah namun tidak mengesampingkan kepentingan masyarakat, sehingga ujung dari kebijakan tidak menuai resistensi dari objek kebijakan karna menilai bahwa kebijakan tersebut tidak mampu mengakomodir kepentingan keduabela pihak (subjek kebijakan dan Objek Kebijakan).
Untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang ideal yang tidak menuai kecaman resistensi dari objek kebijakan, maka kebijakan harus melewati proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji.
Oleh karena itu, beberapa ahli politik menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik dan membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kebeberapa tahap. Tujuan pembagian ini untuk memudahkan dalam mengkaji kebijakan publik maupun memudahkan bagi para implementor membuat sebuah kebijakan kemudian menganalisa keberhasilan suatu kebijakan. (Charles Lindblom. 1986, h. 3) . Namun demikian, beberapa ahli mungkin membagi tahap-tahap dengan urutan yang berbeda. Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut (didalam Budi Winarno 2002,h.
28-30). (1) Tahap penyusunan agenda kebijakan. Yang merupakan awal dari proses kebijakan, untuk menentukan masalah-masalah yang akan masuk dalam agenda kebijakan (2)
23
Tahap Pembuatan Formulasi Kebijakan. Masalah yang masuk dalam agenda kebijakan di defenisikan kemudian dicari jalan terbaik, termasuk menentukan apakah objek kebijakan harus diikutkan dalam proses pembutan kebijakan sebagai bahan pertimbangan hasil kebijakan (3) Tahap Adopsi Kebijakan.
Dari sekian banyak alternatif kebijkan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut di adopsi dengan dukungan dari mayoritas melalui consensus. (4) Tahap Implementasi Kebijakan. Pada tahap ini kebijakan dilaksanakan oleh badan-badan administratif dan menyangkut juga sosial politik (4) Tahap Evaluasi Kebijakan. pada tahap ini lah kebijakan itu dilihat apakah mampu menyelesaikan persoalan atau malah menuai resistensi dari objek kebijakan.
Kemudian Hessel Nogis mengatakan bahwa ada prakondisis dimana implementasi kebijakan itu dianggap sukses, pra kondisis tersebut dilihat dari 4 (empat) faktor atau variabel kritis dalam mengimlementasikan kebijkan publik, yaitu: (1) Komunikasi. Agar implementasi menjadi efektif, maka mereka yang bertanggung jawab mengimplementasikan sebuah keputusan mesti tahu apa yang seharusnya mereka kerjakan.
Komando untuk mengimplementasikan kebijakan mesti di transmisikan kepada personalia yang tepat, dan kebijakan ini mesti jelas, akurat dan konsisten. (2) Sumberdaya. Sumber daya yang tepat dengan keahlian yang diperuntukan, informasi yang relevan dan cukup tentang cara untuk mengimplementasikan kebijakan. (3) Disposisi. Jika implementasi adalah untuk melanjutkan secara efektif, maka bukan saja para implementor tahu apa yang harus dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melakukan hal tersebut, melainkan juga mereka mesti berkehendak untuk melakukan sebuah
24
kebijakan. (4) Struktur Birokrasi. Ada struktur birokrasi yang mendukung terhadap proses pembuatan dan pengimplentasian kebijakan (Hessel Nogis S. Tangkilisan 2003, h. 12-13)
Pada sisi yang lain Soenarko menyampaikan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari proses implementasi kebijakan publik, dan faktor ini lah yang juga menentukan idealnya sebuah kebijakan ketika di Implementasikan (Soenarko 1998, h. 185-186). Faktor-faktor tersebut meliputi. (1) Adanya Persetujuan, dukungan dan kepercayaan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat terlibat langsung dalam proses pengambilan kebijakan. (2) Isi dan tujuan kebijakan dimengerti secara jelas. Ada mamfaat yang secara langsung dapat diterimah oleh masyarakat. (3) Pelaksanan mempunyai cukup informasi, terutama mengenai kondisi dan kesadaran masyarakat yang dikenai kebijakan tersebut. Artinya pelaksana kebijakan melakukan riset dan pengkajian terlebih dahulu untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan objek kebijakan (4) Pembagian pekerjaan yang efektif dalam pelaksanaan. Ranah kebijakan tidak terkesan tumpang tindih antara wilayah pemerintah dan wilayah swasta yang menjadi stake holder dalam mensukseskan kebijakan yang diimplemnetasikan. (5) Pembagian kekuasaan dan wewenang yang rasional dalam pelaksanaan kebijaksanaan. Dan (6) Pemberian tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban yang memadai dalam pelaksanaan kebijakan.
Beberapa pandangan yang telah diutarakan diatas, mencoba menggambarkan bahwa proses kebijakan sesunguhnya tidak hanya menyangkut prilaku badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program, melainkan menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat dipengaruhi
25
prilaku dari semua pihak yang terlibat dan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap tujuan kebijakan, baik yang negatif maupun yang positif, sehingga dengan demikian secara sederhana dapat dipahami bahwa tujuan dari kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan dapat direalisasi sebagai hasil dari kegiatan pemerintah.
2. 2. Kegagalan Kebijakan Publik
Dalam proses pembutan kebijakan tidak jarang mengandung resiko dan kegagalan. Kegagalan dalam dalam proses kebijakan mengindikasikan bahwa tujuan akhir dari kebijakan tidak mampu mengakomodir semua pihak-pihak yang mempunyai kepentingan, kebijakan terkesan berpihak pada subjek kebijakan (pemerintah), mengesampingkan objek kebijakan (masyarakat), sehingga masyarakat sebagai objek kebijakan melakukan resistensi terhadap kebijakan yang dikelurkan oleh subjek kebijakan.
Hoogwood dan Gunn membagi pengertian kegagalan kebijakan (Policy Failure) dalam dua kategori, yaitu tidak terimplementasi (non implementastion) dan implementasi yang tidak berhasil (unsuscceful implementation). Kegagalan implementasi kebijakan dikarenakan oleh pelaksanaan buruk (bad execution), kebijakan sendiri dinilai sangat jelek (bad Polcy) atau kebijakan itu bernasib jelek. Untuk bisa memastikan sebuah kebijakan itu bisa diimplementasikan, kebijakan harus dirancang supaya menghasilkan efek sosial yang dikehendaki.
Dan untuk itu lah dibutuhkan desain sebuah implementasi sebagai kerangka kerja operasioanal yang berisi rumusan yang jelas dan komprehenship (dalam Solihin Abdul Wahab 1991,h.
61).
Proses implementasi dapat diartikan sebagai suatu sistem pengendalian untuk menjaga agar tidak terjadi penyimpangan
26
sumberdaya dan penyimpangan dari tujuan kebijakan.
Implemetasi bisa diartikan sebagai apa yang terjadi setelah peraturan perundang-undang ditetapkan. Tugas implementasi adalah sebagai penghubungan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik menjadi hasil (output).
Dalam implementasi, penting untuk mengaitkan content dengan contexts. Isi kebijakan mengandung beban implemetasi dengan sendirinya. Dengan demikian dalam isi kebijakan tersebut harus disertai dengan kerangka pengelolaan konflik, harus dikelola secara seksama dan secara akademis harus ada kerangka konseptual yang kokoh. Hal itu penting mengingat sebab kemampuan terapan sebuah kebijakan sangat dipengaruh oleh besar kecilnya dukungan stake holder, ketetapan perumusan masalah, kekokohan kerangka penanggunlan masalah dan kejelasan, ketersediaan dan pendayagunaan istrumen yang dipakai.
Kegagalan dan keberhasilan sebuah kebijakan adalah muara dari proses kebijakan sampai implementasi kebijakan, tergantung dari sisi kebijakan dan proses implementasinya.
Dalam memahami implementasinya, terdapat beberapa cara, yakni pendekatan istrumentalis, kontekstualis, dan kombinasi.
Pendekatan istrumentalis dalam implemetasinya menggunakan alur pemikiran top-dow, yang dikenal dalam diskursus kebijakan publik. Penganut kebijakan ini fokusnya adalah untuk memastikan istrumen bekerja secara efektif. Proses utamanya melakukan rancangan atau desain yang tetapkan dengan harapan dapat mencapai kebijakan menyeluruh. Titik awal dari top down ini adalah aktifitas dan keputusan yang dibuat oleh pemerintah.
Kemudian Pendekatan kontekstualitas dengan strategi implementasi botton up, merupakan produk interaksi antara
27
aktor yang ada pada satu lokasi dengan satu masalah khusus yang ditentukan. Jadi dengan alur bottom up ini memastikan kebijakan dapat mengatasi masalah dilapangan. Proses utama dari alur ini adalah menggalang kesepakatan, dimana dilakukan indetifikasi jaringan kerjasama antar sektor yang terlibat dalam perumusan kebijakan.
Memahami implemetasi dengan cara kombinasi merupakan sintesa dari dua pendekatan diatas hal ini berdasarkan asumsi bahwa sebuah kebijakan tidak tepat apabilah dirumuskan secara kaku unutk menggunkan satu metode saja.
Menurut Sabatier sintesis terhadap kedua cara diatas harus dilakukan agar dalam pencapaian tujuan sebenarnya dari kebijakan publik dapat tercapai. Dengan cara kombinasi ini maka alurnya menjadi timbal balik, dengan fokusnya titik temu antara pemerintah dan rakyat. Dalam prosesnya dilakukan dengan negosiasi dan dengan proses learning, sedangkan harapan pencapaian lebih realistis sesuai dengan kondisi dan situasi.
Selanjutnya keberhasilan dari implementasi kebijakan juga ditentukan oleh kualitas implementornya. Dalam kaitan ini perlu untuk dipahami keterkaitan dan peran dari birokrasi, sebagai implementor dari kebijakan pemerintah. Pergeseran paradigma birokarsi mutlak diperlakukan dalam rangka merubah asumsi dari birokrasi selama ini, jendela pandang birokrasi akan dapat mempengaruhi kualitas dan persepsi dari para birokrasi sebagi implementing agency. Jendela penopang yang mengangap bahwa kebijakan publik hanya merupakan rangkaian prosedur kerja yang runtun guna mengatasi masalah, mengakibatkan cara implementasinya yang cendrung top down dan sifat memaksa sering kali mengakibatkan terjadinya deviasi antara tujuan