PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN
A. BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN
Sampai saat ini masih ada kerancuan pemahaman tentang tindak pidana kehutanan. Kerancuan pemahaman ini tidak hanya di kalangan awam tetapi juga terjadi di kalangan penegak hukum. Kasus Adelin Lis adalah salah satu contoh nyata betapa pemahaman antara Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim belum berada pada satu persepsi yang kompak. Bebasnya Adelin Lis di tingkat Pengadilan Negeri dan kemudian kembali divonis bersalah di tingkat kasasi semakin memperkuat pemahaman bahwa apa yang disimpulkan sebagai tindak pidana kehutanan oleh penyidik dan jaksa tetapi dalam pemahaman hakim pada satu tingkatan peradilan bisa berbeda. Begitu pula, pemahaman hakim pada tingkat pertama bisa juga berbeda dengan pemahaman hakim pada tingkatan berikutnya.
Salah satu yang masih menjadi perdebatan sampai saat ini adalah apakah penebangan di luar areal perizinan dan penebangan di luar rencana kerja tahunan (RKT) merupakan tindak pidana kehutanan atau masuk ke dalam ranah hukum administrasi. Bagi mereka yang setuju dengan pendapat kedua, mendasarkan argumennya kepada fakta bahwa secara formal si pelaku memiliki izin, artinya aktivitasnya bukanlah kegiatan ilegal. Sementara pihak yang setuju pendapat pertama mendasarkan argumennya kepada pemahaman bahwa sebuah izin pemanfaatan hutan diberikan terhadap areal tertentu. Maka kalau aktivitas penebangan dilakukan di luar areal tersebut artinya dia tak memiliki
izin untu melakukan kegiatan penebangan di luar areal yang diizinkan artinya kegiatannya adalah kegiatan ilegal.
Mengenai istilah Tindak Pidana (sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab terdahulu) diambil dari istilah strafbaarfeit yang terdapat dalam Hukum Pidana Belanda. Sekalipun demikian tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud strafbaarfeit itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda (Wetbook van Strafrecht – WvS), yang kemudian sebagian besar materinya menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) dengan UU No. 1 tahun 1981. 27
Para ahli hukum nampaknya belum memiliki kesamaan pandangan tentang pengertian strafbaarfeit. Paling tidak ada 7 (tujuh) istilah untuk mengartikan kata tersebut, diantaranya tindak pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang dapat dihukum, delik dan lain-lain28
27 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I,2001,PT.Raja Grafindo Perswada,Jakarta, hal.67. 28
Ibid,hal..68
Namun dalam peraturan perundang-undangan istilah yang lebih sering digunakan adalah Tindak Pidana. Secara sederhana Tindak Pidana dapat diartikan segala tindakan/perbuatan yang dapat dipidana/dikenakan hukuman yang diatur secara tegas oleh Undang-Undang. Segala tindakan yang dimaksud tidak hanya dalam artian aktif tetapi juga dalam pengertian pasif. Tidak melakukan sesuatupun dimana hal tersebut dilarang oleh Undang-Undang, termasuk dalam pengertian ini. Mengenai pengaturan oleh UU sangat penting disebutkan karena dalam hukum pidana berlaku asas legalitas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa tiada satu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi. Secara umum dalam KUHP (UU No. 1 tahun 1981) tindak pidana atau perbuatan pidana digolongkan dalam dua kelompok yaitu Kejahatan dan Pelanggaran. Tindakan-tindakan yang termasuk Kejahatan diatur dalam pasal 104 – pasal 488 KUHP. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang digolongkan sebagai Pelanggaran diatur dalam Pasal 489 – Pasal 569 KUHP. Mengenai pengaturan perundangan tentang dimana terdapat aturan perbuatan yang dilarang itu ,secara umum dikategorikan dalam 2 (dua) bagian, yaitu: 29
1. Tindak Pidana Umum
Dimana secara umum aturan mengenai perbuatan yang dilarang itu diatur dalam KUHP yang terdiri dari 3 buku,49 Bab, serta 569 Pasal-Pasal yang tercantum dalam KUHP.
2. Tindak Pidana Khusus
Tindak Pidana khusus ini adalah tindak pidana yang pengaturannya telah dibuat secara khusus diluar ketentuan KUHP, seperti :
a. UU Kehutanan yang diatur dalam UU Nomor 41 tahun 1999
b. UU Tindak Pidana Korupsi yang ditur dalam UU Nomor 39 tahun 1999 jo. UU Nomor 21 tahun 2000.
Adapun yang menjadi dasar hukum diaturnya beberapa tindak pidana secara khusus diluar KUHP adalah sebagimana yang termaktub dalam ketentuan Pasal 103
29
Abdul Khakim,Hukum Kehutanan Indonesia dalam Era Otonomi Daerah, 2005. Penerbit PT.Citra Adytia Bakti, hal.162
KUHP yang berbunyai :”Ketentuan dari delapan bab yang pertama dari Buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang-undang lain, kecuali kalau ada undang-undang-undang-undang (Wet) tindakan Umum Pemerintahan Algemene maatregelen van bestuur) atau ordonansi menentukan peraturan lain.
Hal selanjutnya yang perlu kita perhatikan adalah bahwasanya dalam semua pasal yang ada dalam KUHP, kita tidak akan menemukan secara khusus tentang tentang tindak pidana kehutanan. Tindak pidana kehutanan dapat dikatakan sebagai perkembangan baru dalam hukum pidana Indonesia yang kemudian diatur dalam beberapa UU yang dibuat kemudian, diantaranya:
a. UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. (Selanjutnya UU Konservasi sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya)
b. UU No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
c. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
d. UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (pengganti UU No. 4 tahun 1982).
Dapat dikatakan ketentuan pidana dalam UU tersebut adalah peraturan-peraturan khusus terkait Tindak Pidana Kehutanan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Pidana Umum (KUHP – UU No. 1 tahun 1981). Bila kita cermati dalam UU Kehutanan, dalam bagian ketentuan umum yang memuat beberapa pengertian tidak termuat defenisi tindak pidana kehutanan. Hanya dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan pengertian kehutanan sebagai sebuah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Berikutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam.
Kalau kita sepakat dengan pengertian Tindak Pidana sebagaimana yang disebutkan di atas maka dapat kita gabungkan bahwa Tindak Pidana Kehutanan adalah segala bentuk tindakan/perbuatan yang dapat dipidana/dikenakan hukuman yang berkaitan dengan pengurusan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Kaitan yang dimaksud di sini tentunya dalam artian memberi dampak negatif terhadap sistem pengurusan hutan dan menyebabkan kerusakan terhadap hutan sebagai sebuah ekosistem
penyangga kehidupan. Berbicara mengenai
tindak pidana kehutanan sangat eratlah kajiannya dengan kerusakan hutan . Dalam berbagai peraturan perundangan di bidang kehutanan istilah “kerusakan hutan”ini mengandung pengertian yang bersifat dualisme. Disatu sisi, perusakan utan yang berdampak positif dan memperoleh persetujuan dari pemerintah tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang melawan hukum. Di sisi lain, perusakan hutan yang berdampak negatif (merugikan)adalah suatu tindakan nyat melawan hukum dan bertentangan dengan kebijaksanaan/tanpa adanya persetujuan pemerintah.
Kerusakan hutan dapat menimbulkan dampak yang bersifat positif dan negatif didalam pembangunan yang berwawasan lingkungan. Diantara sifat negatifnya digolongkan sebagai tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang.
a. Kerusakan hutan dapat terjadi akibat perbuatan karena kesengajaan subjek hukum meliputi, manusia dan atau badan hukum.
b. Kerusakan hutan dapat terjadi akibat perbuatan karena kelalaian subjek hukum meliputi, manusia dan/atau badan hukum.
c. Kerusakan hutan dapat terjadi karena ternak dan daya-daya alam (misalnya gempa bumi,letusan gunung, banjir, dan sebagainya).
d. Kerusakan hutan dapat terjadi karena serangan hama dan penyakit pohon.
Dari keseluruhan makna kerusakan hutan maka istilah perusakan hutan yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana adalah :
a. Suatu bentuk perbuatan yang dilakukan manusia dan/atau badan yang bertentangan dengan aturan didalam hukum perundang-undangan yang berlaku;
b. Tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan subjek hukum sebelumnya telah dirumuskan didalam undang-undang yang mengandung ketentuan pidana khusus. Antara lain ditegaskan bahwa pelakunya dapat dipidana.
Dalam Pasal 50 UU kehutanan dicantumkan berbagai perbuatan yang dilarang dilakukan oleh setiap orang atau orang-orang tertentu yang berkaitan dengan kehutanan. Artinya kalau perbuatan tersebut tetap dilakukan dapat diartikan orang tersebut telah melakukan tindak pidana di bidang kehutanan. Termasuk juga pada Pasal 38 ayat 4 disebutkan tentang larangan melakukan penambangan dalam kawasan hutan lindung secara terbuka. Lebih tegas disebutkan dalam pasal 78 UU Kehutanan tentang ancaman hukuman pidana yang dapat dikenakan terhadap orang-orang yang terbukti melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang sebagaimana disebut dalam Pasal 50 dan Pasal 38
ayat (4) UU Kehutanan. Dalam Pasal 19 ayat (1), Pasal 21 dan Pasal 33 UU Konservasi Sumber daya Alam hayati dan Ekosistemnya juga dicantumkan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan setiap orang. Selanjutnya dalam Pasal 40 ditegaskan tentang ancaman hukuman terhadap setiap orang yang diduga melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang tersebut. Secara tegas dalam Pasal 40 ayat (5) disebutkan istilah tindak pidana. Lengkapnya disebutkan bahwa Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran. Dengan demikian tindak pidana di bidang kehutanan juga dapat dikelompokkan sebagai kejahatan dan pelanggaran sebagaimana tindak pidana di bidang lainnya.
Dalam UU No. 23 tahun 1997 Tindak Pidana Kehutanan termasuk dalam pengertian Tindak Pidana Lingkungan yang secara umum terbagi dalam dua bentuk yaitu tindakan perusakan dan pencemaran. Dalam beberapa Pasal menyangkut Ketentuan Pidana, UU No. 23 tahun 1997 secara tegas juga menyebutkan istilah tindak pidana untuk menyebut perusakan dan atau pencemaran, diantaranya Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 dan Pasal 46 ayat (1) dan (2). Lebih tegas lagi dalam pasal 48 disebutkan Tindak Pidana yang diatur dalam Bab Kentuan Pidana digolongkan sebagai kejahatan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa penulisan karya ilmiah ini lebih difokuskan pada persoalan kehutanan yang terkait masalah Ilegal Logging olek karenanya pada bagian ini akan dibahas mengenai hal-hal yang erat kaitannya dengan pelanggaran yang sering terjadi dalam bidang kehutanan antara lain :
b. masalah surat perizinan dimana untuk memperoleh kayu hasil hutan tersebut harus disertai dengan surat perizinan yang dikeluarkan oleh wewenang pemerintah yang bersangkutan
c. mengenai masalah Surat Keterangan Hasil Hutan dimana setiap kayu hasil hutan yang akan dipergunakan untuk kepentingan dari yang bersangkutan haruslah memperoleh atau memiliki surat keterangan hasil hutan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah setempat.
Masalah Ilegal Logging atau lebih dikenal dengan penebangan hutan secara liar yang dilakukan tanpa ijin dari instansi/pejabat kehutanan, digolongkan sebagai tindakan yang melawan hukum. Termasuk, perbuatan penebangan liar dilakukan subjek hukum yang telah memperoleh ijin menebang namun melampaui batas/target yang diberikan instansi/pejabat kehutanan.30
Pengertian Ilegal Logging dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun terminologi illegal logging dapat dilihat dari pengertian secara harfiah yaitu dari bahas inggris. Dalam The Contemporary English Indonesia Dictionary, illegal artinya tidak sah, dilarang, atau bertentangan dengan hukum atau haram. Dalam black’s Laws Dictionary illegal artinya “forbidden by law;unlawful” artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. “Log” dalam bahasa Inggris artinya menebang kayu dan membawa ketempat gergajian.31
30
Alam Setia Zain,Hukum Lingkungan Konservasi Hutan,1994,Penerbit Rineka Cipta,Jakarta, hal.45-46
31
IGM Nurdjana,Korupsi dan Ilegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi,2005,Penerbit Pustaka Belajar,Yokyakarta,hal.13
Dalam inpres RI No.5 tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu
Ilegal (Ilegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Lauser dan Taman Nasional Tanjung Putting, istilah Illegal Logging disamakan dengan istilah penebangan kayu illegal, istilah iilegal logging disinonimkan dengan penebangan kayu ilegal..
Ilegal logging identik dengan istilah “pembalakan illegal” yang digunakan oleh
Forest Watch Indonesia (FWI) dan Global Forest watch (GFW) yaitu untuk menggambarkan semua praktik atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemenenan, pengelolaan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia. Lebih lanjut FWI ilegal logging menjadi dua yaitu:
Pertama, yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam ijin yang dimilikinya. Kedua, melibatkan pencuri kayu, pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.32
Gambaran ilegal logging menurut pendapat ini menunjukkan adanya rangkaian suatu kegiatan yang merupakan suatu rantai yang saling terkait, mulai dari sumber atau Luasnya jaringan kejahatan ilegal logging yang mencerminkan luasnya pengertian dari ilegal logging itu sendiri menurut Haba, ilegal logging digambarkan bahwa:
Penebangan liar “…occur right through the chain from source to costumer, from illegal extraction, ilegal transport and processing throught to ileggl export and sale, where timber is often laundered before entering the legal market”.
32
produser kayu ilegal atau yang melakukan penebangan kayu secara ilegal hingga ke konsumen atau pengguna bahan baku kayu.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulakan bahwa ilegal logging adalah rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ketempat pengelolaan hinnga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai ijin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam kejahatan Ilegal Logging tersebut antara lain:
1. adanya suatu kegiatan. 2. menebang kayu. 3. mengangkut kayu. 4. pengolahan kayu. 5. penjualan kayu. 6. pembelian kayu. 7. dapat merusak hutan.
8. ada aturan hukum yang melarang dan bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.33
Perlu kita ketahui penyebab kerusakan hutan di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh praktik illegal logging, tetapi juga disebabkan praktik destructive logging yang dilakukan perusahaan kayu yang memiliki izin resmi dari pemerintah. Destructive logging mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda dengan illegal logging, yaitu
33
penebangan hutan secara liar. Namun, ada perbedaan yang mendasar diantara kedua istilah tersebut. Istilah destructive logging dipakai untuk menggambarkan penebangan hutan secara liar yang dilakukan oleh perusahaan kehutanan yang memiliki izin resmi
dari pemerintah.
Istilah ini tentu berbeda dengan praktik illegal logging yang dilakukan oleh perusahaan yang tidak memiliki izin resmi dari pemerintah untuk menebang hutan. Contoh kasus terkait praktik destructive logging adalah kasus Adelin Lis yang pernah ramai dibicarakan di media cetak maupun media elektronik
Selanjutnya terkait masalah Surat Perizinan Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, dalam Pasal 26 ayat (2) UU Kehutanan disebutkan bahwa Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemberian izin ini di atur juga dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2002 jo Pasal 19 PP Nomor 6 Tahun 2007 jo PP Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaan Hutan, dinyatakan bahwa dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), wajib disertai dengan izin pemanfaatan hutan yang meliputi :
a. IUPK (Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan)
b. IUPJL ( Izin Usaha Pemnafaatan Jasa Lingkungan)
c. IUPHHK ( Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu)
e. IPHHBK ( Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu)34
f. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK).
Sedangkan menurut Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.01/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional, tanggal 22 Januari 2008, dalam penyusunan rencana usaha pemanfaatan hutan ada beberapa ijin antara lain:
a. Izin usaha pemanfaatan pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan (IUPHHK-HA);
b. Izin usaha pemanfaaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam (IUPPHHK-RE);
c. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT);
d. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat (IUPHHK-HTR);
e. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL);
35
1. Izin usaha pemanfaatan kawasan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1).
Beberapa perijinan dalam bidang kehutanan yang dapat lihat pada Undang-undang Kehutanan antara lain:
2. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 29 ayat(2). 3. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu Pasal 27 ayat (3).
34
Ibid, hal.115 35
4. Izin usaha pemanfaatan hasil kayu hutan Pasal 29 ayat (4). 5. Izin pinjam pakai kawasan Pasal 38 ayat (3) dan (5). 6. Izin pertambangan Pasal 42 ayat (2), dan
7. Izin melakukan penelitian kehutanan di Indonesia kepada peneliti asing Pasal 54 ayat (2).
Terkait dalam pemanfaatan hutan lindung, ada beberapa izin yang harus dipenuhi, yakni Pasal 26 ayat (2) UU Kehutanan, bahwa pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui:
a. Perizinan usaha pemanfaatan kawasan.
b. Perizinan usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan c. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Kemudian berkaitan dengan izin pada Pasal 26 ayat (2), maka dalam Pasal 27 UU Kehutanan dijelaskan beberapa izin dalam pemanfaatan hutan lindung dan dapat diberikan kepada siapa ijin tersebut yang meliput i:
(1) Izin usaha pemanfatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2)
dapat diberikan kepada;
a. perorangan;
b. koperasi.
(2) Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dalam pasal 26 ayat (2) dapat diberikan kepada;
b. Koperasi;
c. Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMS);
d. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
(3) Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada:
a. perorangan;
b. koperasi.36
Mengenai tindak pidana di bidang kehutanan ini (ilegal logging) sebenarnya jauh sebelum lahirnya UU Kehutanan telah diatur dalam KUHP Indonesia meskipun pengaturannya masih bersifat umum. Adapun ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang dapat dikenakan pada pelaku Ilegal logging dalam KUHP dapat dilihat dalam pasl-pasal sebagai berikut :
Izin usaha pemanfaatan kawasan yang dilaksanakan oleh perorangan, masyarakat setempat, atau koperasi dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD, atau BUMS Indonesia.
Dengan demikian, perijinan lingkungan kehutanan akan menjadi sarana hukum yang paling banyak digunakan dalam hukum kehutanan yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warganya dan contoh yang representatif dalam merefleksikan tentang kebersamaan fungsi normatif hukum lingkungan kehutanan.
36
1) Pasal 406-412 mengenai pengrusakan.
2) Pasal 362-367 mengenai pencurian.
3) Pasal 263-276 mengenai pemalsuan.
4) Pasal 372-377 mengenai penggelapan
5) Pasal 480 mengenai penadahan
6) Pasal 187 dan Pasal 188 mengenai pembakaran yang mengakibatkan banjir.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup konsep ilegal logging dijelaskan lebih umum yaitu melarang seseorang untuk merusak hutan. Bentuk-bentuk tindak pidana kehutanan dalam kegiatan ilegal logging
meliputi:
1) Melakukan penebangan tanpa izin.
2) Melakukan penebangan kayu di luar izin konsesi.
3) Mengangkut kayu tanpa SKSHH.
4) Mengangkut kayu dengan SKSHH palsu.
5) Mengangkut kayu dengan jumlah yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam SKSHH.
6) Menggunakan satu SKSHH berulang-ulang.
Untuk mengetahui secara jelas perbuatan apa yang termasuk dalam kategori tindak pidana dalam bidang kehutanan maka akan dikaitkan dengan UU Kehutanan. Mengenai perbuatan apa saja yang dilarang terinci secara jelas dalam Pasal 50 ayat (3) UU Kehutanan mendefinisikan paling sedikit 13 katagori aktivitas kejahatan yang terkait dengan kehutanan yang dapat dihukum minimal selama 5 tahun dan denda antara Rp.5-10 miliar. Adapun bunyi dari Pasal 50 ayat (3) tersebut adalah sebagai berikut:
Setiap orang dilarang :
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau mendudukli kawasan hutan secara tidak sah;
b. merambah kawasan hutan;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan :
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai didaerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kanan tepi sungai;
4. 50 (limapuluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kalim kedalaman jurang dari tepi jurang;
6. 130 (seratus tiga puluh) kaliselisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai;
e. menebang pohon atau memanen atau memunguthasil hutan didalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f. menerima,membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahiu atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang didalam kawasn hutan, tanpa izin Menteri;
h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
i. mengembalakan ternak didalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secar khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
j. membawa alat-alat berat atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan didalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau menbelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat ynag berwenang;
l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan kedealam kawasan hutan; dan
m. mengeluarkan, mambawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi undang-undang yang bersal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.37
Terkait pengelompokan jenis-jenis perbuatan yang dilarang didalam aturan diatas yakni menyangkut masalah perlindungan hutan, berdasarkan PP Nomor 28 tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan mengandung unsur pidana khusus. Bentuk tindak pidana secara tegas dirumuskan secara pasal demi pasal. Sedangkan, jenis-jenis tindakan yang dibolehkan didalam aturan hukum perlindungan hutan tersebut, yakni subjek hukum yang bertindak secara sah memilki kewenangan menurut aturan yang berlaku.
38
1. Dilarang memotong,memindahakan, merusak, atau menghilangkan tanda batas kawsan hutan, kecuali dengan kewenangan yang sah.
Prinsip pengecualian hukum yang berlaku di dalam PP Nomor 28 tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, diantaranya terkandung sebagai berikut :
2. Dilarang mnduduki tanah dan mengerjakan tanah kawasan hutan, kecuali mendapat izin.
3. Dilarang melaukan penambangan bahan galian dan eksploitasi tanah kawasan hutan,