• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

2.1.3. Bentuk dan Tingkatan Komunikasi

Ruang lingkup ilmu komunikasi (context of communication) menurut pendapat Stephen W. Littlejohn mencakup beberapa hal, diantaranya sebagai berikut :

1. Komunikasi merupakan suatu proses yang sangat kompleks dalam segi kehidupan manusia, karena untuk memberikan batasan komunikasi itu merupakan suatu yang sulity dan abstrak sifat inflikasinya. Komunikasi bukan sekedar proses penyampaian pertukaran kesamaan menggunakan lambang-lambang yang berarti.

2. Beberapa pengertian sederhana mengenai komunikasi sering ditampilkan sebagai berikut: a. Komunikasi merupakan proses penyampaian komunikasi dengan menyampaikan

b. Komunikasi merupakan proses penglihatan lambang-lambang berarti, yang meliputi : ide-ide pemikiran, sikap, pendapat, tingkah laku, dan sejumlah pengetahuan yang ditujukan kepada sejumlah orang.

c. Komunikasi merupakan proses yang menggunakan antara sumber dan pandangan. d. Komunikasi adalah pertukaran informasi.

Berdasarkan uraian tentang ruang lingkup komunikasi dapat dilihat bahwa komunikasi merupakan proses sosial yang batasannya tidak terlepas dari multidisipliner. Maksudnya, perkembangan studi komunikasi didukung oleh ilmu sosial lainnya. Dengan demikian, secara garis besar ruang lingkup komunikasi dapat dibagi ke dalam 4 (empat) bentuk dan tingkatan komunikasi (Lubis, 2007:31). Hal berikut dapat dilihat dalam gambar berikut ini.

Dari gambar diatas, maka penulis akan menguraikan satu-persatu dari bentuk dan tingkatan komunikasi yang ada. Berikut urairan yang akan penulis gunakan.

2.1.3.1 Komunikasi Antar-Pribadi (Interpersonal Communication)

Komunikasi antar-pribadi merupakan proses komunikasi antar-pribadi dengan ciri komunikator dan komunikan berada dalam suasana yang dekat. Dalam teorinya komunikasi

Komunikasi antar pribadi (interpersonal communication)

Komunikasi antar kelompok (group communication) Komunikasi organisasi (organization communication)

Komunikasi massa (mass communication)

Sumber : Suwardi Lubis., 2007., Sistem Komunikasi Indonesia, (Bartong Jaya, Medan), hal. 31.

antar-pribadi ini ada dua hal, yaitu : komunikasi intra-pribadi dan komunikasi antar-pribadi (Lubis, 2007:32). Komunikasi intra-pribadi (intrapersonal communication) adalah komunikasi yang dilakukan dengan diri sendiri, contohnya berpikir (Mulyana, 2007:80). Sedangkan komunikasi antar-pribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal (Mulyana, 2007:81). Komunikasi antar-pribadi sebenarnya merupakan satu proses sosial di mana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi (Liliweri, 1991:12).

Bentuk khusus dari komunikasi antar-pribadi ini adalah komunikasi diadik (dyadic communication) yang melibatkan hanya dua orang, seperti : suami-istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid, dan sebagainya (Mulyana, 2007:81). Dua orang yang terlibat ini saling melakukan diskusi ataupun pembicaraan (discourse) dan terdapat tingkat keterhubungan (relationship).

Ciri-ciri komunikasi diadik ini adalah pihak-pihak yang berkomunikasi berada dalam jarak yang dekat dan pihak-pihak yang berkomunikasi mengirimkan dan menerima pesan secara simultan dan spontan, baik secara verbal maupun nonverbal. Keberhasilan komunikasi menjadi tanggung jawab para peserta komunikasi. Kedekatan hubungan pihak-pihak yang berkomunikasi akan tercermin pada jenis-jenis pesan atau respons nonverbal mereka, seperti : sentuhan, tatapan mata yang ekspresif, dan jarak fisik yang sangat dekat. Meskipun setiap orang dalam komunikasi antar-pribadi bebas mengubah topik pembicaraan, kenyataannya komunikasi antar-pribadi dapat saja didominasi oleh satu pihak, misalnya : komunikasi suami-istri yang didominasi oleh suami, komunikasi dosen-mahasiswa yang didominasi oleh dosen, dan komunikasi atasan-bawahan yang didominasi oleh atasan (Mulyana, 2007:81).

Dari pemaparan diatas, maka penulis mencoba memberikan beberapa ciri-ciri dari komunikasi antar-pribadi. Ciri-ciri tersebut adalah :

1. Komunikasi antar-pribadi biasanya terjadi secara spontan, simultan dan sambil lalu saja. 2. Komunikasi antar-pribadi dilakukan secara tatap muka dan berada pada jarak yang dekat. 3. Komunikasi antar-pribadi seringkali berlangsung secara berbalas-balasan atau pihak yang

terlibat menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik verbal maupun nonverbal. 4. Dalam komunikasi antar-pribadi tercipta suasana yang dekat antara pihak yang terlibat. 5. Pihak yang terlibat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

6. Komunikasi antar-pribadi melibatkan 2 (dua) orang atau lebih.

7. Dalam komunikasi antar-pribadi terdapat tingkat hubungan yang terjadi diantara kedua pihak yang terlibat, tetapi komunikasi antar-pribadi ini dapat juga terjadi secara kebetulan diantara pihak yang tidak mempunyai identitas yang jelas.

8. Komunikasi antar-pribadi menggunakan lambang-lambang yang bermakna, misalnya : jika kita kebingungan, kita memperlihatkannya dengan wajah yang berkerut. Lambang- lambang yang bermakna ini berasal dari bahasa nonverbal, dimana bahasa nonverbal ini akan lebih memperkuat dan memperjelas bahasa verbal yang kita sampaikan atau ucapkan.

2.1.3.2 Komunikasi Antar Kelompok (Group Communication)

Komunikasi antar kelompok merupakan teori yang menginterpretasikan dimana proses komunikasi terjadi sebagai interaksi seseorang dengan kelompoknya yang dilakukan ketika membuat keputusan (decision making sitrings) (Lubis, 2007:32).

Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama, yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama (adanya saling ketergantungan), mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut, meskipun setiap anggota boleh jadi punya peran berbeda (Mulyana, 2007:82). Sebuah

kelompok juga dapat diartikan sebagai kumpulan dua individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka (face to face interaction), yang masing-masing menyadari keanggotaannya dalam kelompok, masing-masing menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, dan masing-masing menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mencapai tujuan bersama (Sarwono, 2005:5).

Kelompok ini misalnya adalah keluarga, tetangga, kawan-kawan terdekat, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah, atau suatu komite yang sedang rapat untuk mengambil suatu keputusan. Dengan demikian, komunikasi kelompok biasanya merujuk pada komunikasi yang dilakukan kelompok kecil (small-group communication), jadi bersifat tatap muka. Umpan balik dari seorang peserta dalam komunikasi kelompok masih bisa diidentifikasi dan ditanggapi langsung oleh peserta lainnya. Komunikasi kelompok dengan sendirinya melibatkan juga komunikasi antar-pribadi, karena itu kebanyakan teori komunikasi antar-pribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok (Litteljohn dan Foss, 2009:350).

Jenis (tipe) kelompok itu sendiri sangat beragam. Begitu beragamnya sehingga sulit dibuat satu penggolongan yang baku. Penggolongan jenis kelompok jadinya sangat tergantung pada tujuan penggolongan itu sendiri, antara lain sebagai berikut :

1. Kelompok formal : organisasi militer, perusahaan, kantor kecamatan.

Kelompok non-formal : arisan, geng, kelompok belajar, teman-teman bermain golf. 2. Kelompok kecil : dua sahabat, keluarga, kelas.

Kelompok besar : divisi tentara maupun karyawan, keluarga, kelas.

3. Kelompok jangka pendek : panitia, penumpang sebuah kendaraan umum, orang-orang yang membantu memadamkan kebakaran atau menolong korban kecelakaan lalu lintas.

4. Kelompok kohesif (hubungan erat antar-anggota) : keluarga, panitia, rombongan umroh, geng, sahabat.

Kelompok tidak kohesif : penonton bioskop, pembaca majalah, pengunjung pusat pertokoan, jamaah sholat Jum’at.

5. Kelompok agresif : pelajar tawuran, penumpang bus mengeroyok pencopet, lynching mob (kelompok yang mengeroyok dan menyiksa korban, seringkali sampai mati), demonstran, pengunjuk rasa, penonton sepak bola (yang agresif).

Kelompok konvensional (menaati peraturan) : jamaah haji, jamaah sholat Jum’at, penonton bioskop, pengendara kendaran di jalan raya, pengunjung resepsi perkawinan, penonton konser musik klasik.

Kelompok ekspresif (menyalurkan perasaan) : penonton sepak bola (yang tidak agresif), penonton pagelaran musik rock, massa peserta rapat umum partai politik, massa remaja penggemar cover boy (yang berteriak-teriak histeris melihat idolanya).

6. Kelompok dengan identitas bersama : keluarga, kesatuan militer, perusahaan, sekolah, universitas.

Kelompok tanpa identitas bersama : penonton, jamaah, penumpang bus.

7. Kelompok individual-otonomus : masyarakat kota besar, perusahaan dengan sistem manajemen barat.

Kelompok kolektif-relational : masyarakat pedesaan, perusahaan dengan manajemen timur (misalnya : perusahaan Jepang), keluarga besar. Kelompok ini mempunyai identitas kelompok yang kuat.

8. Kelompok yang berbudaya tunggal (adat, tata susila, agama, hukum, atau norma lainnya yang seragam) : masyarakat pedesaan tradisional, perusahaan, organisasi militer, keluarga yang berasal dari lingkungan budaya yang sama.

Kelompok berbudaya majemuk : masyarakat perkotaan, partai politik, keluarga antar- etnik, atau antar-agama.

9. Kelompok laki-laki : tim sepak bola, pasukan komando, geng laki-laki, jamaah sholat Jum’at.

Kelompok perempuan : tim sepak bola wanita, bank perempuan, polisi wanita, korps wanita ABRI, lembaga bantuan hukum untuk wanita, gerakan feminis, himpunan wanita karya, himpunan mahasiswi, ikatan pengusaha wanita. Kelompok berdasarkan jenis kelamin perempuan ini biasanya dibentuk karena kurangnya penghargaan jika kaum wanita bergabung pada kelompok campuran pria-wanita.

10. Kelompok konsumen (dalam hal sumber daya tergantung pada pihak lain) : yayasan lembaga konsumen, persatuan penggemar mobil VW, kelompok ibu rumah tangga.

Kelompok produsen, pengusaha atau profesi (mandiri dalam pengalaman dan otoritas) : asosiasi kayu, persatuan hotel dan restoran, ikatan dokter, ikatan sarjana ekonomi.

11. Kelompok persahabatan : arisan, teman bermain, kumpulan sahabat, kelompok golf, paguyuban alumni SMA.

Kelompok yang terlibat dalam tujuan bersama : perusahaan, yayasan, instansi pemerintah (Sarwono, 2005:6-9).

2.1.3.3Komunikasi Organisasi (Organization Communication)

Komunikasi organisasi merupakan suatu prospek komunikasi yang menyangkut jaringan kerjasama secara luas di dalam berbagai aspek organisasi termasuk di dalamnya komunikasi antar-pribadi dan komunikasi kelompok. Pendekatan dari teori ini adalah mengkaji tentang masalah struktur komunikasi hubungan manusia (human relations

communication) dan proses pengorganisasian serta budaya organisasi (Lubis, 2007:32). Komunikasi organisasi dapat dianggap sebagai bidang yang mengonsepkan organisasi sebagai kerjasama yang dicapai secara simbolis (Litteljohn dan Foss, 2009:359).

Komunikasi organisasi terjadi dalam suatu organisasi, baik bersifat formal maupun informal dan berlangsung dalam jaringan yang lebih besar daripada komunikasi kelompok.

Oleh karena itu, organisasi dapat diartikan sebagai kelompok dari kelompok- kelompok. Komunikasi formal adalah komunikasi menurut struktur organisasi, yakni :

a) Komunikasi ke bawah (downward communication)

Dilihat dari personifikasinya, komunikasi ke bawah adalah komunikasi yang berlangsung dari bawahan. Dilihat dari segi ketatalembagaan, komunikasi ke bawah adalah komunikasi yang berlangsung dari satuan organisasi yang lebih tinggi kepada satuan-satuan organisasi yang ada di bawahnya. Dengan demikian komunikasi ke bawah mengalir dari pimpinan kepada para bawahan, dari tingkat manajemen puncak ke manajemen menengah, ke manajemen tingkat bawah terus mengalir kepada para pekerja, melalui saluran hirarki. Dilihat dari saluran wewenang, maka komunikasi ke bawah mengalir dari nhirarki wewenang yang lebih tinggi ke hirarki wewenang yang lebih rendah, dan mengalir melalui saluran rental komando (Wursanto, 2005:161-162). Komunikasi Horizontal Komunikasi ke Atas Komunikasi ke Bawah

Sumber : Harold Koontz, Cyril O’Donnell, Heinz Weichrich., 1984., Management, Eighth Edition, (McGraw-Hill International Book Company, New York), hal.531.

Harold kontz, et.al. juga mendefinisikan komunikasi ke bawah sebagai komunikasi yang mengalir dari orang-orang tingkat atas kepada orang-orang tingkat bawah dalam hirarki organisasi. Jenis komunikasi ini dapat kita jumpai dalam organisasi-organisasi yang bersuasana autokratis (Kontz, et.al., 1984:530).

Aktivitas komunikasi pada tingkat ini, para pimpinan memberikan berbagai informasi yang relevan dengan pekerjaan dan organisasi, seperti : instruksi, perintah, petunjuk pelaksanaan kerja, pengarahan dan penjelasan tentang berbagai yang diperlukan, manakala terjadi perubahan di luar kelaziman, persuasi atau motivasi dan bahkan juga hukuman. Beberapa upaya guna memperbaiki arus pesan dan informasi kebawah agar lebih efektif adalah :

1. Membangun tujuan yang jelas dan realitas. Manajer harus terus-menerus mengkomunikasikannya sehingga karyawan betul-betul memahami apa yang disampaikan seorang manajer.

2. Perlu mempertimbangkan dan memperlihatkan isi pesan yang akan disampaikan.

3. Teknik yang sesuai dalam cara bagaimana pesan dan informasi tersebut harus disampaikan kepada karyawan berjalan secara lebih efektif (Purba, 2006:118-119).

b) Komunikasi ke atas (upward communication)

Komunikasi ke atas adalah komunikasi yang berlangsung dari bawahan ke atasan, atau dari suatu organisasi yang lebih rendah dengan satuan organisasi yang lebih tinggi (Wursanto, 2005:161). Komunikasi ke atas ini akan sampai ke atasan yang paling tinggi melalui hirarki organisasi (Kontz, et.al., 1984:531).

Arus yang mengalir pada tingkat ini adalah arus pesan dari para karyawan kepada pimpinan mereka, baik kepada kepala bagian, kepala divisi, kepala departemen maupun pimpinan puncak. Arus pesan kepad atasan ini berisikan tentang laporan (harian, mingguan,

bulanan, tahunan), tugas-tugas yang telah diselesaikan, pertanyaan yang tidak atau kurang jelas mengenai metode prosedur kerja. Davis dan Newstrom mengidentifikasikan beberapa sarana yang dinilai dapat membantu untuk mendorong komunikasi vertikal arus ke atas, diantaranya adalah :

1. Rapat dan pertemuan (meeting) karyawan, diadakan secara periodik yang membicarakan hal-hal mengenai kebutuhan dan masalah-masalah yang dihadapi karyawan.

2. Kebijaksanaan pintu terbuka (open door policies) adalah kebijaksanaan yang mendorong karyawan untuk berinisiasi datang kepada pimpinan mereka untuk membicarakan berbagai hal yang penting dan relevan dengan pekerjaan.

3. Menyediakan kotak saran (suggestion box) dan penerbitan buletin atau in house magazine, dimana karyawan yang tidak memiliki waktu yang cukup ataupun tidak memiliki keberanian yang cukup, maka media yang ada dapat menolong untuk mengatasi persoalan yang dihadapi para karyawan.

4. Partisipasi dalam kelompok-kelompok sosial yang diadakan perusahaan, guna membangun jalinan komunikasi informal, seperti : olahraga, pertemuan arisan karyawan, rekreasi, dan lain-lain (Purba, 2006:120).

c) Komunikasi horizontal.

Dilihat dari segi personifikasinya, komunikasi horizontal adalah komunikasi antara pimpinan atau pejabat yang setingkat dalam suatu organisasi, misalnya : komunikasi antara Kepala Biro dengan Kepala Biro, Kepala Bagian dengan Kepala Bagian, Anggota Staf dengan Anggota Staf, Karyawan dengan Karyawan, dan Kepala Seksi dengan Kepala Seksi.

Dari segi ketatalembagaan, komunikasi horizontal adalah komunikasi antar satuan organisasi yang setingkat dalam suatu organisasi, misalnya : Biro Hukum dengan Biro Kepegawaian, Bagian Keuangan dengan Bagian Pengadaan, dan Seksi Polisi Kenderaan

dengan Seksi Keamanan. Berbagai bentuk hubungan dalam organisasi seperti diuraikan di atas dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.

Keterangan gambar :

DEP/LPND = Departemen / Lembaga Pemerintahan Non-Departemen IRJEN = Inspektur Jendral

SEKJEN = Sekretaris Jendral DIRJEN = Direktur Jendral

Sek. Ditjen = Sekretaris Direktur Jendral Dit. = Direktorat

= Biro Kepegawaian = Bagian Kepegawaian

= Hubungan Diagonal / Hubungan Fungsional (Wursanto, 2005:164). Arus komunikasi pada tingkat ini dari banyak riset yang telah dilaksanakan, baik dalam frekuensi maupun intensitas menunjukkan kuantitas dan kualitas yang jauh lebih baik

SEKJEN BIRO IRJEN DIRJEN DIRJEN Dit Dit Sek. Ditjen Bag Sek. Ditjen

Sumber : Wursanto., 2005., Dasar-Dasar Ilmu Organisasi, (ANDY, Yogyakarta), hal. 164.

Gambar 9. Contoh Gambar Komunikasi Horizontal

daripada komunikasi tingkat manapun. Karena individu yang terlibat dalam komunikasi berada relatif pada posisi yang sama dan dalam kerangka menjalankan peran dan fungsi tugas yang berada pada tingkat menuntut tanggung jawab yang sama pula. Biasanya pada arus ini berisikan informasi penilaian karyawan terhadap para pimpinan mereka, seperti : kompetensi tugas dan keahlian, sikap dan perilaku, nilai-nilai yang dianut, dan lain-lain. Agar mempermudah komunikasi horizontal, maka harus dipertimbangkan sebagai berikut :

1. Membentuk badan organisasi yang lebih realitis dan sesederhana mungkin, sehingga lebih memudahkan berjalannya penyampaian dan pertukaran arus informasi relevan diantara kepala bagian dan seluruh karyawan.

2. Penjabaran tugas individual harus lebih tegas dan jelas. Sehingga setiap karyawan mengerti dan memahami secara tepat apa yang harus dikerjakan dan bagaimana menyelesaikannya.

3. Mengatur dan memanfaatkan proyek interdepartemen, agar setiap individu yang bergabung dalam kelompok kerja atau departemen yang berbeda saling mengkomunikasikan rencana-rencana kerja mereka.

4. Memperkuat pertemuan dan komunikasi yang lebih teratur. Jika para anggota departemen dan divisi membangun waktu pertemuan yang teratur, maka komunikasi dapat berjalan dengan baik dan lancar (Purba, 2006:121).

Sedangkan komunikasi informal adalah komunikasi yang tidak bergantung pada struktur komunikasi, seperti komunikasi antarsejawat, selentingan, maupun gosip (Mulyana, 2007:83). Menurut Hersey dan Blanchard (1993), komunikasi informal ini lebih populer disebut benalu (grapevine) karena jenis saluran ini dalam struktur organisasi sebenarnya tidak diharapkan atau tidak diakui secara resmi keberadaannya oleh manajemen. Komunikasi informal ini menyebabkan informasi pribadi muncul dari interaksi di antara orang-orang dan

mengalir ke seluruh organisasi tanpa diperkirakan. Jaringan komunikasi ini lebih dikenal dengan desas-desus (grapevine) atau kabar angin (Purba, 2006:121).

Menurut Goldhaber (1986) komunikasi organisasi adalah proses saling menciptakan dan menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling menciptakan dan menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang sering berubah-ubah. Komunikasi organisasi mempunyai peranan penting dalam memadukan fungsi-fungsi manajemen dalam suatu perusahaan, yaitu :

1. Menetapkan dan menyebarluaskan tujuan perusahaan.

2. Menyusun rencana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

3. Melakukan pengorganisasian terhadap sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya dengan cara efektif.

4. Mengadakan seleksi, pengembangan dan penilaian anggota organisasi.

5. Memimpin, mengarahkan, memotivasi dan menciptakan iklim yang menimbulkan keinginan orang untuk memberi konstribusi.

6. Mengendalikan prestasi (Purba, dkk, 2006:112-113).

Komunikasi organisasi dalam pengertian yang lain adalah suatu perilaku pengorganisasian yang terjadi dan bagaimana mereka yang terlibat dalam proses itu (berinteraksi dan memberi makna) atas apa yang sedang terjadi atau proses penciptaan makna atas interaksi yang menciptakan, memelihara, dan mengubah organisasi (Pace & Faules, 2006:33).

Dalam organisasi, ada beberapa kendala yang menghambat efektifitas komunikasi organisasi, diantaranya adalah :

1. Perbedaan kerangka acuan (differing frames of reference). Berdasarkan perbedaan kompleks latar belakang dan pengalaman komunikatif sebelumnya, orang akan mempersepsikan komunikasi yang sama dengan cara yang berbeda.

2. Kredibilitas sumber (source credibility) mengacu pada bagaimana seorang pembicara dipersepsi oleh receiver. Disini dapat dilihat persepsi yang jujur, dapat dipercaya, meyakinkan, dan tidak memanipulasi pesan.

3. Persepsi selektif (selektive perception) adalah berdasarkan kecenderungan kepentingannya, orang hanya mau menerima dan mempersepsi berbagai rangsangan, informasi, berita, dan lain-lain.

4. Penilaian akhir (value judgement), terjadi bila orang terlalu cepat mengambil kesimpulan akhir, final, atau dugaan sementara sebelum informasi secara keseluruhan diterima dengan baik atau informasi secara keseluruhan belum selesai diterima.

5. Keterbatasan atau tekanan waktu (time pressure) adalah dimana seorang manajer ditandai terlalu sibuk dan kurang waktu, sehingga kesempatan untuk berkomunikasi secara efektif dengan karyawan sangat terbatas.

6. Penyaringan (filtering) melebihkan arti (exaggeration) dan distorsi merupakan upaya merubah arti sehingga arti yang dikirim dengan yang diterima sama sekali berbeda makna dan pengertiannya.

7. Masalah semantik. Semantik adalah pengkajian makna dean pengertian dalam bentuk bahasa, kata-kata, simbol-simbol yang maknanya dimgerti bersama.

8. Komunikasi berlebihan (communication overload) adalah bahwa karyawan terlalu sering kali berkomunikasi dalam volume dan frekuensi dan intensitas atau menerima terlalu banyak pesan dan informasi melebihi dari kebutuhan dan kemampuan untuk mengolahnya.

9. Kurangnya keterampilan atau mendengar yang efektif (poor listening skills). Dario penjelasan De Vito, proses komunikasi yang efektif membutuhkan kemampuan menyimak (listening) yang baik. Ini merupakan proses psikologi atau mental dan intelektual yang membutuhkan energi (Purba, 2006:123-124).

Untuk mengatasi hambatan-hambatan yang telah dipaparkan diatas sebelumnya, ada beberapa cara yang ditawarkan, diantaranya adalah :

1. Mengikuti terus (following up) adalah usaha untuk terus menyimak dan mendengarkan dengan seksama.

2. Memanfaatkan umpan balikan (utilizing feedback) merupakan pemanfaatan optimal terhadap metode komunikasi 2 (dua) arah.

3. Emphaty adalah usaha atau kemampuan source menempatkan diri secara imajiner pada posisi peran, pandangan, dan emosi receiver.

4. Penggunaan bahasa yang sederhana (simplifying language), karena kemampuan bahasa mempersentasikan realitas / unit yang begitu rumit sangat terbatas.

5. Meningkatkan umpan balikan verbal dan nonverbal (utilizing verbal and nonverbal feedback). Dalam proses komunikasi, tanda-tanda verbal dan nonverbal ini saling mendukung dan mengisi.

6. Meningkatkan kemampuan menyimak yang efektif (effecting listening skills). Baik manajer maupun karyawan perlu meningkatkan kemampuan dasar, agar efektifitas komunikasi lebih optimal.

7. Memanfaatkan saluran benalu (utilizing the grapevine), karena tidak semua informasi penting tersalurkan lewat saluran formal, seperti : sentimen, emosi, sikap, dan lain-lain yang relevan dan penting bagi organisasi. Disini manajer perlu lebih meningkatkan kepekaan (Purba, 2006:124).

Selain itu, Gareth Morgan dalam buku Litteljohn dan Foss “Theories Of Human Communication” juga membuat suatu metafora yang dapat membantu kita untuk memahami suatu organisasi. Metafora-metafora tersebut adalah mesin-mesin, organisme-organisme, otak, sistem politik, penjara fisik, dan kebudayaan (Litteljohn dan Foss, 2009:361).

2.1.3.4Komunikasi Massa (Mass Communication)

Komunikasi massa merupakan suatu proses yang sangat kompleks yang di dalamnya meliputi hubungan-hubungan antara publik dan sarana saluran. Beberapa aspek di dalamnya komunikasi antar-pribadi, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi yang secara keseluruhan masuk kepada kelompok organisasi massa (Lubis, 2007:33). Selain itu komunikasi massa juga disebut sebagai komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar dan majalah) maupun elektronik (radio dan televisi) (Mulyana, 2007:83).

Pengertian komunikasi massa juga dipengaruhi oleh kemampuan media massa untuk membuat produksi massal dan untuk menjangkau khalayak dalam jumlah besar. Di samping itu ada pula makna lain yang dianggap makna asli dari kata massa, yakni suatu makna yang mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk yang komponen-komponennya sulit dibedakan satu sama lain. Kamus Bahasa Inggris ringkas memberikan definisi “massa” sebagai suatu kumpulan orang banyak yang tidak mengenai keberadaan individualitas. Definisi ini hampir menyerupai pengertian massa yang digunakan oleh para ahli sosiologi khususnya bila dipakai dalam kaitannya dengan khalayak media.

Sedangkan Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss mendefinisikan komunikasi massa sebagai suatu proses organisasi media yang menciptakan dan menyebarkan pesan- pesan pada masyarakat luas dan proses pesan tersebut dicari, digunakan, dipahami, dan dipengaruhi oleh audiens (Littelejohn dan Foss, 2009:405).

Selain itu, Saverin dan Tankard (dalam Effendy, 2004:21), menyatakan bahwa komunikasi massa adalah sebagian ketrampilan (skill), sebagian seni (art), dan sebagian ilmu (science). Maksudnya, tanpa adanya dimensi menata pesan tidak mungkin media massa dapat memikat khalayak yang pada akhirnya pesan tersebut dapat mengubah sikap, pandangan, dan perilaku komunikan. George Gerbner dalam buku Litteljohn dan Foss “Theories Of Human Communication” menyimpulkan pentingnya media massa, diantaranya adalah : kemampuan

menciptakan masyarakat, menjelaskan masalah, memberikan referensi umum, dan memindahkan perhatian dan kekuasaan (Littlejohn dan Foss, 2009:405). Dalam hal ini Joshua Meyrowitz menggambarkan tiga metafora yang mewakili berbagai sudut pandang mengenai

Dokumen terkait