4.3 Interpretasi Data
4.3.1 Bentuk Interaksi Sosial Siswa
Interaksi yang dimaksudkan oleh penulis dalam penelitian ini adalah segala bentuk tindakan serta sikap yang membentuk suatu hubungan dalam rangka sling pemenuhan kegiatan dan aktivitas setiap siswa khususnya di tingkatan SMA Sutomo 2 Medan yang menggambarkan interaksi sosial yang mereka pergunakan dalam kehidupan sehari-hari, tapi dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskan interaksi yang terjadi dalam lingkungan sekolah. Berikut ini hasil wawancara yang penulis dapatkan dari siswa SMA Sutomo 2 Medan yang menjelaskan bagaimana mereka saling berinteraksi antar sesama siswa yang notabenenya berbeda dari segi etnis, agama dan budaya dan kemudian berhubungan dalam status sosial yang sama sebagai siswa yang sedang menempuh pendidikan yang sama.
Melalui hasil wawancara di lokasi penelitian, yaitu SMA Sutomo 2 Medan dengan siswa khusus tingkatan SMA baik dengan yang Non Tionghoa dan juga siswa yang berasal dari etnis Tionghoa diperoleh data yang penulis temui bagaimana mereka berinteraksi dengan sesama siswa. Menurut pengakuan beberapa siswa, mereka memiliki perasaan yang nyaman pada saat berinteraksi secara intens terhadap beberapa teman yang ia anggap sudah memiliki kedekatan yang cukup lama dan mempunyai kesamaan dalam segala hal. Seperti yang dipaparkan oleh informan berikut ini :
“ Selama saya bersekolah disini, saya sedikit kurang nyaman berteman
dengan yang tidak bisa berbahasa hokkien, mungkin karena di sekolah ini mayoritas Tionghoa”. ( Wawancara dengan informan yang bernama Lina Sihotang kelas X-2, 2014).
“ Saya merupakan murid pindahan, walaupun saya etnis Tionghoa tetapi saya sedikit tidak fasih berbahasa Hokkien, dan terus terang saya lebih suka berteman dengan yang sesuku dengan saya, karena saya jadi bisa berbahasa
daerah”. (Wawancara dengan informan yang bernama Giovanie kelas XII IPS 2, 2014).
Ada juga penuturan dari informan yang berasal dari Non Tionghoa bahwa sebenarnya tidak ada kesulitan dalam bergaul dan berteman dekat dengan siswa Tionghoa, hanya saja masalah kepercayaan diri dan kepintaran dalam bergaul. Hal tersebut juga di paparkan dengan pernyataan seorang informan sebagai berikut :
“ Menurut pengalaman saya sama sekali tidak ada kesulitan apapun dalam berinteraksi dengan siswa yang chinese, itu tergantung kita sendiri lah, pandai- pandai dalam berkawan, kalau cari musuh gampang kalau cari kawan itu yang susah, jadi pintar kita saja dalam bergaul terhadap teman kita.” ( Wawancara dengan informan yang bernama Tria Widya Aprilia kelas XII IPA 1, 2014).
“ Siswa Tionghoa itu tidak pernah mempermasalahkan siapa kawannya, semua sama ajalah, main ya main, belajar ya belajar, kenyamanan itu kita sendiri yang membuatnya bukan orang lain, ya kalau kita diam-diam saja tentu siapa yang akan mau berteman dengan kita”. (Wawancara dengan informan yang bernama samuel simbolon berasal dari kelas XII IPA 2, 2014).
4.3.1.1 Interaksi Siswa dalam Keagamaan
Tidak hanya itu saja, interaksi yang terjadi tentunya bukan hanya dilihat dan diukur dari segi Interaksi mengenai kenyamanan setiap siswa, tetapi interaksi dilihat juga dari seberapa toleransi kah siswa memandang perbedaan yang cukup signifikan dari keagamaan, apalagi permasalahan agama di Indonesia khususnya begitu sensitif, ternyata dari segi agama tidak ada permasalahan mengenai agama, siswa yang menjadi informan beranggapan tidak ada yang salah dengan agama, siswa memiliki nilai toleransi yang cukup mendalam mengenai agama walaupun adanya agama yang minoritas dan mayoritas, berikut pemaparan para informan memandang masalah agama, yaitu sebagai berikut ini :
“ Kalau masalah agama setahu saya belum ada ya mengenai
permasalahan agama”. ( Wawancara dengan informan yang bernama Frederick kelas XI IPA 1).
Penuturan diatas berasal dari siswa yang Non Tionghoa, yang beranggapan masalah agama tidak pernah terjadi sebelumnya, bahkan pernyataan siswa di atas tersebut juga di dukung oleh siswa yang beragama Buddha dan berasal dari etnis Tionghoa, yang menyatakan bahwa :
“ Sepertinya kalau masalah agama tidak pernah ada konflik soal agama, semuanya baik-baik saja, malah sebaliknya jika ada yang mengompori dalam permasalahan agama ataupun suku berarti dia belum dewasa “. ( Wawancara dengan Kevin di kelas XI IPS 2, 2014).
Penuturan diatas juga di perkuat oleh seorang guru Agama yang menyatakan bahwa :
“Sejauh yang ini pada saat belajar mengajar di kelas tidak menunjukkan perbedaan yang menonjol, misalnya pada saat duduk di ruangan kelas belajar agama duduknya tidak ada perbedaan antara etnis Tionghoa dan Non Tionghoa semua berbaur. Konflik saling ejek-ejekkan tidak pernah ada”.
Berikut di bawah ini rangkuman mengenai pendapat informan mengenai interaksi yang berkaitan dengan keagamaan, yaitu :
Tabel 4.2
Sumber : Berdasarkan hasil wawancara dengan informan siswa/i SMA Sutomo 2, Medan mengenai interaksi dalam keagamaan.
NO Nama Informan Interaksi dalam Keagamaan
1.
Giovannie
Giovanie tidak pernah mendengar ada
permasalahan terkait dengan perbedaan
agama.
2. Michael
Perbedaan agama bukanlah menjadi penentu dalam pemilihan teman.
mengenai agama semua agama tidak pernah mengajarkan permusuhan.
4. Frederick
Setahu Frederick tidak pernah terjadi masalah dalam hal agama.
5. Tria Widya Aprillia
Pada saat agama tertentu yang sedang berhari raya, maka teman-temannya akan saling bersilahturahmi begitu juga pada saat imlek, dan natalan.
6 Lina Sihotang -
7 Adrian William
Agama bukanlah menjadi permasalahan mungkin lebih kepada kenyamanan pribadi yang tidak terbiasa dalam berinteraksi.
8 Farhan Surbakti
Tidak pernah ada permasalahan agama
9 Samuel Simbolon
Dalam hal agama masih saling tertutup mungkin karena belum terlalu kenal lama
10 Denny Wijaya
Ada sedikit masalah agama, biasanya hanya saling ejek-ejekkan saja, selebihnya akan baikan pada saat itu juga.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, Interaksi sosial yang melibatkan keagamaan di Perguruan SMA Sutomo 2 Medan dikarenakan keanekargaman agama terutama pada siswa yang melakukan interaksi, berbaur
dan bergaul di lingkungan sekolahnya. Interaksi yang terjalin antar siswa ternyata berjalan dengan baik, siswa saling bertoleransi terhadap perbedaan agama. Agama bukan di jadikan acuan sebagai pemisahan antara individu dengan individu, individu dan kelompok serta kelompok dengan kelompok.
Sekolah juga tidak membatasi siswanya untuk melakukan kegiatan keagamaan, malahan di wajibkan untuk siswa dalam menekuni keagamaan berdasarkan agama yang dianutnya. Seperti pada saat pelaksanaan shalat jum’at siswa laki-laki yang beragama islam akan melaksanakan aktivitas keagamaan, dan sekolah juga memberikan kelonggaran waktu dengan mempercepat jam pulang sekolah pada saat hari jum’at.
Seperti yang di ungkapkan oleh Kepala Sekolah SMA Sutomo 2, Medan, berikut penuturan informan :
“ Kegiatan keagamaan itu merupakan kewajiban setiap manusia,
manusia tidak akan bisa apa-apa tanpa tuhan , pendidikan dan agama haruslah sejalan, lihat sajalah para koruptor itu didasari karena tidak adanya ikatan yang kuat dengan tuhan, setiap agama mau kristen, islam, buddha diberikan ruangan khusus keagamaan untuk bisa lebih mendekatkan diri dengan tuhan, misalnya ruangan agama islam, juga terdapat ruangan sholat untuk beribadah ya walaupun ruangan tersebut tidak terlalu besar, begitu juga dengan agama kristen dan buddha diberikan fasilitas untuk beribadat”.
Siswa SMA Sutomo 2 sangat menghargai keagamaan, melalui toleransi serta solidaritas dalam interaksi tidak hanya itu saja bentuk interaksi sosial juga terjadi dalam proses kegiatan belajar dan mengajar artinya kegiatan keagamaan di sekolah juga terdaftar didalam dunia pendidikan secara tekstual. Agama menjadi panutan didalam ilmu pengetahuan tanpa adanya tuhan tentu semua yang ada didunia ini tidak akan pernah terjadi.