Untuk dapat mengimplementasikan nilai multikultural yang sejognya haruslah di terapkan dalam lingkungan pendidikan, disini terdapat dua unsur penting dalam mengefektivitaskan konsep nilai multikultural khususnya yang terjadi di SMA Sutomo 2, Medan. Pada bagian latar belakang telah di uraikan mengenai latar belakang mengapa penulis membahas mengenai interaksi antar siswa di sekolah tersebut, dalam hal ini pentingnya menjaga nilai multikultural di karenakan sekolah tersebut mayoritas etnis Tionghoa, lalu berdasarkan hasil observasi di SMA tersebut ternyata prinsip nilai multikultural tersebut tidaklah berjalan dengan sesuai.
Hargai menghilangkan dari nilai budaya tersendiri melainkan mempertahankan nilai budaya tersebut tetapi dengan saling menghargai budaya lain sebagai bentuk toleransi kita terhadap perbedaan, begitu juga yang penulis ingin lihat melalui interaksi antar siswa SMA Sutomo 2, Medan. Siswa yang ada di sekolah tersebut merupakan anggota masyarakat yang berasal dari keluarga yang berbeda pula satu dengan yang lainnya, dari segi bahasa, budaya, agama dll sebagainya, namun ketika siswa – siswa tersebut memasuki dunia pendidikan maka para siswa mendapatkan pengetahuan yang lebih luas lagi dan yang terpenting memahami apa itu menerima perbedaan baik dari segi agama, bahasa, etnis, budaya dan bahkan ideologi yang berbeda pula antarsiswa.
Indikator yang menjadi landasan terjadinya pemahaman siswa dalam interaksi mereka melalui adanya sikap saling keterbukaan tanpa harus memandang suku, karena yang terjadi di sekolah tersebut masalah keagamaan tidaklah menjadi perbedaan yang terlalu mencolok,hal tersebut di karenakan
agama itu bersifat universal, tetapi kalau bersinggungan dengan etnis, maka hal tersebut cenderung ingroup, seperti halnya yang ada di sekolah tersebut siswa tidak mempermasalahkan sama sekali mengenai perbedaan agama karena siswa yang Tionghoa juga ada yang menganut agama islam, dan agama kristen tidaklah menjadi patokan bahwa siswa yang etnis Tionghoa akan selalu beragama Buddha.
Berdasarkan hasil observasi, penulis mendapati bahwa ternyata siswa tidaklah memiliki keterbukaan yang signifikan dalam hal pergaulan mereka baik di kelas dan diluar kelas, hal tersebut terkait dengan adanya tingkat kenyamanan mereka selama berinteraksi dan bergaul dengan sesama teman mereka, ternyata tingkat kenyaman menjadi tolak ukur dalam berteman, tetapi setiap siswa akan saling melakukan kontak sosial, baik menyapa, menegur, bersenda gurau, tapi hanya sebatas teman saja. Jika untuk berteman baik, para siswa akan memilih teman yang berasal dari sesama mereka saja misalnya etnis Tionghoa dengan yang Tionghoa juga dan sebaliknya begitu. Sikap keterbukaan yang merupakan salah satu indikator terjalinnya nilai multikultural ternyata tidak berjalan dengan baik, hal tersebut juga dipaparkan oleh siswa yang menjadi informan penulis di SMA Sutomo 2, Medan.
Pemahaman mengenai nilai multikultural juga harus melalui hubungan yang dialogis dalam melakukan interaksi sosial, yaitu melalui proses komunikasi agar apa yang ingin kita sampaikan dapat memahami apa yang ingin kita sampaikan.Begitu juga dengan apa yang penulis lihat pada saat observasi di lapangan. Berdasarkan hasil observasi ternyata siswa memilki permasalahan yang menyangkut penggunaan bahasa yang ingin di sampaikan. Terkait dengan penggunaan bahasa yang dominan di lingkungan sekolah
tersebut yaitu bahasa Hokkien. Tentunya tidak terjadi kesepakatan dengan syarat terjadinya interaksi sosial antar siswa SMA Sutomo 2, Medan tersebut. Siswa yang tidak memahami bahasa hokkien akan mengalami sedikit perasaan yang dikucilkan karena ia tidak paham dengan bahasa Hokkien. Akhirnya pengelompokan atau ingroup pun terjadi. Berdasarkan data di lapangan siswa yang berasal dari etnis Tionghoa memiliki keengganan jika berbicara dengan siswa yang Non Tionghoa, dan hanya berbicara jika ada yang di perlukan saja, tetapi untuk berteman dekat apalagi untuk berbicara mengenai masalah pribadi mereka lebih memilih untuk berteman dekat dengan sesama mereka saja. Pada akhirnya tidak terjadi interaksi sosial yang baik di antara para siswa jika dari berkomunikasi saja mereka memiliki keterbatasan untuk saling memahami perbedaan masing-masing.
Siswa yang ada di SMA Sutomo 2, Medan menyadari dengan adanya heterogenitas di antara mereka, khususnya untuk siswa yang Non Tionghoa sebelum masuk ke sekolah tersebut mereka mengetahui kondisi dari sekolah tersebut, namun ada kepercayaan yang di berikan oleh orang tua siswa agar anak-anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik daripada bersekolah di SMA Negeri. Dari segi fasilitas sekolah tersebut sangat memadai. Heterogenitas yang ada disekolah diakui oleh sisw yang Non Tionghoa dan Tionghoa tetapi mereka saling memberikan pemahaman berinteraksi dan berteman selayaknya teman di kelas. Hal tersbut dengan terbuktinya adanya toleransi yang ckup tinggi diantara mereka, terkait dengan agama, ketika siswa dari agama lain mengadakan acara perayaan hari besar agama baik islam, kristen, dan buddha, siswa memiliki acara hala bihalal diruangan agama yang disediakan oleh sekolah, begitu juga dengan sesama
guru. Tidak ada larangan untuk siswa yang beragama islam untuk mengenakan jilbab dan begitu juga dengan gurunya. Toleransi di sekolah ini di bangun untuk saling menekankan penerimaan perbedaan. Sejauh ini tidak ada permasalahan mengenai perbedaan agama, hanya saja ketika berkaitan dengan etnisistas, siswa memiliki sedikit kesenjangan dengan siswa yang Tionghoa dan Non Tionghoa hal tersbut juga dikatakan oleh para siswa yang menjadi informan bahwa mereka cendrung ingroup.
Manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak akan dapat berdiri sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain begitu juga dengan siswa SMA Sutomo 2, medan. walaupun mereka memiliki kesenjangan di antara siswanya hanya saja nilai dari tolong menolong tetap berjalan dengan apa adanya, misalnya pada saat meminjamkan sesuatu berupa catatan, diskusi mengenai pelajaran bahkan melakukan kegiatan eksul bersama-sama, manusia tidak akan bisa hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari porang lain.. Tidak hanya itu saja para guru juga yang berasal dari latar belakang yang berbeda tidak akan memiliki rasa diskiriminasi terhadap budaya lain, keadilan yang ada diskolah tersebut juga menjunjung tinggi nilai tersebut, hal tersebut dikarenakan nilai yang didapat siswa sesuai dengan apa yang ia kerjakan pada saat ujian, dan seberapa aktif ia dikelas menjadi poin penting bagi siswa untuk bisa mendapatkan prestasi yang baik di kelas.
Terkait dengan pembahasan guru, pada dasarnya standart nasional dalam penggunaan bahasa daerah dilarang pada saat kegiatan belajar mengajar hanya saja pada saat observasi dilapangan, ternyata guru juga menggunakan bahasa daerah, bahkan pihak kepala sekolahnya juga menggunakan bahasa daerah ketika berbicara dengan siswa ataupun staff yang berasal dari etnis
Tionghoa juga. Tetapi berdasarkan hasil wawancara dengan informan menyatakan bahwa sama sekali tidak ada diskriminasi terhadap nilai yang diberikan oleh para guru tanpa memandang dari SARA.
Setiap manusia memiliki perbedaan yang menjadikan ciri khas dari setiap manusia, tuhan menciptakan perbedaan untuk bisa saling memahami dan bertoleransi agar terjadi kesinambungan di antara umatnya, berkaitan dengan hal interaksi yang ada di SMA Sutomo 2, medan siswa nya satu sama lain saling mengenal hanya saja tidak terjalin keakraban yang signifikan. Keakraban yang terbentuk berupa kerjasama dalam mengerjakan tugas diskusi kelompok, interaksi antar siswa tentunya memiliki rasa persamaan tetapi dalam konteks status sebagai seorang siswa yang merupakan bagian dari anggota masing-masing.
Namun halnya masih ada berupa pandangan beberapa siswa khususnya yang beretnis Tionghoa terhadap siswa yang Non Tionghoa dikarenakan pandangan masa lalu mengenai diskriminasi etnis Tionghoa. Indikator telaksannnya nilai multikultural salah satunya yaitu dengan memiliki sikap berbaik sangka terhadap sesama siswa, namun masih ada terjadi ingroup seperti yang telah dipaparkan oleh beberapa informan bahwa terkadang siswa yang Tionghoa menjelek-jelekkan siswa Non Tionghoa, tetapi tidak semua siswa yang bersikap demikian. Dengan adanya sikap yang memiliki pandangan positif maka tentunya akan berdampak juga terhadap rasa nasionalisme bangsa, jika pemahaman pancasila benar-benar diterapkan pada siswa SMA Sutomo 2, maka hal tersebut pastinya akan memberikan progress terhadap interaksi siswa yang cenderung menunjukkan sikap tertutup ingroup yang terjadi di antara siswa Tionghoa dan Non Tionghoa di SMA Sutomo 2,
Medan. berdasarkan hasil observasi ternyata implementasi nilai multikultural tidak berjalan dengan semestinya, para siswa masih memiliki jarak di antara siswanya, walaupun berdasarkan pernyataan pihak sekolah tidak memberikan pernyataan yang sama, sementara para siswa mengajui adanya jarak yang begitu mencolok berupa kesenjangan yang terjadi di lingkungan siswanya.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan isi dari latar belakang sampai dengan interpretasi data yang telah diteliti oleh penulis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan proses interaksi yang terjadi di antara siswa menciptakan suatu struktur hubungan yang terbentuk di lingkungan sekolah dan bahkan diluar kelas. Hubungan tersebut dapat bersifat positif dan juga bersifat negatif. Terbentuknya suatu hubungan yang efektif dan efisien terjadi karena adanya proses interaksi melalui kontak dan dilengkapi melalui komunikasi yang digunakan oleh siswa yang bermayoritas Tionghoa. Komunikasi sangat berperan penting dalam terlaksananya interaksi yang bisa memberikan pengaruh besar terhadap kerjasama, solidaritas, karena melalui komunikasi semua apa yang ingin di sampaikan akan dapat tercapai dengan baik. Jika tercapainya komunikasi yang baik dalam interaksi antar siswa maka bisa dikatakan bahwa akan terlaksana pula nilai-nilai multikultural yang melatarbelakangi terciptanya rasa nasionalisme yang tanpa ada lagi memandang perbedaan SARA.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di SMA Sutomo 2, Medan, beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian yang telah dilakukan antara lain:
1. Bentuk interaksi sosial yang Assosiatif tidak terjalin dengan baik salah satu contohnya dalam bentuk kerjasama hanya terjadi di lingkungan sekolah, pada saat berdiskusi mengenai pelajaran sekolah, tetapi di luar lingkungan sekolah tidak terjalin kerjasama diluar dari pembahasan mengenai materi pelajaran di sekolah. 2. Hampir semua siswa berteman di kelas, tetapi hanya saja masih memiliki sedikit
rasa kurang nyaman untuk bisa berteman dekat dengan siswa yang berasal dari budaya yang berbeda.
3. Interaksi dalam hal komunikasi yang baik berkaitan dengan penggunaan bahasa merupakan faktor penting dalam kelangsungan proses interaksi antar siswa, namun pada kenyataannya tidak terjalinnya proses komunikasi yang baik terbukti tidak semua siswa yang berasal dari Non Tionghoa paham mengenai penggunaan bahasa daerah, peran dan sikap guru juga mempengaruhi pola pikir siswa yang beranggapan bahwa penggunaan bahsa daerah menajdi hal yang lumrah dikalangan sekolah.
4. Terdapat kesenjangan di antara para siswa hal tersebut tercermin dari proses interaksi sosial antar siswa SMA Sutomo 2, medan. kesenjangan tersebut terbentuk atas dasar memiliki persamaan dalam hal budaya, secara fisik sama, etnis yang sama dan bahkan dalam berkomunikasi menggunakan bahasa daerah, khususnya ini terjadi pada siswa yang etnis Tionghoa, atas dasar seperti itu maka siswa yang Non Tionghoa merasa memiliki persamaan yaitu sama-sama sebagai siswa yang golongan minoritas di sekolah tersebut khususnya di tingkat SMA.
5.
Khusus menurut pandangan guru SMA Sutomo bahwa sanya tidak terlalumempermasalahkan penggunaan bahasa daerah hal tersebut di karenakan faktor lingkungan di sekolah mayoritas siswanya etnis Tionghoa. selagi tidak pernah ada
terjadi konflik yang signifikan, penggunaan bahasa daerah dianggap hal yang biasa saja.
6.
Tidak ada perlakuan khusus apapun yang didapatkan oleh siswa etnis Tionghoa dan begitu juga siswa yang Non Tionghoa.5.2 Saran
1.
Para siswa harus mampu memahami bahwa pada dasarnya setiap siswa di dalam dunia pendidikan memiliki hak dan kedudukan yang sama, jangan memandang perbedaan suku, agama, budaya.2. Siswa diharapkan bisa lebih terbuka dan tidak memilih teman dalam hal pergaulan.
3. Para guru harus lebih memperhatikan pergaulan antar siswa yang cenderung mengelompok.
4. Dalam hal ini guru harusnya bisa memberikan pemahaman nilai-nilai multikultural yang lebih baik lagi tidak perlu memandang lagi nilai-nilai primordial karena pada dasarnya bangsa indonesia multikultural.
4. Guru sebagai suri tauladan untuk bisa terus meningkatkan lagi pembelajaran mengenai multikulturalisme khususnya siswa di SMA Sutomo 2, Medan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA