• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interaksi Sosial Antar Siswa (Studi Deskriptif : Yayasan Perguruan SMA Sutomo 2, Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Interaksi Sosial Antar Siswa (Studi Deskriptif : Yayasan Perguruan SMA Sutomo 2, Medan)"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Basrowi,M.S. (2005). Pengantar Sosiologi. Bogor : Ghalia Indonesia

Bungin,H.M. Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenaada Media Group

Hasbullah, Jousari. (2006). Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR – United Press.

H.A.R Tilaar. (2007). Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta

Maliki,Zainuddin. (2008). Sosiologi Pendidikan. Yogjakarta : Gajah Mada University Press

Nasution,S. (2010). Sosiologi Pendidikan. Bandung : Bumi Aksara

Nawawi,Hadari.(1994). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta:Ugm Press

Poerwanto,Hari. (2000). Kebudayaan dan Lingkungan dalam perspektif Antropologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Soekanto,Soerjono. (2007). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo

Suparlan,Parsudi. (2005). Suku Bangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa, Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian

Sistem Pendidikan Nasional Undang – Undang No.20 Tahun 2003 Sumber Lain

(2)

Imam, Aji. (2012). Pengaruh Keterlaksanaan Nilai-Nilai Multikultural Terhadap Sikap Pluralis Siswa SD Sekecamatan Umbul Harjo. Yogjakarta. Skripsi. (http://eprints.uny.ac.id). (diakses 25 September 2013)

Amin, Maulani (2011). Transformasi Learning Dalam Pendidikan Multukultural Keberagaman. Tulungagung: Jurnal Pembangunan Pendidikan. STKIP PGRI Tulungagung. Journal.uny.ac.id . (Diakses 10 Oktober 2013)

Otto, Gultom. 2011. Pola Interaksi Sosial Siswa/I Berbeda Agama (Studi Deskriptif Yayasan

Perguruan SMA Raksana, Medan. Skripsi.

(3)
(4)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan atau melukiskan apa yang sedang diteliti dan berusaha untuk memberikan gambaran yang jelas dan mendalam tentang apa yang diteliti dan menjadi pokok permasalahan. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dari apa yang diamati (Nawawi,1994:203)

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Yayasan Perguruan Sma Sutomo 2 Medan terletak di jalan Deli Indah IV N Sekolah ini dikarenakan peneliti berasal dari sekolah tersebut dan sering berinteraksi dengan banyak siswa ataupun guru yang berasal dari latar belakang etnis berbeda, sehingga memudahkan peneliti dalam mendapatkan data penelitian.

3.3Unit analisis dan Informan 3.1.1 Unit Analisis

(5)

penelitian ini adalah siswa/i, guru, serta Kepala Sekolah SMA Sutomo 2, Medan. Data diperoleh secara langsung di SMA Sutomo 2 Medan.

3.1.2 Informan

Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian. Informan dianggap orang yang menguasai dan memahami data, informasi, ataupun fakta dari suatu obyek penelitian (Burhan Bungin 2008:108). Adapun orang-orang yang menjadi informan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua jenis informan yaitu informan kunci dan informan biasa yang mendukung penelitian.

1. Informan Kunci

Dalam penelitian ini yang menjadi informan kunci adalah Siswa/i SMA Sutomo 2, Medan.

2. Informan Biasa

Dalam penelitian ini yang menjadi informan biasa adalah guru, kepala sekolah SMA Sutomo 2, Medan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Primer

Teknik pengumpulan data primer adalah pengumpulan data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung ke lokasi penelitian (field research) untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara :

(6)

yang terlibat langsung dalam lingkungan SMA Sutomo 2, Medan. Observasi ini dilakukan untuk mendapatkan data yang mendukung dari hasil wawancara. 2. Wawancara yaitu proses tanya jawab secara langsung ditujukan terhadap informan di lokasi penelitian dengan menggunakan panduan atau pedoman wawancara dan tape recorder. Salah satu bentuk wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam yang ditujukan terhadap informan kunci dilakukan untuk memperoleh data dan informasi tentang nilai-nilai multikultural terhadap interaksi sosial siswa.

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder yaitu semua data yang diperolah secara tidak langsung dari objek penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan penelitian perpustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu menghimpun berbagai informasi dari buku-buku referensi, jurnal, majalah dan internet yang dianggap relevan dengan penelitian ini.

3.5 Interpretasi Data

(7)

3.6 Jadwal Penelitian

No Jenis Kegiatan Bulan Ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Observasi √

2 Penyusunan Proposal Penelitian √ √

3 Seminar Penelitian √

4 Revisi Proposal Penelitian √

5 Penelitian ke Lapangan √

6 Pengumpulan dan Analisa Data √

7 Bimbingan √ √ √ √

8 Penulisan Laporan Akhir √

(8)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1 Deskripsi Wilayah

4.1.1 Sejarah Singkat SMA Sutomo 2 Medan

SMA Sutomo 2 Medan merupakan salah satu SMA yang terfavorit yang ada di kota Medan, Sumatera Utara. SMA Sutomo 2 Medan dulunya didirikan oleh Yayasan Perguruan Sutomo. Perguruan Sutomo dulunya merupakan sekolah sutung (Sumatera Timur) yang didirikan pada tahun 1926. Beberapa tahun kemudian terjadi pergantian nama secara resmi pada 28 Februari 1958 berubah menjadi Sutomo di bawah Yayasan yang juga bernama Sutomo, maka itu lahirlah Yayasan Perguruan Sutomo. Pelopor pendiri Yayasan Perguruan Sutomo di awali oleh Soo Lean Toii, Oei Moh Toan, dan Hadi Kusuma (Khoo Peng Huat). Yayasan Perguruan Sutomo pada awalnya hanya membangun sekolah pada tingkatan SD, SMP, dan SMA. Enam tahun kemudian tepatnya pada tahun 1964 mulai didirikan jenjang pendidikan TK semakin berkembangnya zaman maka 28 tahun kemudian didirikan jenjang

Playgroup tepat pada tahun 1992.

(9)

lokasi sekolah. Maka dari itu pembangunan gedung sekolah di pindahkan di Pulo Brayan yang menjadi cikal bakal berdirinya Perguruan Sutomo 2 akibat perpecahan daerah, maka pada tahun 1982 berdirilah secara resmi Sutomo 2 yang merupakan cabang dari Sutomo 1, terletak di Jalan Deli Indah IV No.6. Berikut sejarah berdirinya perguruan Sutomo 2 dengan SK.No.34, Izin Operasional No.420/9217.PPD/2009. SK. Akreditasi Dd 0341060. A, yang pada saat ini khususnya untuk jenjang SMA Perguruan Sutomo 2 di pimpin oleh Kepala Sekolah yaitu Hendra, ST. M.pd dan Wakil Kepala Sekolah, yaitu Thompson Simanjuntak, S.Sos.

4.1.2 Kondisi Geografis SMA Sutomo 2 Medan

SMA Sutomo 2 Medan terletak di Jalan Deli Indah IV No. 6, Kelurahan Pulo Brayan Kota, Kecamatan Medan Barat, yang juga berhadapan dengan sekolah swasta lainnya yang di batasi oleh aliran sungai deli. Selain itu ada juga beberapa sekolah yang posisinya juga tidak beberapa jauh dari Perguruan Sutomo, banyak terdapat SMA Misalnya SMAN 3, Perguruan Martadinata, PAB, Sinar Husni, Perguruan Yos Sudarso, dan lain-lain, tidak hanya itu saja letak Sutomo 2 ini berada di posisi strategis dengan pusat pasar di Pulo Brayan kota dan juga ada jembatan layang yang berguna untuk mwnghindari kemacatan di wilayah area sekolah.

(10)

biologi, ruang multimedia, klinik kesehatan, ruang BP/BK, koperasi sekolah, pos satpam, dan khusus untuk ruangan kelas SMA terdiri dari 16 kelas saja.

4.1.3 Denah Lokasi Perguruan SMA Sutomo 2

Denah lokasi SMA Sutomo 2, Medan

Jln. Deli Indah IV No.6, Kelurahan Pulo Brayan, Kecamatan Medan barat

(11)

4.1.4 Fasilitas SMA Sutomo 2 Medan

SMA Sutomo 2 Medan memiliki beberapa fasilitas, antara lain :

1. Pembelajaran di kelas dengan menggunakan white board

2. Di setiap ruangan kelas menggunakan fasilitas AC sebanyak 2 buah pada tiap kelas. 3. Terdapat ruangan agama baik agama islam, kristen dan juga agama buddha. Khusus

untuk agama Islam di sediakan musholla kecil untuk bisa melaksanakan shalat 5 waktu.

4. Materi pembelajaran beberapa bahasa asing, seperti : Bahasa Mandarin, Bahasa Jepang dan Bahasa Inggris, di karenakan semua bahasa yang si sebutkan di atas merupakan bahasa Internasional dalam rangka memenuhi globalisasi dunia sebagai bekal generasi muda di SMA Sutomo 2 dalam melanjutkan jenjang karir ke perguruan tinggi.

5. Pengembangan diri siswa melalui berbagai kegiatan ekstrakulikuler, seperti: a. Olahraga

b. Paduan suara c. Basket d. Futsal

e. Bulu Tangkis f. Tenis Meja

(12)

7. Klinik yang tersedia untuk mengantisipasi siswa yang sedang kurang sehat, terdiri dari klinik umum dan klinik gigi dengan biaya yang gratis untuk setiap siswa dan juga staff pengajar.

8. Kantin sekolah yang terjamin kehalalannya walaupun semua disini bermayoritas

tionghoa tapi kantin tetap terjaga kehalalannya terbukti dengan para pegawai kantin beragama islam.

9. Koperasi Sekolah yang menjual barang-barang keperluan siswa terdiri dari seragam sekolah, alat tulis (ATK), buku tulis resmi dari Yayasan Perguruan Sutomo dan lain sebagainya.

10. Gedung Olahraga Indoor berupa tenis meja, bulu tangkis, paduan suara 11. Lapangan Olahraga Out door berupa futsal dan juga basket

12. Laboraturium yang terdiri dari laboraturium kimiaa, fisika, biologi, laboraturium bahasa.

(13)

4.1.5 Jumlah Siswa SMA Sutomo Medan

Tabel 4.1 Kelas

No Kelas Jumlah

Jumlah Siswa Agama

Jumlah Ket

LK PR JLH I K B

1 X 5 127 136 263 17 25 221 263 263

2 XI IPA 3 70 68 138 14 20 104 138

275

3 XI IPS 3 60 77 137 7 18 112 137

4 XII IPA 3 86 68 154 10 19 125 154

269

(14)

4.1.6 Komposisi dan Susunan Guru dan Staff di SMA Sutomo 2, Medan

1. Kepala Sekolah, yaitu Hendra, S.T, M.Pd

2. Wakil Kepala Sekolah, yaitu Thompson Simanjuntak, S.Sos

Staff Pengajar tingkatan SMA, yaitu:

1. Bahasa Indonesia : Lilis Marianti, Dra 2. Bahasa Inggris : Susanto, S.T. S,Pd 3. Bahasa Mandarin : Ham lin Haw 4. Bahasa Jepang : Jhonny Binsar, S.Pd 5. Agama : Islam ( Hj. Hanidar, Dra)

Kristen (Ronatal Lumban Nahor,S.Pd) Buddha ( Khadirin, S.Ag)

6. Pendidikan Kewarganegaraan: Ruskiana Manurung, Dra 7. Sosiologi : Lesco Siahaan, Drs 8. Sejarah : Henra R Saragih, Dra 9. Seni Budaya (Musik & Tari) : Jenny D, Siagian, A.Md 10. Seni Rupa : Asnawi, S.T

11. Fisika : Libert Y. Napitupulu S.T, S.Pd, M.M 12. Biologi : Maju Silalahi, S.Tp

13. Kimia : Sahala B. Manik, S.Si, S.Pd 14. Matematika : Yohannes Bunardi, Drs 15. TOEFL : Peppyta Sitepu, S.S

(15)

Jumlah guru yang mengajar pada tingkatan SMA, berdasarkan data di lapangan guru yang mengajar juga memiliki latar belakang budaya yang berbeda, kebanyakan para guru juga bersuku batak dibandingkan dengan suku Tionghoa. Hal tersebut sangat kontras melihat siswa yang mayoritas Tionghoa tetapi pada saat tenaga pengajarnya lebih banyak suku Batak, dalam hal ini tidak ada perbedaan yang begitu signifikan jika hanya menilai dari siswanya saja, seperti yang penulis paparkan di latar belakang, bahwa tidak ada larangan tertentu untuk calon siswa masuk ke Perguruan Sutomo 2, begitu juga dengan kapasitas guru.

Berdasarkan data di lapangan, ternyata guru yang mengajar juga sebagian besar berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan juga mengajar menjadi seorang dosen di Perguruan Tinggi Negeri dan juga Perguruan Tinggi swasta, guru yang mengajar sesuai dengan keahlian dan bidang studi yang di kuasai yang bertujuan agar pendidikan yang diterapkan tidak keluar dari jalurnya.

(16)

kedisiplinan dan penghormatan pada guru, karena di anggap sudah dekat. Jadi dalam hal ini guru menyesuaikan peranan dan posisinya menurut situasi sosial yang di hadapinya.

4.1.7 Visi dan Misi

Adapun yang menjadi visi dan misi SMA Sutomo 2 medan adalah sebagai berikut :

Visi

“Mewujudkan Perguruan Sutomo 2 sebagai lembaga pendidikan yang membentuk peserta didik berbudi pekerti dan berprestasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi”.

Misi

1. Mengembangkan pendidikan karakter

2. Mengembangkan potensi dan kreatifitas peserta didik yang mampu bersaing 3. Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses

pembelajaran

(17)

4.1.8 Tata Tertib SMA Sutomo 2, Medan

1. Hadir di sekolah sebelum pukul 07.30 WIB

2. Setiap hari senin dan hari besar nasional dilakukan upacara kenaikan bendera mulai pukul 7.15 WIB yang diikuti oleh semua siswa, guru dan pegawai.

3.. Siswa tidak boleh datang terlambat

4. Siswa yang terlambat tidak diizinkan masuk sebelum melapor ke kantor BP.

5. Diwajibkan semua siswa mengikuti salah satu ekstrakulikuler misalnya olahraga atau ekstrakulikuler yang di tentukan.

6. Pelajar yang berhalangan hadir di wajibkan memberitahukan sakit melalui orang tua dan beserta surat dokter

7. Pelajar yang memakai kendaraan sebelumnya harus melaporkan ke kantor BP.

8. Setiap pelajar harus berpakaian seragam dengan memakai atribut Sutomo secara lengkap dan harus bersih tanpa ada coretan menurut tingkatan

masing-masing.

(18)

10. Pelajar pria dilarang memakai celana sempit, berambut panjang , memelihara kumis, janggut, memakai perhiasan, kuku panjang dan gelang aksesoris lainnya.

11. Pelajar tidak boleh mengganggu proses belajar mengajar

12. Pelajar tidak bole membawa makanan di dalam kelas kecuali air minum

13. Pelajar tidak bole meninggalkan sekolah sebelum waktunya

14.Pelajar tidak di perbolehkan cakap kotor, bersorak soak di jalanan hendak ke sekolah

15. Tidak di benarkan bermain video, billiard, taruhan

16.Tidak di perbolehkan membawa komik, majalah, kaset video yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran dan dapat mengganggu belajar.

17.Tidak bole memakai contact lens berwarna

18. Mencat Rambut warna warni

19.Tidak boleh merusak sarana sekolah seperti, meja, kursi, pintu, papan tulis, dll.

20. Tidak bole membawa rokok, obat perangsang, dll yang tidak sepatutnya di bawa ke sekolah.

21.Tidak boleh menjadi sponsor perkelahian atau mengadu domba antar siswa.

(19)

23. Membawa alat permainan yang berupa judi atau taruhan.

24.Tidak boleh mengadakan transaksi jual-beli sesama teman di sekolah.

25. Tidak boleh mencemarkan nama baik sekolah.

26. Setiap siswa berkewajiban mentaati tata tertib sekolah dan bertanggung jawab.

27. Setiap pelajar harus melunasi uang sekolahnya sbelom tanggal 15 setiap bulan, kalau tidak melunasinya akan dikenakan sanksi.

28. Setiap pelajar tidak diperbolehkan memasuki lokasi/ ruangan kelas lain tanpa ada izin.

29. Murid yang meninggalkan sekolah haruslah memiliki alasan yang jelas, harus ada wali orang tua ataupun telfon dari orang tua.

30. Setiap kali guru masuk mengajar ke ruangan kelas dan meninggalkan ruangan kelas, murid-murid berdiri, atas aba-aba dari ketua kelas/wakilnya memberi hormat dengan menundukkan kepala secara sopan dan sikap baik.

31. Setiap tamu yang mengunjungi kelas disertai oleh kepala sekolah atau wakilnya, pemberian hormat dilakukan oleh siswa, ketika memasuki ruangan dan meninggalkan kelas.

32. Sanksi dan tindakan pembinaan dilakukan secara edukatif, persuasif, manusiawi, tidak konfrontatif, tidak massal.

(20)

34. Membuat perjanjian tertulis yang disaksikan oleh orang tua/wali siswa yang bersangkutan.

35. Dirumahkan bahkan dikeluarkan oleh pihak sekolah.

4.2 Profil Informan

Nama : Lina Sitohang

Kelas : X

Agama : Kristen

Suku : Tionghoa

Informan yang pertama ini bernama Lina, Seorang siswa perempuan yang berusia 16 tahun. Siswa yang memiliki darah campuran suku batak dan tionghoa yang di dapat dari keturunan orang tuanya. Lina mengatakan bahwa ayahnya merupakan keturunan etnis tionghoa asli tetapi ayahnya membeli marga “ Sitohang” dengan tujuan untuk bisa berbaur dengan orang batak. Dari segi fisik, lina memang seperti orang-orang tionghoa, tetapi pada saat ditanya suku, dia lebih suka memanggil dirinya sebagai suku batak di bandingka dengan tionghoa, karena nilai seperti itu yang ia dapatkan dari lingkungan keluarganya.

(21)

Sutomo semenjak SMP, dan tentunya atas dorongan orang tuanya. Lina merasa beruntung bisa bersekolah di Sutomo 2, hal tersebut di karenakan fasilitas yang didapatkan lina sangat memadai, dari segi materi, sarana dan prasarananya sangat membantu para siswa untuk bisa belajar efektif. Tidak hanya itu saja lina juga mengakui kecakapan guru di Sutomo 2 sangat pintar dan bagus dalam mengajar para siswa.

Selama lina bersekolah di SMA Sutomo 2, mengakui ada sedikit kesulitan dalam berinteraksi terutama penggunaan bahasa. Apalagi ketika berbicara dengan siswa yang non tionghoa, sedikit ada kesulitan. Hal tersebut dikarenakan siswa yang bersekolah disini mayoritas tionghoa, tetapi selama ini siswa tidak pernah mempermasalahkan itu. Malah sebaliknya siswa saling bertukar bahasa, misalnya suku batak belajar bahasa hokkien dan sebaliknya. Menurt lina terkadang siswa yang non tionghoa sedikit merasa minder ketika berinteraksi dengan siswa tionghoa, mungkin di karenakan penggunaan bahasa dan tidak terbiasa berinteraksi dengan yang tionghoa. Tetapi biasanya itu pada saat baru bersekolah tapi lama kelamaan akan terbiasa dan akan mengerti dengan sendirinya bahasa hokkien.

(22)

Lina menyadari bahwa masih terdapat kesenjangan di antara para siswa, tetapi lina sendiri merasa hal tersebut tidak terjadi pada dirinya, di karenakan lina menyandang marga. Selain itu menurut lina teman-temannya masih suka mengelompokkan teman yang non tionghoa, sebagai contohnya pada saat jam istirahat, mereka lebih suka berteman dengan yang sesama suku. Menurut lina itu biasa terjadi di kalangan siswa, berkaitan dengan kenyamanan para siswa dalam bergaul. Siswa berteman satu sama lain baik di dalam kelas dan diluar kelas, hanya saja pada saat di luar kelas sangat jarang nongkrong bareng. Kecuali pada saat ada yang merayakan ulang tahun maka semua teman di kelas di undang. Menurut lina semua orang itu sama saja, kan kita sama-sama bangsa Indonesia jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan atas dasar perbedaan.

Nama : Frederick

Kelas : XI IPA 1

Agama : Kristen

Suku : Batak

(23)

tentunya banyak di kenal oleh siswa lainnya. Frederick mengatakan secara pribadi, di bandingkan dengan sekolah negeri pendidikan di Sutomo sangat memadai, hal tersebut pernah di rasakan frederick ketika dulu pada waktu SMP di sekolah negeri. Hal tersebut sangat jauh berbeda dari segi materi, fasilitas, guru dan juga pendidikannya.

Sebelum memutuskan sekolah di SMA Sutomo 2, frederick telah mengetahui mengenai keadaan sekolah tersebut dari ayahnya yang mengajar di Sutomo 2, pada awalnya frederick merasa canggung pertama kali masuk SMA, tapi karna teman-temannya tau bahwa frederick anak dari guru jadi F mendapat banyak teman. Begitu juga dengan teman yang tionghoa mereka sangat ramah dengan frederick, tetapi tetap saja frederick merasa itu hanya sebatas teman biasa di kelas. Tapi kalau untuk teman dekat frederick merasa lebih nyaman dengan teman yang sama dengannya misalnya dari suku mana aja yang penting bukan tionghoa, hal tersebut terbentur oleh penggunaan bahasa daerah mereka “ Hokkien”. Frederick mengatakan mana pula dia mengerti bahasa mereka.

(24)

Frederick mengakui kalau selagi di kelas ya kita tegur sapa layaknya anak lain, tapi kalau berbicara urusan pribadi mereka lebih suka dengan teman tionghoa, dan begitu juga frederick sebaliknya, mungki terpaut masalah suku, dan bahasa, tuturnya. Selain itu guru yang frederick lihat di Sutomo khususnya guru SMA kebanyakan orang kita Batak, lebih banyak jumlahnya dari guru tionghoa, dan sejauh ini frederick tidak terlalu peduli dengan penggunaan bahasa para guru karena menurut frederick itu merupakan pribadi masing-masing, karena frederick juga melihat ayahnya menggunakan bahasa batak dengan guru yang suku batak juga. Menurut frederick kesenjangan antara siswa yang tionghoa dan non tionghoa masih terlihat jelas, tetapi selama dia bersekolah tidak pernah mempermasalahkan hanya saja frederick mengetahui ada sedikit agak risih ketika berteman dekat, hal tersebut karena mungkin tidak terbiasa di lingkungan, dirumah juga tidak ada orang tionghoa tuturnya. Selain itu frederick juga tidak memahami sama sekali makna dari multikulturalisme.

Nama : Samuel

Kelas : XII IPA 2

Agama : Kristen

Suku : Batak

(25)

siswa SMA Sutomo 2. Samuel merupakan siswa yang sedang duduk di kelas XII IPA II. Yang melatarbelakangi ia bersekolah di SMA Sutomo 2, medan adalah karena faktor dari orang tuanya sendiri yang menginginkan sekolah di situ, selain itu juga ia telah bersekolah di Sutomo sejak SMP, dan tinggal melanjutkan sekolah tersebut ke jenjang SMA.

Samuel yang juga beragama kristen mengakui harapan yang besar ketika lulus dari SMA Sutomo untuk bisa masuk di Universitas Negeri. Samuel sendiri menyadari Sutomo 2 memiliki kelebihan dibandingkan sekolah negeri atau pun swasta lainnya. Misalnya fasilitasnya, pendidikannya, dan Sekolah di Sutomo 2 sangat terkenal di kota medan. Ketika di tanya mengenai interaksi antar siswa, Samuel mengakui bahwa itu tergantung sistem maksudnya bagaimana siswa saling membawakan dirinya sendiri dalam berteman. Karena kenyamanan kita berteman itu diri sendiri yang membuatnya bukan orang lain, ya kalau kita diam tentunya siapa yang akan mau berteman dengan kita. Apalagi disini mayoritas orang tionghoa.

(26)

terjadi ia mengatakan kurang begitu tau, nyaman sih nyaman berteman dengan mereka ya hanya saja ini berbicara masalah nyambung atau gak, karena terkadang ia merasa tidak nyambung, tuturnya.

Samuel mengatakan bahwa para guru juga menekankan penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan sekolah hanya saja paling di ulangi lagi, tidak hanya itu saja sesama guru terkadang menggunakan bahasa daerah jadi ya tidak ada masalah sama sekali, itukan tergantung pribadinya. Samuel juga memahami makna multikulturalisme bahwa indonesia ini terdiri dari banyak budaya, oleh karena itu samuel merasa tidak ada yang berbeda dari siswa di sini walaupun mereka etnis tionghoa ya walau terkadang masih suka ejek-ejekan misalnya bilang “ Kau cina atau kau batak” ya paling hanya ejek-ejekan becandaan. Samuel mengatakan bahwa adanya sikap yang tidak mau terbuka dengan suku ataupun agama lain di karenakan mungkin belum terlalu kenal lama.

Nama : Giovanie

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 17 Tahun

Kelas : XII IPS 2

Agama : Buddha

Suku : Tionghoa

(27)

mendengar daripihak keluarganya yang merekomendasikan sekolah tersebut kepada orang tuanya dan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di jenjang SMA di Sutomo 2. Pada awalnya ia merupakan siswa pindahan yang berasal dari Pulau Jawa, kepindahannya di karenakan ikut orang tua. Giovanie mengatakan merasa senang bisa bersekolah yang secara etnis dan agama mayoritas tionghoa dan juga buddha, hal tersebut di karenakan baik agama, etnis semuanya sama. Selain itu guru di Sutomo 2 sangat baik dan pintar dalam memahami siswanya, tanpa ada perlakuan khusu terhadap siswanya. Guru yang tionghoa sangat toleransi dalam menempatkan penggunaan bahasa daerah misalnya pada saat berbincang berdua dengan siswanya memnggunakan bahasa daerah tetapi kalau dalam kelas gurunya tidak akan menggunakan bahasa daerah.

(28)

keterbatasannya di dalam menggunakan bahasa daerah, dan mungkin faktor itu juga yang membuatnya merasa minder berteman dengan teman yang tionghoa.

Semakin lama ia merasa heran mengapa temannya mengelompokkan sesama teman misalnya yang non tionghoa dengan yang non tionghoa dan sebaliknya begitu. Kalau sebatas interaksi teman, ya semuanya berteman tutur Giovanie. Pada akhirnya ia lebih memilih untuk bersifat terbuka untuk kesemua temannya, tanpa memilih siapa-siapa saja karakteristik temannya. Tetapi kalau masalah agama ia tidak pernah mendengar masalah perbedaan sebaliknya masalah suku yang sering di perbincangkan dan sangat jelas perbedaannya. Saat ini teman dekat ia berasal dari non tionghoa, selai itu Giovanie juga mengakui bahwa ada beberapa temannya pernah menjelek-jelekkan siswa non tionghoa karena giovanie dekat dengan mereka, tetapi giovanie berfikir secara rasional, buat apa membedakan orang toh diri sendiri saja belum tentu baik. Semuanya sama saja semua pada makan nasi hanya saja merk beras yang berbeda tuturnya.

Nama : Tria Widya Aprillia

Kelas : XII IPA 2

Agama : Islam

Suku : Jawa

(29)

bersekolah di Sutomo selain menambah wawasan bisa berteman akrab dengan yang berbeda secara agama, suku dan budaya, sangat jarang orang kita ( non Tionghoa) bisa berkawan dengan mereka tuturnya.

Seingat Tria pada saat pertama sekali dia masuk sekolah pada masa SD, ia tidak menyukai sekolah tersebut, karena ia tidak mengerti apa arti bahasa yang mereka gunakan, mungkin karna saya masih anak-anak celotehnya. Keminderan pasti menjadi hal utama mengapa ia enggan sekolah, tapi seiring berjalannya waktu malahan tria sangat fasih berbahasa daerah/ Hokkien, ini jadi keuntungan tersendiri bagi tria jadi kalau ada siswa yang sedang bertengkar dengan saya dan menggunakan bahasa hokkien maka ia tau, tegasnya. Tria mengatakan selama bersekolah di Sutomo tidak ada perlakuan khusus sama sekali dari pihak guru, malah semua pukul rata baik nilai, perlakuan. Kalau kita pintar ya akan mendapat juara dan sebaliknya jika kita bodoh ya tetap aja bodoh juga ungkapnya. Para guru juga saling memahami satu sama lain, misalnya tidak menggunakan bahasa daerah pada saat mengajar, ya tapi kalau di luar kelas misalnya seorang siswa yang tionghoa berbicara bahasa daerah dengan guru tersebut pasti guru tersebut berbahasa daerah juga, malahan tria juga menggunakan bahasa daerah dengan guru tionghoa dikarenakan lebih fasih dan lebih afdol berkomunikasi, pernyataannya.

(30)

setiap siswa yang non Tionghoa harus mampu beradaptasi dan mempelajari budaya mereka sebaliknya kita juga bisa bertukar informasi misalnya pada saat imlek, lebaran kita suka pada datang kerumah – rumah, dan halal bihalal di kelas dengan guru-guru.

Tria mengatakan ada beberapa siswa yang terkadang sombong, dan suka mengelompok, biasanya mungkin karena lebih pintar, tetapi pemandangan di sekolah ini khususnya di kelas tria, banyak juga temannya yang Tionghoa lebih suka dengan teman yang Tionghoa juga, ya namanya secara bahasa, budaya sama. Begitu juga dengan tria lebih suka dengan siswa yang Non Tionghoa di banding siswa Tionghoa, tetapi pada saat di kelas tria duduk dengan siswa yang Tionghoa alasannya karena sudah temanan dari SD jadi sudah seperti saudara sendiri ungkapnya. Tria berharap tidak ada lagi pandangan negatif tentang SARA, karena semua orang sama maka harus bisa bersosialisasi, lagian di Sutomo 2 juga banyak siswa yang seperti tria non Tionghoa dan sejauh ini tidak pernah ada masalah, semuanya sama saja.

Nama : Adrian William

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 18 Tahun

Kelas : XII IPA 3

Agama : Buddha

(31)

Informan Adrian merupakan salah seorang siswa yang sedang duduk di bangku kelas XII IPA 1, siswa yang berusia 18 Tahun ini memiliki alasan mengapa ia bersekolah di SMA Sutomo 2, Medan di karenakan ia sudah bersekolah dari sejak SD dan merupakan pilihan orang tuanya. Selain itu ia juga memiliki alasan tersendiri memilih sekolah tersebut, orang tua adrian tidak akan mungkin menyekolahkannya di lingkungan Non Tionghoa misalnya di Sekolah Negeri karena pastinya akan di kucilkan, selain itu adrian juga mendengar pengalaman teman-temannya yang pernah bersekolah di Sekolah Negeri, dan mereka di kucilkan dan bahkan di Bully dan di ejek-ejek dengan kata-kata “ China”. Menurut adrian padahal siswa yang Non Tionghoa yang bersekolah di Sutomo 2 tidak pernah di diskriminasi bahkan di kucilkan, malah kita semua saling toleransi dan bahkan mengajari berbahasa daerah.

Menurut adrian tidak ada kesulitan berinteraksi dengan siswa yang Non Tionghoa karena ia juga belajar bahasa Indonesia baik di sekolah dan di luar sekolah, selain itu ia juga mendapat les tambahan di rumah berupa bimbingan belajar, dan pengajarnya adalah orang non Tionghoa. Semua siswa saling berbaur ya paling yang sedikit berbeda pada saat berteman dekat tentunya berteman dekat dengan siswa yang secara budaya dan agama yang sama, tetapi masalah agama tidak pernah di permasalahkan, karena orang Tionghoa juga banyak yang beragama Kristen dan Islam, tegasnya. Menurut adrian tidak ada yang di permasalahkan mengenai agama, dan suku mungkin lebih pada kenyamanan dan tidak terbiasa berinteraksi.

(32)

non Tionghoa, malahan punya eksul bareng basket. Komunitas ya tentu pasti ada, kan lebih nyaman dengan yang sama dengan kita di banding yang berbeda, tuturnya. Hanya saja yang disesalkan Adrian mengapa sampai sekarang masih ada tindakan diskriminasi, seperti yang ia dengar dari seniornya yang berkuliah di Universitas Negeri masih mendapat diskriminasi, dengan di kucilkan padahal menurutnya banyak juga orang yang menggunakan bahasa daerah misalnya batak, jawa, tetapi mengapa berbahasa hokkien terkesan di musuhi. Besar harapan adrian untuk bisa mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada (UGM) maka dari itu di mulai dari sekarang adrian lebih sering menggunakan bahasa Indonesia, agar tidak kesulitan pada saat berinteraksi dengan teman di bangku perkuliahan kelak.

Adrian juga mengatakan bahwa para guru di Sutomo 2 juga lebih banyak orang non Tionghoa, lagian menurut ia Guru yang ada di SMA Sutomo 2 juga sangat pintar dalam mengajar, adrian juga membandingkan kepintaran guru yang non tionghoa dibandingkan dengan yang tionghoa, berdasarkan perbandingan dirinya guru yang Non sangat pintar bahkan guru-gurunya juga mengajar di Universitas baik swasta maupun Negeri. Tetapi pada saat guru yang berbicara sesama Tionghoa tentunya akan berbahasa Hokkien juga, toh guru-guru juga seperti itu menggunakan bahasa daerah masing-masing. Semuanya sama-sama pengertia saja tanpa ada merasa di rugikan. Selama tidak pernah ada konflik yang terjadi tuturnya.

Nama : Denny Wijaya

Jenis Kelamin : Laki-laki

(33)

Kelas : XI IPA 2

Agama : Buddha

Suku : Tionghoa

Informan Denni merupakan salah satu seorang siswa dari kelas XI IPA 2, siswa yang berusia 17 tahun dan bertempat tinggal di jalan pertempuran ini, memiliki latar belakang mengapa ia bersekolah disini, adalah karena orang tuanya telah menyekolahkannya semenjak SD, SMP, bahkan SMA. Ia mengatakan karena menghemat biaya kalau pindahan setiap jenjang kelas dan gratis paling hanya bayar uansg sekolah dan buku. Seingat deni waktu pertama masuk sekolah ia sedikit sulit berinteraksi dengan siswa yang non Tionghoa, terutama dalam penggunaan bahasa. Deni mengakui bahasa Indonesianya dulu sangat sulit, tetapi lama kelamaan sudah terbiasa menggunakannya, apalagi setiap kenaikan kelas Deni selalu sekelas dengan teman yang non Tionghoa.

(34)

menggunakan bahasa daerah pasti di hukum menegerjakan tulisan sebanyak 50 Halaman tuturnya.

Sejujurnya deni merasa “Klop” dengan teman yang Tionghoa, tujuannya bukan bermaksud pilih-pilih teman, hanya saja terkadang susah berkomunikasi menggunakan bahasa campuran. Beruntung kalau dapat lawan bicara yang mengerti bahasa daerah. Kalau dapat teman yang harus di translate kan lagi, ribet ngomongnya, ungkapnya. Berteman ya dikelas saja tidak pernah keluar dengan mereka. Semacam genk ataupun kelompok pasti ada, seperti yang deni katakan di atas pembentukan kelompok semacam ada rasa persamaan, nyaman dan merasa dekat, ya semua orang kan punya teman dekat, jadi menurut deni teman dekat yang paling comfort , ya teman dari Tionghoa. Baik di dalam kelas juga, deni dari dulu duduk dengan siswa Tionghoa.

Konflik yang berkaitan dengan agama ataupun suku, menurut deni ada paling hanya ejek-ejekan saja, selebihnya kita baikan di tempat. Paling parah pernah ada sampai pukul-pukulan di kelas, terus langsung di bawa ke BP dan langsung baikan. Mnurut deni buat apa bertengkar untuk mempermasalahkan perbedaan apalagi zaman sekarang ini semuanya itu sama, globalisasi yang memimpin siapa yang pintar dia yang menang. Harapan deni kedepannya jangan pernah lagi memandang negatif untuk suku ataupun agama yang minoritas, karena semua orang itu baik apa adanya kita sama-sama Indonesia,ucapnya.

Nama : Farhan Surbakti

(35)

Usia : 16 Tahun

Kelas : X-3

Agama : Islam

Suku : Karo

Informan Farhan merupakan salah satu siswa yang duduk di bangku sekolah SMA kelas X-3, siswa yang berusia 16 tahun ini mempunyai latar belakang tersendiri bersekolah disini, pertama di karenakan setahu farhan sekolah Sutomo 2 terkenal dengan muridnya pintar, jadi farh pengen melihat seberapa pintar orang-orang Tionghoa, atas dukungan orang tuanya maka jadilah farhan bersekolah di SMA Sutomo 2, dan sebelumnya farhan juga telah bersekolah semenjak SMP. Farhan mengakui fasilitas yang ia dapatkan di sekolahnya ini. Selain itu ternyata siswa yang non Tionghoa tidak kalah dengan yang Tionghoa terbukti di kelasnya saat ini yang memegang juara 1 adalah orang Non Tionghoa.

(36)

Menurut farhan siswa yang Tionghoa masih suka berkelompok sesama mereka, jadi siswa yang Non Tionghoa mungkin merasa minder karena dari segi fisik, bahasa ya berbeda. Sebenarnya tidak ada yang perlu di pikirkan. Guru juga menekankan persamaan bahwa kita juga sama tidak ada yang beda, tapi lagi-lagi siswanya juga yang bandel jujurnya. Farhan juga bahkan bisa menggunakan bahasa Hokkien, tapi farhan merasa canggung kalau mengucapkan, ya paling ketika ngobrol siswa yang Tionghoa pengertian sendiri berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Lagian di sekolah ini khususnya yang SMA, guru-gurunya kebanyakan orang kita selain itu siswa nya kan juga banyak juga orang kita.

Terkait masalah agama, Farhan yang juga menganut agama Islam, tidak ada larangan untuk menganut agama, semua yang disekolah ini punya kebebasan beragama karena di pelajari 3 agama yaitu Islam, Kristen, dan juga Buddha. Siswa yang beragama Islam juga di perbolehkan memakai jilbab. Gurunya juga yang beragama islam juga memakai jilbab. Tidak ada larangan sama sekali. Saat ini teman dekat farhan adalah siswa yang non Tionghoa walaupun teman sebangkunya adalah siswa Tionghoa. Penuturannya menjelaskan bahwa farhan merasa lebih kompak aja kalau temannya sama dengan dia.

Nama : Kevin

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 17 Tahun

(37)

Agama : Buddha

Suku : Tionghoa

Kevin adalah salah satu siswa yang bersekolah di Perguruan Sutomo 2 sejak dari SD, dan kevin beranggapan bahwa ia sama sekali tidak pernah merasakan adanya diskriminasi terhadap sesama siswa, kevin beranggapan bahwa interaksi di sekolah ini baik-baik saja, lagian kebanyakan siswa yang berasal dari sutomo biasanya juga bisa berbahasa hokkien dan memang kevin mengakui bahwa sebenarnya ada semacam kesalahan dalam berbahasa daerah, tapi kevin menegaskan bahwa itu kan bahasa yang harus di lestarikan, semua orang bebas menggunakan bahasa daerah.

Tidak hanya itu saja kevin mengakui bahwa sanya tidak pernah ada konflik yang besar antara siswa hanya karena permasalahan suku atau pun agama, toh semuanya baik tidak pernah ada yang mengajarkan untuk saling memusuhi, malah sebaliknya jika ada yang mengompor-ompori berarti dia belum dewasa donk, tegas kevin. Masalah kenyaman dalam berinteraksi sebenarnya individualnya dan kevin sendiri tidak pernah menutup akses untuk siapa saja yang ingin berteman dengannya. “Sah- sah saja kalau kita mau

berteman, karna kita sendiri kan tau mana yang baik dan buruk, paling kalau

salah ya kita tegur lah” tegasnya.

(38)

ya biasa aja kalau mendengar siswanya berbicara bahasa daerah, paling hanya guru-guru tertentu saja yang menegur menggunkan bahasa daerah. Selain itu kevin sama sekali tidak mengerti mengenai multikultural.

Nama : Michael

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 18 Tahun

Kelas : XII IPA 3

Agama : Kristen

Suku : Tionghoa

Michael merupakan salah satu siswa yang sedang duduk di bangku kelas XII IPA 3 yang berasal dari etnis Tionghoa dan beragama kristen, michael mengatakan bahwa ia mulai masuk di Perguruan Sutomo sejak SMA, dan sampai pada dia menginjak kelas 3, ia sama sekali tidak meraskan adanya perbedaan yang mencolok antara non Tionghoa dan Tionghoa semuanya sama saja, menurut michael, bahwa pergaulan yang ada di sekolahnya tergolong biasa-biasa saja selayaknya pertemanan yang ia temukan di sekolahnya sebelumnya.

(39)

tidak merasa ada perlakuan khusus apapun. Tapi sejauh ini ia tetap menjalin hubungan erat dengan teman lainnya.

Pertemanan yang berkelompok biasanya dikarenakan sudah saling dekat, dan michael juga mempunyai teman dekat dan juga berasal dari yang Tionghoa, dan michael mengatakan karena sejak kecil ia sudah berteman dengan yang Tionghoa jadi sampai sekarang terbawa-bawa, michael juga mengatakan sama saja seperti yang lainnya kalau terbiasa berteman dengan yang non Tionghoa pasti akan jauh lebih nyaman dengan sesama.

Informan Guru

1. Nama : Thompson S

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 48 Tahun

Agama : kristen

Suku : Batak

Bidang Studi : Sosiologi sekalian merangkap sebagai Wakil Kepala Sekolah SMA Sutomo 2

(40)

Thompson dulunya juga merupakan mahasiswa di Fisip Usu jurusan Administrasi Negara.

Menurut bapak Thompson, interaksi siswa yang terjadi dengan baik jika siswanya berasal dari sd , karena bahasa sebagai jembatan, dan sebagai pengantar tetapi jika dari SMA, ibaratnya hanya 3 tahun biasanya akan daa kesulitan dalam bersosialisasi, umumnya sekoalh kita karena 98% mereka berasal dari SMP, tentu ga akan sulit karena kawannya dari smp , anak luar akan di terima hanya sekitar 4- 5 orang saja, baik itu pribumi dan non pribumi. Itu saja perbedaan, kalau berasa dari smp , bahasa interaksi mereka bahasa hokkien, bahkan orang batak dan padang sama- sama bahasa hokkien tapi karena proses sosialisasinya akan mudah dan biasanya akan berkelompok atas agama, tapi kan tidak terlalu banyak jika 4-5 orang tentu tidak akan signifikan kalau dia pindah ke sekolah lain akan ada kesulitan, kalau proses sosialisasi pribumi dan non pribumi tidak ada masalah lagi, karena sudah temanan sudah sejak lama, menurut ia anak- anak tidak mengenal agama, suku tanpa ada membeda-bedakan justru menurutnya orang dewasalah yang membuat ribet dan membuat kelompok antara golongan kaya miskin, golongan orang pintar dan orang bodoh, dan yang paling sensitif adalah pengelompokkan antara suku dan agama.

(41)

Bapak Thompson juga mengakui bahwa peraturan penggunaan bahasa Indonesia berasal dari pemerintah dalam kegiatan belajar mengajar namun setelah reformasi tidak ada seperti itu lagi. Bahkan 1-2 guru yang Non Tionghoa bisa menggunakan bahasa daerah dan sebaliknya guru Tionghoa juga bisa berbahasa batak.

Bapak Thompson mengatakan bahwa dalam kegiatan belajar mengajar Tidak terlalu nampak ksenjangan dalam arti pengelompokan suku etnis, karna rata-rata siswa pribumi yang bersekolah disini bukan berasal dari pribumi asli, tetapi campuran dengan etnis Tionghoa, dan biasanya kalau sudah berteman sudah sejak SD bahkan TK tidak akan terlihat kesenjangan.

2. Nama : Lilis M

Usia : 45 Tahun

Agama : kristen

Suku : Tionghoa

Bidang Studi : Bahasa Indonesia

(42)

kelas. Walaupun ia etnis Tiongoa tetapi pada saat berbicara dengan siswa yang Tionghoa juga maka saya menggunakan bahasa Indonesia juga.

Ia beranggapan bahwa sebagai seorang guru harus mampu merangkul semua siswa tanpa adanya menciptakan kesenjangan di antara siswa. Semua siswa harus merasa nyaman dengan setiap guru, jadi tidak ada batasan – batasan antara siswa yang Tionghoa dan Non Tionghoa. Itulah yang ingin di capai dari pihak sekolah agar tidak adalagi perasaan diskriminasi. Sejujurnya ia mengakui bahwa masih ada kesenjangan apalagi terjadi pada saat tahu 60-an.

Terkait penggunaan bahasa daerah, ia mengatakan bahwa bahasa daerah merupakan kekayaan alam sebagai keanekaragaman budaya di indonesia tetapi pada saat di jam kelas saya wajib menggunakan bahasa Indonesia. Langkah untuk mengubah sikap siswa yang sedikit tertutup dan cenderung ingroup haruslah berasal dari siswa itu sendiri di butuhkan kesadaran untuk mengubahnya, dari pihak guru sendiri terutama sekolah telah berupaya dalam mengajar dengan baik.

3. Nama : Hendra Agama : Buddha Umur : 41

Jabatan : Sebagai Kepala Sekolah SMA Sutomo 2, Medan

(43)

masalah perbedaan tidak ada lagi dan menurut kepala sekolah SMA ini, dirinya sangat tidak menyukai permasalahan mengenai Agama, suku, budaya. Itu pembahasan terlalu sensitif menurutnya, karena etnis Tionghoa dan Pribumi kedua-duanya adalah bangsa Indonesia.

Penggunaan bahasa Indonesia ditegakkan dengan sangat jelas, terutama dalam kegiatan belajar mengajar, tetapi kalau berbahasa daerah wajar-wajar saja menurutnya hal tersebut di karenakan itukan hak pribadi setiap orang dalam setiap budaya yang di milikinya, begitu juga dengan guru yang mengajar disini, guru batak, jawa, padang, dll tidak ada permaalahan jika mereka berbahasa daerah, itu semua lumrah. Tapi kalau di dalam kelas ya berbahasa Indonesia. Menurut Kep. Sek SMA ini sebisa mungkin menerapkan bahasa Indonesia yang baik dan benar hanya saja karena lingkungan disini bermayoritas Tionghoa sedikit ada kesulitan tetapi siswa nya saling mengerti satu sama lainnya dalam penempatan bahasa daerah.

Toleransi dalam hal beragama menurut Kep.Sek SMA ini sanat tinggi semua siswa yang beragama Islam, Kristen, Buddha diberikan kebebasan dalam menjalankan nilai-nilai agama mereka sendiri. Tidak ada larangan sama sekali walaupun disekolah ini sangat terlihat jelas mayoritas etnis Tionghoa dan Non Tionghoa tetapi itu bukanlah menjadi patokan akan adanya perbedaan ataupun semacam perlakuan khusus terhadap siswa atau siswa Tionghoa, tuturnya.

(44)

Bidang Studi : Agama Islam

Ibu Hanidar merupakan guru agama islam yang mengajarkan pendidikan di SMA Sutomo 2, Medan, ia mengatakan bahwa ada siswa etnis Tionghoa ada juga beragama islam, kesulitan mengajar siswa beragama islam terkait dengan susah membaca alquran,hal tersebut di karenakan biasanya siswa Tionghoa yang beragama islam merupakan etnis Tionghoa campuran, tidak ada Tionghoa asli yang beragama islam. Sejauh yang ibu hanidar perhatikan pada saat belajar mengajar di kelasnya tidak menunjukkan perbedaan yang menonjol, misalnya pada saat duduk di ruangan kelas belajar agama duduknya tidak ada perbedaan antara etnis Tionghoa dan Non Tionghoa semua berbaur. Konflik saling ejek-ejekkan tidak pernah ada.

Ibu hanidar Mengatakan bahwa peraturan penggunaan bahasa indonesia merupakan keharusan, gurunya juga harusnya berbahasa indonesia tetapi di karenakan lingkungan etnis Tionghoa jadi gurunya menggunakan bahasa daerah Tionghoa juga, dan hal tersebut sudah di maklumi oleh guru yang Non Tionghoa. Guru yang etnis Tionghoa mau berbahasa daerah karena di SMA Sutomo 2 mayoritas etnis Tionghoa kecuali guru atau siswa tidak pandai berbahasaa daerah maka mereka berbahasaha Indonesia juga tetapi jarang yang tidak bisa menggunakan bahasa daerah mereka.Selain itu ibu hanidar mengakui hanya sedikit saja guru yang Tionghoa terbuka masih ada beberapa guru yang tertutup dan memiliki sikap cenderung in group, tetapi semakin dunia modern guru yang Tionghoa mau bergabung dan menyadari makna dari nasionalisme.

(45)
(46)

4.3Interpretasi Data

4.3.1 Bentuk Interaksi Sosial Siswa

Interaksi yang dimaksudkan oleh penulis dalam penelitian ini adalah segala bentuk tindakan serta sikap yang membentuk suatu hubungan dalam rangka sling pemenuhan kegiatan dan aktivitas setiap siswa khususnya di tingkatan SMA Sutomo 2 Medan yang menggambarkan interaksi sosial yang mereka pergunakan dalam kehidupan sehari-hari, tapi dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskan interaksi yang terjadi dalam lingkungan sekolah. Berikut ini hasil wawancara yang penulis dapatkan dari siswa SMA Sutomo 2 Medan yang menjelaskan bagaimana mereka saling berinteraksi antar sesama siswa yang notabenenya berbeda dari segi etnis, agama dan budaya dan kemudian berhubungan dalam status sosial yang sama sebagai siswa yang sedang menempuh pendidikan yang sama.

Melalui hasil wawancara di lokasi penelitian, yaitu SMA Sutomo 2 Medan dengan siswa khusus tingkatan SMA baik dengan yang Non Tionghoa dan juga siswa yang berasal dari etnis Tionghoa diperoleh data yang penulis temui bagaimana mereka berinteraksi dengan sesama siswa. Menurut pengakuan beberapa siswa, mereka memiliki perasaan yang nyaman pada saat berinteraksi secara intens terhadap beberapa teman yang ia anggap sudah memiliki kedekatan yang cukup lama dan mempunyai kesamaan dalam segala hal. Seperti yang dipaparkan oleh informan berikut ini :

“ Selama saya bersekolah disini, saya sedikit kurang nyaman berteman

dengan yang tidak bisa berbahasa hokkien, mungkin karena di sekolah ini mayoritas Tionghoa”. ( Wawancara dengan informan yang bernama Lina Sihotang kelas X-2, 2014).

(47)

daerah”. (Wawancara dengan informan yang bernama Giovanie kelas XII IPS 2, 2014).

Ada juga penuturan dari informan yang berasal dari Non Tionghoa bahwa sebenarnya tidak ada kesulitan dalam bergaul dan berteman dekat dengan siswa Tionghoa, hanya saja masalah kepercayaan diri dan kepintaran dalam bergaul. Hal tersebut juga di paparkan dengan pernyataan seorang informan sebagai berikut :

“ Menurut pengalaman saya sama sekali tidak ada kesulitan apapun dalam berinteraksi dengan siswa yang chinese, itu tergantung kita sendiri lah, pandai- pandai dalam berkawan, kalau cari musuh gampang kalau cari kawan itu yang susah, jadi pintar kita saja dalam bergaul terhadap teman kita.” ( Wawancara dengan informan yang bernama Tria Widya Aprilia kelas XII IPA 1, 2014).

“ Siswa Tionghoa itu tidak pernah mempermasalahkan siapa kawannya, semua sama ajalah, main ya main, belajar ya belajar, kenyamanan itu kita sendiri yang membuatnya bukan orang lain, ya kalau kita diam-diam saja tentu siapa yang akan mau berteman dengan kita”. (Wawancara dengan informan yang bernama samuel simbolon berasal dari kelas XII IPA 2, 2014).

4.3.1.1 Interaksi Siswa dalam Keagamaan

Tidak hanya itu saja, interaksi yang terjadi tentunya bukan hanya dilihat dan diukur dari segi Interaksi mengenai kenyamanan setiap siswa, tetapi interaksi dilihat juga dari seberapa toleransi kah siswa memandang perbedaan yang cukup signifikan dari keagamaan, apalagi permasalahan agama di Indonesia khususnya begitu sensitif, ternyata dari segi agama tidak ada permasalahan mengenai agama, siswa yang menjadi informan beranggapan tidak ada yang salah dengan agama, siswa memiliki nilai toleransi yang cukup mendalam mengenai agama walaupun adanya agama yang minoritas dan mayoritas, berikut pemaparan para informan memandang masalah agama, yaitu sebagai berikut ini :

“ Kalau masalah agama setahu saya belum ada ya mengenai

(48)

Penuturan diatas berasal dari siswa yang Non Tionghoa, yang beranggapan masalah agama tidak pernah terjadi sebelumnya, bahkan pernyataan siswa di atas tersebut juga di dukung oleh siswa yang beragama Buddha dan berasal dari etnis Tionghoa, yang menyatakan bahwa :

“ Sepertinya kalau masalah agama tidak pernah ada konflik soal agama, semuanya baik-baik saja, malah sebaliknya jika ada yang mengompori dalam permasalahan agama ataupun suku berarti dia belum dewasa “. ( Wawancara dengan Kevin di kelas XI IPS 2, 2014).

Penuturan diatas juga di perkuat oleh seorang guru Agama yang menyatakan bahwa :

“Sejauh yang ini pada saat belajar mengajar di kelas tidak menunjukkan perbedaan yang menonjol, misalnya pada saat duduk di ruangan kelas belajar agama duduknya tidak ada perbedaan antara etnis Tionghoa dan Non Tionghoa semua berbaur. Konflik saling ejek-ejekkan tidak pernah ada”.

Berikut di bawah ini rangkuman mengenai pendapat informan mengenai interaksi yang berkaitan dengan keagamaan, yaitu :

Tabel 4.2

Sumber : Berdasarkan hasil wawancara dengan informan siswa/i SMA Sutomo 2, Medan

mengenai interaksi dalam keagamaan.

NO

Nama Informan

Interaksi dalam Keagamaan

1.

Giovannie

Giovanie tidak pernah mendengar ada

permasalahan terkait dengan perbedaan

agama.

2. Michael

Perbedaan agama bukanlah menjadi penentu dalam pemilihan teman.

(49)

mengenai agama semua agama tidak pernah mengajarkan permusuhan.

4. Frederick

Setahu Frederick tidak pernah terjadi masalah dalam hal agama.

5. Tria Widya Aprillia

Pada saat agama tertentu yang sedang berhari raya, maka teman-temannya akan saling bersilahturahmi begitu juga pada saat imlek, dan natalan.

6 Lina Sihotang -

Dalam hal agama masih saling tertutup mungkin karena belum terlalu kenal lama

10 Denny Wijaya

Ada sedikit masalah agama, biasanya hanya saling ejek-ejekkan saja, selebihnya akan baikan pada saat itu juga.

(50)

dan bergaul di lingkungan sekolahnya. Interaksi yang terjalin antar siswa ternyata berjalan dengan baik, siswa saling bertoleransi terhadap perbedaan agama. Agama bukan di jadikan acuan sebagai pemisahan antara individu dengan individu, individu dan kelompok serta kelompok dengan kelompok.

Sekolah juga tidak membatasi siswanya untuk melakukan kegiatan keagamaan, malahan di wajibkan untuk siswa dalam menekuni keagamaan berdasarkan agama yang dianutnya. Seperti pada saat pelaksanaan shalat jum’at siswa laki-laki yang beragama islam akan melaksanakan aktivitas keagamaan, dan sekolah juga memberikan kelonggaran waktu dengan mempercepat jam pulang sekolah pada saat hari jum’at.

Seperti yang di ungkapkan oleh Kepala Sekolah SMA Sutomo 2, Medan, berikut penuturan informan :

“ Kegiatan keagamaan itu merupakan kewajiban setiap manusia,

manusia tidak akan bisa apa-apa tanpa tuhan , pendidikan dan agama haruslah sejalan, lihat sajalah para koruptor itu didasari karena tidak adanya ikatan yang kuat dengan tuhan, setiap agama mau kristen, islam, buddha diberikan ruangan khusus keagamaan untuk bisa lebih mendekatkan diri dengan tuhan, misalnya ruangan agama islam, juga terdapat ruangan sholat untuk beribadah ya walaupun ruangan tersebut tidak terlalu besar, begitu juga dengan agama kristen dan buddha diberikan fasilitas untuk beribadat”.

(51)

4.3.2 Interaksi Siswa Melalui Komunikasi

Konsep dari interaksi tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya kontak dan komunikasi, dalam hal ini tentu akan tercapai dengan adanya pembicaraan yang secara tatap muka, begitu juga yang terjadi di antara siswa yang tentunya secara naluriah akan berkomunikasi dengan siswa lainnya baik dalam hal pelajaran, bercerita, tertawa, bermain, berdiskusi dan lain sebagainya. Komunikasi yang penulis ingin bahas mengenai bagaimana mereka berkomunikasi dengan siswa yang non Tionghoa. Tentu dalam hal berkomunikasi bahasa merupakan penghantar dalam terjadinya kesinambungan antara siswa, jika komunikasi yang terjalin dengan baik tentunya tidak akan menjadi penghalang untuk siswa berkomunikasi walaupun mereka berbeda budaya.

(52)

Berikut pemaparan siswa yang berasal dari Non Tionghoa dalam membahas mengenai penggunaan bahasa dalam bekomunikasi di kelas, yaitu sebagai berikut ini :

“ Sebenarnya kalau masalah bahasa cukup susah, karena sejujurnya

walaupun saya mengerti bahasa hokkien mereka tapi saya merasa canggung kalau mengucapkannya”. (Wawancara dengan Farhan Surbakti kelas X-3,2014).

“ Bahasa yang terkadang membuat saya sedikit kurang nyaman karena saya sendiri sama sekali tidak mengerti bahasa mereka”. ( Wawancara dengan siswa yang bernama Frederick kelas XI IPA 1, 2014)

Pernyataan tersebut di atas juga sama dengan apa yang diutarakan oleh siswa yang Tionghoa, apalagi itu merupakan bahasa yang mereka gunakan sehari-hari, berikut di antaranya, yaitu :

“ Dulu ketika waktu pertama sekali bersekolah, saya sedikit

mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan siswa yang Non Tionghoa, hal tersebut karena bahasa, bahasa Indonesia saya pada saat itu sangat payah, karena kan semua keluarga pakai bahasa hokkien jadi begitu masuk ke sekolah baru benar menggunakan bahasa Indonesia, tetapi lama kelamaan jadi terbiasa pakai bahasa Indonesia”. (Wawancara dengan siswa yang bernama Denny Wijaya kelas XI IPA 2).

Hal serupa juga di paparkan oleh siswa yang sama dengan siswa di atas, siswa ini juga berasal dari etnis Tionghoa, berikut pemaparannya, yaitu :

“Selama saya bersekolah disini, saya sedikit kurang nyaman berteman

dengan yang tidak bisa berbahasa hokkien, mungkin karena di sekolah ini mayoritas Tionghoa”. ( Wawancara dengan informan yang bernama Lina Sihotang kelas X-2, 2014).

(53)

bahasa daerah disekolah, khususnya siswa yang etnis Tionghoa berikut pernyataannya dibawah berikut ini, yaitu :

“ Peraturan penggunaan bahasa Indonesia ya pasti ada lah. Cuma terkadang siswanya saja yang bandel, padahal sebenarnya sudah jelas-jelas dilarang tapi ya mau gimana lagi kan uda terbiasa pakai bahasa Hokkien. Sangsi berupa hukuman juga ada tapi tergantung gurunya juga, misalnya pada saat di Laboraturium kalau ketahuan menggunakan bahasa daerah pasti di hukum mengerjakan tulisan sebanyak 50 Lembar”. ( Wawancara dengan siswa yang bernama Denny Wijaya kelas XI IPA 2, 2014).

Pernyataan tersebut juga sama dengan yang di katakan oleh siswa yang juga berasal dari etnis Non Tionghoa, diantaranya yaitu :

“ Penekanan penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan sekolah ada paling tetap di ulangi siswanya lagi, tidak hanya itu sesama guru juga sama-sama menggunakan bahasa daerah tidak hanya guru Tionghoa, bahasa batak pun kadang di gunakan.” (Wawancara dengan informan yang bernama Samuel Kelas XII IPA 2, 2014).

Setiap orang secara individual tentu memiliki pemaknaan yang berbeda mengenai kenyamanan dalam penggunaan bahasa, apalagi bahasa daerah merupakan bahasa ibu yang didapatkan dari generasi ke generasi. Menurut beberapa orang tertentu mungkin hal tersebut terlalu primordialisme tetapi hal tersebut merupakan kebebasan setiap masyarakat untuk bisa mengembangkan budayanya, seperti yang dipaparkan oleh salah satu guru yang menyatakan bahwa tidak ada kesalahan dalam penggunaan bahasa daerah, yaitu:

“ Peraturan dari pemerintah pasti adalah apalagi dalam KBM yaitu

kegiatan belajar mengajar tetapi hal tersebut tentunya pada saat dalam kegiatan formal di kelas, tetapi kalau dalam keseharian ya silahkan menggunakan bahasa daerah masing- masing, toh semenjak reformasi kan kebebasan kita untuk berbahasa daerah. ( Wawancara dengan informan yang bernama Thompson simanjuntak selaku wakil kepala sekolah dan juga sebagai guru sosiologi di SMA Sutomo 2, Medan).

(54)

Tabel 4.3

NO Nama Informan Pernyataan

1 Giovannie

Merasa senang pada saat berkomunikasi dengan sesama siswa Tionghoa karena lebih memperlancar bahasa daerah.

2 Michael

Pada saat berkomunikasi merasa tidak ada masalah karena di kelas tidak ada siswa non Tionghoa.

3 Kevin

Bahwa bahasa daerah perlu di lestarikan, semua orang bebas berbahasa daerah.

4 Frederick

Merasa kurang nyaman dalam penggunaan bahasa daerah karena tidak begitu memahami bahasa daerah.

5 Tria Widya Aprillia

Ia mampu berkomunikasi dengan bahasa indonesia dan hokkien jadi tidak ada masalah.

6 Lina Sihotang

Merasa tidak nyaman dengan siswa yang tidak bisa berbahasa Hokkien walaupun ia sebenarnya bisa berbahasa Indonesia.

7 Adrian William

Tidak ada permasalahan dengan komunikasi karena ia merasa bisa menempatkan diri.

8 Farhan Surbakti

Sedikit merasa kurang nyaman dengan penggunaan bahasa Hokkien.

(55)

dalam berkomunikasi karena ia juga fasih berbahasa hokkien.

10 Denny Wijaya

Awalnya ada kesulitan berbicara dengan siswa non Tionghoa tetapi lama kelamaan jadi terbiasa dan bisa.

Sumber : Berdasarkan hasil wawancara dengan informan siswa/i SMA Sutomo 2, Medan

mengenai interaksi dalam hal komunikasi berbahasa.

Berdasarkan pernyataan keseluruhan informan ternyata bahasa yang menjadi kerumitan mereka dalam berinteraksi satu sama lain, tentunya ini yang membuat hubungan para siswa cenderung in group. Ternyata masih ada rasa kesenjangan di antara para siswa padahal masih di kaji lewat penggunaan bahasa yang terdengar sangat sepele. Perlu di garis bawahi dengan adanya kegagalan dalam berkomunikasi maka suatu hubungan tentu hanya sebatas kontak semata sedangkan komunikasi tentunya memperlancar apa yang ingin di katakan dan di sampaikan.

(56)

Hal tersebut bisa di lihat pada beberapa siswa yang fasih berbahasa daerah di karenakan rentang waktu yang lama bersekolah di Perguruan Sutomo 2, Berikut pemaparan siswa yang Non Tionghoa yang telah lama bersekolah dari sejak SD sampai jenjang SMA, yaitu berikut pemaparannya :

“ Saya bisa berbahasa Hokkien karena sejak dari anak-anak sudah

sekolah disini, dimulai dari SD, SMP, dan terakhir sampai SMA pun juga bersekolah disitu. Seingat saya dulunya sama sekali tidak bisa berbahasa hokkien dan bahkan minder tetapi lama kelamaan bisa malahan sangat fasih bahasa Hokkien”. ( Wawancara dengan informan yang bernama Tria Widya Apprilia kelas XII IPA 1,2014).

“ Tidak terlalu sulit dalam berinteaksi dengan mereka karena saya juga bisa berbahasa Hokkien ya mungkin karena sudah sejak lama sekolah disini, kan sudah sejak SMP, kan karena mendengar dan juga di praktekkan makanya lama kelamaan bisa berbahasa Hokkien”. ( Wawancara dengan informan yang bernama Samuel Simbolon kelas XII IPA 2, 2014).

Hal tersebut tentunya sangat berseberangan dengan pengakuan para siswa yang menjadi salah satu informan, siswa di bawah ini merupakan siswa yang masuk untuk bersekolah di Perguruan Sutomo 2, di mulai pada saat jenjang SMA, bukan dari tingkatan dasar dan menengah, berikut pemaparan dari para informan baik yang non Tionghoa dan Tionghoa sekalipun, yaitu berikut pemaparannya :

“ Saya sedikit kesulitan ketika ngomong dengan mereka karena merasa

minder hal tersebut karena bahasa mereka, mana pula saya mengerti bahasa Hokkien paling dikit-dikit saja, karena saya masuk di sekolah ini hanya SMA.” ( Wawancara dengan informan yang bernama Frederick kelas XI IPA , 2014).

“ Saya dulunya bersekolah di Jawa jadi sama sekali tidak tahu banyak

bahasa hokkien, maka dari itu pemilihan SMA akhirnya di Sutomo karena banyak orang chinese, jadi walaupun bahasa Hokkien saya tidak fasih tetapi saya bisa belajar.” ( Wawancara dengan Giovannie kelas XII IPS 2).

(57)

berkenalan dengan lama, baik itu dari TK, SD, SMP, sampai ke jenjang SMA. Teman tentunya akan saling bertoleransi apalagi sudah kenal lama, tidak ada yang perlu di khawatirkan bahkan akan muncul rasa kepercayaan terhadap teman sendiri, perasaan saling memiliki tentu di dapat oleh siswa karena hal tersebut telah tertanam pada saat masa anak-anak, dan biasanya hubungan tersebut akan jauh lebih akrab dibandingkan dengan siswa yang hanya mendaftar di jenjang pendidikan SMA saja.

4.3.3 Interaksi dalam Pergaulan Antar Siswa

Berdasarkan penelitian di atas, hal tersebut berarti bahwa sebenarnya kunci dri interaksi di sekolah ini khususnya tingkatan interaksi antar siswa adalah bahasa. Itu adalah interaksi mereka dari segi penggunaan bahasa saja, belum lagi terkait dengan pandangan siswa mengenai siswa khususnya di jenjang SMA mengenai pergaulan di antara mereka sendiri. Bahasa memanglah sebagai alat penghantar dalam terjalinnya komunikasi yang efektif lalu apakah hal tersebut menjadi hambatan dalam mereka berinteraksi, berikut pemaparan para siswa mengenai pergaulan mereka antar sesama keluarga yang memiliki status siswa di jenjang SMA Sutomo 2, Medan, berikut pemaparannya, yaitu :

“ Siswa Tionghoa sangat ramah dengan saya mungkin karena saya anak guru

disini, ya tapi itukan Cuma sebatas teman di kelas saja sih, kalau untuk teman dekat lebih nyaman dengan orang kita”. ( Wawancara dengan informan yang bernama Frederick dari kelas XI IPA 1).

“Siswa Tionghoa terkadang agak “ Kreak” terkadang tingkah mereka suka-saja sama kita”.( Wawancara dengan informan yang bernama Farhan Surbakti dari kelas X-3).

(58)

mereka walaupun siswa Tionghoa sedikit mengalami kesulitan jika harus berbicara dengan siswa yang non Tionghoa, tetapi siswa Tionghoa memahami dan tidak pernah memaksakan dalam penggunaan bahasa daerah mereka, malah sebaliknya mereka saling mengajarkan bertukar informasi dengan siswa lainnya misalnya yang dari suku batak akan bertukar bahasa dengan yang Non Tionghoa., berikut pemaparannya, yaitu sebagai berikut ini:

“ Pertemanan ya temanlah, saya juga sering diskusi kelompok bareng saat ada tugas bisa berbahasa Hokkien”. (Wawancara dengan informan yang bernama Kevin kelompok.” (Wawancara dengan informan yang bernama Denny Wijaya kelas XI IPA 2, 2014).

“ Kayaknya tidak ada diskriminasi disini, interaksi nya baik- baik saja kog, lagian kebanyakan siswanya juga uda dari kelas XI IPS 2, 2014).

“Karena teman saya di kelas semuanya orang Tionghoa jadi ya mau tidak mau pasti dekatnya dengan yang Tionghoa, tapi saya juga ada kok teman Non Tionghoa, malahan punya eksul bareng basket.”.( Wawancara dengan informan yang bernama Adrian William dari kelas XII IPA 3, 2014).

Berdasarkan data di lapangan ternyata komunikasi bukanlah menjadi hal yang harus di perdebatkan dalam berinteraksi dengan sesama teman, semuanya tetap berteman, ada toleransi di antara para siswa yang saling memahami kekurangan dan kelebihan para siswa tersebut, tentunya syarat terjadinya interaksi telah terpenuhi dimana adanya kontak dan komunikasi, dalam hal ini komunikasi yang terjalin bisa menggunakan bahasa Indonesia dan Hokkien. Para siswa bisa saling menempatkan dimana mereka bisa menggunakan bahasa mereka dengan siapa dia akan berbicara.

(59)

apakah juga terjadi di luar lingkungan sosialnya, misalnya pada saat untuk nongkrong, jalan-jalan, hang out bareng, berikut pemaparannya, yaitu :

“Kami berteman di sekolah dan juga di luar sekolah, tapi kalo untuk

jalan-jalan, nongkrong sangat jarang sih, paling kalau ada yang lagi merayakan ulang tahun ya semua teman ya pasti di undang.” (Wawancara dengan informan yang bernama Lina sitohang kelas X-1, 2014).

“Untuk keluar bareng kayaknya tidak pernah, biasanya hanya di kelas saja”. (Wawancara dengan informan yang bernama Denny Wijaya kelas XI IPA 2, 2014).

4.3.4 Pengelompokan dalam Lingkungan Sekolah (Ingroup)

Berdasarkan hasil informasi di atas ternyata siswa sedikit menutup pergaulan di luar kelas dan hanya sebatas pertemanan di lingkungan sekolah saja, hal tersebut juga di buktikan dengan adanya pernyataan yang berasal dari para siswa. Tetapi bukan berarti dengan adanya interaksi yang hanya sebatas di kelas dapat menjelaskan bahwa siswa SMA tersebut tidak bisa menjauh lebih baik, faktor- faktor tertentu bisa menjelaskan mengapa terjadi kesenjangan di antara siswa, apakah para siswa menyadari kesenjangan tersebut, berikut di bawah ini ada beberapa pernyataan siswa yang menjelaskan mengenai kesenjangan berupa pengelompokkan yang di dasarkan atas kesamaan terhadap sesuatu baik itu dari segi agama, etnis, dan juga budaya.

Berikut pemaparannya yang akan di berikan oleh informan yang berasal dari etnis Tionghoa, yaitu:

(60)

“Lebih klop dengan teman yang Tionghoa juga, bukan mau pilih-pilih teman sih, tapi kadang susah mau ngomong kalo pake bahasa campuran, syukur kalo dapat lawan bicara yang mengerti bahasa daerah. Kalo semacam genk gtu ada, itukan karena punya rasa kebersamaan, nyaman dan merasa dekat, ya semua orang kan tergantung. Kalau saya lebih comfort dengan teman yang Tionghoa baik di kelas dan diluar.”( Wawancara dengan informan yang bernama Denny Wijaya, kelas XI IPA 2, 2014).

Tidak hanya itu saja, berikut di bawah ini ada beberapa pengakuan siswa Non Tionghoa yang merasa bahwa kesenjangan yang terjadi di dalam llingkungan mereka, berikut pemaparannya, yaitu :

“ Siswa Tionghoa masih suka berkelompok sesama mereka, jadi siswa

yang Non Tionghoa merasa minder lah soalnyakan mereka dari segi fisik saja sudah beda, apalagi bahasa berbeda juga”.( Wawancara dengan informan yang bernama Farhan Surbakti kelas X-3, 2014).

“ Kelompok Tionghoa gtu ya pasti ada lah, malah sangat terlihat jelas sekali, paling kalau jumpa di kelas ya bertemu sapa, Cuma kalo untuk lebih dekat lagi seperti membicarakan masalah pribadi, ya mereka dengan sesama mereka saja, belum lagi pada saat pembagian kelompok untuk tugas sekolah, mereka pasti akan dengan yang sesama mereka juga, dan kalaupun dengan orang kita pasti nya karena uda berteman dekat dan yang paling penting kita harus pintar”. ( Wawancara dengan informan yang bernama Frederick, kelas XI IPA 1, 2014).

Pengelompokkan sangat mudah terjadi di lingkungan sekolah begitu juga yang penulis lihat ketika berada di lapangan. Siswa yang Tionghoa cenderung dengan yang Tionghoa dan begitu juga dengan siswa yang Non Tionghoa. Berdasarkan pemaparan dari pernyataan informan tersebut mendapatkan kesimpulan bahwa sanya pengelompokkan terjadi di karenakan adanya perasaan yang sama karena tidak ada yang berbeda dari mereka baik itu etnis, bahasa dan budaya, walaupun siswa yang Non Tionghoa bisa berbicara bahasa Hokkien tetapi tetap saja para siswa yang Non Tionghoa merasakan masih adanya kesenjangan di antara lingkungan mereka.

(61)

terbentuk jika telah mengenal sudah lama. Pada dasarnya pengelompokkan di antara teman tidak ada peraturan yang mengatur ini –itu bersifat kaku, namun ada nilai-nilai yang dijadikan sebagai penerimaan untuk menjadi teman dekat seperti yang penulis katakan di atas jika tidak ada kesamaan di antara pengelompokkan siswa, maka biasanya siswa hanya akan bertegur sapa dan komunikasi yang bersifat biasa dan tidak terlalu intens dan mendalam paling hanya membicarakan mengenai tugas dan yang berhubungan dengan sekolah, berdasarkan pernyataan para siswa mengatakan bahwa untuk urusan pribadi itu menjadi pembicaraan yang di bicarakan sesama mereka.

Tidak hanya itu saja, siswa yang Non Tionghoa juga melakukan pengelompokkan dalam skala minoritas, hal tersebut juga serupa dengan siswa Tionghoa di karenakan adanya kesamaan, tetapi dalam penelitian ini penulis beranggapan bahwa bahasa lah yang paling penting dalam terwujudnya interaksi yang baik. Tetapi ternyata tidak semua siswa yang Tionghoa setuju dengan adanya pengelompokkan, hal tersebut di karenakan adanya perasaan yang menganggap bahwa semua manusia pada dasarnya adalah sama. Berikut pemaparan dari siswa yang Tionghoa dalam menanggapi pengelompokkan yang terjadi di lingkungan SMA Sutomo 2, Medan, yaitu :

“ Genk gtu masih ada di antara para siswa, tetapi saya sendiri merasa

hal tersebut tidak terjadi pada diri saya, walaupun saya orang kita Tionghoa tetapi di karenakan saya campuran dan mempunyai marga jadi ya sama ajalah, teman lain yang Tionghoa biasanya suka mengelompok misalnya pada jam istirahat, mereka lebih suka berteman dengan yang sesama suku.”( Wawancara dengan informan yang bernama Lina Sitohang kelas X-1, 2014).

(62)

4.3.5 Kesadaran Siswa Mengenai Jarak Sosial

Kesenjangan yang terjadi berupa pengelompokkan sebenarnya bisa di jauhkan jika siswa saling terbuka dan merasa tidak perlu ada yang di minderkan, kalau dari segi kontak dan komunikasi, ya bisa menggunakan bahasa Indonesia, itu tentunya bukanlah menjadi penghalang. Ternyata kesenjangan yang terjadi juga di karenakan hubungan jangka lama, apalagi siswa yang berasal etnis Tionghoa khususnya yang ada di kota Medan cenderung lebih in group, bahkan di lingkungan sosial sekalipun siswa terbiasa dengan lingkungan yang mayoritas perkumpulan orang yang Tionghoa, begitu juga dengan siswa yang Non Tionghoa juga terdapat pengelompokkan tempat tinggal, hal tersebut sudah menggambarkan kecendrungan in group. Hal tersebut juga di paparkan salah seorang siswa yang mengatakan hal yang sama mengenai lingkungan tempat tinggalnya, yaitu:

“ Untuk berteman dekat dengan siswa Tionghoa sedikit risih mungkin

karena tidak terbiasa, lagian di lingkungan rumah juga tidak ada orang Tionghoa.” ( Wawancara dengan informan yang bernama Frederick kelas XI IPA 1, 2014).

“ Orang tua memasukkan saya ke sekolah yang mayoritas etnis Tionghoa, karena tidak akan mungkin orang tua saya menyekolahkan di lingkungan Non Tionghoa misalnya di sekolah negeri ya pastinya di kucilkanlah, lagian pernah mendengar dari kawan yang sekolah di negeri mereka di ejek ejek dengan kata-kata “ China”.( Wawancara dengan informan yang bernama Adrian William kelas XII IPA 3, 2014).

Gambar

Tabel 4.1 Kelas
Tabel 4.2 Sumber : Berdasarkan hasil wawancara dengan informan siswa/i SMA Sutomo 2, Medan
Tabel 4.5
Tabel 1.1 Jumlah Keseluruhan Siswa di SMA Sutomo 2 T.A 2012/ 2013

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda pada siswa/i dengan latar belakang divorce family di di SMA “X” yang memiliki Personal Growth yang rendah, mereka akan menghayati bahwa dirinya tidak

siswa/i dengan latar belakang budaya Biak sehingga dapat mengarahkan pengembangan potensi diri sesuai dengan value yang ada pada diri mereka (budaya Biak) dengan cara

Sultan Iskandar Muda Medan ini dimana ada berbagai siswa yang berasal dari keluarga dengan status sosial, etnis, budaya dan agama yang berbeda-beda yang kapanpun di dalam

Komunikasi antar budaya yang paling utama ditandai dengan sumber dan penerima pesannya berasal dari budaya yang berbeda (Mulyana & Rakhmat, 2003:21). Menurut Batha

Bukan hanya keadaan siswa yang berbeda latar belakang suku, agama, ras, budaya, dan Bahasa namun juga demikian dengan guru dan karyawan di SMA Nasional 3 Bahasa Putera

Dalam melaksanakan aktifitas dakwahnya, Ustadz Muda ini terkadang menemui mad’u yang berbeda latar belakang tidak hanya dari sisi ras, suku dan budaya namun juga berbeda agama

Pernyataan diatas telah menjelaskan bahwa semua anak dapat melakukan tindak ijime, bukan hanya anak yang memiliki latar belakang yang kurang namun juga anak yang biasa saja

Tidak hanya anak yang memiliki latar belakang pendidikan atau ekonomi yang kurang, tetapi anak yang biasa saja dalam artian anak yang memiliki latar belakang