• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Dimensi-dimensi Psychological Well-Being Pada Siswa/i Dengan Latar Belakang Divorce Family di SMA "X" Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Dimensi-dimensi Psychological Well-Being Pada Siswa/i Dengan Latar Belakang Divorce Family di SMA "X" Bandung."

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

i Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran dari dimensi – dimensi Psychological Well – Being pada siswa/i dengan divorce family di SMA

“X” Bandung. Psychological Well – Being adalah hasil evaluasi individu dalam aktivitas dan kehidupan sehari- harinya serta mengarah pada pengungkapan perasaan – perasaan pribadi atas apa yang dirasakan individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Psychological Well – Being memiliki enam dimensi yaitu Self–Acceptance, Positive Relation with Others, Autonomy, Purpose in Life, Environmental Mastery dan Personal Growth.

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan teknik survey. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner yang dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan alat ukur Scale of Psychological Well – Being (SPWB) dari Carol D. Ryff (1989) yang terdiri atas 66 item. Alat ukur ini divalidasi dengan nilai validasi berkisar antara 0,329 - 0,678 (Self–Acceptance); 0,324 - 0,707 (Positive Relation with Others); 0,328 - 0,557(Autonomy); 0,332 - 0,774 (Environmental Mastery); 0,34 - 0,805 (Purpose ini Life); 0,32 - 0,74 (Personal Growth). Alat ukur ini memiliki nilai reliabilitas sebesar 0,9. Penelitian ini mengambil seluruh anggota dalam populasi sebanyak 25 responden.

Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh bahwa siswa/i yang

memiliki divorce family di SMA “X” Bandung menunjukan derajat dari dimensi

Psychological Well–Being yang hampir merata. Hasilnya terdapat 13 siswa/i (52%) yang memiliki dimensi Self–Acceptance,Positive Relation with Others, Environmental Mastery,dan Personal Growth yang tergolong tinggi dan sebanyak 12 siswa/i (48%) memiliki derajat yang tergolong rendah pada keempat dimensi tersebut. Pada dimensi Autonomy, sebanyak 15 siswa/i (60%) memiliki derajat yang tinggi dan sebanyak 10 siswa/i (40%) memiliki derajat yang rendah. Untuk derajat dimensi Purpose in Life, sebanyak 14 siswa/i (56%) tergolong tinggi dan 11 siswa/i (44%) tergolong rendah.

(2)

ii Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT

This study was conducted to obtain an overview of the dimensions- dimensions of Psychological Well – Being the student with divorce family in high school "X" Bandung. Psychological Well–Being is the result of an individual evaluation of the activities and daily life as well as lead to the disclosure of feelings- the personal feelings of what people perceived as the result of his life experiences. Psychological Well–Being has six dimensions: Self-Acceptance, Positive Relations with Others, Autonomy, Purpose in Life, Environmental Mastery and Personal Growth.

The design used in this study is the descriptive research method with survey techniques. Measuring instrument used was a questionnaire modified by the researchers based on the gauge Scale of Psychological Well - Being (SPWB) from Carol D. Ryff (1989) consisting of 66 items. This measure is validated with the validation value ranges from 0.329 to 0.678 (Self–Acceptance); 0.324 to 0.707 (Positive Relations with Others); 0.328 to 0.557 (Autonomy); 0.332 to 0.774 (Environmental Mastery); 0.34 to 0.805 (Purpose in Life); 0.32 to 0.74 (Personal Growth). This measure has a reliability value of 0.9. This study took the entire members of the population of 25 respondents.

Based on the results of data processing, obtained that the student / i who have a family divorce in high school "X" indicates the degree of dimensional Bandung Psychological Well-Being is almost uniformly. Result, there were 13 students (52%) which has dimensions of Self–Acceptance, Positive Relations with Others, Environmental Mastery, and Personal Growth is high and the remaining 12 students (48%) have a relatively low degree in the fourth dimension. On the dimension of Autonomy, as many as 15 students (60%) has a high degree and the remaining 10 students (40%) had a low degree. To the degree dimension Purpose in Life, as many as 14 students (56%) is high and the remaining 11 students (44%) is low.

(3)

iii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK...i

ABSTRACT...ii

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...vi

DAFTAR TABEL...x

DAFTAR BAGAN...xi

DAFTAR GRAFIK...xii

DAFTAR LAMPIRAN ...xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah...1

1.2Identifikasi Masalah...11

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1Maksud Penelitian...11

1.3.2Tujuan Penelitian...11

1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1Kegunaan Teoritis...11

1.4.2Kegunaan Praktis...11

(4)

iv Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi...24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psychological Well-Being 2.1.1 Perkembangan Pemikiran Psychological Well-Being... ...25

2.1.2 Definisi Psychological Well-Being... ...28

2.1.3 Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being...29

2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well – Being...34

2.2 Remaja 2.2.1 Definisi Remaja...45

2.2.2 Klasifikasi Masa Remaja...46

2.2.3 Karakteristik Remaja...47

2.2.4 Masalah Umum pada Remaja...49

2.3Keluarga 2.3.1 Definisi keluarga...51

2.3.2 Fungsi Keluarga...52

2.3.3 Bentuk- Bentuk Keluarga 2.3.3.1 Keluarga Utuh...53

2.3.3.2 Keluarga Bercerai...53

2.3.4 Pengaruh Keluarga Bercerai pada Anak...54

2.4 Peran Orang Tua Dalam Keluarga...56

2.4.1 Peran Ayah dalam Pengasuhan...56

2.4.2 Peran Ibu dalam Pengasuhan... ...57

(5)

v Universitas Kristen Maranatha BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Prosedur Penelitian...59

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.2.1Variabel Penelitian...59

3.2.2 Definisi Konseptual... ...59

3.2.3 Definisi Operasional... ...60

3.3 Alat Ukur 3.3.1 Alat Ukur Psychological Well – Being...61

3.3.2 Data Penunjang...65

3.3.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 3.3.3.1 Validitas Alat Ukur ...66

3.3.3.2 Reliabilitas Alat Ukur ...67

3.4 Populasi dan Teknik Sampling 3.4.1 Populasi Sasaran... ...67

3.4.2 Karakteristik Populasi...67

3.5 Teknik Analisis Data...68

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden Penelitian...69

4.1.1 Berdasarkan Jenis Kelamin...69

4.1.2 Berdasarkan Usia...70

4.2 Hasil Penelitian ...70

(6)

vi Universitas Kristen Maranatha BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ...88

5.2 Saran ...89

5.2.1 Saran Teoritis ...89

5.2.2 Saran Praktis...90

DAFTAR PUSTAKA...92

DAFTAR RUJUKAN...95

(7)

vii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Distribusi Item tiap Dimensi Psychological Well – Being ...62

Tabel 3.2 Skor Pilihan Jawaban...64

Tabel 3.3 Hasil Median per Dimensi... 65

Tabel 3.4 Kriteria Validitas...66

Tabel 3.5 Validitas Alat Ukur...66

Tabel 3.6 Kriteria Reliabilitas ...67

Tabel 3.7 Reliabilitas Alat Ukur...67

Tabel 4.1 Gambaran Responden Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin...69

(8)

viii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

(9)

ix Universitas Kristen Maranatha DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Gambaran dimensi-dimensi Psychological Well–Being Pada

(10)

x Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Alat Ukur Lampiran 2 Validitas Per Dimensi Lampiran 3 Validitas Item

Lampiran 4 Identitas Subjek Lampiran 5 Distribusi Frekuensi

Lampiran 6 Hasil Tabulasi Silang Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Dimensi Psychological Well - Being

Lampiran 7 Kisi – Kisi Alat Ukur Yang Telah Di Validasi Lampiran 8 Hasil Skor Mentah

Lampiran 9 Hasil Penelitian

Lampiran 10 Hasil Perbincangan Dengan Carol D. Ryff Melalui Surat Elektronik Dan Lampiran Dalam Surat Elektronik

(11)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga (Friedman, 1998).Pada umumnya sebelum membentuk suatu keluarga, terlebih dahulu individu harus melalui suatu lembaga yang disebut dengan pernikahan, yaitu ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal didasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa (undang – undang pernikahan 1974 pasal 1).

Namun di sisi lain, sejumlah orang merasakan bahwa keluarga seringkali menjadi sumber konflik. Suasana keluarga yang tidak harmonis sering mendorong terjadinya pertengkaran antara kedua orangtua. Menurut Wardoyo (dalam Amelia, 2008), pertengkaran orangtua akan membuat anak merasa takut, sedih, dan bingung. Salah satu hal yang menjadi ketakutan besar bagi seorang anak adalah perceraian orangtua. Perceraian merupakan kegagalan dalam mengembangkan dan menyempurnakan cinta antara suami-istri serta adanya emosional yang menenggelamkan anak ke dalam konflik.

(12)

2

Universitas Kristen Maranatha Urusan Peradilan Agama Mahkamah Agung (MA) 2011). MA melansir data rekapitulasi dan terdapat lima Pengadilan Tinggi Agama (PTA) yang memutus perkara tertinggi dari seluruh PTA di Indonesia. PTA Bandung menempati posisi pertama dengan memutuskan 84.084 kasus dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Data terakhir yang dilansir per November 2011 mengungkapkan kasus perceraian yang masuk ke pengadilan mencapai 3.795 perkara, sedang sepanjang 2010 sebanyak 2.629 perkara. Jumlah perkara perceraian di Kota Bandung yang masuk ke Pengadilan Agama juga meningkat, yakni sebanyak 5.441 perkara sampai akhir November 2011, dibandingkan tahun 2010, sebanyak 5.278 perkara (http://republika.co.id:8080/koran).

Dampak dari perceraian keluarga tidak hanya dirasakan oleh pasangan akan tetapi dirasakan juga oleh anak- anak mereka (www.kompas.com/ kesehatan/news/0503/.htm. 2005). Dampak negatif biasanya akan meliputi kehidupan pendidikannya, kehidupan sosial, dan bahkan kehidupan kepribadiannya. Umumnya anak yang memiliki divorce family dilanda perasaan - perasaan kehilangan, gagal, kurang percaya diri, kecewa, marah, dan rasa benci yang mendalam.

(13)

3

Universitas Kristen Maranatha juga terganggu, bahkan bisa sampai mengganggu kehidupan sekolah. Dampak lainnya adalah anak sering dirundung kecemasan, depresi, dan memiliki kepercayaan diri rendah. Walaupun, tidak selamanya perubahan pada anak yang memiliki divorce family bersifat negatif.

Menurut Dwiyani dalam Jika Aku Harus Mengasuh Anakku Seorang Diri (Elex Media Komputindo, 2009), “Anak-anak dari orangtua tunggal bisa sangat mandiri, hangat, peduli, empatik, dan terbuka.” Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Psi., dari Lembaga Psikologi Terapan UI, berpendapat, “Tidak selalu anak yang orangtuanya gagal membina rumah tangga akan gagal pula dalam kehidupannya. Banyak ragam faktor yang dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan seseorang.” Dampak ini akan bergantung pada usia perkembangan anak ketika bercerai. Anak yang lebih dewasa akan belajar memahami konflik yang dialami oleh kedua orangtuanya dan belajar untuk tidak mengalami hal yang serupa. (www.surabayapost.co.id oleh Ananta Yudiarso, 27 Maret 2012)

(14)

4

Universitas Kristen Maranatha oleh siswa. Dari hasil wawancara dengan guru BK di SMA “X”, diketahui bahwa kebanyakan siswa berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah dan memiliki 25 siswa/i dengan latar belakang divorce family. Keadaan siswa/i dengan latar belakang divorce family akan memengaruhi mereka dalam melakukan penilaian pada dirinya, penerimaan diri, kemandirian, relasi dengan orang lain, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan kepribadian.

Dari hasil wawancara dengan guru BK, didapatkan bahwa kebanyakan siswa/i dengan latar belakang divorce family dapat menerima keadaan keluarganya yang telah bercerai seperti menerima perceraian kedua orang tuanya dan menerima untuk tinggal dengan salah satu anggota keluarga. Beberapa siswa belajar untuk menerima kondisi keluarga dengan meyakini bahwa Tuhan memiliki rencana yang indah atas hidup mereka. Akan tetapi, masih terdapat beberapa diantara mereka yang sulit untuk menerima keadaan keluarga yang telah bercerai seperti adanya rasa marah dengan kondisi keluarga, merasa cemburu ketika melihat keluarga lain yang utuh dan harmonis. Dari hasil wawancara diketahui bahwa siswa/i dengan latar belakang divorce family memiliki sikap yang jauh lebih mandiri dibanding dengan teman- temannya, seperti berusaha menentukan keputusannya sendiri tanpa diketahui oleh orangtuanya dan mulai bekerja paruh waktu untuk mendapatkan uang jajan tambahan. Hal ini juga dipengaruhi karena keadaan ekonomi dan keadaan orangtua yang menikah lagi sehingga kurang memberikan perhatian pada anak dalam segi dukungan juga finansial.

(15)

5

Universitas Kristen Maranatha untuk diberi nasihat, nilai akademik yang tidak stabil – tergantung dari keadaaan mood dan dukungan yang mereka dapatkan, serta menjadi pemberontak. Namun

tidak semua siswa/i di SMA “X” dengan latar belakang divorce family beperilaku seperti itu, beberapa diantaranya memiliki prestasi akademik yang membanggakan dan menjadi juara di sekolah. Siswa/i dengan divorce family memiliki kesulitan untuk berelasi dengan lawan jenis (terutama untuk siswa laki- laki). Siswa laki - laki bersikap lebih hati- hati dan terkadang tidak percaya dengan lawan jenis. Ketika ditanyakan lebih lanjut, mereka melihat lawan jenis seperti keadaan orang tuanya dan merasa takut untuk tersakiti. Sementara untuk siswi, mereka terlihat mencari perhatian pada lawan jenis yang lebih senior, hal ini terlihat melalui pengamatan BK akan tingkah laku siswi saat berelasi di sekolah.

(16)

6

Universitas Kristen Maranatha kemampuan melalui belajar dari teman- teman yang lebih ahli dan belajar secara otodidak.

Perceraian dapat membuat kedua orang tua menjadi lebih menyayangi anak – anaknya karena merasa telah gagal menjadi orang tua yang baik dan berusaha untuk memberikan perhatian yang lebih. (www.surabayapost.co.id oleh Ananta Yudiarso/ 27 Maret 2012). Hubungan yang akrab dengan orangtua merupakan hal yang penting bagi perkembangan siswa/i karena hubungan tersebut akan menjadi contoh yang akan ditiru anak dalam membangun suatu relasi dengan orang lain. Kebutuhan yang terpenting untuk siswa/i adalah kebutuhan akan pengakuan, perhatian dan kasih sayang. Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut akan membuat terjadinya hambatan dalam tugas selanjutnya. Selain itu, hal ini akan berdampak pada persiapan siswa/i dalam menghadapi tahap dewasa awal.Sebaliknya, dengan terpenuhinya kebutuhan psikis, mereka akan membawa keberhasilan dalam perkembangan. Tanpa mengalami kesulitan – kesulitan tersebut pun, siswa/i sudah memiliki masalah dalam perkembangannya sendiri, seperti identitas (jati diri) yang belum jelas, perubahan fisik, perubahan kognitif, dan sosioemosional.

(17)

7

Universitas Kristen Maranatha tantangan yang terjadi pada kehidupan divorce family dapat dievaluasi oleh siswa/i secara berbeda - beda. Kondisi ini akan berdampak pada tingkah laku siswa/i dengan latar belakang divorce family baik secara positif maupun negatif. Dampak positif yang ditunjukan seperti adanya rasa aman dan tenang ketika kedua orang tua telah berpisah, menunjukkan perilaku yang positif di sekolah ataupun di lingkungannya. Dampak negatif yang dirasakan seperti penolakan, kecewa dan tidak menerima keadaan keluarga yang akan berpengaruh pada perilakunya di sekolah ataupun di lingkungannya.

Hasil evaluasi atau penilaian seseorang terhadap pengalaman– pengalaman hidupnya disebut dengan Psychological Well – Being (Ryff,1995) bahwa dirinya mampu menerima kondisi keluarganya saat ini termasuk segala kelebihan dan kelemahan dirinya (Self–Acceptance), dapat mengambil keputusan juga mempertahankan prinsip yang diyakininya tanpa tekanan dari orang lain (Autonomy), memilih dan menentukan keadaan lingkungan yang sesuai dengan dirinya (Environmental Mastery), memiliki tujuan dalam hidup (Purpose In Life), menjalin relasi yang akrab serta mampu mempercayai orang lain (Positive Relations With Others) dan melakukan pengembangan diri (Personal Growth).

Kondisi divorce family yang dialami siswa/i di SMA “X” Bandung akan memengaruhi bagaimana cara pandang siswa/i dalam mengevaluasi kehidupannya.

(18)

8

Universitas Kristen Maranatha kelebihan dan kekurangan dirinya, seperti dalam hal fisik ataupun kemampuannya, sementara 10% siswa/i menghayati bahwa dirinya belum dapat menerima kondisi dirinya dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Sementara itu dari 10 siswa/i didapatkan 60% menghayati bahwa dirinya dapat menerima kondisi keluarga mereka yang saat ini telah bercerai akan tetapi 40 % siswa/i menghayati bahwa mereka belum dapat menerima kondisi keluarga yang telah bercerai, merasa terpaksa untuk berada dalam kondisi divorce family. Berdasarkan dimensi ini, lebih banyak siswa/i yang menunjukkan ciri dari Self – Acceptance yang tinggi.

Dalam menjalin relasi dengan orang lain, siswa/i dengan latar belakang divorce family menghayati bahwa dirinya dapat berteman secara akrab, hangat,

mendalam, dan mampu untuk merasakan perasaan teman- temannya juga dapat percaya pada teman mereka sebanyak 40 % namun sebanyak 60% menghayati bahwa mereka belum bisa menjalin relasi pertemanan secara mendalam dan merasa kurang percaya pada teman- temannya, mereka merasa khawatir dengan apa yang mereka ceritakan mengenai keadaan keluarga sehingga bersikap lebih tertutup dengan teman yang baru mereka kenal. Berdasarkan hal ini, siswa/i memiliki ciri dari Positive Relation With Others yang tergolong rendah.

(19)

9

Universitas Kristen Maranatha persetujuan semua orang dalam mengambil keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak siswa/i yang mengevaluasi dirinya menunjukkan ciri dari Autonomy yang tergolong rendah.

Sebanyak 60% siswa/i dengan latar belakang divorce family merasa to do list akan membantu mereka dalam membuat pengaturan waktu untuk menjadi

lebih baik sehingga mereka dapat menjalankan setiap kegiatan dengan optimal dan mendapatkan hasil yang terbaik, sementara 40 % merasa bahwa dirinya tidak mempunyai pengaturan waktu dengan benar, merasa malas untuk mengatur kegiatan mereka sehari – hari, dan tidak memerlukan pengaturan waktu karena merasa fleksibel dengan kegiatan yang dijalani sehari- hari. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak siswa/i yang memiliki ciri dari Environmental Mastery yang tergolong tinggi.

Siswa/i dengan latar belakang divorce family memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai melalui cita – cita dan target yang telah ditentukan. Kebanyakan siswa/i dengan divorce family memiliki tujuan hidup yang ingin mengubah keadaan ekonominya dan memperbaiki kondisi keluarga mereka nantinya. Siswa/i merasa yakin bahwa dirinya mampu untuk mencapai target dalam hidupnya sebanyak 60%. Sementara, 40% siswa/i dengan latar belakang divorce family belum memiliki cita – cita dan menjalankan setiap kegiatan tanpa memiliki target yang ingin diraih. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak siswa/i yang memiliki ciri dari Purpose in Life yang tergolong tinggi.

(20)

10

Universitas Kristen Maranatha kulikuler, belajar dari kemampuan orang lain (otodidak) sebanyak 70%. Sementara, 30% siswa/i dengan latar belakang divorce family, merasa tidak perlu mengembangkan bakat mereka, mereka merasa membuang waktu dengan mengkuti kegiatan seperti OSIS, ekstra kurikuler, dan kegiatan kepanitiaan di sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak siswa/i yang memiliki ciri dari personal growth yang tergolong tinggi.

Dari hasil survei diatas diketahui bahwa siswa/i dengan latar belakang divorce family memiliki variasi terhadap keenam dimensi dari Psychological

Well - Being. Siswa/i dengan latar belakang divorce family memiliki ciri yang

tergolong tinggi pada dimensi Self –Acceptance, Environmental Mastery, Purpose in Life, dan Personal Growth. Sementara siswa/i dengan latar belakang divorce

family memiliki ciri yang tergolong rendah pada dimensi Positive Relation With

Others dan Autonomy.

Berdasarkan paparan di atas, siswa/i dengan latar belakang divorce family memiliki gambaran yang bervariasi untuk setiap dimensi yang akan mempengaruhi Psychological Well–Being mereka. Siswa/i membutuhkan Psychological Well–Being untuk memiliki mental yang sehat dan mempersiapkan

(21)

11

Universitas Kristen Maranatha 1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana profil Psychological Well – Being pada siswa/i dengan latar belakang divorce family SMA “X” Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Untuk memeroleh gambaran mengenai profil Psychological Well – Being pada siswa/i dengan latar belakang divorce family di SMA “X” Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Memeroleh gambaran Self –Acceptance, Positive Relation with Others, Autonomy, Environmental Mastery, Purpose in Life, dan Personal Growth pada

siswa/i dengan latar belakang divorce family di SMA “X” Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

 Memberikan informasi bagi orang- orang yang ingin mengembangkan teori dari Psikologi Positif yang berhubungan dengan Pychological Well – Being.

(22)

12

Universitas Kristen Maranatha  Sebagai informasi dan masukan bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dalam penelitian Psychological Well - Being pada siswa/i siswa/i yang memiliki divorce family di SMA “X”.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Memberikan informasi pada siswa/i dengan divorce family melalui Guru BK SMA “X” mengenai pentingnya Psychological Well – Being dan memberikan gambaran untuk mengetahui dimensi mana

yang perlu ditingkatkan melalui konseling pribadi untuk para siswa/i dengan latar belakang divorce family.

 Memberikan informasi dan masukan pada orang tua/ wali dari siswa/i melalui Guru BK SMA “X”, untuk mengetahui pentingnya Psychological Well – Being bagi siswa/i dan dapat membantu siswa/i

untuk meningkatkan dimensi dari Psychological Well - Being.

1.5 Kerangka Pemikiran

Perceraian adalah terputusnya hubungan keluarga antara pasangan suami dan istri sebagai akibat dari kegagalan mereka dalam menjalankan peran masing-masing sehingga memutuskan untuk saling meninggalkan dan berhenti untuk melakukan kewajibannya sebagai suami istri yang secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku (Erna, 1999).

(23)

13

Universitas Kristen Maranatha salah satu atau bahkan kedua orang tua dalam peran dan keanggotan keluarga. Perceraian dan konflik pernikahan dapat mengarahkan anak pada keadaan yang sulit dan memberikan dampak yang beragam terutama pada anak yang akan menjadi korban utama. Hal – hal yang biasanya dirasakan oleh anak ketika orangtuanya bercerai adalah rasa tidak aman, tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtuanya yang pergi, sedih dan kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab orangtua bercerai (Pryor &Rodgers, 2001).

Perasaan-perasaan tersebut, dapat dimanifestasikan dalam bentuk perilaku beragam, seperti kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan karena perasaan minder memiliki keluarga yang tidak utuh, hilangnya perhatian dari salah satu orang tua atau bahkan keduanya sehingga membuat mereka mencari perhatian di luar keluarga (Pryor &Rodgers, 2001). Perhatian dan waktu yang kurang menjadikan mereka kurang terkontrol dalam hal pendidikan seperti prestasi yang memburuk dan permasalahan di sekolah seperti membolos dan tingkah laku yang sulit diatur. Selain itu, perceraian juga dapat memberikan pengaruh secara psikologis yang terlihat pada perilaku anak seperti tingkah laku yang sulit diatasi baik dalam lingkungan rumah, sekolah, atau pergaulan seperti tingkah laku yang menunjukkan adanya kondisi yang menekan (stress, depresi) dalam diri mereka berdasarkan fase perkembangan anak ketika perceraian terjadi.

(24)

14

Universitas Kristen Maranatha mengenal kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, mereka pun mengalami penurunan nilai-nilai akademik yang drastis, dan kesulitan dalam berelasi dengan lawan jenis.

Ketika siswa/i dengan divorce family memasuki tahapan remaja, mereka akan cenderung memasuki relasi yang romantis dengan kebutuhan yang sangat kuat untuk afeksi dan dukungan, lebih mempunyai harapan yang negatif dan kemampuan interpersonal yang rendah daripada siswa/i yang memiliki keluarga utuh (Sinclair & Nelson, 1998). Akan tetapi, tidak semua siswa/i dengan latar belakang divorce family memiliki dampak yang negatif. Beberapa siswa/i dengan latar belakang divorce family merasa lebih tenang dengan perpisahan yang dialami karena mereka tidak melihat lagi pertengkaran kedua orang tuanya. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya rasa stress yang dimiliki siswa/i (Hettherington,2006).

(25)

15

Universitas Kristen Maranatha teman di lingkungan pergaulannya, kemandirian, beradaptasi dengan lingkungan, tujuan hidup, dan pengembangan potensi yang dimilikinya. Kesulitan yang dialami siswa/i dengan divorce family akan berdampak pada persiapan mereka dalam menghadapi tahap selanjutnya (adulthood).

Berbagai kondisi yang dialami oleh siswa/i, mempengaruhi penilaian mereka terhadap kehidupan yang sedang mereka jalani, yang disebut sebagai Psychological Well - Being. Psychological Well-Being (PWB) adalah hasil

evaluasi seseorang terhadap setiap pengalaman dalam hidupnya bahwa dirinya mampu untuk melakukan penerimaan diri (self – acceptance), menjalin relasi positif dengan orang lain (positive relation with others), kemandirian (autonomy), mampu menguasai lingkungan (environmental mastery), memiliki tujuan dalam hidup (purpose in life) dan juga mampu melakukan pengembangan diri (personal growth) (Ryff, 2000).

Self – Acceptance adalah penilaian siswa/i dengan latar belakang divorce

(26)

16

Universitas Kristen Maranatha kekurangan dalam dirinya, tidak merasa puas dengan kelebihan yang dimilikinya, kecewa dengan kondisi divorce family dan tidak mampu untuk menerima kondisi keluarga saat ini.

Dimensi Positive Relation with Others, yaitu penilaian siswa/i dengan latar belakang divorce family di SMA “X” terhadap kemampuannya untuk dapat saling percaya dan menjalin hubungan yang mendalam, akrab, dan hangat dengan orang lain, selain itu siswa/i juga memiliki kemampuan untuk mencintai dan memiliki empati pada orang lain. Siswa/i dengan latar belakang divorce family di SMA “X” yang memiliki Positive Relation with Others yang tinggi akan menilai

dirinya dapat menjalankan relasi yang hangat dan baik, mampu untuk berelasi dengan orang lain, memikirkan kesejahteraan dan berempati dengan keadaan orang lain, memberikan afeksi dan intimasi dalam suatu relasi, saling mengerti, dapat menolong dan menerima keadaan orang lain. Sementara, siswa/i dengan latar belakang divorce family di SMA “X” yang memiliki Positive Relation with Others yang rendah akan merasa tidak nyaman dan frustrasi ketika menjalin

relasi yang mendalam dengan orang lain, tidak mampu untuk menjalin relasi yang hangat, dan tidak dapat terikat dengan orang lain.

(27)

17

Universitas Kristen Maranatha mengevaluasi diri dengan standar pribadi yang dimilikinya. Siswa/i dengan latar belakang divorce family di SMA “X” yang memiliki dimensi Autonomy rendah akan mengevaluasi diri berdasarkan harapan orang lain dan membuat keputusan berdasarkan penilaian teman ataupun keluarga.

Environmental Mastery merupakan penilaian siswa/i dengan latar

belakang divorce family di SMA “X” dalam menilai akan kemampuan dirinya untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan dirinya. Siswa/i dengan latar belakang divorce family di SMA “X” yang memiliki Environmental Mastery tinggi akan menghayati bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk

memanfaatkan setiap kesempatan yang ada di sekolah, lingkungan pertemanan dan dapat mengatur waktu dengan lebih baik. Siswa/i dengan latar belakang divorce family di SMA “X” yang memiliki Environmental Mastery rendah akan mengalami kesulitan dalam mengatur kegiatan sehari – hari, tidak mampu mengubah atau mengatasi situasi lingkungan, kurang peka pada kesempatan yang ada, dan kurangnya kontrol pada kegiatan sehari – hari.

(28)

18

Universitas Kristen Maranatha dengan latar belakang divorce family di SMA “X” yang memiliki dimensi Purpose in Life yang rendah akan menghayati bahwa dirinya kehilangan makna

hidup, tidak memiliki tujuan dalam hidupnya, hilangnya arah dalam berperilaku, tidak mampu mengambil makna yang terdapat dalam hidupnya akan kondisi perceraian yang terjadi pada kedua orangtuanya.

Dimensi Personal Growth adalah penilaian siswa/i dengan latar belakang divorce family di SMA “X” mengenai usahanya dalam mengembangkan keterampilan dan bakat yang dimilikinya . Siswa/i dengan latar belakang divorce family yang memiliki Personal Growth yang tinggi akan menghayati bahwa

dirinya dapat terbuka terhadap pengalaman baru, menyadari setiap potensi yang dimiliki oleh dirinya, dapat melakukan perubahan yang lebih baik dalam hal pengetahuan dan tingkah laku. Berbeda pada siswa/i dengan latar belakang divorce family di di SMA “X” yang memiliki Personal Growth yang rendah, mereka akan menghayati bahwa dirinya tidak merasakan adanya peningkatan dalam kualitas hidup seperti bakat dan kemampuan, merasa bosan dengan kondisi hidupnya, kehilangan minat dalam melakukan setiap kegiatan, serta merasa tidak mampu untuk mengembangkan potensi pada dirinya menjadi lebih baik.

(29)

19

Universitas Kristen Maranatha lebih matang dalam berpikir dan bertingkah laku, mandiri, dan mampu dalam mengendalikan keadaan lingkungannya, sehingga dapat berpengaruh terhadap penilaian siswa/i dengan latar belakang divorce family di SMA “X” mengenai kemampuannya untuk mengatur lingkungan dan aktivitas yang dilakukannya (Environmental Mastery) maupun kemandiriannya (Autonomy).

Faktor jenis kelamin akan mempengaruhi siswa/i dengan latar belakang divorce family di SMA “X” pada dimensi Positive Relation with Others dan

Personal Growth (Ryff and Keyes,1995). Siswi memiliki skor yang lebih tinggi

dalam menjalin relasi yang positif (Positive Relation with Others) dengan orang lain sementara siswa cenderung lebih ingin menyendiri dan kurang ingin bekerja sama dengan orang lain. Jenis kelamin juga mempengaruhi dalam pengembangan diri (Personal Growth) siswa/i. Siswi lebih terbuka terhadap pengalaman baru dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki sementara siswa cenderung terpaku dengan bakat yang dimilikinya dan kurang terbuka dalam pengalaman baru.

Faktor sosial – ekonomi merupakan status sosial seperti status ekonomi mengenai kelas sosial individu pada lingkungan sosial atau lingkungan masyarakat. Status ini dapat membuat siswa/i dengan latar belakang divorce family yang memiliki ekonomi dari kalangan menengah keatas merasa memiliki

(30)

20

Universitas Kristen Maranatha belakang divorce family yang memiliki ekonomi yang rendah akan memiliki Self- Acceptance yang rendah dan kurangnya Purpose in Life karena keadaan ekonomi

yang tidak mendukung dalam membantu melakukan penerimaan terhadap dirinya serta kurangnya memiliki tujuan hidup yang disebabkan oleh kesulitan dalam menentukan tujuan. Status sosial siswa/i dengan latar belakang divorce family juga dapat mempengaruhi penilaian mereka terhadap penerimaan kondisi mereka saat ini. Faktor ini juga mempengaruhi keinginan siswa/i untuk mengembangkan diri dan terbuka terhadap pengalaman baru dalam hidup (Personal Growth).

Faktor agama (religiusitas) terutama penghayatan terhadap agama akan memengaruhi derajat Psychological well – being individu (Weiten &Llyod. 2003), terutama dalam hal mengatur aktivitas dan lingkungannya ( Environmental Mastery) dan juga dalam hal penerimaan akan keadaan dirinya (Self -

Acceptance). Siswa/i dengan latar belakangdivorce family yang menghayati peran

agama dalam hidupnya akan menghayati bahwa seluruh pengalaman dalam hidupnya baik yang menyenangkan maupun kurang menyenangkan adalah suatu hikmah yang perlu disyukuri, hal tersebut membuat siswa/i denganlatar belakang divorce family menghayati hidup dan pengalamannya lebih bermakna dan lebih

(31)

21

Universitas Kristen Maranatha Selain itu, faktor dukungan sosial juga turut mempengaruhi pembentukan Psychological Well - Being seseorang (Davis dalam Parwiti,2000). Siswa/i

dengan divorce family yang mendapatkan dukungan dari lingkungannya akan merasa bahwa dirinya dicintai, dipedulikan, dihargai akan menunjukkan Positive Relation with Others yang lebih tinggi. Siswa/i yang menjadi bagian dalam

jaringan sosial (misalnya pada lingkungan sekolah, sahabat, relasi) akan dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri mereka, sehingga siswa/i yang memiliki dukungan sosial dari lingkungannya cenderung akan memiliki Self Acceptance yang lebih tinggi.

Faktor pengalaman hidup memiliki pengaruh terhadap kondisi Psychological Well - Being individu (Ryff, 1989). Siswa/i dengan divorce family

yang mengalami perlakuan tidak adil dari lingkungannya, diperolok, atau mendapatkan kekerasan fisik dari salah satu atau kedua orang tuanya cenderung memiliki penerimaan akan kondisi hidupnya yang rendah (Self – Acceptance), kurang dapat melakukan pengembangan akan kemampuan dirinya (Personal Growth), sulit dalam menentukan tujuan hidupnya (Purpose in Life), dan

mengalami relasi dengan orang lain yang kurang hangat dan mendalam (Positive Relation with Others). Hal ini dikarenakan seseorang yang mempunyai

pengalaman hidup yang tidak menyenangkan, umumnya akan membekas pada diri mereka dan dapat membuat diri mereka minder ataupun sulit untuk percaya dengan orang lain.

(32)

22

Universitas Kristen Maranatha Openess to Experience) memiliki hubungan dengan Psychological Well – Being.

Faktor kepribadian adalah suatu predisposisi bawaan yang melekat pada siswa/i sehingga akan berpengaruh bagaimana mereka akan bereaksi dan menanggapi lingkungan serta pengalamannya.

Siswa/i dengan latar belakang divorce family di SMA “X” yang Extraversion akan cenderung didominasi oleh perasaan positif, energik, dan

dorongan untuk menjalin relasi dengan orang – orang di sekitarnya. Faktor kepribadian Openess to Experience akan meningkatkan dimensi Personal Growth dengan keterbukaan pada pengalaman yang baru disertai dengan

imajinasi, pemikiran luas, dan apresiasi yang tinggi pada seni. Sementara, siswa/i dengan latar belakang divorce family yang Agreeableness biasanya akan ramah, penyayang, pemaaf dan memiliki kepribadian yang selalu mengalah dan berkaitan dengan Positive Relation with Others. Kepribadian Conscientiousness mendeskripsikan bahwa siwa/i memiliki kontrol pada keadaan sekolah ataupun di rumah, terencana, dan terorganisir. Faktor kepribadian ini akan meningkatkan dimensi Autonomy dan Environmental Mastery.

Siswa/i dengan latar belakang divorce family yang Neuroticism memiliki kepribadian yang selalu mengalah dalam berelasi, hal ini akan berkaitan dengan Positive Relation with Others. Neuroticism juga akan mempengaruhi dimensi

Autonomy. Siswa/i dengan latar belakang divorce family yang Neuroticism

(33)

23 Universitas Kristen Maranatha

Bagan 1.1 Kerangka Pikir Psychological Well – Being

Dimensi Psychological Well – Being: 1. Self – Acceptance

2. Positive Relation with Others. 3. Autonomy

4. Environmental Mastery 5. Purpose in Life

6. Personal Growth

Faktor Sosiodemografis: a. Usia

b. Jenis Kelamin

c. Status Sosial Ekonomi d. Agama (Religiusitas) e. Dukungan Sosial f. Pengalaman Hidup Siswa/i dengan

divorce family

di SMA “X” Bandung.

Tugas Perkembangan Remaja

Faktor Kepribadian: a. Extraversion b. Agreeableness c. Conscientiousness d. Neuroticism

e. Openness to Experience

(34)

24

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi

Psychological Well–Being pada siswa/i dengan divorce family di

SMA “X” Bandung menggambarkan hasil evaluasi atas penghayatan

mereka sebagai anggota dari divorce family.

Dimensi Psychological Well - Being pada siswa/i dengan latar belakang divorce family di SMA “X” Bandung dapat dilihat melalui enam dimensi yaitu Self – Acceptance, Positive Relation with Others, Autonomy, Environmental Mastery, Purpose in Life, Personal Growth

dengan derajat yang berbeda - beda.

(35)

88

Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan hasil interpretasi dan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat dari dimensi – dimensi Psychological Well – Being yang dilakukan pada siswa/i dengan latar belakang divorce family di SMA “X” Bandung, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Siswa/i yang memiliki divorce family di SMA “X” Bandung menunjukan derajat yang tinggi dan rendah pada dimensi Psychological Well – Being yang hampir merata.

2. Siswa/i yang memiliki divorce family di SMA “X” Bandung memiliki derajat paling tinggi pada dimensi Autonomy diantara dimensi Psychological Well- Being lainnya.

(36)

89

Universitas Kristen Maranatha dimensi Psychological Well - Being siswa/i yang memiliki divorce family di SMA “X” Bandung.

4. Faktor usia, dukungan, usia pada saat orang tua bercerai, pengalaman positif dan faktor kepribadian (Conscientiousness dan Openess to Experiences) kurang menunjukkan adanya keterkaitan pada dimensi – dimensi Psychological Well - Being siswa/i yang memiliki divorce family di SMA “X” Bandung.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

1. Bagi peneliti selanjutnya, dapat dipertimbangkan untuk melakukan penelitian dimensi – dimensi dari Psychological Well – Being pada siswa/i dengan divorce family di SMA “X” Bandung dengan metode mix method agar

mendapatkan faktor – faktor yang lebih menunjukkan keterkaitan serta hasil penelitian yang lebih menyeluruh.

2. Bagi peneliti selanjutnya, dapat dipertimbangkan untuk memberikan pertanyaan sosiodemografis (khususnya keadaan sosial ekonomi dan pengalaman hidup) yang lebih mendalam sehingga dapat membantu pemaparan dalam pembahasan dimensi Psychological Well – Being pada siswa/i dengan divorce family.

(37)

90

Universitas Kristen Maranatha 4. Bagi peneliti selanjutnya, dapat dipertimbangkan untuk melakukan penelitian komparatif mengenai Psychological Well – Being secara keseluruhan pada divorce family dengan not divorced family .

5.2.2 Saran Praktis

1. Guru BK mengarahkan siswa/i yang memiliki divorce family untuk mempertahankan derajat dengan dimensi yang tinggi, sedangkan siswa/i yang memiliki divorce family dapat meningkatkan derajat yang tergolong rendah dengan melakukan pengembangan. Hal ini dapat ditingkatkan dengan cara konseling pribadi dengan guru BK, mengadakan seminar pengenalan dan pengembangan diri (Self–Acceptance, Autonomy, Environmental Mastery,Purpose in Life), menganjurkan siswa untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang

sesuai dengan minatnya atau mengikuti kegiatan positif di luar sekolah yang meningkatkan bakat siswa/i (Positive Relation, Personal Growth). Guru BK pun dapat memberikan konseling pribadi bagi orang tua atau wali yang bertanggung jawab mengenai pentingnya dan cara meningkatkan derajat dimensi Psychological Well – Being untuk kehidupan siswa/i.

2. Orang tua / wali yang bertanggung jawab atas pengasuhan siswa/i dengan divorce family untuk memerhatikan derajat dari dimensi dimensi Psychological Well – Being yang masih tergolong rendah. Orang tua / wali berpartisipasi

(38)

91

Universitas Kristen Maranatha in Life, Autonomy, Positive Relation, Environmental Mastery, Personal Growth),

(39)

92 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Amato, Paul, R. 2000. The Consequences of Divorces For Adults And Children.

Journal of Marriage and The Family”, vol.62, No. 4.

Andrews, F. M. & Robinson, J. P. (1991). Measures of Subjective Well-Being. Robinson, J. P., Shaver, P. R., Wrightsman, L. S (Eds). California:

Bastaman, H.D. 1996. Meraih Makna Hidup. Jakarta: Airlangga.

Beith – Hallahami, B.,&Argyle, M. 1997. The Psychology of Religious Behavior, Belief, and Experience. London, New York: Routledge.

Buehler, C., & Gerard, J. M. 2002. Marital Conflict, Ineffective Parenting, and Children’s and Adolescent’s Maladjustment. “Journal Of Marriage And The Family”, 64, 78-92.

Davis M.T. 2004. The Effects of Religious Beliefs on Mental Health. New York: Mc–Graw Hills Companies, Inc.

Duvall, Evelyn Millis. 1977. 5-th ed. Marriage and Family Development. Philadelphia: J.B. Lippincott Co.

Ellis, B.Carolyn. 2012. The 7 Pitfalls of Single Parenting: What to Avoid to Help Your Children Thrive After Divorce. iUniverse.

Flannelly, Kevin J., Harold G. Koenig, Christopher G. Ellison, Kathleen Galek, and Neal Krause. 2006. Belief in Life After Death and Mental Health-- Findings From A National Survey. Journal of Nervous and Mental Disease”, 194(7): 524-529.

Friedman,M.M.1998.Keperawatan Keluarga:Teori dan Praktik. Jakarta: EGC Freidenberg, Liza. 1995. Psychological Testing, Design, Analysis and Use, Allyn

and Bacon.

Goldenberg, Irene & Herbert Goldenberg. 1985. Family Therapy: An Overview. California: Brooks/Cole Publishing Co.

Gudman, L. R & Pina, R. R. 2002. Demographic and Educational Influences on the Self-Esteem of Adolescent from Divorce and Intact Families in Rural Areas

(40)

93 Universitas Kristen Maranatha Hetherington, E. Mavis, Ross D. Parke, Mary Gauvain & Virginia Otis Locke, 2006, 6-th ed. Child Psychology, A Contemporary Viewpoint. Singapore: McGraw-Hill.

Johansloo, Mohsen A.&Samaneh. 2010. Big Five Personality Traits as Predictors of Eudaimonic Well – Being in Iranian University Students. Dalam Wells, Inggrid E. Psychological Well – Being, Psychology of Emotions, Motivations and Actions. Nova Science Publishers, Inc.

Kaplan, Robert M & Dennis P. Saccuzzo .1993. Psycological Testing Principes Application and Lissues, California Brooks / Cole Publishing Company, Pasific Group.

Karim, Erna. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga : Tinjauan Sosiologi Mengenai Perceraian. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Keyes & Shmotkin. 2002. Jurnal Optimizing Well – Being : The Empirical Econter of Two Traditions.

McCrae, R.R., & Costa, P.T. 1997. Personality Trait Structure as a Human Universal. American Psychologist, vol.52, 509-516.

Nelson, E., & Sinclair, S. (1998). The Impact of Parental Divorce on College Students Intimate Relationships And Relationship Beliefs. “Journal Of Divorce And Remarriage”, 103-129.

Papalia D.et all.2001. Human Development 8th Edition.New York: McGraw- Hill. Pervin, L.A. (2005). The Big Five Factors Personality Theory and Research, 9th

edition. John Wiley & Sons, Inc., New Jersey.

Pryor, J., & Rodgers, B. (2001). Children in Changing Families: Life After Parental Separation. UK: Blackwell.

Ryan, R.M., & Deci, E.D.2001.On Happiness and Human Potential: A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well – Being. Annual Reviews Psychology.

Ryff, Carol D.1989. Happiness is Everything,or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological Well- Being. “ Journal of Personality and Sosial Psychology”. Vol 57: 1069 -1081.

(41)

94 Universitas Kristen Maranatha Ryff, Carol. Singer, Burton. 2002. From Social Structure Biology : Integrative Science in Pursuit of Human Health and Well- Being. Dalam Synder, Lopez. 2002. Handbook of Positive Psychology. New York: Oxford University Press, Inc.

Ryff & Singer , 2006. Know Theyself and Become What You Are : A Eudaimonic Approach Psychological Well- Being. “Journal of Happiness Studies”.

Santrock, John W. 2003. Life-Span Development. Jakarta : Erlangga.

Sarafino, E.P. 1994. Health Psychology: Biopsychological Interaction. Kanada: John Wiley & Sons, Inc.

Singgih D, Gunarsa.2008.Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.Jakarta: Gunung Mulia

Steger, M. F., Oishi, S., & Kashdan, T. B. 2009. Meaning in Life Across The Life Span: Levels And Correlates Of Meaning In Life From Emerging Adulthood To Older Adulthood. Journal of Positive Psychology”, 4, 43-52.

(42)

95 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

http://blog.tp.ac.id/perkembangan-identitasjati-diri-anak-masa-sekolah-menengah Diakses pada tanggal 10 Maret 2012 20:23:05 GMT.

http://psychologymania.wordpress.com/2011/07/14/psikologi-keluarga-families-psychology/ Diakses pada tanggal 10 Maret 2012 20:35:34 GMT.

http://rumahbelajarpsikologi.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id =101 Diakses pada tanggal 10 Maret 2012 20:55:05 GMT.

http://eksposnews.com/view/25/32168/Angka-Perceraian-di-Indonesia-Sangat-Tinggi.html Diakses pada tanggal 11 Maret 2012 22:10: 15 GMT.

http://republika.co.id:8080/koran/0/140856/Perceraian_di_Bandung_Tertinggi_se _Indonesia Diakses pada tanggal 11 Maret 2012 22:13:45 GMT.

http://www.jurnas.com/halaman/9/2011-12-30/193912 Diakses pada tanggal 25 Maret 2012 20:23:05 GMT.

http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=080e8d277fd35c6b83 9e062d62aced59&jenis=d41d8cd98f00b204e9800998ecf8427e Diakses pada tanggal 28 September 2012 23:30:11 GMT.

http://intisari-online.com/mobile/read/anak-dari-orangtua-tunggal-bukan-produk-gagal Diakses pada tanggal 9 November 2012 22:00:05 GMT

http://homepage.psy.utexas.edu/homepage/faculty/gosling/tipi%20site/tipi.htm Diakses pada tanggal 25 Febuari 2013 20:29:05 GMT

Amelia, A.T. 2008. Strategi Koping Anak dalam Menghadapi Stress Pasca Trauma Akibat Perceraian Orang Tua. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Mardiansyah, Didi.2012. Studi Deskriptif mengenai Gambaran Psychological Well – Being pada Pria Homosexual (Gay) Usia Dewasa Muda di Komunitas - Komunitas “X” Bandung. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian tentang studi komparasi prestasi belajar siswa berdasarkan perhatian orang tua dalam kegiatan belajar siswa kelas X SMK PGRI 2 Salatiga kiranya

Analisis Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita Matematika Pokok Bahasan Teorema Pythagoras Berdasarkan Kategori Kesalahan Newman di Kelas VIII A SMP Negeri 10

Berdasarkan kesimpulan di atas menunjukkan bahwa desain RPP IPA Terpadu pada topik Pengaruh Ukuran Daun terhadap Penguapan dikatakan berhasil dan

Apabila dilihat dari segi keamanan, kompor induksi jelas lebih aman daripada kompor gas, sebab kompor induksi tidak menggunakan gas dan tidak mengeluarkan api sehingga

Pengerjaan skripsi ini bertujuan untuk merancang sebuah beban elektronik yang dapat. digunakan untuk menguji kestabilan sebuah instrumen seperti

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji apakah cabang olahraga yang membuat program latihan lebih baik dibandingkan dengan cabang olahraga yang tidak membuat

kombu, dengan pengenceran 2.5g/250ml sebagai media dengan pertumbuhan jamur yang paling baik berdasarkan pengukuran pH, berat kering, ketebalan jamur dan total

Pada bagian ini mempunyai pola ritme yang sederhana dibandingkan dengan pola bagian A dan B dengan memainkan tangan kanan pada ride cymbal untuk memunculkan suasana tenang,