• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Asas Yurisdiksi Universal dalam Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional T1 312011605 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Asas Yurisdiksi Universal dalam Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional T1 312011605 BAB II"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Terhadap Yurisdiksi

Secara etimologis, yurisdiksi dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa

Inggris yaitu jurisdiction. Jurisdiction sendiri berasal dari bahasa Latin

Yurisdictio”, yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan menurut

hukum, dan dictio yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman. Sehingga jika

didefinisikan secara singkat, maka inti dari yurisdiksi adalah ucapan atau sabda

yang memiliki dasar hukum. Memiliki dasar hukum hukum dapat diartikan sebagai

kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum. Dalam kekuasaan tersebut di

dalamnya mencakup hak dan wewenang yang didasarkan oleh hukum. Sehingga

kekuasaan yang dimiliki oleh pemegang yurisdiksi bukanlah merupakan kekuasaan

yang berdiri sendiri melainkan kekuasaan yang berdasarkan hukum, dibatasi oleh

nilai - nilai hukum.

Anthony Csabafi, dalam bukunya “The Concept of State Jurisdiction in

International Space Law” mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi negara

sebagai berikut : “… state jurisdiction in public international law means the right

of a state to regulate or effect by legislative, executive or judical measures the rights

of person, property, acts events with respect to matters not exclusively of domestic

concern …”.1 Dalam definisi tersebut dapat ditemukan unsur - unsur yurisdiksi yang ada yaitu hak atau kewenangan, mengatur secara hukum melalui lembaga

1 Anthony Csabafi, The Concept of State Jurisdiction in International Space Law, (The Hague, 1971),

(2)

13

legislatif, eksekutif, maupun yudikatif; mempengaruhi hak orang, benda, peristiwa

dan tidak semata - mata merupakan masalah dalam negeri saja. Senada dengan

Anthony Csabafi, Akehurst juga menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis yurisdiksi

yaitu yurisdiksi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Yurisdiksi legislatif mengacu

pada supremasi lembaga negara yang diakui secara konstitusional untuk membuat

undang-undang yang mengikat dalam wilayahnya. Negara mempunyai hak

eksklusif membuat undang-undang dan peraturan dalam banyak bidang. Yurisdiksi

eksekutif berkaitan dengan kewenangan negara untuk bertindak dalam batas-batas

negara lain, Karena masing-masing negara independen dan memiliki kedaulatan

teritorial. Yurisdiksi yudikatif menyangkut kekuasaan pengadilan dari negara

tertentu untuk mengadili kasus-kasus di mana ada faktor asing. Dalam masalah

pidana yurisdiksi ini menjangkau mulai dari prinsip teritorial hingga prinsip

universal sedangkan dalam persoalan sipil mulai dari kehadiran fisik terdakwa di

negara itu hingga prinsip kewarganegaraan dan domisili.2

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisdiksi memiliki 2

(dua) pengertian, yaitu3 :

a. Kekuasaan mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan;

b. Lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah atau

lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum

2 Malcolm N. Shaw, Hukum Internasional, terjemahan oleh Derta Sri Widowati, Penerbit Nusa

Media, Bandung, 2013, hal. 640-641.

3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta : Balai

(3)

14

Yurisdiksi adalah ciri pokok dan sentral dari kedaulatan negara, karena

merupakan pelaksanaan kewenangan yang dapat mengubah atau membuat atau

mengakhiri hubungan dan kewajiban hukum.4 Yurisdiksi dapat dicapai dengan

kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Di Indonesia, legislatif merupakan

parlemen yang mengeluarkan undang - undang yang mengikat, eksekutif

merupakan pemerintah yang memiliki yurisdiksi atau otoritas kewenangan untuk

menjalankan undang - undang, dan yudikatif adalah kekuasaan kehakiman yang

mempunyai wewenang untuk memutus dan mengadili. Yurisdiksi sangat lekat

hubungannya dengan teritorial. Yurisdiksi akan sangat kuat keberadaannya

terhadap segala sesuatu yang ada dalam wilayah suatu negara. Tetapi keterkaitan

antara yurisdiksi dengan wilayah negara bukan sesuatu yang bersifat mutlak.

Negara - negara tetap dapat memiliki yurisdiksi untuk menghukum pelanggaran

yang terjadi di luar wilayah mereka contohnya.

Yurisdiksi negara dalam hukum internasional dibagi dalam dua ranah yaitu

yurisdiksi perdata dan yurisdiksi pidana. Dalam yurisdiksi perdata, hukum nasional

suatu negara lebih banyak dipakai untuk menyelesaikan sengketa dibandingkan

dengan hukum internasional. Reaksi yang dihasilkan oleh negara - negara lain juga

jauh lebih sedikit.5 Kasus perdata dalam hukum internasional diselesaikan

menggunakan yurisdiksi negara yang telah disepakati oleh masing-masing pihak

dalam perjanjian. Hampir tidak ada protes diplomatik atau diskusi antar negara

menyangkut hukum privat. Beberapa penulis menyimpulkan bahwa hukum adat

4 Op cit. hal. 637.

(4)

15

internasional tidak menetapkan peraturan tertentu dalam hal pembatasan yurisdiksi

pengadilan dalam persoalan sipil.6

Ranah yurisdiksi yang kedua adalah yurisdiksi pidana. Sepanjang

menyangkut ranah pidana maka yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu negara dapat

berupa bentuk-bentuk seperti ini :

1. Prinsip Teritorial.

Maksud dari prinsip ini adalah suatu negara mempunyai yurisdiksi

penuh terhadap segala semua orang dan benda di dalam batas

teritorialnya dan dalam semua perkara pidana dan perdata yang

timbul di wilayah teritorialnya. Prinsip ini adalah prinsip yang

paling penting dan mapan dalam membicarakan masalah yurisdiksi

dalam hukum Internasional.7 Seiring berjalannya waktu, maka

prinsip ini dikembangkan lagi menjadi dua prinsip yaitu prinsip

teritorial subyektif dan prinsip teritorial obyektif. Prinsip teritorial

subyektif adalah keadaan di mana negara dapat menuntut dan

menghukum pelaku kejahatan yang melakukan tindak pidana di

wilayah negaranya tetapi tindakan itu diselesaikan atau

menimbulkan kerugian di negara lain. Prinsip teritorial obyektif

artinya negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang

melakukan kejahatan yang menimbulkan kerugian di negaranya

6Ibid.

7 DJ Harris, Cases and Materials on International Law,3rd Ed, (London: Sweet &Maxwell,1998), hal.

(5)

16

meskipun perbuatan itu dimulai dari negara lain, tetapi dengan

syarat perbuatan tersebut dilaksanakan atau diselesaikan di dalam

wilayah mereka dan menimbulkan akibat yang sangat berbahaya

terhadap ketertiban sosial ekonomi di wilayah mereka.

2. Prinsip Personal (Nasionalitas)

Prinsip ini artinya setiap negara dapat mengadili warga negaranya

terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukannya di mana pun

juga.8 Prinsip nasionalitas ini juga dibagi menjadi dua bagian

menurut prakteknya yaitu prinsip nasionalitas aktif dan prinsip

nasionalitas pasif. Prinsip nasionalitas aktif artinya negara dapat

melaksanakan yurisdiksi terhadap warga negaranya di manapun ia

berada. Prinsip nasionalitas pasif artinya suatu negara dapat

memiliki yurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan

tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.9

3. Prinsip Perlindungan

Prinsip ini artinya suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya

terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan di luar

negeri yang di duga dapat mengancam kepentingan keamanan,

integritas, dan kemerdekaan negara yang bersangkutan.10 Prinsip ini

8 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi revisi, (Jakarta : Raja Grafindo

Persada, 2002),hal.162.

9Ibid. hal.163.

(6)

17

dibenarkan atas dasar perlindungan terhadap kepentingan negara

yang sangat penting.

4. Prinsip Universal

Prinsip ini seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya berarti bahwa

setiap negara mempunyai yurisdiksi untuk mengadili seseorang

tanpa mengindahkan lokasi maupun warga negara orang tersebut

dalam batasan bahwa tindak pidana tersebut mengusik kehidupan

seluruh komunitas internasional.

2.2 Tinjauan Khusus Terhadap Yurisdiksi Universal

Prinsip Yurisdiksi universal artinya setiap negara memiliki yurisdiksi atas

kejahatan-kejahatan tertentu dengan pertimbangan bahwa sifat kejahatan tersebut

sama-sama mengusik keamanan dan kepentingan seluruh komunitas internasional.

Pemikiran yang mendasari munculnya prinsip yurisdiksi universal adalah adanya

anggapan apabila kejahatan tersebut telah menjadi kejahatan bagi seluruh umat

manusia (hostis humani generis).11 Kejahatan universal atau kejahatan bagi seluruh

umat manusia menjadi bagian dari yurisdiksi universal tidak terlepas dari hukum

kebiasaan. Amnesty Internasional mendefinisikan yurisdiksi universal sebagai

yurisdiksi di mana pengadilan nasional di mana pun dapat menginvestigasi,

menuntut seseorang yang dituduh melakukan kejahatan internasional tanpa

11 Jahawir Thontowi dan Pranonto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama,

(7)

18

memerhatikan nasionalitas pelaku, korban, maupun hubungan lain dengan negara

di mana pengadilan tersebut berada.12 Beberapa ciri unik dari yurisdiksi universal

adalah :

1. Setiap negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal

dengan bertanggung jawab untuk tidak mencoba memberikan

perlindungan di wilayah negaranya.

2. Setiap negara yang melaksanakan yurisdiksi ini tidak perlu

mempertimbangkan kewarganegaraan pelaku dan korban serta di

mana kejahatan itu dilakukan. Satu-satunya yang harus dipastikan

adalah pelaku kejahatan berada dalam wilayah teritorial negaranya.

3. Yurisdiksi universal hanya berlaku bagi kejahatan internasional.13

Prinsip universal pertama kali muncul pada abad ke-17 dalam kaitannya

dengan pembajakan di laut lepas. Sehingga pembajakan di laut lepas dianggap

sebagai tindak pidana awal di mana asas yurisdiksi universal muncul untuk

melindungi kepentingan komunitas internasional. Perlu ditekankan di sini bahwa

hanya pembajakan di laut lepas saja yang masuk dalam lingkup yurisdiksi

universal. Dalam hukum positif pembajakan di laut lepas masuk dalam juris

gentium sesuai dengan pasal 105 UNCLOS (United Nations Convention on the Law

of the Sea) yang berbunyi "On the high seas, or in any other place outside the

12 Amnesty International, Universal Jurisdiction, Question and Answer, December, 2001,

sebagaimana dikutip oleh Ridarson Galingging "Universal Jurisdiction in absentia; Congo v Belgium, ICJ, Feb 2002, dalam Jurnal Hukum Internasional, Vol. I No.2, Agustus 2002, FH Universitas Padjadjaran, Bandung, Hal. 104.

(8)

19

jurisdiction of any State, every State may seize a pirate ship or aircraft, or a ship

or aircraft taken by piracy and under the control of pirates, and arrest the persons

and seize the property on board. The courts of the State which carried out the

seizure may decide upon the penalties to be imposed, and may also determine the

action to be taken with regard to the ships, aircraft or property, subject to the rights

of third parties acting in good faith." Asas yurisdiksi universal dalam pembajakan

di laut lepas bertujuan untuk mengisi kekosongan yurisdiksi jika ada kejahatan yang

dilakukan di wilayah yang tidak bertuan atau wilayah yang ada di luar yurisdiksi

teritorial negara-negara di dunia,sehingga pelaku kriminal yang melakukan

kejahatan di wilayah tersebut tetap dapat dihukum sesuai dengan kejahatannya.

Setelah pembajakan di laut lepas menjadi lingkup yurisdiksi universal, dalam

hukum internasional modern, asas yurisdiksi universal berkembang kegunaannya

seiring dengan adanya kejahatan-kejahatan yang sangat serius dan mematikan

seperti genosida, kejahatan perang, dan lain-lain. Dalam yurisdiksi universal

modern, asas yurisdiksi universal dapat digunakan untuk mengadili pelaku-pelaku

kejahatan internasional yang sangat serius sehingga tidak ada lagi tempat di mana

pelaku kejahatan tersebut berlindung sehingga ia tidak dapat diadili dan dihukum

sesuai dengan kejahatannya.14 Asas yurisdiksi universal digunakan dalam

mengadili pelaku kejahatan internasional yang serius pada awalnya adalah saat

pengadilan Israel mengadili Adolf Eichmann dan menjatuhkan putusan hukuman

14 Noora Arajarvi, Looking Back from Nowhere: Is There a Future for Universal Jurisdiction over

(9)

20

mati15 dan Pengadilan Nuremberg yang mengadili mantan pejabat-pejabat Nazi

yang melakukan tindakan genosida walaupun pengadilan Nuernberg dibentuk oleh

negara-negara pemenang Perang Dunia yang kedua yang sama sekali tidak ada

hubungannya dengan pelaku kejahatan, korban, dan lokasi kejadian tindak

kejahatan tersebut. Berangkat dari dua peradilan tersebut maka asas yurisdiksi

universal juga mencakup kejahatan internasional yang sangat serius (kejahatan

perang), selain juga digunakan untuk pembajakan di laut lepas.

Saat ini dua tindak pidana yang jelas masuk dalam lingkup prinsip universal

adalah pembajakan di laut lepas dan kejahatan perang. Sedangkan pembajakan di

laut teritorial suatu negara tunduk kepada yurisdiksi teritorial negara yang

bersangkutan. Masuknya kejahatan perang sebagai delik jure gentium dikukuhkan

oleh Konvensi Jenewa 1949 yang berkenaan dengan tawanan perang, perlindungan

penduduk sipil dan personel yang menderita sakit dan luka-luka. Ditambahkan juga

dengan Protokol I dan Protokol II yang disahkan pada tahun 1977 oleh Konferensi

Diplomatik di Jenewa tentang Penetapan dan Pengembangan Hukum Humaniter

Internasional yang berlaku dalam Konflik-Konflik bersenjata (Diplomatic

Conference at Geneva on the Reaffirmation and Development of International

Humanitarian Law Applicable in Armed Conflicts).16

Selain dua kejahatan yang telah disebutkan di atas, kejahatan-kejahatan

internasional yang serius lainnya seperti contohnya kejahatan yang melawan

15Israel v Eichmann , Israel Supreme Court Judgment of 29 May 1962 in (1968) International Law

Reports 291.

16 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, terjemahan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar

(10)

21

kemanusiaan, kejahatan agresi, dan perdagangan manusia masih menjadi

perdebatan di kalangan komunitas internasional. Meskipun sebenarnya saat ini

prinsip yurisdiksi universal sedang didorong untuk dapat menindak pelaku-pelaku

kejahatan internasional serius lainnya yang belum diadili oleh negara yang

berwenang mengadili.

2.3 Permasalahan dalam Yurisdiksi Universal

Yurisdiksi universal dianggap sebagai yurisdiksi yang cukup kompleks

karena yurisdiksi universal bersifat kontradiktif dengan yurisdiksi nasional suatu

negara. Yurisdiksi nasional suatu negara memberikan ruang lingkup yang sangat

jelas bagi suatu negara untuk mengadili pelaku kejahatan internasional. Yurisdiksi

nasional negara seperti yurisdiksi teritorial, nasional, dan perlindungan memiliki

batas-batas yang sangat jelas dan juga merupakan suatu tanda atas kedaulatan

negara. Tidak ada negara yang mau jika kedaulatannya dilanggar. Secara

kontradiktif, eksistensi yurisdiksi universal mengusik yurisdiksi nasional suatu

negara. Yurisdiksi universal memiliki batasan-batasan tersendiri tidak berdasarkan

nasionalitas atau kepentingan suatu negara. Yurisdiksi universal memberikan ruang

bagi suatu negara untuk melangkahi yurisdiksi nasional negara lain dengan dalil

melindungi kepentingan seluruh komunitas internasional. Sifat kontradiktif dari

yurisdiksi universal terhadap yurisdiksi lainnya ini dapat menimbulkan masalah

jika tidak dikaji secara baik dan benar pelaksanaannya.

Permasalahan selanjutnya yang akan muncul terhadap eksistensi yurisdiksi

universal adalah ketika suatu negara telah menerapkan prinsip tersebut dalam

(11)

22

negara tersebut dengan negara lain yang tidak mengakui yurisdiksi tersebut dalam

hukum positif negaranya. Di sinilah terdapat perbedaan yang sangat menonjol

antara yurisdiksi universal dengan pembentukan peradilan internasional. Peradilan

internasional seperti contohnya ICC dapat dibentuk dengan persetujuan dari

beberapa negara. Dengan menyetujui dibentuknya peradilan internasional tersebut

maka negara-negara yang menyetujuinya tunduk dalam perjanjian internasional dan

tunduk kepada yurisdiksi perjanjian internasional tersebut. Hal yang sangat berbeda

aplikasinya terhadap yurisdiksi universal. Suatu negara dengan kemauan dan itikad

yang baik untuk melindungi kepentingan komunitas internasional dapat

memasukkan yurisdiksi universal sebagai hukum positif dengan memasukkannya

dalam undang-undang nasional negaranya. Situasi ini yang dapat menyebabkan

konflik di kemudian hari karena belum tentu negara lain mengakui atau menyetujui

Referensi

Dokumen terkait

“apabila perselisihan antara negara -negara mencapai suatu titik di mana kedua belah pihak berusaha untuk memaksa, atau salah satu dari mereka melakukan tindakan

melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia”. Hal ini berarti bahwa setiap orang baik itu orang asing / warga negara asing maupun orang Indonesia / warga negara Indonesia

“ Analisis Perceraian Perkawinan WNA Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri Berdasarkan Hukum Perdata Internasional Di Indonesia” merupakan suatu bentuk karya.. ilmiah yang

Pengadilan Negeri Denpasar mengenai kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara gugatan perceraian yang pihak Penggugat dan Tergugat adalah WNA warga

Syarat yang terdapat dalam Pasal 4 KUHP tersebut untuk dapat menerapkan prinsip yurisdiksi universal merupakan sepanjang jika kejahatan yang terjadi berada di luar dari

- Melindungi kepentingan negara dan warga negaranya di luar negeri.. 2) Propaganda : usaha sistimatis untuk mempengaruhi pikiran, emosi demi kepentinagn masyarakat

Setiap warga negara asing yang terbukti melakukan pelanggaran atau kegiatan berbahaya dan diduga dapat membahayakan keamanan serta ketertiban umum atau tidak menghormati peraturan

Dalam hal terjadinya musibah terhadap Warga Negara terhadap Warga Negara asing di suatu Negara, khususnya keterlibatan mereka dalam tindak kejahatan, walaupun dia tetap