• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk dan Isi Perjanjian Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Biasa

KEBIJAKAN PELAKSANAAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) DAN KREDIT BIASA

B. Bentuk dan Isi Perjanjian Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Biasa

milyar rupiah) pada akhir Desember 2009.60

B. Bentuk dan Isi Perjanjian Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Biasa

Perjanjian kredit merupakan suatu perjanjian yang tidak diatur didalam KUHPerdata secara langsung melainkan diatur diluar KUHPerdata melalui Undang- undang ataupun keputusan-keputusan pemerintah. Istilah perjanjian dalam Hukum Perdata di Indonesia berasal dari bahasa Belanda yang kemudian oleh para pakar hukum perdata di Indonesia diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berdasarkan pada pandangan dan tinjauan masing-masing.61Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal atau suatu persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih masing-masing bersepakat akan menaati apa yang disebut dalam persetujuan tersebut.62

KUHPerdata tidak mengatur secara khusus mengenai perjanjian kredit tetapi berdasarkan asas kebebasan berkontrak, para pihak yang terikat bebas untuk menentukan isi dari perjanjian kredit sepanjang tidak bertentangan dengan Undang- undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan kepatutan. Di dalam KUHPerdata, terdapat syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata diantaranya:

Hal ini kemudian diatur didalam KUHPerdata pada pasal 1313.

63

1. Sepakat mereka mengikatkan dirinya

60

Keputusan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian

Koordinator Bidang Perekonomian Selaku Ketua Pelaksana Komite Kebijakan Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi Nomor Kep- 01/D.I.EKON/01/2010 tentang SOP Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat, hal. 29

61

Sutarno, Op. Cit, hal. 72 62

Hermansyah SH, Op.Cit, hal. 71 63

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian 3. Mengenai hal atau objek tertentu 4. Suatu sebab (Causal) yang halal.

Perjanjian Kredit adalah perjanjian pokok (Prinsipal) yang bersifat riil. Perjanjian kredit pada hakikatnya adalah perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana yang diatur di dalam KUHPerdata. R. Subekti (1991:3) berpendapat:64

“Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah sutau perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1754 sampai dengan pasal 1769”

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (1993:7- 8 dan 1994:110-111):65

“Dari rumusan yang terdapat didalam Undang-undang Perbankan mengenai perjanjian kredit, dapat disimpulkan bahwa dasar perjanjian kredit adalah perjanjianpinjam-meminjam didalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata pasal 1754. Perjanjian pinjam-meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang

menghabis jika verbruiklening termasuk didalamnya uang.

Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang

64

Rachmadi Usman, SH, Op.Cit, hal 261 65

meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini meurpakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” yang oleh bank kepada nasabah

Meskipun dalam KUHPerdata perjanjian kredit merupakan salah satu bentuk perjanjian pinjam-meminjam, namun dalam praktek perbankan modern hubungan hukum dalam kredit tidak lagi semata-mata berbentuk hanya perjanjian pinjam- meminjam saja melainkan adanya campuran dengan bentuk perjanjian lainnya seperti perjanjian pemberian kuasa, dan perjanjian lainnya yang menyebabkan timbulnya suatu jalinan diantara perjanjian yang terkait tersebut.66 Dalam praktek perbankan pada dasarnya bentuk dan pelaksanaan perjanjian pinjam-meminjam yang ada didalam KUHPerdata tidak sepenuhnya identik dengan bentuk dan pelaksanaan suatu perjanjian kredit perbankan, diantara keduanya ada perbedaan-perbedaan yang gradual bahkan merupakan perbedaan yang pokok.67

Pada dasarnya baik perjanjian kredit biasa maupun Kredit Usaha Rakyat (KUR) memiliki bentuk yang sama. Kredit yang telah disetujui dan disepakati oleh para pihak maka wajib untuk dituangkan kedalam suatu perjanjian kredit. Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tulisan yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata, namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya.68

Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1 ayat 11 UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang

66

Muhammad Djumhada, Op.Cit, hal. 385 67

Ibid, hal. 386 68

Perbankan yang mengatakan bahwa penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain dimana kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian.69Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis adalah:70

1. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/IN/10/66 tentang Pedoman Kebijakan di

Bidang Pengkreditan tanggal 3 Oktober 1966 Jo. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb. Tanggal 8 Oktober 1966, Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/649/UPK/Pemb. Tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 10/EK/2/1967 tanggal 6 Februari 1967, yang menyatakan bahwa bank dilarang melakukan pemberian kredit dalam berbagai bentuk tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara bank dan nasabah atau bank sentral dan bank-bank lainnya. Dari sini jelaslah bahwa dalam memberikan kredit dalam berbagai bentuk wajib dibuatkan perjanjuan atau akad kreditnya

2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan Surat

Edaran Bank Indonesia Nomor 27/2/UPPB masing-masing tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Pengkreditan Bank bagi Bank Umum, yang menyatakan bahwa setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.

69 Ibid 70

Perjanjian kredit merupakan suatu hal yang sangat penting dalam hal pemberian, pengelolaan maupun pelaksanaan kredit. Perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, diantaranya:71

1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya (misalnya perjanjian pengikatan jaminan)

2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditor dan debitor

3. Perjanjian Kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit

Maka dengan demikian pemberian kredit perlu dituangkan kedalam suatu perjanjian kredit yang memiliki fungsi yang sangat besar baik untuk nasabah maupun untuk bank sehingga bank tidak dirugikan dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank terjamin dengan baik.

1. Perjanjian Kredit Merupakan Perjanjian Baku

Perjanjian kredit merupakan perjanjian baku (standard Contract) dimana isi atau klausula-klausula perjanjian kredit tersebut telah dibekukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (blanko).72P erjanjian kredit merupakan suatu ikatan antara bank dengan debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit.73Dalam praktek bank terdapat dua bentuk perjanjian kredit:74

71

Endrunagari, Hukum Perjanjian dan Perjanjian Kredit Bank,

diakses pada tanggal 6 April 2014, jam 18.15

72

Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 265 73

1. Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan dinamakan akta dibawah tangan artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh bank tersebut termasuk jenis Akta Dibawah Tangan

2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian iniadalah seorang notaris namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh bank kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang notaries dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk akta notaries atau akta otentik. Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja, kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu kreditur atau lebih dari satu bank)

Sebagai suatu perjanjian baku, maka keterlibatan debitur dalam perjanjian kredit adalah untuk membubuhkan tanda tangannya saja apabila bersedia menerima isi perjanjian tersebut, tidak memberikan kesempatan kepada calon debitur untuk membicarakan lebih lanjut isi atau klausula-klausula yang diajukan oleh pihak

74 Ibid

bank.75Namun bebrapa pakar hukum ada yang menolak kehadiran perjanjian baku ini, karena dinilai:76

1. Kedudukan pengusaha didalam perjanjian baku sama seperti pembentuk

undang-undang swasta (legio particuliere wetgever), karenanya perjanjian baku bukan perjanjian

2. Perjanjian baku merupakan perjanjian paksa (dwangcontract)

3. Negara-negara common law system menerapkan doktrin unconscionability.

Doktrin unconscionability memberikan wewenang kepada perjanjian demi

menghindari hal-hal yang dirasakan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Perjanjian baku dianggap meniadakan keadilan.

Sebaliknya beberapa pakar hukum menerima kehadiran perjanjian baku sebagai suatu perjanjian, hal ini karena:77

1. Perjanjian baku diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya

kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang

membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu

2. Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi

dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditanda tangani. Tidak mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.

75

Rachmadi Usman, Loc. Cit

76

Ibid

77

3. Perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan kebiasaan (gebruk) yang berlaku dilingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Dengan demikian keabsahan perjanjian baku terletak pada penerimaan masyarakat dan lalu lintas bisnis untuk memperlancar arus lalu lintas perdagangan dan bisnis, dunia perdagangan dan bisnis membutuhkan kehadiran perjanjian baku guna menunjang dan menjamin kelangsungan hidup usaha perdagangan dan bisnis.78

2. Isi Perjanjian Kredit Bank

Pada hakekatnya mengenai isi dari perjanjian kredit dapat ditentukan oleh masing-masing bank karena perjanjian kredit tidak terikat pada suatu bentuk apapun. Perjanjian kredit biasa atau Perjanjian kredit dalam Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebenarnya memiliki ketentuan yang tidak berbeda. Setiap membuat perjanjian kredit baik perjanjian otentik atau perjanjian kredit dibawah tangan pada umumnya memiliki komposisi sebagai berikut:79

1. Judul

Perjanjian kredit tidak termasuk perjanjian bernama yang diatur didalam KUHPerdata tetapi diluar KUHPerdata. Dalam praktek perbankan judul yang digunakan untuk membuat perjanjian kredit berbeda-beda. Ada yang menggunakan judul perjanjian kredit, perjanjian membuka kredit,perjanjian pinjaman, perjanjian pinjam uang.

78

Ibid 79

2. Kepala

Yang dimaksud kepala adalah bagian dari awal atau permulaan dari pembuatan perjanjian. Bunyi kepala perjanjian kredit atau perjanjian lain dalam bentuk:

a. Akta dibawah tangan berbunyi: Pada hari ini Selasa, tanggal 20

November 1995 di Jakarta, yang bertanda tangan dibawah ini:

b. Akta Otentik (Notaris) berbunyi: Pada hari ini, Kamis dua puluh Juli

seribu sembilan ratus sembilan puluh enam (20 Juli 1996) berhadapan dengan saya, Tuan Santono, SH Notaris di Jakarta dengan dihadiri oleh para saksi yang saya, Notaris, kenal dan nama-namanya akan disebutkan pada bagian akhir akta ini

3. Komparisi

Komparisis adalah bagian dari suatu akta yang digunakan untuk mengawali suatu bagian dari pembukaan pembuatan akta yang memuat keterangan mengenai orang atau pihak yang menghadap untuk menandatangani akta itu. Keterangan mengenai orang atau pihak yang menghadap berarti mengidentifikasi dari pihak atau orang yang terlibat da mengikatkan diri dalam akta tersebut. Jadi, dalam suatu akta komparasi itu berupa:

a. Uraian terinci mengenai identitas dari pihak-pihak atau orang yang

menghadap notaris atau (Pejabat Negara lainnya) untuk menandatangani akta . Identitas meliputi nama, alamat.

b. Dasar hukum yang memberikan kewenangan yuridis bagi para pihak

c. Kedudukan para pihak yang menghadap apakah bertindak untuk diri sendiri atau sebagai kuasa orang lain atau mewakili perusahaan yang berbadan hukum.

4. Konsideran atau Pertimbangan

Dalam membuat sebuah perjanjian juga dicantumkan pertimbangan- pertimbangan sebelum mengatur syarat-syarat dan ketentuan yang diuraikan dalam pasal-pasal perjanjian. Namun pertimbangan tidak harus selalu ada dalam perjanjian tergantung materi perjanjian yang akan dibuat. Kalau memang dipandang perlu pertimbangan-pertimbangan harus ada dalam perjanjian.

5. Definisi

Dalam membuat perjanjian kredit atau perjanjian lainnya kadang kala dalam pasal pertama menjelaskan mengenai definisi atau pengertian dari istilah-istilah tertentu yang berkaitan dengan pokok perjanjian. Tujuan untuk mendefinisikan istilah-istilah tersebut:

1. Untuk memperjelas dan memperoleh kesepakatan mengenai istilah kunci

yang digunakan dalam perjanjian itu sehinga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dari para pihak yang membuat perjanjian. 2. Istilah-istilah yang didefinisikan kemudian akan digunakan pada pasal-

pasal berikutnya sehingga dapat mempersingkat perumusan pasal-pasal berikutnya.

Dalam membuat perjanjian tidak selalu menguraikan mengenai definisi terhadap istilah-istilah kunci dari materi perjanjian. Mencantumkan pasal definisi itu tergantung kompleks atau tidaknya materi perjanjian. Kalau perjanjian itu sederhana

mungkin tidak perlu membuat definisi istilah kunci langsung saja merumuskan dalam pasal-pasal perjanjian.

6. Isi Pokok Perjanjian

Bagian isi pokok perjanjian mengatur mengenai substansi perjanjian. Isi pokok perjanjian mengandung 3 syarat yaitu:

1. Syarat Esensialia adalah syarat yang harus ada dalam setiap perjanjian. Syarat esensialia ini tergantung dari materi perjanjian. Apabila syarat esensialia tidak ada dalam perjanjian maka perjanjian menjadi tidak sempurna atau cacat sehingga tidak dapat mengikat para pihak.

2. Syarat Naturalia adalah ketentuan dalam undang-undang yang dapat

dimasukkan dalam perjanjian yang dibuat para pihak. Kalau para pihak tidak mencantumkan dalam perjanjian maka perjanjian tetap sah dan yang berlaku adalah ketentuan dalam undang-undang. Para pihak bebas untuk membuat perjanjian yang isinya sesuai dengan kehendak para pihak tetapi jika para pihak tidak mengatur dalam perjanjian maka undang-undang yang melengkapinya.

3. Syarat Aksidentalia adalah syarat yang tidak harus ada dalam perjanjian. Syarat ini dapat dicanumkan dalam perjanjian karena ada kepentingan salah satu pihak dalam perjanjian.

Syarat-syarat esensialia dan syarat lainnya yang perlu diatur dalam perjanjian kredit mencakup:

1. Pasal yang mengatur jumlah kredit

Jumlah kredit yang telah disetujui kreditur untuk dipinjamkan kepada debitur harus dicantumkan dalam pasal perjanjian kreditur. Jumlah kredit yang dicantumkan

dalam perjanjian kredit merupakan jumlah maksimum atau plafond yang dapat ditarik debitur. Misalnya jumlah kredit yang diberikan kepada debitur 500 juta maka itu jumlah maksimum. Debitur dapat menggunakan atau menarik sebesar 500 juta atau dibawah itu sesuai kebutuhan debitur.

2. Pasal yang mengatur jangka waktu kredit

Jangka waktu merupakan batas waktu bagi debitur untuk melunasi atau mengembalikan hutang pokok, bunga dan denda. Jika jangka waktu berakhir atau jatuh tempo debitur belum melunasi seluruh hutangnya maka debitur dikatakan wanprestasi.

3. Pasal yang mengatur bunga kredit

Besarnya bunga kredit dan cara membayarnya harus dicantumkan dalam pasal dari perjanjian kredit. Hal-hal yang berkaitan dengan suku bunga kredit harus dirumuskan dalam pasal tersendiri yang mengatur secara lengkap mengenai besarnya suku bunga, cara membayar dan perubahan suku bunga kredit.

4. Pasal yang mengatur syarat-syarat penarikan atau pencairan kredit

Syarat ini disebut Predisburnment artinya suatu syarat yang umumnya diminta kreditur atau bank sebelum kredit dicairkan atau direalisir. Penarikan kredit biasany Syarat Aksidentalia adalah syarat yang tidak harus ada dalam perjanjian. Syarat ini dapat dicanumkan dalam perjanjian karena ada kepentingan salah satu pihak dalam perjanjian. Penarikan kredit dilakukan secara bertahap sesuai penggunaan kegiatan debitur. Untuk melakukan penarikan kredit harus dipenuhi syarat-syarat penarikan, diantaranya:

1. Perjanjian kredit dan perjanjian pengikatan jaminan sudah

2. Debitur sudah mebayar biaya-biaya misalnya biaya provisi kredit, biaya asuransi jaminan

3. Debitur telah menyerahkan laporan keuangan, laporan kemajuan

proyek yang dibiayai dengan kredit.

4. Debitur telah menutup asuransi barang jaminan dan membayar

preminya.

Untuk mengamankan kepentingan kreditur atau bank perlu dicantumkan ketentuan bahwa kreditur atau bank tidak melakukan pencairan kredit apabila berdasarkan Undang-undang melarangnya seperti melampaui Batas Minimum Pemberian Kredit (BMPK) meskipun syarat pencairan sudah dipenuhi debitur.

5. Pasal yang mengatur penggunaan kredit

Setiap debitur yang mengajukan permohonan kredit tentunya mempunyai kepentingan tertentu. Dalam proposal pengajuan kredit pemohon harus menguraikan secara jelas tujuan penggunaan kredit itu. Dengan mencantumkan tujuan penggunaan kredit akan memudahkan pemantauan dan pengawasan bagi bank.

6. Pasal yang mengatur cara pengembalian kredit

Agar perjanjian kredit menjadi jelas dan dapat digunakan sebagai bukti bagi kreditur dan debitur juga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda maka cara pengembalian kredit perlu diatur bagaimana caranya dan waktu-waktu debitur harus membayar atau mengembalikan kredit yang sudah diterima.

7. Pasal yang mengatur tentang jaminan kredit

Hampir setiap bank dalam memberikan kredit selalu meminta kepada debitur untuk menyediakan jaminan dalam bentuk benda tertentu baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Jaminan yang diberikan debitur untuk menjamin

pengembalian kredit harus disebutkan dalam pasal perjanjian kredit yang nantinya diikuti pengikatan jaminan dengan akta tersendiri. Sebelum melakukan pengikatan jaminan maka harus disebut secara jelas dan tegas benda yang dijaminkan dalam perjanjian kredit. Jaminan-jaminan ini kemudian akan diikuti dengan pengikatan jaminan sesuai dengan jenis bendanya.

8. Pasal yang mengatur kelalaian debitur atau wanprestasi

Kelalaian disebut juga dengan wanprestasi atau cidera janji terjadi apabila debitur tidak melaksanakan prestasi apa yang telah ditentukan atau disyaratkan dalam perjanjian atau debitur telah melanggar perjanjian dengan melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan.Prestasi adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan oleh debitur sebagimana diatur didalam perjanjian.Dalam perjanjian kredit harus diatur dan ditegaskan sejak kapan dan pelanggaran-planggaran apa saja yang mengakibatkan debitur dapat dikategorikan telah melakukan cidera janji.

9. Pasal yang mengatur hal-hal yang harus dilakukan debitur

Ketentuan-ketentuan yang mengatur hal-hal yang harus dilakukan debitur disebut juga Affirmative Covenant artinya syarat debitur harus melakukan atau melaksanakan. Didalam pasal ini debitur diminta untuk melaksanakan sesuatu untuk kepentingan kreditur.

10.Pasal yang mengatur pembatasan terhadap tindakan

Dalam pasal ini debitur tidak boleh melakukan tindakan-tindakan tanpa persetujuan tertulis dari kreditur. Pembatasan terhadap tindakan debitur ini dapat disebut juga Negative Covenant.

11.Pasal yang mengatur asuransi barang jaminan

Jika barang-barang jaminan perlu diasuransikan pada perusahaan asuransi maka perlu diatu ketentuan asuransi barang jaminan.

12.Pasal yang mengatur pernyataan dan jaminan

Pernyataan merupakan penegasan debitur mengenai kebenaran apa yang dikemukakan dalam perjanjian dan menjamin kebenaran yang dinyatakan itu.Pernyataan dapat berupa kebenaran dari identitas pribadi, dokumen perusahaan, bentuk dan status hukum perusahaan debitur.Jaminan merupakan penegasan dari debitur untuk melaksanakan kewajiban untuk melakukan (tindakan positif) atau tidak melakukan (tindakan negatif) yang sudah ditentukan dalam perjanjian.

13.Pasal yang mengatur perselisihan dan penyelesaian sengketa

Salah satu tujuan dalam membuat perjanjian tertulis adalah untuk menjadikan perjanjian tersebut sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Terkadang selalu ada kemungkinan terjadi sengketa diantara pihak yang membuat perjanjian. Sengketa disebabkan salah satu tidak memenuhi prestasi sesuai syarat-syarat perjanjian atau perbedaan pendapat dalam melaksanakan ketentuan dan syarat perjanjian. Untuk mengantisipasi terjadinya sengketa berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian para pihak sudah menetapkan bagaimana caranya menyelesaikan perselisihan itu.

14.Pasal yang mengatur keadaaan memaksa (Force Majeure)

Keadaan memaksa atau Force Majeure sering dicantumkan dalam salah satu pasal perjanjian. Keadaan memaksa sering disebut juga keadaan kahar yaitu suatu keadaan yang mengakibatkan salah satu pihak atau semua pihak yang membuat perjanjian tidak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perjanjian itu. Kegagalan

para pihak dalam melaksanakan perjanjian akibat terjadinya keadaan memaksa tidak dapat dianggap sebagi suatu kelalaian atau wanprestasi

15.Pasal yang mengatur pemberitahuan dan komunikasi

Perlunya diatur mengenai pemberitahuan dan komunikasi bertujuan untuk:

1. Memudahkan para pihak berkomunikais terutama dalam

melaksanakan isi perjanjian kredit.

2. Dengan diaturnya cara pemberitahuan dan komunikasi dalam

perjanjian kredit maka secara yuridis menjadi pengikat para pihak mengenai mekanisme pemberitahuan dan komunikasi itu

16.Pasal yang mengatur tentang perubahan dan peralihan

Suatu perjanjian yang sudah ditandatangani para pihak berarti telah mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat diubah atau dibatalkan secara sepihak. Apabila akan terjadi perubahan maka perubahan itu harus disetujui para pihak yang membuat perjanjian itu. Supaya tidak menimbulkan perselisihan maka kemungkinan terjadinya perubahan perjanjian dan kemungkinan adanya pengalihan perlu diatur dalam perjanjian.

7. Bagian Penutup

Bagian penutup dalam perjanjian kredit mencakup hukum yang berlaku, domisili hukum, tempat dan tanggal perjanjian ditandatangani dan tanggal mulai berlakunya perjanjian.

C. Kriteria dalam Pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Biasa