• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk Korupsi dalam Lembaga Pemasyarakatan

KONSISTENSI PEMERINTAH DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

4. Bentuk Korupsi dalam Lembaga Pemasyarakatan

Pemasyarakatan (LAPAS) Kelas IIA Cibinong, Lapas Kelas IIA Salemba, Lapas Kelas IIA Metro, LPP Kelas IIA Malang dan Rutan Kelas I Cirebon33. 4. Bentuk Korupsi dalam Lembaga Pemasyarakatan

Menurut Klitgaar Hamzah, Lopa sebagaimana dikutip oleh Surachmin, Suhandi Cahaya bahwa penyebab korupsi ialah “deskresi pegawai yang terlalu besar, rendahnya akuntanbilitas public. Lemahnya kepemimpinan, gaji pegawai publik di bawah kebutuhan hidup,

33 M. Purwadi, “Lima Lapas dan Rutan Raih Predikat Wilayah Bebas dari Korupsi”,

diakses dari

https://nasional.sindonews.com/read/136189

5/13/lima-lapas-dan-rutan-raih-predikat-kemiskinan, moral rendah atau disiplin rendah. Disamping itu juga sifat komsumtif, pengawasan dalam organisasi kurang, kesempatan yang tersedia, pengawasan ekstern lemah, lembaga legislative lemah, budaya memberi upeti, permisif (serba memperbolehkan), tidak mau tahu, keserakahan, dan lemahnya penegakan hukum”.34

LAPAS seharusnya adalah tempat untuk melakukan pembenahan diri dan memantaskan diri., bukan tempat untuk melakuka atau mencoba melakukan tindak pidana lainnya, khususnya tindak pidana korupsi dalam bentuk suap. Menurut hemat Penulis, terdapat 2 bentuk tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan di LAPAS yakni: 1. Narapidana memberikan suap dalam bentuk uang, bentuk gratifikasi kepada Petugas LAPAS, Kepala LAPAS untuk mendapatkan fasilitas mewah dan melanggar undang-undang; 2 Petugas LAPAS dan Kepala LAPAS menerima suap atau menggunakan jabatan terhormat yang dimilikinya untuk

wilayah-bebas-dari-korupsi-1544526115

tanggal 20 Januari 2019

34 Surachmin, Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi Mengetahui untuk Mencegah (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm.106

mencari duit dengan cara yang melawan hukum.

Menurut Ermansyah Djaja, Pada prinsipnya tidak berakibat langsung terhadap kerugian keuangan negara atau pun perekonomian negara, karena sejumlah uang atau pun benda berharga yang diterima oleh pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara sebagai hasil

perbuatan melawan hukum,

meyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan untuk

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi bukan berasal dari uang negara atau asset negara melainkan dari uang atau asset orang yang melakukan penyuapan35.

Penulis memaparkan bahwa

ketentuan – ketentuan dibawah ini adalah delik yang dapat digunakan oleh penegak hukum untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi baik narapidana sebagai pemberi atapun Petugas/Kepala LAPAS sebagai penerima. Delik tersebut ialah:

35 Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) ,hlm. 67.

36 M. Purwadi, “Lima Lapas dan Rutan Raih Predikat Wilayah Bebas dari Korupsi”,

a. Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor (2001): sebagaimana dilakukan oleh Fahmi dan Andri sebagai terduga penyuap Wahid (dulu, Kepala Lapas Sukamiskin).36 Adapun Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor (2001) mengatur demikian “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang : a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu

dalam jabatannya, yang

bertentangan dengan

kewajibannya; b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau

diakses dari

https://nasional.sindonews.com/read/136189 5/13/lima-lapas-dan-rutan-raih-predikat-wilayah-bebas-dari-korupsi-1544526115

berhubungan dengan suatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya;

b. Pasal 11 UU Tipikor (2001) yang mengatur demikian “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana

denda paling sedikit Rp

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan

yang berhubungan dengan

jabatannya,”;

c. Pasal 12 huruf a UU Tipikor (2001): sebagaimana dilakukan oleh Wahid (dulu, Kepala Lapas Sukamiskin) dan staf Wahid37. Pasal 12 huruf a UU Tipikor (2001) mengatur demkian: “Dipidana dengan pidana

37 M. Purwadi, “Lima Lapas dan Rutan Raih Predikat Wilayah Bebas dari Korupsi”,

diakses dari

https://nasional.sindonews.com/read/136189

penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); a. pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan

untuk menggerakkan agar

melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang

bertentangan dengan

kewajibannya”;

d. Pasal 12 huruf b UU Tipikor (2001) mengatur demikian “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar

5/13/lima-lapas-dan-rutan-raih-predikat-wilayah-bebas-dari-korupsi-1544526115

rupiah): pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang

menerima hadiah, padahal

diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan dengan

kewajibannya;

e. Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor (2001) yang mengatur demikian “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaran negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut : a. yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang

nilainya kurang dari

Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.”

Berdasarkan Penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor (2001) bahwa

“Yang dimaksud dengan

”gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”;

f. Pasal 12B ayat (2) UU Tipikor (2001) yang mengatur demikian “Pidana bagi pegawai negeri atau

penyelenggaran negara

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”;

g. Pasal 13 UU Tipikor (1999) yang mengatur demikian “Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan

mengingat kekuasaan atau

wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).”;

Menurut hemat Penulis, peraturan telah jelas, sanksi sudah diatur dengan jelas dan narapidana yang memberikan suap/gratifikasi kepada Petugas LAPAS ataupun Kepala LAPAS adalah memiliki pertanggungjawaban pidana. Per-tanggungjawaban pidana adalah sesuatu

perbuatan pidana yang harus

dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan38. Pemberi ataupun penerima suap dapat dijerat dengan Pasal tersebut dan dapat dicela serta tidak memiliki alasan penghapus pidana.

38 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Angkasa, 1981), hlm.126.

5. Fungsi Tugas Hakim Pengawas dan