• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSISTENSI PEMERINTAH DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

4. Peluang dan Tantangan Negara

4. Peluang dan Tantangan Negara

Dalam Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi di Indonesia a) Peluang

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dimulai sejak Indonesia merdeka, akan tetapi hasil dari kesemuanya itu belum sesuai dengan harapan. Hal ini tergambarkan dengan tingginya tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. Banyak Negara-negara di dunia yang sebelumnya memiliki tingkat korupsi yang cukup tinggi akan tetapi dengan apa yang mereka lakukan telah menghilangkan sikap korupsi tersebut di Negara-negara mereka. Memang bukan perkara yang mudah apabila ingin meminimalisir tindak pidana korupsi di suatu Negara, namun demikian, juga bukan sesuatu yang mustahil dilakukan.

25Ibid, hlm. 13.

Negara-negara di dunia yang memiliki predikat terendah tingkat korupsinya adalah dahulunya juga merupakan Negara yang memiliki tingkat korupsi yang tinggi. Dapat dikatakan seperti Negara Singapura, Finlandia, Denmark dan Hongkong, dahulu memiliki tingkat korupsi yang tinggi namun demikian dengan konsistensi semua unsur dalam sistem hukum pidananya telah menghilangkan cikal bakal korupsi yang terjadi di Negara-negara tersebut. Segala upaya dilakukan oleh pemerintah secara konsisten, baik melalui jalur penal maupun melalui sarana non penal. Bahkan di beberapa Negara telah tercabut bibit-bibit koruptifnya. Hal ini dapat terlihat dari tingkat disiplin dari warga negaranya, serta rendahnya tingkat pidana korupsi di Negara tersebut.

Negara Indonesia yang sampai dengan saat ini masih termasuk dalam golongan Negara yang memiliki tingkat korupsi yang cukup tinggi juga harus dapat menekan dan bahkan menghilangkan kesan tersebut, hal ini dapat dilakukan dengan cara meminimalisir tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah mungkin hal

ini dapat dilakukan di Indonesia? Pertanyaan ini sepertinya sangat pesimis, namun memang sangat wajar mengingat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan sudah sejak Indonesia merdeka. Sehingga terkesan upaya tersebut hanyalah sebagai suatu retorika belaka, karena sebagian besar pelaku tindak pidana korupsi tersebut adalah mereka yang berasal dari pemerintahan (pejabat public).

Oleh sebab itu peran Negara dalam hal ini sebenarnya sangat strategis dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut. Negara memiliki power yang dilegitimasi untuk memaksakan kehendak terhadap warganya melalui politik kriminal. Negara memiliki peluang untuk memaksakan aturan atau rambu-rambu yang tepat yang dapat membatasi pola tingkah laku masyarakat untuk bertindak diluar aturan yang semestinya. Penerapan norma-norma yang tegas yang diikuti oleh ancaman pidana yang berat merupakan peluang yang sangat efektif yang dapat diterapkan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Sebagaimana dikemukakan oleh Fijnaut dan Huberts bahwa: It is always

necessary to relate anti-corruption strategies to characteristics of the actors involved (and the environment they operate in). There is no single concept and program of good governance for all countries and organizations, there is no ‘one right way’. There are many initiatives and most are tailored to specifics contexts. Societies and organizations will have to seek their own solutions.

Dari pernyataan ini dapat dipahami

bahwa sangat penting untuk

menghubungkan strategi atau upaya pemberantasan korupsi dengan melihat karakteristik dari berbagai pihak yang terlibat serta lingkungan di mana mereka bekerja atau beroperasi. Tidak ada jawaban, konsep atau program tunggal untuk setiap negara atau organisasi. Ada begitu banyak strategi, cara atau upaya yang kesemuanya harus disesuaikan dengan konteks, masyarakat maupun organisasi yang dituju. Setiap negara, masyarakat maupun organisasi harus mencari cara mereka sendiri untuk menemukan solusinya.

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa sebagian besar pelaku tindak pidana korupsi merupakan mereka yang memiliki posisi dalam pemerintahan (pejabat

public) atau mereka yang memiliki status social tinggi dalam masyarakat, maka secara kriminologi factor kejahatan yang

mereka lakukan adalah karena

keserakahan. Sebagaiman dikemukakan oleh Isa Wahyudi bahwa factor-faktor terjadinya korupsi meliputi: (a) sifat tamak manusia, (b) moral yang kurang kuat menghadapi godaan, (c) gaya hidup konsumtif, dan (d) tidak mau bekerja keras (malas).26 Dari factor tersebut yang paling mendominasi menurut penulis adalah factor sifat tamak manusia.

Sifat tamak sudah merupakan kodrati manusia, oleh sebab itu sebagai manusia yang memiliki akal dan penuh dengan pertimbangan-pertimbangan sudah barang tentu dalam upaya memenuhi sifat tamak tersebut memiliki perhitungan untung dan ruginya. Sehingga

apabila suatu perbuatan dalam

perhitungan pelaku akan lebih

menguntungkan daripada merugikan maka orang akan melakukan perbuatan tersebut, dan sebaliknya. Oleh sebab kejahatan tersebut bersumber pada akal manusia maka pola pemberantasannya juga harus didasarkan pada akal. Maksudnya adalah

26 Nanang T Puspito, Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi, Kementerian

upaya pemberantasan terhadap pelaku tindak pidana korupsi tidak bias dipersamakan dengan pemberantasan tindak pidana pada umumnya.

Sifat tamak manusia hanya bisa dibatasi oleh moral manusia itu sendiri.

Oleh sebab itu dalam rangka

pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia harus merujuk pada pembenahan moral, artinya sanksi hukum pidana yang menitikberatkan pada siksaan dan effek jera harus ditujukan pada moral manusia. Mengancam suatu perbuatan dengan pidana yang berat, dengan penerapan ancaman pidana minimum khusus yang berat merupakan suatu cara yang efektif yang dapat dilakukan oleh Negara. Selanjutnya ancaman pidana maksimal juga harus ditentukan dengan pidana penjara yang berat sehingga moral orang terbebani apabila melakukan tindak pidana korupsi.

Penerapan pidana berat terhadap pelaku tindak pidana korupsi telah dilakukan pada beberapa Negara terdahulu. Dapat dijadikan Negara Finlandia adalah salah satu Negara yang pada awalnya mengancam semua tindak

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta, 2011, hal. 40

pidana korupsi dengan ancaman pidana mati. Dengan cara seperti ini telah menimbulkan efek takut warga untuk melakukan perbuatan korupsi tersebut. Akibat takut ini membawa dampak perilaku koruptifpun berkurang di Finlandia. Pada awalnya memang masyarakat hanya terbebani dan merasa takut dengan ancaman pidana mati tersebut, namun lama kelamaan rasa takut itu berubah menjadi rasa taat terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh Negara. Dengan cara itu Negara Finlandia sekarang telah menikmati hasil dari perjuangan Negara tersebut dalam melawan korupsi beberapa dekade yang lalu, dan saat ini Negara Finlandia termasuk pada jajaran Negara terbersih dari tindak pidana korupsi. Selain itu ancaman pidana kerja sosial penulis anggap juga merupakan sesuatu yang dapat diberlakukan. Karena dengan ancaman pidana kerja sosial ini akan dapat menimbulkan efek malu pada orang-orang yang potensial melakukan korupsi.

Selain itu menanamkan nilai-nilai anti korupsi bagi masyarakat melalui edukasi urgen dilakukan. Nilai-nilai anti korupsi dapat diberikan kepada masyarakat melalui pendidikan, julai dari

pendidikan TK sampai pada Perguruan Tinggi. Menanamkan nilai-nilai anti korupsi sedini mungkin akan dapat berdampak positif bagi Negara. Hal ini juga telah dilaksanakan oleh Negara Finlandia beberapa tahun yang lalu. Memang hasil dari metode seperti ini tidak akan langsung dirasakan akan tetapi dampaknya lama baru dirasakan namun akan dapat bertahan selamanya, sebab kebiasaan hanya akan bias dilawan dengan kebiasaan. Kebiasaan korupsi hanya bias dilawan dengan kebiasaan berlaku jujur.

Dari uraian tersebut tergambar jelas bahwa pada dasarnya Negara memiliki peluang yang sangat strategis dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Peluang tersebut baik pada struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law) maupun budaya hukum (legal culture). Hal ini dikarenakan oleh ketiga sub-sistem tersebut merupakan satu kesatuan yang saling menyokong dan saling mendukung. Rusaknya salah satu sub sistem dapat dipastikan akan mengganggu hasil dari sistem hukum tersebut. Konsistensi pemerintah dalam memanfaatkan peluang tersebut akan dapat memberantas tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.

b) Tantangan

Selain peluang dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia juga terdapat tantangan yang bersifat internal pemberantasan tindak pidana korupsi itu sendiri. Peluang yang terbuka lebar tidak akan dapat dimanfaatkan apabila tantangan yang ada belum dapat dihapuskan. Dalam hal tantangan ini juga adalah dalam bentuk sisstem hukum pidana itu sendiri. Baik tantangan dari substansi hukumnya, struktur hukumnya maupuan tantangan dari budaya hukumnya. Untuk lebih jelasnya maka berikut penulis uraikan beberapa tantangan yang ada dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.