• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urgensi-nya Pembaharuan Sistem Pengelolaan Sumber Daya Hakim Ad

ANDI MULIYONO

3. Urgensi-nya Pembaharuan Sistem Pengelolaan Sumber Daya Hakim Ad

5 Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada konsiderans huruf “b”: bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi

sangat membantu pemberantasan

korupsi.

3. Urgensi-nya Pembaharuan Sistem Pengelolaan Sumber Daya Hakim Ad

Hoc

Di mulai dari roh yang menjiwai

lahirnya pengadilan tipikor, yaitu bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945, sedangkan pemberantasan korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal, bahkan lembaga pemerintah yang menangani perkara tipikor belum berfungsi secara efektif dan efisien, maka dengan konsiderans demikian5 dibentuklah Pengadilan khusus Tipikor yang berada dalam lingkungan peradilan umum berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Pengadilan Tipikor ini bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tipikor yang penuntutannya diajukan oleh KPK.6 Oleh karena itu, awalnya terdapat 2 (dua) pengadilan yang berwenang mengadili tipikor yaitu, Pengadilan Negeri belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. 6 Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(pidana) dan Pengadilan Tipikor. Akan tetapi saat ini dengan diberlakukannya UU

Nomor 46 Tahun 2009 tentang

Pengadilan Tipikor, maka tidak ada lagi dualisme Pengadilan Tipikor. Hakim-hakim pada Pengadilan Tipikor terdiri atas hakim Pengadilan Negeri (hakim karir) ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua MA dan hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden RI adalah atas usul Ketua MA, dan sebelum ditetapkan dan diusulkan, Ketua MA wajib

melakukan pengumuman kepada

masyarakat.7

Kondisi terpuruknya lembaga hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor dikaitkan dengan sistem pengelolaannya

yang bertujuan utama untuk

memberantas tipikor, sangatlah urgen untuk dilakukan pembaharuan dalam sistem pengelolaannya mengingat beberapa permasalahan yang dihadapi adalah tidak terlepas sebagai penyebab keterpurukan tersebut, sehingga pengembalian citra hakim ad hoc adalah salah satu hal yang urgen untuk dicarikan solusinya, khususnya dibutuhkan komitmen penyelenggara negara dan lembaga legislatif, sehingga pembaharuan

7 Ibid. Pasal 56

melalui komitmen politik yang tercermin pada perundang-undangannya dan sistem pengelolaan yang dapat diterapkan pada ketentuan di bawahnya, karena naif jadinya jika sistem pengelolaan yang ada saat ini tidak menunjang untuk mencapai tujuan keberadaan hakim ad hoc tersebut. Masalah manajemen organisasi peradilan dalam penelitian ini adalah mengenai sistem pengelolaan sumber daya manusia yakni hakim ad hoc, yang mencakup:1) sistem rekrutmen, 2) sistem pengawasan dan pembinaan, dan 3) sistem promosi dan mutasi hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor.

Salah satu permasalahan yang signifikan yang dihadapi oleh para hakim ad hoc adalah pada UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor yang mengatur mengenai komposisi majelis hakim, Pasal 26 UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor:

“Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi dilakukan dengan majelis hakim berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang hakim, terdiri dari Hakim Karier dan

Hakim ad hoc” (ayat 1), selanjutnya pada ayat (2) ditentukan, bahwa:

“Dalam hal majelis hakim

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah 5 (lima) orang hakim, maka komposisi majelis hakim adalah 3 (tiga) banding 2 (dua) dan dalam hal majelis hakim berjumlah 3 (tiga) orang hakim, maka komposisi majelis hakim adalah 2 (dua) banding 1 (satu).

Sedangkan mengenai

komposisinya diatur sebagai berikut: “Penentuan mengenai jumlah dan

komposisi majelis hakim

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Ketua pengadilan masing-masing atau Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara kasus demi kasus.

Adapun mengenai ketentuan ketua majelis hakim pada Pengadilan Tipikor diatur dengan Peraturan MA Nomor 01 Tahun 2010 tentang Struktur Organisasi 8 Lihat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Struktur Organisasi Kepaniteraan dan Susunan Majelis Hakim serta Keterbukaan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pasal 11 ayat (4) yang menyatakan: “ Kepaniteraan dan susunan Majelis Hakim serta Keterbukaan pada Pengadilan Tipikor, pada Pasal 11 ayat (4) menyatakan:

“Ketua Majelis Hakim Tipikor adalah salah satu dari hakim karir yang

ditunjuk untuk memeriksa,

mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi”.

Berdasarkan pasal tersebut, jelas ditetapkan bahwa hakim ad hoc tidak dapat menjadi hakim ketua majelis8.

Sedangkan ketentuan mengenai

komposisi majelis hakim, penerapannya saat ini hakim karier adalah selalu mayoritas.

Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor telah ditentukan bahwa hakim karir yang ditetapkan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tipikor, maka selama menangani perkara tindak pidana korupsi tersebut dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain.

Ketua Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi adalah salah satu dari hakim karir yang ditunjuk untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi”.

Berbeda dengan ketentuan mengenai penanganan perkara-perkara tipikor oleh para hakim karir pada periode yang sebelumnya tidak diatur secara tegas, tetapi Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor, pada praktiknya ketentuan tersebut dipahami oleh para hakim karir terutama oleh para Ketua Pengadilan Tipikor, dibedakan hanya menyangkut hari pelaksanaannya, yaitu jika pada hari Senin melakukan penanganan perkara korupsi, maka pada hari Senin tersebut hakim karir yang bersangkutan tidak menangani perkara lain, akan tetapi perkara lain tersebut ditangani pada hari selain hari Senin. Akibat dari pemahaman yang demikian, maka penanganan perkara korupsi bertumpuk di hari Senin bahkan dilaksanakan sampai tengah malam.

Berdasarkan wawancara9 informal terdapat permasalahan yang cukup signifikan terhadap hakim ad hoc tingkat banding yang ditempatkan di Pengadilan Tinggi Semarang, akan tetapi karena belum mendapatkan pelatihan, maka sejak bertugas (sudah berjalan satu tahun)

9 Wawancara informal dengan Bapak Nyoman, hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Semarang, jumat tanggal 5 September 2014 di Pengadilan Tinggi Semarang.

tidak diberikan tugas, dan untuk hal ini pihak pengadilan tinggi Semarang sudah mengirim surat kepada MA untuk meminta pengarahan dalam mengatasi permasalahan tersebut, tetapi ternyata

Mahkamah Agung sendiri tidak

memberikan jawaban yang memberikan solusi, sehingga sampai saat ini hakim ad hoc yang bersangkutan hanya menerima gaji, tetapi tidak diberikan tugas sesuai fungsinya sebagai hakim.

Kondisi yang dihadapi oleh hakim ad hoc tersebut, merupakan masalah urgen yang perlu dibenahi dalam sistem pengelolaan sumber daya hakim ad hoc saat ini, dan menjadikan alasan yang kuat untuk melaksanakan pembaharuan sistem pengelolaan sumber daya hakim ad hoc, dengan merevisi pengaturan UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor dan peraturan-peraturan lainnya yang terkait.

Padahal maju mundurnya sebuah organisasi sangat ditentukan oleh Sumber Daya Manusia (SDM) anggota organisasi tersebut.10 Dalam perkembangan pemberantasan korupsi hakim ad hoc 10 Sumber daya manusia modal dasar dan utama bagi sebuah organisasi. Bahkan merupakan jaminan investasi kehidupan organisasi di masa yang akan datang. Keselamatan dan kehancuran organisasi sangat ditentukan dari kualitas SDM

tipikor yang merupakan salah satu pilar penegak hukum pada garda terakhir yakni di pengadilan, sangat diuji kehandalannya

dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya, akan tetapi baru pada tahap rekrutmen saja belum terencana dan tersistem dengan matang, padahal sudah dilaksanakan dalam 2 (dua) periode. Kendala seperti ini menunjukkan tingkat keseriusan para pengelola dalam mengemban tugas mulia bagi bangsa dan negara yakni memberantas korupsi.