• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk dan Pelaksanaan Perjanjian Prinsip Bagi Hasil pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan

BAB III TINJAUAN TINJAUAN UMUM MENGENAI AKAD MUDHARABAH

KEDUDUKAN DEBITUR DALAM SISTEM BAGI HASIL PADA BANK SYARIAH

A. Bentuk dan Pelaksanaan Perjanjian Prinsip Bagi Hasil pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan

Pelaksanaan kegiatan usaha pada bank Islam di Indonesia tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perbankan di Indonesia, seperti Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, namun kegiatan usaha pada bank Islam ini pun harus sesuai dengan ketentuan syariah. Ketentuan-ketentuan akad dalam hukum Islam. 52

Bagi hasil menurut terminologi asing (Inggris) dikenal dengan profit sharing. Frofit sharing dalam kamus ekonomi diartikan dengan pembagian laba.

Secara definitive profit sharing diartikan “distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan”. Lebih lanjut dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahu-tahun yang seblumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan.

Transaksi muradharabah umumnya sebagaimana yang dipraktikan saat ini terjadi antara tiga pihak yaitu penyandang dana atau bank Islam atau penjual asal produk dan pengguna produk yang meminta bank membeli dan membiayai atau nama pengguna tersebut.

53

52 Wirdyaningsih, Op.Cit, hal 125

53 Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Princing di Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2006), hal 26.

Prinsip bagi hasil merupakan landasan operasional utama bagi produk-produk pembiayaan mudharabah dan musyarakah dalam perbankan syariah. Prinsip dasar inilah yang membedakan bank syariah dengan bank

konvensional. Prinsip bagi hasil di Indonesia diterapkan dengan dua metode, yaitu profit sharing dan revenuesharing. Profit sharing menggunakan basis perhitungan berupa laba yang diperoleh mudharib dalam mengelola usahanya, sedangkan revenuesharing menggunakan basis berupa pendapatan yang diperoleh mudharib. 54

Cara menghitung bagi hasil dalam mudharabah, jika debitur mengalami keuntungan dan/atau kerugian atas pembiayaan mudharabah yang diberikan PT.

Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan, jika mendapat keuntungan dari 12 juta di bulan ke-6 ada kenaikan pendapatan sekitar 1.2 juta, maka share lagi 80% untuk debitur dan 20% untuk PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan, berikutnya akan mengalami kenaikan. Perbulannya itu berbeda-beda tergantung laporan bulanan debitur apabila pendapatan debitur turun senilai 800 ribu, maka persentasenya tetep sama 80% untuk debitur dan 20% untuk PT. Bank BPR Syariah

Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syariah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan syariah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya akad. Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.

54Ibid, hal 96

Al-Washliyah Medan, apapun kasusnya cara perhitungannya sama baik untung atau kerugian55

Perhitungan bagi hasil pembiayaan mudharabah di PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan, perhitungan mudharabah didasarkan pada pendapatan usaha.

misalnya share modal Rp. 10 juta dan debitur sudah mempunyai modal 50 juta. Dia butuh pinjaman Rp. 10 juta, sebelum debitur meminjam ke PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan, debitur sudah mempunyai pendapatan sendiri dan pembiayaan mudharabah mengasih Rp. 10 juta, selanjutnya dari Rp.10 juta ini yang dihitung bukan dari total keseluruhan tapi cuma dihitung dari tambahan yang Rp.

10 juta.56

Permasalahan yang terjadi dalam pembiayaan mudharabah, yaitu berupa Akad mudharabah memiliki tingkat risiko yang paling tinggi karena debitur diberikan 100% modal dari pihak bank syariah dan kemudian pendapatan yang diterima bank tidak tetap dikarenakan pendapatan yang diterima dihitung berdasarkan proporsi bagi hasil yang telah ditetapkan pada awal akad. Oleh karena itu akad mudharabah termasuk kelompok Natural Uncertainty Contracts yang tidak memberikan kepastian return/pengembalian, baik dari segi jumlah maupun waktunya. Risiko yang dihadapi Bank Syariah dalam pembiayaan dengan akad mudharabah merupakan risiko yang disebabkan karena adanya hubungan PrincipalAgent, yaitu hubungan antara bank sebagai penyedia modal (shahibul maal) dan debitur sebagai pengelola modal (mudharib). Dalam setiap pembiayaan

55Hasil Wawwancara dengan Syahnun Asputraselaku supervisorPT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan. Tanggal 14 Agustus 2017

56Hasil Wawwancara denganSyahnun Asputraselaku supervisorPT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan. Tanggal 14 Agustus 2017

yang mengggunakan akad mudharabah akan selalu dihadapkan dengan masalah Principal-Agent. Demikian juga dengan bank syariah yang menggunakan akad mudharabah pada pembiayaan produktifnya. Ada beberapa permasalahan yang dihadapi bank syariah, salah satunya dalam menyeleksi debitur sebagai mudharib yang akan diberikan pembiayaan dengan akad mudharabah. Tingginya risiko yang dihadapi dalam menggunakan akad mudharabah pada pembiayaan produktif menyebabkan Bank Syariah menerapkan standar analisis yang lebih ketat dibandingkan dengan akad murabahah dan akad musyarakah.57

Permasalahan adverse selection yang dihadapi bank syariah dalam hal ini adalah sulitnya mengetahui karakter debitur yang sesungguhnya dan kemampuan debitur yang sesungguhnya dalam menjalankan usaha yang akan diberikan pembiayaan dengan akad mudharabah. PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan dalam menyeleksi calon debitur hanya mengandalkan pada verifikasi informasi mengenai data diri calon debitur yang dibuatnya. Untuk dapat mengetahui dengan benar mengenai informasi yang diberikan calon debitur kepada bank sebagai shahibul mall, bank harus mengeluarkan biaya verifikasi yang tinggi untuk memeriksa dan mendapatkan kebenaran mengenai informasi calon debitur.

Verifikasi dengan biaya yang tinggi tidak akan dilakukan bank karena hanya akan menghasilkan pendapatan yang kecil bagi pihak bank, sebab tingginya biaya verifikasi.58

57Hasil wawancara dengan Syahnun Asputraselaku supervisorPT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan. Tanggal 14 Agustus 2017

58Hasil wawancara dengan Syahnun Asputraselaku supervisorPT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan. Tanggal 14 Agustus 2017

Strategi yang digunakan PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah agar permasalahan dalam pembiayaan dapat dihindari atau di minimalisir, dalam menyalurkan pembiayaan dengan akad mudharabah, PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan akan dihadapkan dengan risiko timbulnya masalah-masalah yang disebabkan karena adanya hubungan Principal-Agent. Asymmetric information diyakini merupakan alasan timbulnya risiko dalam pembiayaan dengan akad mudharabah.59

1. Hambatan yang berasal dari internal bank, yaitu sumber daya insani (SDI) yang bertugas pada unit pemasaran yang belum dapat bekerja secara maksimaal dalam melaksanakan pekerjaannya, kurang memahami pentingnya pelayanan, cara kerja petugas pembiayaan yang kurang efektif dan efisien

Faktor-faktor yang menghambat dalam pelaksanaan pemberian pembiayaan Mudharabah kepada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan, antara lain:

2. Hambatan yang berasal dari eksternal bank yaitu PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan yang mengajukan pembiayaan tidak mempunyai legalitas yang lengkap, sering terjadinya salah pengertian pengertian pengurus PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan dan anggota kopeasi dalam memahami pembiayaan Mudharabah. Ketidakjujuran serta tidak amanahnya pengurus PT.

Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan dalam melaksanakan pembiayaan secara Mudharabah, kesalahan manajemen dan kurang maintenance Account Manager terhadap account yang menjadi tanggung jawabnya.60

59Hasil wawancara dengan Syahnun Asputraselaku supervisorPT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan. Tanggal 14 Agustus 2017

60 Hasil wawancara dengan Syahnun Asputraselaku supervisorPT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan. Tanggal 14 Agustus 2017

PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan mempunyai dua bentuk produk pembiayaan mudharabah yaitu mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah, sistem perhitungan bagi hasil kedua pembiayaan tersebut sebenarnya sama, yang membedakan hanyalah akad diawal perjanjian. 61

Pelaksanaan dalam pembiayaan mudharabah di mulai ketika calon debitur datang ke PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan, dengan membawa proposal guna memperoleh pembiayaan mudharabah kepada bank. Permohonan pembiayaan mudharabah tersebut sebagai bukti permohonan pembiayaan dari perusahaan atau perorangan kepada bank, yang permohonan tersebut menyertakan lampiran-lampiran sebagai sumber informasi dalam efaluasi pembiayaan.

Prinsip al-Mudharabah selain digunakan oleh bank untuk menerima dana-dana juga dipakai dalam membiayai debitur pembiayaan mudharabah. Dalam rangka pemberian pembiayaan pada umumnya bank syariah memiliki tipe pembiayaan Mudharabah Muqayyadah, di mana bank syariah sebagai wakil shahib al maal yang menentukan pembatasan atau memberikan syarat kepada debitur selaku mudharib dalam mengelola dana seperti untuk melakukan mudharabah bidang tertentu, cara, waktu dan tempat tertentu saja.

62

1. Adanya kesepakatan antara pihak PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan (shahibul maal) dengan debitur (mudharib) atasa usaha yang dijalankan

Pelaksanaan pembiayaan mudharabah pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan dalam melakukan bagi hasil pembiayaan mudharabah, sebagai berikut:

61Hasil wawamcara dengan Syahnun Asputraselaku supervisorPT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan. Tanggal 14 Agustus 2017

62Hasil wawancara dengan Syahnun Asputraselaku supervisorPT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan. Tanggal 14 Agustus 2017

2. Pihak debitur (mudharib) memberikan sertifikat usahanya sebagai jaminan pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan

3. Sistem bagi hasil yang dilakukan oleh pihak bank sesuai dengan kelangsungan usaha di mana pihak debitur harus dapat memenuhi kewajibannya dalam pembayaran pokok.

4. Nisbah yang dikenakan oleh debitur yang satu dengan yang lainnya dapat berbeda walaupun jenis usahanya sama. 63

PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medanpenentuan nisbah bagi hasil mengikuti kebijakan dari Bank Syariah Pusat di Jakarta. Besar nisbah bagi hasil sudah ditentukan oleh bank, sehingga debitur tinggal mengikuti kebijakan dari PT.

Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan. Pembagian nisbah antara bank dan debitur pada produk jasa bank khususnya pembiayaan mudharabah ini, di mana bank membiayai 100%, maka nisbah yang diterima bank relatif lebih besar dari nasabah. Oleh karena itu, dalam hal pembagian nisbah antara bank dan debitur tidak terjadi perdebatan dalam arti terjadi kesepakatan antara bank dan debitur64 B. Kedudukan debitur dalam sistem bagi hasil pada PT. Bank BPR Syariah

Al-Washliyah Medan

Hukum mudharabah berbeda-beda karena adanya perbedaan keadaan.

Maka, kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah juga tergantung pada keadaan.

63Syahnun Asputraselaku supervisorPT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan.

Tanggal 14 Agustus 2017

64Syahnun Asputraselaku supervisorPT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan.

Tanggal 14 Agustus 2017

Liquat ali Khan Niazi dalam bukunya yang berjudul “Islamic Law of Contract” menyatakan bahwa “Mudharabah is a form of Partnership where one of the Contracting Parties…” 65 Disebut perjanjian kerjasama karena antar pemilik modal dan pelaku usaha merupakan pasangan (partner) yang secara langsung saling membutuhkan satu dengan yang lain. Pemilik modal secara langsung membutuhkan seorang pelaku usaha yang dapat menjalankan dana yang dimilikinya untuk suatu kegiatan usaha yang dapat menghasilkan keuntungan. Di lain pihak, pelaku usaha mempunyai keahlian, kesempatan dan kemampuan untuk melakukan usaha, secara langsung membutuhkan modal bagi usaha yang akan dilakukannya. Kepentingan saling membutuhkan secara langsung inilah yang diakomodasi dalam mudharabah66

Pengkategorian mudharabah sebagai bentuk kerjasama adalah berangkat dari falsafah hukum ekonomi Islam yang menganggap bahwa modal dan kerja (profesionalitas usaha) bukan sebagai faktor yang terpisah, tetapi sebagai kesatuan dasar yangsaling menguntungkan. “Islam does not regard capital and interpreneurship as distinct factors with a separate basis foreward, rather as copartners with a uniform basis on return”67

Berdasarkan falsafah tersebut di atas, maka modal mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat dengan profesionalitas usaha. Profesionalitas usaha tidak dapat di subordinasikan dengan modal. Sebaliknya, modal juga tidak dapat di subordinasikan dengan profesionalitas usaha. Kedudukan yang sama dan sederajat ini harus diaktualisasikan dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan

65 Burhanudin Harahap, Kedudukan, Fungsi dan Problematika Jaminan Dalam Perjanjian Pembiayaan Mudharabah Pada Perbankan Syari’ah, Yustisia Edisi Nomor 69 Sept. - Desember 2006, hal 46

66Ibid

67Ibid

kewajiban antara pemilik modal dan profesionalitas usaha, jika ternyata di dalam perjanjian mudharabah terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan dasar persamaan antara modal dan profesionalitas usaha yang menimbulkan ketidakadilan, maka dapat dipersoalkan secara hukum. Seorang pelaku usaha yang meminjam uang kepada orang lain atau ke perbankan untuk melakukan suatu kegiatan bisnis dapat dikatakan sebagai kerjasama, namun kerjasama yang demikian hanyalah merupakan kerjasama secara tidak langsung.

Dalam perjanjian pembiayaan mudharabah tidak ada bentuk kerjasama secara langsung, karena ada pranata yang menjadi perantara di antara dua kepentingan yaitu pranata pinjam meminjam atau utang piutang. Pranata perantara yang di sebut pinjam meminjam atau utang piutang uang ini menempatkan pemilik modal dan pelaku usaha dalam kedudukan yang tidak sederajat, tetapi dalam kedudukan sub ordinatif. Hubungan keduanya adalah dalam kategori hubungan kreditur dan debitur, oleh karena itu konstruksi normatif yang ditimbulkan dari hubungan yang demikian adalah bukan sebagai bentuk hubungan hukum kerjasama tetapi hubungan hukum antara kreditur dan debitur. Hak dan kewajiban yang dapat dikonstruksikan oleh hukum terhadap hubungan kreditur dan debitur akan berbeda dengan hak dan kewajiban dalam hubungan kerjasama, maka ketentuan-ketentuan normatif yang berlaku dalam hubungan pinjam meminjam atau utang piutang tidak dapat diterapkan di dalam hubungan kerjasama mudharabah. Mudharabah sebagai suatu bentuk kerjasama adalah sangat penting untuk difahami sebagai dasar atau landasan berfikir. Jika mudharabah tidak difahami dengan baik sebagai suatu

bentuk kerjasama, maka akan dapat menimbulkan persoalan tentang ketidakadilan.68

1. Hubungan hukum antara bank dengan pemasok barang adalah sebagai pembeli dan penjual, karena bank membeli dari pemasok dengan dibayar tunai.

Hubungan hukum para pihak yang timbul dari adanya akad murabahah adalah sebagai berikut;

2. Hubungan hukum antara bank dengan debitur adalah sebagai hubungan kemitraan. Salah satu perbedaan antara bank Syariah dengan bank konvensional adalah pada hubungan debiturnya. Bank Syariah menempatkan debiturnya pada kedudukan yang sederajat yaitu sebagai mitra usaha, hal ini tercemin dalam bank, kewajiban dan resiko yang berimbang. Sedangkan pada bank konvensional hubungan hukum, antara bank dengan debitur sebagi debitur dan kreditur.

3. Hubungan antara pemasok barang dengan debitur hanya merupakan hubungan relasi antara pemesan dan penyedia barang. Pemasok dapat menyerahkan barang yang dibeli oleh bank langsung kepada debitur, tetapi dokumen-dokumen pembelian dikirim kepada bank untuk disimpan dan akan diserahkan oleh bank kepada debitur jika telah melunasi pembiayaan yang diterimahnya.69

Hak dan kewajiban shahib mudharib dalam perjanjian prinsip bagi hasil pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan, yaitu

1. menerima bagian laba tertentu sesuai yang disepakati dalam mudharabah;

68Ibid

69 https://tahkimjurnalsyariah.wordpress.com/2014/04/07/m-ridwan/diakses tanggal 21 Juli 2017

2. Mengelola kegiatan usaha untuk tercapainya tujuan mudharabah tanpa campur tangan shahib al-mal.

3. Mengelola modal yang telah diterima dari shahib al-mal sesuai dengan kesepakatan, dan memperhatikan syariah Islam serta ketentuan yang berlaku;

4. Menanggung seluruh kerugian usaha yang diakibatkan oleh kelalaian, kesengajaan dan/atau pelanggaran mudharib atas mudharabah;

5. Menyatakan secara tertulis bahwa mudharib telah menerima modal dari shahib al-mal dan berjanji untuk mengelola modal tersebut sesuai dengan kesepakatan (pernyataan qabul).

Hak dan kewajiban shahib al-mal/investor adalah

1. Menerima bagian laba tertentu sesuai yang disepakati dalam mudharabah;

2. Meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga yang dapat digunakan apabila mudharib melakukan pelanggaran atas akad mudharabah. Jaminan tersebut dapat berupa jaminan kebendaan dan atau jaminan umum, seperti jaminan perusahaan (corporate guarantee) dan jaminan pribadi (personal guarantee);

3. Mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan oleh mudharib;

4. Menyediakan seluruh modal yang disepakati;

5. Menanggung seluruh kerugian usaha yang tidak diakibatkan oleh kelalaian, kesengajaan dan atau pelanggaran mudharib atas mudharabah; dan

6. Menyatakan secara tertulis bahwa shahib al-mal menyerahkan modal kepada mudharib untuk dikelola oleh Mudharib sesuai dengan kesepakatan (pernyataan ijab).70

C. Penyelesaian Sengketa dalam Sistem Bagi Hasil pada PT. Bank BPR

Dokumen terkait