• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN DEBITUR DALAM SISTEM BAGI HASIL PADA BANK SYARIAH (Studi pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEDUDUKAN DEBITUR DALAM SISTEM BAGI HASIL PADA BANK SYARIAH (Studi pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan) SKRIPSI"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN DEBITUR DALAM SISTEM BAGI HASIL PADA BANK SYARIAH

(Studi pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

Ahmad Ghazali Hutagalung 130200583

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 7

(2)

KEDUDUKAN DEBITUR DALAM SISTEM BAGI HASIL PADA BANK SYARIAH

(Studi pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

Ahmad Ghazali Hutagalung 130200583

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUMPERDATA DAGANG Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum NIP. 196602021961032002

Pembimbing I

Prof. Dr. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum NIP. 196603031985081001

Pembimbing II

Dr. Utary Maharani Barus, S.H., M.Hum NIP. 197501142002122002

(3)

ABSTRAK

Ahmad Ghazali Hutagalung*) Hasim Purba**)

Utary Maharani Barus***)

Kegiatan usaha bank syariah belum dilakukan semaksimal mungkin sehingga terasa dapat dikatakan setengah hati. Sementara tanggungjawab sosialisasi tidak hanya dipundak para bankir syariah sebagai pelaksana operasional bank sehari-hari, namun tanggungjawab itu tertumpu kepada semua elemen umat baik secara individu, jamaah maupun institusi. Adapun permasalahan dalam penelitian ini Bagaimanakah bentuk dan pelaksanaan perjanjian prinsip bagi hasil pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan. Bagaimanakah kedudukan debitur dalam sistem bagi hasil pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan. Bagaimanakah penyelesaian sengketa dalam sistem bagi hasil pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, Sifat penelitian deskriptif.

Teknik pengumpulan data yang digunakan studi kepustakaan (library research dan Penelitian lapangan (field research), dengan metode kualitatif.

Bentuk perjanjian prinsip bagi hasil pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan, perjanjian pembiayaan al-mudharabah dan perjanjian pembiayaan al-musyarakah.

PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan, yang didasarkan pada kepercayaan terhadap debitur dan apabila terjadi kerugian maupun mendapat keuntungan dalam pembiayaan terhadap debitur, maka risiko akan ditanggung bersama antara pihak PT.

Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan, dengan debitur, konsep PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan, berpegang pada prinsip-prinsip syariah. Kedudukan debitur dalam sistem bagi hasil pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan, debitur mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat dengan PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan. PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan tidak dapat di subordinasikan dengan modal. Kedudukan yang sama dan sederajat ini harus diaktualisasikan dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban antara pemilik modal dan profesionalitas usaha. Jika ternyata di dalam perjanjian mudharabah terdapat ketentuan- ketentuan yang bertentangan dengan dasar persamaan antara debitur dan PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan yang menimbulkan ketidakadilan, maka dapat dipersoalkan secara hukum. Penyelesaian sengketa dalam sistem bagi hasil pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan, Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua proses, yaitu penyelesaian sengketa didalam pengadilan dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan di PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan belum ada sengketa pembiayaan Mudharabah yang berlanjut hingga ditempuh penyelesaian melalui jalur pengadilan, maupun melalui jalur BASYARNAS, dimana PT. Bank BPR Syariah Al- Washliyah Medan lebih mengutamakan penyelesaian secara musyawarah dengan pihak debitur/ mudharib jika terjadi perselihan.

Kata Kunci : Kedudukan, Debitur, Sistem Bagi Hasil

*) Mahasiswa FH USU

**) Dosen Pembimbing I

***) Dosen Pembimbing II

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmad dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah kedudukan debitur dalam sistem bagi hasil pada bank syariah (PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan). Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belumlah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kapada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, MHum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H, MHum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum,selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu Dr. Utary Maharani Barus, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh staf dan pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis Syafril Warman dan Roslina Sirait yang telah banyak memberikan dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang tidak pernah putus sampai sekarang dan selamanya.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapatkan Balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis memohon maaf kepada Bapak atau Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.

Medan, Agustus 2017 Penulis,

Ahmad Ghazali Hutagalung

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Keaslian Penulisan ... 8

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM BANK SYARIAH A. Sejarah dan Dasar Hdxukum Perbankan Syariah ... 15

B. Fungsi dan Peran Perbankan Syariah ... 24

C. Produk Perbankan Syariah ... 27

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI AKAD MUDHARABAH A. Pengertian dan Jenis Akad Mudharabah ... 31

B. Dasar Hukum dan Rukun dan Syarat Mudharabah ... 35

C. Mudharabah sebagai Produk Pembiayaan Perbankan Syariah .... 38

D. Berakhirnya Akad Mudharabah ... 40

(7)

BAB IV KEDUDUKAN DEBITUR DALAM SISTEM BAGI HASIL PADA BANK SYARIAH

A. Pelaksanaan dan bentuk Perjanjian Prinsip Bagi Hasil Bank Syariah pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan ... 41 B. Kedudukan Debitur dalam Sistem Bagi Hasil pada

PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan ... 46 C. Penyelesaian Sengketa pada PT. Bank BPR Syariah

Al-Washliyah Medandalam Sistem Bagi Hasil... 52 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 77 B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bank syariah muncul pertama kali di Mesir pada tahun 1963, tanpa menggunakan slogan atau embel-embel yang berbau Islam. Ini untuk menghindari tuduhan gerakan fundamentalis yang kerap dilancarkan rezim berkuasa. Ahmad El Najjar, perintis usaha ini, mengembalikan bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis pembagian laba (profit sharing). Empat tahun kemudian, di Mesir berdiri 9 (sembilan)bank dengan konsep yang sama tidak memungut maupun menerima bunga dan menginvestasikan sebagian besar uang penabung pada usaha perdagangan dan industry dalam bentuk partnership lalu membagi keuntungannya dengan para penabung.1

Maraknya perbankan syariah dewasa ini bukan merupakan gejala baru dalam dunia bisnis syariah. Keadaan ini ditandai dengan semangat tinggi dari berbagai kalangan, yaitu, ulama, akademis dan praktisi untuk mengembangkan perbankan tersebut dari sekitar pertengahan abad ke-20. Dewasa ini bank syariah sedang menjadi pilihan pelaku bisnis perbankan sampai dengan pertengahan tahun 2001. Di Indonesia telah berdiri 10 (sepuluh) bank umum syariah (BMI, BNI, BSM, Bukopin, Bank Jabar, Bank Sumut, Bank IFI, BRI, Danamon, Mayapada

1 Abu Muhammad Dwiono Koesen Al-Jambi, Selamat Tinggal Bank Konvensional (haramnya bank konvensional dan halalnya bank syariah), (Jakarta:Tifa Surya Indonesia, 2009), hal 25-26

(9)

Bank, Bank DKI dan lainnya), dengan sekitar 106 kantor cabang, ditambah lagi dengan 94 bank syariah (Bank Indonesia, 2006).2

Kini, sesuai dengan data Statistik Perbankan Syariah3 yang disajikan Bank Indonesia bulan November 2004 (akan terus di-update), secara fisik ada 3 (tiga) Bank Umum Syariah dengan 92 Kantor Cabang, 40 kantor Cabang Pembantu, dan 131 Kantor Kas. Selain itu, ada 15 Unit Usaha Syariah pada bank konvensional dengan 56 Kantor Cabang, dan 18 Kantor Cabang Pembantu. Ditingkat Bank Perkreditan Rakyat ada sebanyak 88 Bank Perkreditan Syariah.4

Memang jumlah aset perbankan syariah hingga November 2004 (akan terus di-update) baru mencapai 4,63 triliun rupiah (Maret 2003), menjadi 7,86 triliun rupiah (Desember 2003), dan menjadi 14,04 triliun (November 2004) atau hanya 0,42% (Maret 2003), menjadi 0,74% (Desember 2003), dan menjadi 1,14%

(November 2004) dibandingkan dengan seluruh aset perbankan yang mencapai 1100 triliun rupiah (Maret 2003), menjadi 1068, 40 triliun rupiah (Desember 2003), dan menjadi 1228,10 triliun (November 2004), namun kinerja perbankan syariah dari sisi fungsi intermediaries(Loan to Deposit Ratio = LDR) dan pengelolaan kredit macet (Non Performing Financing = NPF) jauh lebih baik dari perbankan konvensional. Tercatat LDR perbankan syariah adalah 110,22% (Maret 2003), menjadi 96,60% (Desember 2003), dan menjadi 103,97% (November 2004) dibandingkan dengan LDR seluruh perbankan yang besarnya 50,46%

2 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah di Bank Syariah, (strategi Memaksimalkan Return dan Meminimalkan Risiko Pembiayaan di Bank Syariah Sebagai Akibat Masalah Agency), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hal 1

3Istilah perbankan syariah, bank syariah, dan asuransi adalah sama dengan istilah perbankan Islam, Bank Islam, dan Asuransi Islam. Tim penulis dalam hal ini untuk selanjutnya lebih sering menggunakan istilah perbankan islam, Bank Islam, dan Asuransi Islam.

4 Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah, November 2004, hal. 2.

(10)

(Maret 2003), menjadi 53,70% (Desember 2003), dan 61,49% (November 2004), serfta NPF perbankan syariah adalah 3,96% (Maret 2003), menjadi 2,34%

(Desember 2003), dan menjadi 2,84% (November 2004) dibandingkan dengan NPF/L seluruh perbankan yang besarnya 8,15% (Maret 2003), menjadi 8,2%

(Desember 2003), dan menjadi 6,6% (November 2004).5

Dengan demikian, dunia pendidikan mulai dari taman kanak-kanak smpai perguruan tinggi seharusnya sudah mempersiapkan diri dengan tingkatannya masing-masing, sehingga anak didik yang diantarkannya terjun ke masyarakat tidak lagi merasa asing dengan dunia nyata, yaitu adanya dual financial

Hal ini telah dibuktikan dengan lebih tangguhnya perbankan syariah dibandingkan dengan perbankan konvensional ketika Indonesia di tengah-tengah badai krisis, dimana perbankan konvensional semuanya rontok bahkan banyak yang ditutup, sedangkan perbankan syariah hanya beberapa BPRS saja yang tidak mampu bertahan. Ketidakmampuan BPRS ini pun lebih banyak disebabkan kurang dipatuhinya ketentuan-ketentuan syariah.

Setelah melewati dua tahapan pembinaan, yaitu “tahapan perkenalan”

(introduction) yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, maka Bank Indonesia telah mempersiapkan tahapan pembinaan berikutnya, yaitu “tahapan pemurnian” (purification) yang nanti akan ditandai dengan berlakunya undang-undang perbankan syariah yang baru. Undang-undang perbankan syariah yang baru saat ini masih dalam proses penggodongan melalui studi akademis dan seminar-seminar.

5Ibid, hal. 13.

(11)

systemdimana terdapat Lembaga Keuangan Syariah, termasuk didalamnya perbankan syariah.

Falsafah dasar perbankan syariah mengacu kepada ajaran agama Islam yang bersumber pada Al-Qur’an, al Hadits/as-Sunnah, dan al-Ijtihad. Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Umat Islam meyakininya sebaga firman Allah yang diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Nabi terkahir, Nabi Muhammad SAW. Ia dinamakan Al’Qur’an (secara harfiah berarti bacaan atau himpunan), karena ia merupakan kitab yang wajib dibaca, dan dipelajari dan merupakan himpunan dari ajaran-ajaran wahyu yang terbaik.6 Al-Hadits menurut pengertian bahasa adalah suatu berita atau sesuatu yang baru. Dalam ilmu Hadits istilah tersebut berarti segala perkataan, perbuatan atau tarir (pengakuan terhadap sesuatu dengan cara tidak memberi komentar) yang dilakukan Nabi Muhammad. Umumnya ahli Hadits menyamakan istilah Hadits dengan istilah as-Sunnah.7 Al-Qiyas adalah suatu metode utnuk menemukan hukum suatu peristiwa yang tidak ada kejelasan hukumnya dalam sumber hukum utama, yaitu Al-Qur’an dan Hadits dengan cara menghubungkan atau menyamakan dengan hukum suatu peristiwa yang telah ditegaskan hukumnya dalam sumber-sumber hukum tersebut karena adanya persamaan illat (motif hukum) antara kedua peristiwa tersebut.8 Menurut istilah fakaha, al-Ijma’ ialah kesepakatan pendapat diantara para mujtahid, atau persetujuan pendapat diantara ulama fikih diabad tertentu mengenai hukum syara.9

6 Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta; Jambatan, 1992), hal.794.

7Ibid. hal.271.

8Ibid, hal.791.

9Ibid, hal.406.

(12)

Ajaran agama Islam yang bersumber pada wahyu Ilahi dan sunaturosul mengajarkan kepada umatnya untuk berusaha mendapatkan kehidupan yang baik didunia yang sekaligus memperoleh kehidupan yang baik diakhirat. Memperoleh kehidupan yang baik didunia dan akhirat inilah yang dapat menjamin dicapainya kesejahteraan hidup lahir dan batin. Dengan demikian, kesejahteraan yang hendak dicapai itu adalah sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT. Dalam QS. Al- Baqarah (2): 201 yang artinya: ‘Dan diantara mereka ada yang berdoa: “Ya Tuhan kami berilah kami kebaikan didunia d,lan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.

Hal ini berarti, bahwa dalam mengejar kehidupan di dunia tidak dapat dilakukan dengan menghalalkan segala cara, tetapi harus dilakukan melalui gerakan amal saleh. Ada lebih dari tiga belas ayat dari lebih dari dua belas surat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan manusia yang beriman untuk beramal saleh. Perbuatan amal saleh adalah perbuatan baik yang mendatangkan pahala baginya dan mendatangkan faedah bagi orang lain. Amal saleh dapat berupa tingkah laku dan perbuatan yang termasuk ke dalam kategori muamalah.

Menurut Pasal 1313 KItab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian perjanjian tersebut adalah perjanjian dalam arti luas karena baru mengenai perjanjian sepihak dan tidak menyangkut mengikatnya kedua belah pihak.

Perjanjian yang dibuat para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi masing-

(13)

masing, sehingga perjanjian hendaknya menyebutkan bahwa kedua belah pihak saling mengikat dengan demikian timbul suatu hubungan hukum.

Faktor yang dapat mempengaruhi bagi hasil dapat dilihat dari dua faktor yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor langsung dapat dijabarkan dalam tiga hal yaitu:

1. Angka Investasi (Investmen Rate) yang merupakan presentasi actual dana yang diinvestasikan dari total dana. Jika bank menentukan investmen rate sebesar 80% dal ini berarti 20% dari total dana dialokasikan untuk memenuhi likuiditas.

2. Jumlah dana yang tersedia yang merupakan untuk diinvestasikan jumlah dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Dana tersebut dapat dihitung dengan menggunakan salah satu metode yaitu rata-rata saldo minimum bulanan dan rata-rata saldo harian.

3. Nisbah bagi hasil yang merupakan satu ciri mudharabah adalah nisbah yang harus ditentukan dan disetujui pada awal perjanjian. Nisbah antara satu bank dengan yang lainnya dapat berbeda, jika dapat berbeda dari waktu kewaktu dalam satu bank misalnya deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan.

Nisbah juga dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya sesuai dengan besarnya dana dan jatuh temponya.10

Pelaksanaan pembiayaan dengan akad mudharabah dalam seluruh kegiatan di perbankan syariah merupakan salah satu cara untuk menciptakan perbankan yang sehat, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap perekonomian

10 Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), hal 107

(14)

secara menyeluruh antara pihak bank sendiri dan mudhorib. Pelaksanaan prinsip syariah ini harus menyeluruh, tidak hanya menyangkut masalah pemberian modal usaha bagi orang yang ingin melakukan usaha tetapi tidak mempunyai modal.

Sosialisasi yang telah dilakukan dalam rangka menginformasikan secara paripurna dan besar mengenai kegiatan usaha bank syariah belum dilakukan semaksimal mungkin, sehingga terasa dapat dikatakan setengah hati. Sementara tanggung jawab sosialisasi tidak hanya dipundak para perbankan syariah sebagai pelaksana operasional bank sehari-hari, namun tanggung jawab itu tertumpu kepada semua elemen umat baik secara individu, jamaah maupun institusi.

Dengan kata lain bagi yang memiliki kemampuan dan akses yang besar dalam penyebarluasan informasi harus fokus, yang barang kali selama ini masyarakat belum tahu ataupun belum memahami secara detail apa dan bagaimana keberadaan dan operasional bank syariah walaupun dari kaca mata fiqh sangat faham. Cakupan sosialisasi tentu tidak sekedar memperkenalkan eksistensi bank syariah di suatu tempat, tetapi juga memperkenalkan mekanisme, produk dan instrumen-instrumen keuangan bank syariah kepada masyarakat.11

B. Permasalahan

Berdasarkan banyaknya uraian diatas, maka menarik untuk dilakukan penelitian yang berjudulKedudukan Debitur dalam Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syariah (PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan).

Berdasarkan latar belakang dan penjelasan di atas maka, permasalahan sebagai berikut:

11 Abdul Manan, Hukum Perbankan Syariah, Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi Nomor 75, 2012, hal. 33.

(15)

D. Bagaimanakah bentuk dan pelaksanaan perjanjian prinsip bagi hasil pada PT.

Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan?

E. Bagaimanakah kedudukan debitur dalam sistem bagi hasil pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan?

F. Bagaimanakah penyelesaian sengketa dalam sistem bagi hasil pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah ditetapkan, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bentuk dan pelaksanaan perjanjian prinsip bagi hasil pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan.

2. Untuk mengetahui kedudukan debitur dalam sistem bagi hasil pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan.

3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa dalam sistem bagi hasil pada PT.

Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan

D. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan ada dua manfaat yang dapat dihasilkan yaitu yang bersifat teoritis dan bersifat praktis.

a. Secara teoretis

Sebagai upaya pengembangan wawasan pemahaman terhadap ilmu hukum, khususnya di bidang keperdataan dalam kedudukan debitur dalam sistem bagi hasil pada bank syariah.

(16)

b. Secara praktis

Sebagai referensi terhadap penelitian selanjutnya dalam menyusun karya tulis ilmiah yang lebih mendalam sehubungan dengan bidang keperdataan dalam prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah.

E. Keaslian Penelitian

Keaslian penulisan skripsi ini ben ar merupakan hasil dari pemikiran dengan mengambil panduan dari buku-buku, dan sumber lain yang berkaitan dengan judul dari skripsi, ditambah sumber riset dari lapangan di PT. Bank BPR Syariah Al- Washliyah Medan. Dalam kesempatan ini akan dibahas tentang kedudukan debitur dalam sistem bagi hasil pada bank syariah (Studi PT. Bank BPR Syariah Al- Washliyah Medan), belum pernah diteliti sebelumnya, namun ada beberapa judul yang membahas tentang sistem bagi hasil secara syariah, antara lain :

Fauzan Zaki (2016), dengan judul penelitian Penerapan Sistem Bagi Hasil Kepada Pemodal Dalam Kegiatan Pembiayaan Koperasi Syariah (Studi BMT Al- Musabbihin Medan), adapun permasalahan dalam penelitian ini, adalah

1. Penerapan sistem bagi hasil kepada pemodal dalam kegiatan pembiayaan koperasi syariah di BMT Al-Musabbihin Medan

2. Kendala penerapan sistem bagi hasil kepada pemodal pada BMT Al- Musabbihin Medan

3. Penyelesaian sengketa jika antara pemodal dan pengurus koperasi syariah di BMT Al-Musabbihin Medan terjadi sengketa terkait dengan sistem bagi hasil.

(17)

Fheby Thea Anggreny Hsb (2011), dengan judul Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil Pada PT Prudential Life Assurance (Asuransi Syariah) Dan Sistem Bunga (Asuransi Konvensional), adapun permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Pelaksanaan sistem bagi hasil (asuransi syariah) PT Prudential Life Assurance.

2. Pelaksanaan sistem bunga (asuransi konvensional) pada PT Prudential Life Assurance.

3. Pelaksanaan sistem manakah yang lebih menguntungkan bagi perusahaan dan pemegang polis.

Mhd. Rommy Ismail (2010), dengan judul penelitian Pelaksanaan Bagi Hasil Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum Perbankan Indonesia (Studi Pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam Deli Serdang), adapun permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Dasar hukum penerapan sistem bagi hasil perbankan syariah pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam

2. Pelaksanaan bagi hasil perbankan syariah dalam perbankan Indonesia pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam.

Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun akademi.

F. Metode Penelitian

Adapun Metode Penelitian yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

(18)

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif12

2. Sifat penelitian

Penelitian tidak saja berusaha mempelajari pasal-pasal, perundang-undangan, pandangan, pendapat para ahli dan menguraikannya dalam karya penelitian ilmiah, tetapi juga menggunakan bahanbahan yang sifatnya normatif itu dalam rangka mengulas dan menganalisis data lapangan yang disajikan sebagai pembahasan.

Sifat penelitian deskriptif yakni penelitian secara umum termasuk pula di dalamnya penelitian ilmu hukum, penelitian deskriptif bertujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.

Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan gambaran secara tepat mengenai kedudukan debitur dalam sistem bagi hasil pada bank syariah menggunakan sifat penelitian deskriptif dikarenakan sudah terdapatnya ketentuan peraturan perundang- undangan, literatur maupun jurnal yang cukup memadai mengenai permasalahan yang diangkat.

3. Sumber penelitian

Sumber data yang digunakan data sekunder sebagai bahan penelitian dan bahan hukum primer. Data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum. Adapun data sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini, antara lain:

12 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum Cet-1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 52.

(19)

1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari instrumen hukum nasional, terdiri dari : Undng-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2) Bahan hukum sekunder dari penelitian ini yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer kedudukan debitur dalam sistem bagi hasil pada bank syariah (Studi pada PT. Bank Bri Syariah Cabang Medan)bahan hukum sekunder yang digunakan antara lain:

pendapat para pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa; buku-buku hukum (text book), serta jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan judul skripsi.

3) Bahan hukum tersier yang penulis gunakan berupa kamus hukum dan ensiklopedia.

4. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data sekunder adalah dengan cara studi kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Guna melengkapi penelitian ini agar mempunyai tujuan yang jelas dan terarah serta dapat dipertanggung jawabkan sebagai salah satu hasil karya ilmiah, jurnal, maka metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk mendukung antara lain :

a. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu mengadakan penelitian terhadap data-data yang diperoleh dari buku-buku literatur, majalah ilmiah yang

(20)

ada kaitannya dengan skripsi ini dan perbankan syariah sebagai sumber dalam hukum perbankan syariah yang digunakan sebagai rujukan dalam pembahasan skripsi ini untuk memperkuat dalil dan fakta penelitian.

b. Penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan data melalui riset dilakukan dengan melakukan wawancara kepada Syahnun Asputraselaku supervisorPT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan.

5. Analisis data

Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara sistematik kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif, yakni pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis untuk dapat memberikan gambaran secara jelas atas permasalahan yang ada yang akhirnya dinyatakan dalam bentuk deskriptif analisis.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab, yang tiap bab dibagi pula atas beberapa sub bab yang disesuaikan dengan isi dan maksud dari penulisan skripsi ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini secara singkat adalah, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan

(21)

BAB II TINJAUAN UMUM BANK SYARIAH

Bab ini berisikan sejarah dan dasar hukum perbankan syariah, fungsi dan peran perbankan syariah dan produk perbankan syariah

BAB III TINJAUAN TINJAUAN UMUM MENGENAI AKAD MUDHARABAH

Bab ini berisikan pengertian dan jenis akad mudharabah, dasar hukum dan rukun dan syarat mudharabah dan mudharabah sebagai produk pembiayaan perbankan syariah serta berakhirnya akad mudharabah BAB IV KEDUDUKAN DEBITUR DALAM SISTEM BAGI HASIL

PADA BANK SYARIAH

Bab ini membahas bentuk pelaksanaan perjanjian prinsip bagi hasil pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan. Kedudukan debitur dalam sistem bagi hasil pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan dan Penyelesaian Sengketa dalam Sistem Bagi Hasil pada PT.

Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir dari isi skripsi ini. Pada bagian ini, dikemukakan kesimpulan dan saran yang didapat sewaktu mengerjakan skripsi ini mulai dari awal hingga pada akhirnya.

(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM BANK SYARIAH

A. Sejarah dan Dasar Hukum Perbankan Syariah

Bank syariah merupakan badan usaha yang fungsinya sebagai penghimpun dana dari masyarakat dan penyalur dana kepada masyarakat, yang sistem dan mekanisme kegiatan usahanya berdasarkan hukum islam sebagaimana yang ditaur dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist.13

Perbankan syariah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dan lain-lain), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.

Sedangkan dalam kamus perbankan yang dimaksud dengan bank syariah adalah bank yang menggunakan sistem dan operasi perbankan berdasarkan pinsip syariah islam, yaitu mengikuti tata cara berusaha dan perjanjian berusaha yang ditentukan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadist.

14

13 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 11.

14 Danu Ramadhan,dkk, Peranan Perbankan Syariah Terhadap Pengembangan Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) di Kota Medan, JurnalEkonomi dan Keuangan, Vol. 1, No. 1, Desember 2012, hal 2

Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel Islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar,

(23)

mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank- bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia tidak terlepas pengaruhnya dari perkembangan perbankan syariah di berbagai negara. Pada awalnya, model bank syariah ini diterapkan di Pakistan pada akhir tahun 1950-an yang tidak membebankan bunga kepada peminjamnya. Di India, Jamaat e Islami Hindi memulai sistem pinjaman bebas bunga pada tahun 1868. Di Mesir, pada awalnya didirikan Bank Syariah secara sederhana pada tahun 1963 di kota Mit Ghamr, yang kemudian dikembangkan pada tahun 1971 dengan nama Nasser Social Bank.15

Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia.

Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) adalah beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah

15 Ali Syukron. Dinamika Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, Economic:

Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 2, Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi 2013, hal 47.

(24)

di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.16

Skenario ini telah membuka ruang penerimaan yang lebih baik terhadap keuangan Islam umumnya dan perbankan syariah khususnya dan menyediakan alternatif kepada sistem konvensional. Tahun 2000 jumlah institusi perbankan syariah bertambah menjadi 3 bank umum syariah (BUS) dan 3 unit usaha syariah (UUS). Tahun 2005 terdapat 3 BUS dan 19 unit UUS atau Islamic window.

Sementara itu, jumlah aset perbankan syariah telah tumbuh dari Rp 479 milyar pada Perkembangan perbankan syariah dari sisi institusi bermula pada tahun 1991 dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan resmi beroperasi pada tahun 1992. Perkembangan perbankan syariah yang pesat baru terjadi setelah tahun 1998. Perbankan syariah semakin mendapat perhatian setelah beberapa seri krisis ekonomi terjadi. Krisis yang dimaksud adalah krisis ekonomi dunia tahun Pada tahun 1998 terjadi krisi ekonomi yang pengaruhnya sangat dirasakan oleh negara- negara di Asia termasuk Indonesia. Kemudian yang terbaru adalah krisis ekonomi global tahun 2009 yang pengaruhnya hampir merata dirasakan oleh negara-negara dunia terutama Amerika Serikat. Berdasarkan dua tahun (2007 hingga 2009) kajian lapangan di Amman, Jordan, bank-bank konvensional mengalami pengaruh negatif yang lebih besar dibandingkan sektor perbankan syariah akibat daripada krisis ekonomi global. Hal ini berlaku kerana garis panduan yang ditetapkan oleh Islam menjadikan pendekatan investasi yang digunakan lebih beretika dan kurang beresiko dibandingkan dengan bank konvensional.

16 Santoso dan Suhadi, Periodisasi Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, YUDISIA, Vol. 6, No. 1, Juni 2015, hal 121-122

(25)

tahun 1998 menjadi Rp 30.145 milyar pada akhir tahun 2007. Pada waktu itu adalah masa “bulan madu” dimana pertumbuhan drastis perbankan syariah terjadi di Indonesia17

Sebelum Undang-undang Perbankan Syariah ditetapkan, jumlah bank syariah dan unit usaha syariah belum sebanyak seperti sekarang. Bahkan ketika sudah difasilitasi oleh Undang-undang tentang Perbankan tahun 1992 dan perubahannya Undang-undang tahun 1998, jumlah usaha syariah belum berkembang. Setelah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disahkan, perkembangan usaha syariah semakin berkembang.18

1. Menghilangkan praktek ribawi dalam segala kegiatan perbankan dan memastikan semua transaksi perbankan berdasarkan aturan-aturan dalam fiqh Islam.

Tujuan utama didirikannya perbankan syariah, yaitu

2. Mewujudkan distribusi pendapatan dan menciptakan keadilan dalam kegiatan perekonomian, karena selama ini sistem ekonomi yang berkembang di dunia belum mampu menyelesaikan berbagai masalah ekonomi masyarakat yaitu harta kekayaan belum terdistribusi secara merata, dan rakyat tidak merasakan keadilan dan kenyamanan dalam menjalankan kegiatan ekonomi, masih banyak terjadi praktek aktivitas ekonomi yang bersifat grarar, maysir, ribawi dan spekulasi.

17 Mutiara Dwi Sari, et.al, Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia: Suatu Tinjauan, Jurnal Aplikasi Bisnis, Universiti Sains . Malaysia, Pulau Pinang Vol.3 No. 2, April 2013, hal 124

18 Sri Indah Nikensari, Perbankan Syariah (prinsip, sejarah & aplikasinya), (Semarang,:

Pustaka Rizki Putra, 2012), hal 81

(26)

3. Mewujudkan pengembangan pembangunan ekonomi. Dengan menerapkan ekonomi syariah mampu mensejahterakan perekonomian rakyat dan mencapai falah di dunia dan di akhirat.19

Tujuan bank syariah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yaitu pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi yang berlandaskan nilai keadilan, kebersamaan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah. Selaras dengan tujuan tersebut. Prinsip-prinsip bank syariah yang harus diterapkan dalam mendukung eksistensi bank syariah, meliput:

1. Prinsip Al-Ta’awun, merupakan prinsip untuk saling membantu dan bekerja

sama. Dalam hal ini Allah Swt telah memerintahkan kepada manusia untuk berbuat saling tolong menolong dalam berbuat keadilan dan takwa. Sebaliknya, Allah Swt melarang manusia saling tolong menolong dalam hal berbuat dosa dan pelanggaran.

2. Prinsip menghidar, Al-Ikhtinaz, prinsip ini sejalan dengan fungsi uang, yaitu

tidak membiarkan uang menganggur dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum. Dalam pandangan Islam, uang adalah flow concept, oleh karena itu harus berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat perndapatan masyarakat dan semakin baik perekonomiannya.20

19Sri Abidah Suryaningsih, Aplikasi Mudharabah Dalam Perbankan Syariah di Indonesia, Jurnal. Ekonomika-Bisnis Universitas Negeri Surabaya Vol. 4 No.1 Bulan Januari Tahun 2013.

hal 19

20 Muhammad Danang Wahyu, ,”Penerapan Prinsip Syariah dalam Permodalan Bank Syariah”, Jurnal Media Hukum, Vol. 21, No. 1, 2014, hal. 46-47

(27)

Prinsip-prinsip yang melandasi pelaksanaan kegiatan dalam berbagai aspek, meliputi:

1. Istihsan, adalah menghindarkan kesulitan demi kemudahan. Sebab kemudahan merupakan unsur pokok atau prinsip dalam agama. Menurut Imam Abu al- Hasan al-Karkhi, istihsan adalah penetapan hukum dari seorang mujtahid (catatan Penulis, ahli fikih/hukum yang mencurahkan kemampuannya untuk mengeluarkan hukum syara’) terhadap suatu masalah yang menyimpangi dari ketetapan hukum yang ditetapkan pada masalah-masalah serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan tersebut 2. Istishhab Imam as-Syaukany di dalam kitabnya Irsyad al-Fuhul mengemukakan

definisi istishhab, yaitu dalil yang memandang tetapnya suatu perkara selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya. Dalam pengertian bahwa ketetapan pada masa lampau, berdasarkan hukum asal, tetap terus berlaku untuk masa sekarang dan masa mendatang. Berbeda dengan sumber hukum yang lain, istishhab didasarkan pada “persangkaan kuat” bahwa kontinuitas status quo mengharuskan adanya kontinuitas hukum.21

3. Urf (tradisi) merupakan bentuk-bentuk muamalah yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung konstan di tengah masyarakat. Apabila suatu

‘urf bertentangan dengan Al-Quran atau sunah Rasul, maka ‘urf tersebut ditolak (mardud).22

4. Madzab sahabat merupakan risalah yang diterima dan didengar dari Rasullulah saw untuk sahabat Rasullulah agar dapat diterapkan dalam kehidupan. Jumhur

21 Wangsa Widjaja. Pembiayaan Bank Syariah. Cetakan Pertama, (Jakarta:Gramedia Pustaka, 2012), hal 59

22Ibid, hal 418

(28)

ulama ahli fikih telah menetapkan bahwa pendapat para sahabat ini dapat dijadikan alasan (hujjah) sesudah dalil nash.23

5. Syariat orang sebelum Islam terdapat beberapa hukum syariat umat tedahulu yang diwajibkan oleh Allah melalui Rasul-Nya, juga diwajibkan terhadap umat Muhammad saw. Sesungguhnya syariat agama samawi secara prinsip adalah satu, sebagaimana difirmankan Allah dalam surah Asy-Syura ayat 24

Pengaturan hukum Bank Syari’ah di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu :

1. Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan belum diatur secara tegas keberadaan bank yang melakukan kegiatannya berdasarkan prinsip syari’ah.

Undang-undang No. 7 Tahun 1992 hanya secara samar-samar memberikan indikasi mengenai kemungkinan suatu bank memberikan fasilitas kredit dengan imbalan atau pembagian hasil keuntungan ketika Pasal 1 ayat (12) menjelaskan mengenai pengertian kredit.25

2. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Berbeda dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1992, Undang-undang No. 10 Tahun 1998 menyebutkan secara tegas tentang pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah yang dapat dilakukan oleh suatu bank, baik bank umum maupun bank perkreditan rakyat, hal itu dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (12), Pasal 6 huruf n,

23 Abdul Wahhab Khallaf. Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih,tanpa tahun 140.hal

24Ibid, hal 137

25 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2005), hal. 122.

(29)

Pasal 7 huruf c, Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 11 ayat (1) dan (4a), Pasal 13, Pasal 29 ayat (3) dan Pasal 37 ayat (1) huruf c.

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia

Pasal 1 angka (7) Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Indonesia dan Bank yang mewajibkan bank yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

4. Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Undang-undang ini menyebutkan tentang kewenangan pengadilan agama dalam hal memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah, termasuk didalamnya tentang perbankan syari’ah, hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 dan penjelasannya.

5. Undang-undang No. 21 Tatrun 2008 tentang Perbankan Syari’ah

Undang-undang No. 21 Tahun 2008 ini adalah merupakan undang-undang yang mengatur secara khusus tentang perbankan syariah. Dengan terbitnya undang- undang No. 21 Tahun 2008, maka undang-undang inilah yang menjadi rujukan utama dalam pengelolaan perbankan syari’ah. Selain itu undang-undang ini juga menjelaskan cara penyelesaian sengketa perbankan syari’ah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, selama para pihak tidak menentukan atau memperjanjikan lain. Penegasan kewenangan tersebut terdapat pada Pasal 55 Undang-undang No. 21 Tahun 2008.

(30)

6. Peraturan Pemerintah (PP)

Dasar hukum perbankan syari’ah yang berbentuk (PP) antara lain:

a. PP No. 70 Tahun 1992 tanggal 30 Oktober 1992 tentang Bank Umum (TLN N0. 3503)

b. PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkeriditan Rakyat (TLN N0. 3504) c. PP No. 72 Tatrun 1992 tanggal 30 Oktober 1992 tentang Bank Berdasarkan

Prinsip Bagi Hasil (TLN N0. 3505)

7. Peraturan Bank Indonesia (PBI). Untuk PBI yang mengatur tentang pelaksanaan perbankan syaraiah, antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. PBI No. 2/8/PBI/2000 (LN Tahun 2000 N0. 24) tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (TLN N0. 3937 DPM).

b. PBI No. 6/6/PBI/2004 (LN Tahun 2004 N0. 20) tanggal 16 Februari 2004 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (TLN N0. 4368).

c. PBI No. 7/23/PBI/2005 (LN Tahun 2005 N0. 70) tanggal 3 Agustus 2005 tentang Perubahan atas Perubahan Bank Indonesia N0. 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003 tentang fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (TLN N0. 4520).

d. PBI No. 7/46/PBI/2005 (LN Tahun 2005 N0. 124) tanggal 14 Nopember 2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah (TLN N0.

4563)26

26 Syahrani, Dasar Hukum Pelaksanaan Syariat Islam Di Bidang Bisnis Dalam Tata Hukum Indonesia, Artikel. IAIN Antasari, 2014, hal 3-4

(31)

B. Fungsi dan Peran Perbankan Syariah

Sistem lembaga keuangan atau yang lebih khusus lagi disebut sebagai aturan yang menyangkut aspek keuangan dalam sistem mekanisme keuangan suatu negara, telahmenjadi instrumen penting dalam memperlancar jalannya pembangunan suatu bangsa. Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tentu saja menuntut adanya sistem baku yang mengatur dalam kegiatan kehidupannya. Termasuk di antaranya kegiatan keuangan yang dijalankan oleh setiap umat. Hal ini berarti bahwa sistem baku termasuk dalam bidang ekonomi.

Namun, di dalam perjalanan hdup umat manusia, kini telah terbelenggu dalam sistem perekonomian yang bersifat sekuler.27

1. Menghimpun dana yang ada di masyarakat Fungsi bank syariah diantaranya adalah:

Bank syariah memiliki cara yang berbeda dalam menghimpun dana dari masyarakat, yaitu dengan cara menghimpun dana masyarakat dengan bentuk penitipan dengan akad al-wadiah dan jika bnetuknya investasi maka menggunakan akad mudharabah.

2. Menyalurkan dana kepada masyarakat

Bank syariah bersedia menyalurkan dananya jika pihak masyarakat mau menyetujui kesepakatan/akad yang sesuai dengan hukum Islam. Dalam akad

27 Setia Budhi Wilardjo. Pengertian, Peranan dan Perkembangan Bank Syari’ah dI Indonesia, Jurnal Universitas Muhammadiyah Semarang Value Added, Vol. 2, No. 1, September 2004 – Maret 2005, hal 5

(32)

ini pihak bank akan memperoleh pemasukkan/pendapatan sesuai akad yang dibuat dengan para penerima dana. 28

Bank syariah adalah bank yang menjalankan fungsi intermediasinya berdasarkan prinsip-prinsip syariat Islam. Peran dan fungsi bank syariah, di antaranya sebagai berikut:

a. Sebagai tempat menghimpun dana dari masyarakat atau dunia usaha dalam bentuk tabungan (mudharabah), dan giro (wadiah), serta menyalurkannya kepada sektor rill yang membutuhkan.

b. Sebagai tempat investasi bagi dunia usaha (baik dana modal maupun dana rekening investasi) dengan menggunakan alat-alat investasi yang sesuai dengan syariah.

c. Menawarkan berbagai jasa keuangan berdasarkan upah dalam sebuah kontrak perwakilan atau penyewaan.

d. Memberikan jasa sosial seperti pinjaman kebajikan, zakat dan dana sosial lainnya yang sesuai dengan ajaran Islam.29

Secara khusus peranan bank syari’ah secara nyata dapat terwujud dalam aspek-aspek berikut :

1. Menjadi perekat nasionalisme baru, artinya bank syari’ah dapat menjadi fasilitator aktif bagi terbentuknya jaringan usaha ekonomi kerakyatan. Di samping itu, bank syari’ah perlu mencontoh keberhasilan Sarekat Dagang

28 http://infosiana.net/pengertian-fungsi-dan-produk-bank-syariah-di-indonesia/diakses tanggal 21 Juli 2017

29 Imamul Arifin, Membuka Cakrawala Ekonomi, (Jakarta: Setia Purna Inves 2007), hal.

14

(33)

Islam, kemudian ditarik keberhasilannya untuk masa kini (nasionalis, demokratis, religius, ekonomis).

2. Memberdayakan ekonomi umat dan beroperasi secara transparan. Artinya, pengelolaan bank syariah harus didasarkan pada visi ekonomi kerakyatan, dan upaya ini terwujud jika ada mekanisme operasi yang transparan.

3. Memberikan return yang lebih baik. Artinya investasi di bank syariah tidak memberikan janji yang pasti mengenai return (keuntungan) yang dibeikan kepada investor. Oleh karena itu, bank syari’ah harus mampu memberikan return yang lebih baik dibandingkan dengan bank konvensional. Di samping itu, debitur pembiayaan akan memberikan bagi hasil sesuai dengan keuntungan yang diperolehnya. Oleh karena itu, pengusaha harus bersedia memberikan keuntungan yang tinggi kepada bank syari’ah.

4. Mendorong penurunan spekulasi di pasar keuangan. Artinya, bank syariah mendorong terjadinya transaksi produktif dari dana masyarakat. Dengan demikian spekulasi dapat ditekan.

5. Mendorong pemerataan pendapatan, artinya, bank syariah bukan hanya mengumpulkan dana pihak ketiga, namun dapat mengumpulkan dana Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS). Dana ZIS dapat disalurkan melalui pembiayaan Qardul Hasan, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya terjadi pemerataan ekonomi.

6. Peningkatan efisiensi mobilisasi dana, artinya, adanya produk almudharabah al- muqayyadah, berarti terjadi kebebasan bank untuk melakukan investasi atas dana yang diserahkan oleh investor, maka bank syari’ah sebagai financial

(34)

arranger, bank memperoleh komisi atau bagi hasil, bukan karena spread bunga.30

C. Produk Perbankan Syariah

Pengembangan produk bank syariah dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:

1. Produk penghimpun dana

a. Prinsip wadi’ah

Wadi’ah merupakan titipan murni dari satu pihak kepada pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kepada si penitip kapan saja si penetip menghendaki. Prinsip wadi’ah dalam produk bank syariah dapat dikembangkan menjadi dua jenis, yaitu:

1) Wadi’ah yad-amanah. Prinsipnya, harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dititipi (Bank). Aplikasi: save deposit box.

2) Wadi’ah yad-dhamanah. Pihak yang dititipi (bank) boleh menggunakan dan memanfaatkan harta titipan. Aplikasi: giro, tabungan berjangka b. Prinsip mudharabah

Aplikasi dalam prinsip ini adalah bahwa deposan atau penyimpan bertindak sebagai shahibul mal (pemilik dana) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Rukun mudharabah

(1) Ada pemilik dana

(2) Ada usaha yang akan dibagi hasilkan (3) Ada nisbah

30Ibid, hal 7

(35)

(4) Ada ijab kabul

Prinsip mudharabah dalam produk bank syariah dapat dikembangkan untuk jenis produk giro, tabungan, maupun deposito.

2. Produk penyalur dana

Produk penyalur dana di bank syariah dapat dikembangkan dengan tiga model, yaitu:

a. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli.

Prinsip jual beli ini dikembangkan menjadi bentuk-bentuk pembiayaan sebagai berikut:

1) Murabahah, merupakan akad jual beli antara bank dengan debitur, bank membeli barang dan menjual kepada debitur sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati.Murabahah diterapkan untuk pembiayaan investasi, konsumtif, dan produktif.

2) Salam, merupakan akad jual beli barang pesanan (muslam fiih)antara pembeli (muslam) dengan penjual (muslam ilaih).Spesifikasi (jenis, ukuran, jumlah, mutu) dan harga barang disepakati di awal akad dan pembayaran dilakukan di muka secara penuh. Apabila bank bertindak sebagai penjual, kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang tersebut salam paralel. Salam diterapkan untuk pembelian produk pertanian.

3) Istishna, adalah akad jual beli (mashnu’) antara pemesan (mustashni’) dengan penerimaan pesanan (shani). Pembayaran dilakukan sesuai

(36)

dengan kesepakatan (bisa dimuka, cicilan, dan di akhir). Apabila bank bertindak sebagai shani’ kemudian menunjuk pihak lain untuk membuat barang disebut istishna paralel. Istishna diterapkan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.

b. Transaksi pembayaran yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa. Pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada obyek transaksinya, bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah obyek transaksinya jasa.

c. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk usaha kerja sama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil. Produk bagi hasil untuk produk pembiayaan di bank syariah dioperasionalkan dengan pola-pola sebagai berikut:

1) musyarakah, adalah kerja sama dalam suatu usaha oleh dua pihak.

2) mudharabah, kerja sama dengan mana shahibul maal memberikan dana 100% kepada mudharib yang memiliki keahlian

3. Produk jasa

a. Al-hiwalah (alih utang-piutang), transaksi pengalihan utang piutang.

Dalam praktek perbankan fasilitas hawalah lazimnya digunakan untuk membantu pemasok mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang.

(37)

b. Ar-rahn (gadai), untukmemberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria:

1) milik debitur sendiri

2) jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar 3) dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.

c. Al-qardh (pinjam kebaikan), digunakan untuk membantu keuangan debitur

secara cepat dan berjangka pendek. Produk ini digunakan untuk membantu usaha kecil dan keperluan sosial. Dana ini diperoleh dari dana, zakat, infak, dan shadaqah.

d. Al-wakalah. Debitur memberi kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti: transfer, dan sebagainya.

e. Al-kafalah, bank garansi digunakan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan debitur untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Bank dapat ganti biaya atas jasa yang diberikan.31

31 Muhammad, Pengantar Akuntansi Syariah, Edisi Kedua, (Jakarta: Salemba Empat, 2005), hal.177

(38)

BAB III

TINJAUAN UMUM MENGENAI AKAD MUDHARABAH

E. Pengertian dan Jenis Akad Mudharabah

Istilah mudharabah berasal dari kata dharb, artinya memukul atau berjalan.

Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis, al-Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shohibul maal) menyediakan 100% modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.

Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian itu.32

Para fuqaha dan sebagian para sejarawan muslim secara umum mendefinisikan mudharabah sebagai kerja sama antar dua pihak, yaitu pihak pertama memberikan tenaga atau kerja. 33

32Muhammad Syafii Antonia, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta:Gema Insani, 2001), hal. 97

33 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah di Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal 27

Definisi umum mudharabah secara fiqih, yaitu kontrak khusus antara pemilik modal dan pengusaha dalam rangka mengembangkan usaha yang berasal dari pihak pertama dan kerja dari pihak kedua, mereka bersatu dalam keuntungan dengan pembagian berdasarkan persentase, jika usaha mendatangkan keuntungan, maka laba dibagi berdasarkan kesepakatan yang

(39)

terjalin antara keduanya, jika modal tidak mempunyai kelebihan atau kekurangan, maka tidak ada dibagi pemilik modal selain modal pokok tersebut,34 begitu pula dengan pengusaha tidak mendapatkan apa-apa, jika proyek rugi yang mengakibatkan hilangnya modal pokok maka kerugian itu sedikit ataupun banyak ditanggung oleh pemilik modal. Tidak diperkenankan kerugian itu ditanggung oleh pengusaha dan menjadikannya sebagai jaminan bagi modalnya kecuali proyek itu didasarkan pada kontrak pinjaman dari pemilik modal kepada pengusaha. Jika demikian, maka pemilik modal tidak mendapatkan keuntungan tersebut.35

Undang-Undang Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008 Pasal 1 ayat (25) yang dimaksud pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil, sewa-menyewa jasa berdasarkan persetuuan atau kesepakatan antara Bank Syariah/UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai/ diberi fasilitas dana untuk mengembalika dana tersebut setelah jangka waktu yang telah ditentukan dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.36

Mudharabah adalah akad antara pihak pemilik modal (shahibul mal) dengan pengelola (mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan.37

34Ibid, hal 27-28

35Ibid

36 Anggota IKAPI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, Lima Undan-Undang Moneter dan Perbankan, (Bandung: Fokusmedi, 2009), hal138

37Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta:Pranada Media, 2005), hal 130

Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati di awal akad. Aplikasinya dalam perbankan Islam pada penghimpunan dana, yaitu pada deposito dan tabungan. Di sini antara bank dan

(40)

debitur penyimpan telah melakukan kesepakatan di awal akad mengenai nisbah bagi hasil. Dana debitur yang disimpan di bank akan dikelola oleh bank untuk mendapatkan keuntungan. Hasil pengelolaannya itulah yang kemudian harus dibagikan di antara bank dan debitur.

Murabahah adalah akad jual-beli barang dengan menyertakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.38 Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan ataupun tanpa pesanan. Di dalam murabahah berdasarkan pesanan, BMT melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari debitur. Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual sedangkan harga beli harus diberitahukan. Jika BMT mendapatkan potongan dari pemasok, maka potongan itu merupakan hak debitur. Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad, maka pembagian potongan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat berdasarkan akad.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa mudharabah adalah bentuk kontrak antara dua pihak yang satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan seluruh modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yaitu pengelola usaha dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola usaha.

Secaraumum,mudharabah terbagimenjadiduajenisantaralain sebagaiberikut:

38 Ikatan Akuntan Indonesia, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. (Jakarta:Salemba Empat, 2007), hal 102

(41)

1. MudharabahMuthlaqah

Mudharabah Muthlaqahadalahbentukkerjasamaantara shahibulmaaldanMudharibyangcakupannyasangatluas dantidak dibatasiolehspesifikasijenisusaha,waktudantempat.

2. MudharabahMuqayyadah

Mudharabah Muqayyadahadalahkerjasamamudharabah dimanaShahibulMaalmembatasiMudharib antaralainmengenaijenis usaha,waktudantempat.39

Istilah “akad” dalam hukum Islam disebut “perjanjian” dalam hukum Indonesia. Kata akad berasal dari kata alaqd yang berarti mengikat,menyambung atau menghubungkan (ar-rabt). 40 Selanjutnya, dikemukakan akad (perjanjian) menurut Pasal 262 Mursyid al-Harian, yaitu pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad. Akad, yaitu pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.41

Akad Mudharabah adalah akad yang oleh para ulama telah disepakati akan kehalalannya. Karena itu, akad ini dianggap sebagai tulang punggung praktek perbankan syariah. Dewan Syariah NasionalMajelis Ulama Indonesia (DSNMUI) telah menerbitkan fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi

39MuhammadSyafi’iAntonio,BankSyariahdariTeorikePraktik, Cetakan Pertama( Jakarta:

Gema Insani,2001), hal97.

40S. Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat.

(Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hal 65

41Ibid

(42)

pedoman bagi praktek perbankan syariah, akan tetapi praktek bank syariah yang dilakukan saat ini perlu ditinjau ulang.42

Syahdeini menyatakan bahwa Akad mudharabah merupakan suatu transaksi investasi yang berdasarkan kepercayaan. Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam akad mudharabah yaitu kepercayaan dari pemilik dana kepada pengelola dana. Oleh karena itu kepercayaan merupakan unsur terpenting, maka mudharabah dalam istilah bahas inggris disebut trust financing. Pemilik dana yang merupakan investor disebut beneficial ownership atau sleeping partner, dan pengelola dana disebut managing trustee atau labour partner.43

F. Dasar Hukum dan Rukun dan Syarat Mudharabah

Akad mudharabah ini selain digunakan dalam perbankan syariah juga digunakan dalam asuransi syariah. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional investasi dana dilakukan ke lembaga keuangan yang menggunakan bunga.

Menurut Ijma’ Ulama, mudharabah hukumnya boleh (jaiz). Hal ini dapat diambil dari kisah Rasulallah yang pernah melakukan mudharabah dengan Siti Khadijah. Siti Khadijah sebagai pemilik dana dan Rasulallah sebagai pengelola dana. Lalu Rasulallah membawa barang dagangannya ke Negeri Syam. Dari kisah ini kita lihat akad mudharabah telah terjadi pada masa Rasulallah sebelum diangkat

42 Hidayati Nasrah, Analisis Akad Mudharabah di Perbankan Syariah. Jurnal UIN Sultan Syarif Kasim Riau Al-Iqtishad Edisi 11 Volume 1 Tahun 2015, hal 17

43 Syahdeini, Perbankan Islam dalam Kerangka Hukum Perbankan Nasioal, Jakarta 2008, hal. 123

(43)

menjadi Rasul.44

1. Al-Qur’an

Mudharabah telah dipraktekkan secara luas oleh orang-orang sebelum masa Islam dan beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW. Jenis bisnis ini sangat bermanfaat dan sangat selaras dengan prinsip dasar ajaran syariah, oleh karena itu akad ini diperbolehkan secara syariah. Para Ulama mazhab sepakat bahwa mudharabah hukumnya dibolehkan berdasarkan AI-Qur'an, Sunnah, Ijma, adapun dalil-dalil yang membahas tentang mudharabah yaitu, antara lain :

Akad Mudharabah dibolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak diantara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara itu banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar tolong menolong dalam pengelolaan modal tersebut, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal tersebut.45

2. Hadis

Sebelum Rasulullah diangkat menjadi Rasul, Rasulullah pernah melakukan Mudharabah dengan Khadijah, dengan modal dari Khadijah. Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan.

3. Ijma’

Ibnu Syihab pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Humaid dari bapaknya dari kakeknya: “Bahwa Umar bin Khattab pernah memberikan harta anak

44 Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2009), hal 131

45 http://infodakwahislam.wordpress.com/diakses tanggal 21 Juli 2017

(44)

yatim dengan cara Mudharabah. Kemudian Umar meminta bagian dari harta tersebut lalu dia mendapatkan (bagian). Kemudian bagian tadi dibagikan kepadanya oleh Al-Fadhal. ”Ibnu Qadamah dalam kitab Al-Mughni dari malik bin Ila’ bin Abdurrahman dari bapaknya: “Bahwa Utsman telah melakukan qirad (Mudharabah)”.

Semua riwayat tadi didengarkan dan dilihat oleh sahabat sementara tidak ada satu orang pun mengingkari dan menolaknya, maka hal itu merupakan ijma’

mereka tentang kemubahan Mudharabah ini.

Rukun Mudharabah, meliputi:

1. Pelaku akad, yaitu shahibul mal (pemodal) adalah pihak yang memiliki modal tetapi tidak bisa berbisnis, dan mudharib (pengelola) adalah pihak yang pandai berbisnis, tetapi tidak memiliki modal;

2. Objek akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh);

3. Shighah, yaitu ijab dan qabul. 46

Syarat-syarat mudharabah adalah sebagai berikut:

a. Syarat yang berkaitan dengan orang yang melakukan transaksi,harus orang yang cakap bertindak atas nama hokum dan cakap diangkat sebagai wakil

b. Syarat yang berkaitan dengan modal, yaitu:

1) Berbentuk uang 2) Jelas jumlahnya 3) Tunai

4) Diserahkan sepenuhnya kepada pedagang atau yang mengelola47

46 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 62.

(45)

Apabila modal berbentuk barang, menurut ulama tidak diperbolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian juga halnya dengan hutang, tidak bisa dijadikan sebagai modal mudharabah. Namun apabila modal itu berupa al-wadi’ah (titipan) pemilik modal kepada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah. Syarat yang berkaitan dengan keuntungan, bahwa pembagian keuntungan arus jelas persentasenya seperti 60% : 40%, 50% : 50% dan sebagainya menurut kesepakatan bersama.48

G. Mudharabah sebagai Produk Pembiayaan Perbankan Syariah

Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, maka menurut ulama mazhab Hanafi akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya, apabila pemilik modal mensyaratkan ahwa kerugian harus ditanggung bersama, maka akad itu batal menurut mazhab Hanafi, sebab kerugian tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal. Oleh sebab itu mazhab Hanafi menyatakan bahwa mudharabah itu ada dua bentuk, yaitu mudharabah shahihah dan mudharabah faasidah.

Lembaga keuangan mikro syariah memiliki beberapa produk pembiayaan, yaitu produk pembiayaan mudharabah, pembiayaan musyarakah dan pembiayaan murabahah. Produk pembiayaan diharapkan dapat berjalan seimbang karena sangat bermanfaat untuk masyarakat. Namun pada praktiknya, sebagaian besar lembaga keuangan mikro syariah masih memprioritaskan penerapan produk yang dianggap aman dan profitable. Lembaga keuangan mikro syariah memang

47 M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta, Rajawali Pena, 2000), hal 169

48Ibid

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan keuangan suatu perusahaan dari waktu ke waktu akan diketahui melalui analisis laporan keuangan yang pada dasarnya adalah hasil akhir dari proses akuntansi

PRA-RANCANGAN PABRIK DIBUTYL PHTHALATE DARI PHTHALIC ANHHYDRIDE DAN N-BUTANOLDENGAN KALATIS ASAM SULFAT.. KAPASITAS

Hal ini terbukti bahwa pendidikan kesehatan tentang pencegahan HIV/AIDS cukup efektif dan efisien serta memberikan pengaruh untuk meningkatkan pengetahuan remaja

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diajukan maka penulis merumuskan satu rumusan masalah yang akan diteliti lebih lanjut yaitu bagaimanakah hubungan

berencana untuk revisi target kredit ke atas menjadi sekitar 16% di semester II 2016 dari target pertumbuhan kredit13%-15% di semester I 2016 apabila terjadi ekses

ke kanan makin kecil.. Dalam satu golongan, konfigurasi unsur-unsur satu golongan mempunyai jumla elektron valensi sama dan jumlah kulit bertambah. Akibatnya, jarak elektron

Grafik hasil analisis data air murni Dari hasil analissi data diperoleh nilai koefisien viscositas larutan gula ditunjukan pada tabel 1.. Hasil perhitungan viskositas

“pihak sekolah sudah sangat bagus dalam hal meningkatkan skill peserta didik di sekolah ini, diantaranya melengkapi dan mengadakan sarana-sarana yang dibutuhkan