• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Sengketa dalam Sistem Bagi Hasil pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan

BAB III TINJAUAN TINJAUAN UMUM MENGENAI AKAD MUDHARABAH

KEDUDUKAN DEBITUR DALAM SISTEM BAGI HASIL PADA BANK SYARIAH

C. Penyelesaian Sengketa dalam Sistem Bagi Hasil pada PT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan

Konflik terjadi bila dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan berkembang menjadi sebuah sengketa bila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain.71

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua proses, yaitu penyelesaian sengketa di dalam pengadilan dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Proses penyelesaian sengketa tertua adalah melalui proses litigasi di dalam pengadilan. Pengadilan dijadikan the firstand astresort dalam penyelesaian sengketa. Setiap penyelesaian sengketa yang timbul di dalam masyarakat diselesaikan melalui pengadilan, karena dianggap dapat memberikan keputusan yang adil namun ternyata belum memuaskan banyak pihak, terutama .pihak-pihak yang bersengketa, karena hanya menghasilkan kesepakatan yang bersifat

Apabila para pihak dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik, maka sengketa tidak akan terjadi, namun bila terjadi sebaliknya para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai solusi pemecahan masalahnya maka sengketa yang timbul.

70Syahnun Asputraselaku supervisorPT. Bank BPR Syariah Al-Washliyah Medan.

Tanggal 14 Agustus 2017

71 Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi. “Sengketa dan Penyelesaiannya”. Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun 1. (Jakarta: Indonesian Centre for Environmentar Law 1997), hal. 1.

adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsi dan menimbulkanpermusuhan di antara pihak yang 'bersengketa, serta banyak terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya, hal tersebut meresahkan masyarakat umum dan juga dunia bisnis, sebab jika tetap mengandalkan pengadilan sebagai satusatunya penyelesaian sengketa, tentu dapat mengganggu kinerja pebisnis dalam menggerakkan roda perekonomian, serta memerlukan biaya yang relatif besar. Untuk itu dibutuhkan institusi baru yang lebih efisien dan efektif dalam menyelesaikan sengketa bisnis. `

Selanjutnya berkembanglah proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama di luar pengadilan, yang dianggap dapat mengakomodir kelemahan-kelemahan litigasi dan memberikan jalan keluar yang lebih baik dari pengadilan.

Proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat win-win solution, menjamin kerahasiaan sengketa para pihak, menghindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensifdalam kebersamaan, dan tetap menjaga hubungan baik.

Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilandapat dibagi menjadi dua, yaitu arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

a. Arbitrase

Di bawah ini ada sejumlah batasan yang diberikan oleh para ahli hukum, tentang arbitrase atau perwasitan. M.N Purwosutjipto mengartikan:

“Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa, dan diadili oleh hakim yang tidak

memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak”72

Batasan yang lebih rinci lagi dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad:

“Arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus dalam perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan kehendak bebas dari para pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah teijadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam Hukum Perdata”.73

1) Cepat dan hemat biaya. Proses beracara di pengadilan negeri terlalu memakan waktu, karena litigasi yang berjalan secara normal saja bisa membutuhkan waktu antara 6 (enam) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun untuk mencapai putusan pengadilan. Belum lagi jika diajukan banding terhadap putusan tersebut, maka keseluruhan proses beracaranya dari tingkat pertama sampai Mahkamah Agung bisa mencapai tahunan sebelum putusannya final dan binding. Sedangkan dalam arbitrase, jangka waktu arbitrasenya telah ditentukan terlebih dahulu. Arbitrase lebih murah dari litigasi, sebab tidak ada kemungkinan kasasi terhadap putusan arbitrase. . Dengan demikian, perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan secara tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa atau perselisihan perdata kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. Dengan adanya kesepakatan tertulis tadi, berarti meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke pengadilan negeri. Selanjutnya pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan dalam menyelesaikan sengketa yang sudah ditetapkan melalui arbitrase.

Kekuatan penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah sebagai berikut:

2) Pilihan arbiter. Kebebasan untuk memilih arbiter, kecuali untuk hal-hal yang berkaitan dengan pajak atau kepailitan. Hakim di pengadilan pada dasarnya hanya memiliki pengetahuan secara umum tanpa mempunyai spesialisasi tertentu pada (masalah yang disengketakan. Di dalam

72 M.N Pun/vasutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Buku Kedelapan:

Perwasitan, Kepailitan, dan Penundaan Pembayaran, (Jakarta:Djambatan, 1992), hal. 1.

73 Abdulkadir Muhammad. Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia. (Bandung:Citra Bakti, 1993), hal. 276.

arbitrase, para pihak mempunyai kebebasan memilih orang-orang yang mengetahui, mengerti, dan memahami masalah yang disengketakan sebagai arbiter, sehingga lebih menjamin bahwa keputusan akan diambil secara komprehensif dan kompronüstis yang memuaskan kedua belah pihak.

3) Kerahasiaan. Di dalam arbitrase, proses acaranya dilakukan secara tertutup, tidak terbuka untuk umum, sehingga para pihak dapat merasa aman bahwa penyelesaian sengketa mereka tidak akan diketahui oleh publik.«Para pihak dapat memilih arbitrase ad/hoc atau arbitrase institusional, seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang sekarang berubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), atau Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI).

4) Kerahasiaan. Di dalam arbitrase, proses acaranya dilakukan secara tertutup, tidak terbuka untuk umum, sehingga para pihak dapat merasa aman bahwa penyelesaian sengketa mereka tidak akan diketahui oleh public. Para pihak dapat memilih arbitrase ad.hoc atau arbitrase institusional, seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang sekarang berubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), atau Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI).

5) Kepekaan arbiter. Ciri penting lainnya adalah kepekaan atau kearifan dari arbiter terhadap perangkat aturan yang akan diterapkan oleh arbiter pada perkara-perkara yang ditanganinya.

6) Kepercayaan dan keamanan. Arbitrase pada umumnya menarik bagi para pedagang atau investor, sebab arbitrase memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas, juga secara relatif memberikan rasa aman terhadap keadaan tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda.74

Kelemahan dari arbitrase adalah sebagai berikut:

1) Pada praktiknya putusan dari arbitrase tidak dapat langsung dieksekusi, tapi harus meminta eksekusi dari pengadilan.

2) Pengadilan seringkali memeriksa ulang kasus yang ditangani oleh arbiter, sehingga terjadi dua kali proses pemeriksaan sengketa, padahal hal tersebut tidak boleh dilakukan karena putusan yang dikeluarkan oleh

74Mariam Darus Badrulzaman. “Peranan BAMUI dalam Pembangunan Hukum Nasional"

dalam Buku Arbitrase Islam di Indonesia. (Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat lndonesia bekerja sama dengan Bank Muamalat, 1994), hal. 59.

arbiter bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.75

b. A1tenatif Penye1esaian Sengketa

Terdapat berbagai bentuk alternatif yang digunakan oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa yaitu dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian para ahli.

1) Konsultasi

Menurut B1ack's Law Dictionary, konsultasi adalah “aktivitas konsultasi atau perundingan seperti klien dengan penasihat hukumnya". Selain itu konsultasi juga dipahami sebagai pertimbangan orang-orang (pihak) terhadap suatu masalah. Konsultasi sebagai pranata alternatif penyelesaian sengketa dalam praktiknya dapat berbentuk menyewa konsultan untuk dimintai pendapatnya dalam upaya penyelesaian suatu masalah. Dalam hal ini konsultan tidak dominan, melainkan hanya memberikan pendapat hukum yang nantinya dapat dijadikan rujukan para pihak untuk menyelesaikan sengketa.

2) Negosiasi

Negosiasi menurut Goodpaster adalah suatu proses untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Sedangkan menurut Fisher dan Ury, negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki kepentingan yang sama maupun berbeda, tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah, baik pihak

75 Pasal 60 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

ketiga yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediator) atau pihak ketiga yang berwenang mengambil keputusan (ajudikator).76

3) Mediasi

Menurut Blacks Law Dictionary Mediation is private, informal dispute resolution process in which neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to impose a decision on the parties. Tidak seperti arbiter atau hakim, seorang mediator tidak membuat keputusan mengenai sengketa yang terjadi, tapi hanya membantu para pihak untuk mencapai tujuan mereka dan menemukan pemecahan masalah. Mediasi menawarkan Win-win solution tidak seperti arbitrase dan litigasi, ada yang menang dan ada yang kalah.

Mediasi mempunyai beberapa kekuatan, antara lain sebagai berikut:

a) Kontrol dipegang oleh para pihak. Merekalah yang memegang kendali atas jalannya penyelesaian sengketa dan hasihiya.

b) Efisien. Para pihak dapat menghemat waktu bulanan, bahkan tahunan daripada melalui litigasi, dan juga menghemat biaya-biaya yang akan dikeluarkan jika sengketa dilakukan melalui pengadilan.

c) Komunikasi yang lebih efektif. Mediasi memberikan kesempatan para pihak untuk berkomunikasi lebih efektif dan menemukan akar permasalahan yang sebenarnya, tanpa mengesampingkan aspek hukumnya.

76Ibid

d) Fleksibel. Prosesnya fleksibel dan dapat dibuat dalam bentuk yang kira-kira paling cocok untuk mencapai tujuan.

e) Pribadi dan rahasia. Para 'pihak dapat menyelesaikan sengketa secara pribadi dan rahasia, dan menghindari publikasi, yang bisa saja menimbulkan akibat negatif bagi perusahaan.

f) Dasar bagi penyelesaian sengketa. Ketika suatu sengketa tetap tidak bisa diselesaikan melalui mediasi, maka mediasi yang telah dilakukan sebelumnya tetap menjadi dasar untuk penyelesaian sengketa, baik yang dilakukan sendiri oleh para pihak maupun oleh mediator.

Secara umum, bila dilaksanakan dengan baik, mediasi akan menghasilkan solusi sesuai dengan yang diinginkan dari para pihak. Kelemahan dari mediasi hanyalah bila tugas yang dijalankan oleh mediator tidak berjalan secara maksimal karena berbagai kendala, sehingga menghasilkan solusi yang tidak memuaskan para pihak. Selain itu kesepakatan yang dibuat merupakan gentle agreement, dapat saja dilanggar atau tidak dilaksanakan bila memang tidak ada iktikad baik dari para pihak.

4) Konsiliasi

Menurut BIack's Law Dictionary, konsiliasi adalah "penciptaan penyesuaian pendapat dan penyelesaian suatu sengketa dengan suasana persaha-batan dan tanpa ada rasa permusuhan yang dilakukan di pengadilan sebelum dimulainya persidangan dengan maksud untuk menghindari proses litigasi".

5) Pendapat atau penilaian ahli

Rumusan Pasal 52 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, dinyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan tugas dari Lembaga Arbitrase sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (8) yang berbunyi Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

Sistem penyelesaian sengketa menurut hukum Islam tidak jauh berbeda dari Hukum Nasional, yaitu melalui perdamaian (sulh/ishlah), melalui arbitrase (tahkim), dan melalui pengadilan kekuasaan kehakiman (wilayat al-Qadla).

1. Perdamaian (SuIh/Ishlah)

Ishlah secara harfiah mengandung pengertian "memutus pertengkaran atau perselisihan”. Dalam pengertian syariah dirumuskan sebagai berikut: "Suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (perselisihan) antara dua orang yang berlawanan”.77

Dalam perdamaian ini terdapat dua pihak, yang sebelurnnya di antara mereka ada suatu persengketaan, dan kemudian para pihak sepakat untuk saling melepaskan semua atau sebagian dari tuntutannya, hal ini dimaksudkan agar persengketaan di antara mereka (pihak yang bersengketa) dapat berakhir.

Masing-77 Sayyid Sabiq, Fikih.$unnah, (Bandung:: al Maarif, 1996), hal. 189.

masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syariah Islam diistilahkan dengan Mushalih, sedangkan objek yang diperselisihkan oleh para pihak disebut dengan Mushalih 'anhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain untuk mengakhiri pertengkaran dinamakan Mushalih 'alaihi Perdamaian dalam syariah Islam sangat dianjurkan, sebab dengan adanya perdamaian di antara para pihak yang bersengketa, maka akan terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungan kasih sayang) di antara para pihak, dan sekaligus permusuhan di antara para pihak akan dapat diakhiri.

a) Dasar hukum

Anjuran diadakannya perdamaiandi antara para pihak yang bersengketa dapat dilihat. dalam ketentuan AlQur'an, Sunnah-Rasul, dan Ijma”.

1) Da1am Al-Qur’an

QS. al-Hujaraat (49) ayat 9, yang artinya sebagai berikut:78

2) Hadits

“Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka danuzikanlah antara keduanya. ]ika salah satu dari kedua golonganlitu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adilah.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.

Dari Abu Daud, At Tirmizi, Ibnu Majah, Al Hakim dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari 'Amar bin Auf, bahwa Rasulullah SAW., bersabda sebagai berikut:

“Perjanjian di antara orang-orang muslim itu boleh, kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”.

At Tirmizi dalam hal ini menambahkan: ”Dan (Muamalah) orang-orang muslim itu berdasarkan Syarat-syarat mereka". Sedangkan salah seorang sahabat Rasul SAW. Umar ra. pernah mengungkapkan:

“Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian di antara mereka (pihak yang bersengketa)".79

78 Wirdyaningsih, Op.Cit., hal.282.

79 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam.

(Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hal. 27.

Pendapat Umar ra. ini tentunya dapat diterima, sebab penyelesaian sengketa melalui pengadilan pada hakikatnya hanyalah penyelesaian yang bersifat formalitas belaka, dan para pihak dipaksakan untuk menerima putusan

tersebut, walaupun terkadang putusan badan peradilan itu tidak memenuhi rasa keadilan para pihak yang bersengketa.

Konsekuensinya, terkadang masih ada lagi lanjutan persengketaan itu di luar sidang. Bahkan sering salah satu pihak bertindak main hakim sendiri untuk memenuhi rasa keadilannya.

3) Dasar hukum yang lain adalah ijma, yaitu para ahli hukum bersepakat bahwa penyelesaian pertikaian di antara para pihak yang bersengketa telah disyariatkan dalam ajaran Islam.

b) Rukun dan syarat sahnya perjanjian perdamaian Rukun dari perjanjian perdamaian adalah:80

(1) adanya ijab;

(2) adanya kabul; dan (3) adanya Jafar ` »

Ketiga rukun ini sangat penting artinya dalam suatu perjanjian perdamaian, sebab tanpa adanya ijab, kabul, dan lafattidak diketahui adanya perdamaian di antara mereka. Apabila rukun ini telah terpenuhi, maka dari perjanjian perdamaian itu lahirlah suatu ikatan hukmn, yaitu masing-masing pihak berkewajiban untuk menaati isi perjanjian. Perjanjian itu dapat dipaksakan pelaksanaannya, tidak dapat dibatalkan secara sepihak dan kalaupun dibatalkan harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan kepada hal berikut ini.81

1) Perihal subjek. Orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap bertindak menurut hukum, danjuga harus mempunyai kekuasaan

80Ibid, hal. 28.

81 Sabiq. Op.Cit., hal. 190-195.

atau kewenangan untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian itu.

2) Perihal objek perdamaian. Harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a) Berbentuk harta (baik berwujud maupun tidak berwujud) yang dapat dinilai, diserahterimakan, dan bermanfaat.

b) Dapat diketahui secara jelas, sehingga tidak menimbulkan kesamaran dan ketidakjelasan, yang dapat menimbulkan pertikaian yang baru.

c) Sengketa yang boleh didamaikan .

1) Sengketa tersebut berbentuk harta yang dapat dinilai.

2) Menyangkut hak manusia yang boleh diganti. Dengan kata lain perjanjian perdamaian hanya sebatas pada persoalan-persoalan muamalah saja (hubungan keperdataan). Sedangkan persoalan-persoalan yang menyangkut hak Allah SWT tidak dapat diadakan perdamaian.82

2. Arbitrase

Arbitrase yang dalam Islam dikenal dengan istilah al-tahkim merupakan bagian dari al-qadla (peradilan).83

82 Hal yang sama juga berlaku dalam ketentuan hukum lndonesia, perjanjian perdamaian itu hanya sebatas pada persoalan-persoalan hubungan keperdataan, sedangkan pelanggaran terhadap ketentuan pidana, merupakan kewenangan publik.

83 Said Agil Husen Munawar. “Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam" dalam buku Arbitrase Islam di Indonesia. (Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat lndonesia bekerjasama dengan Bank Muamalat, 1994), hal. 47.

Seperti yang dikemukakan oleh para sarjana muslim, yakni Ibnu Farhun mengatakan: "Wilayah tahkim adalah wilayah yang didapatkan dari perseorangan. Ini merupakan bagian dari al-qadla yang

berhubungan dengan harta benda, bukan dengan al-hudud dan al-qishas.84 Juga Ibnu Nu'jaim pernah berkata: ”Al-tahkim adalah bagian dari alqadla”.85

a) Kekuatan keputusan-hakam.

Landasan hukum untuk memperbolehkan arbitrase, baik yang bersumber dari Al-Qur'an, Sunnah, maupun ijma”, bila ditelaah dengan saksama, pada prinsipnya berisi anjuran untuk menyelesaikan perselisihan dengan jalan damai. jalan damai adalah cara yang paling utama menurut ajaran Islam. Namun bila jalan damai telah ditempuh dan tidak berhasil untuk menemukan jalan keluarnya atau masing-masing pihak masih tetap pada pendiriannya, maka mereka bisa meminta kepada pihak ketiga yang untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka (Hakam).

Ahli Hukum Islam dari kalangan pengikut Abu Hanifah, Ibnu Hambal, dan Imarn Malik menyimpulkan bahwa karena kedua belah pihak telah setuju untuk memilih hakam itu untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka, maka apa yang menjadi keputusan dari hakam itu langsung mengikat tanpa lebih dahulu meminta persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan kalangan pengikut Imam Syafi'i berpendapat bahwa putusan hakam sama hahiya dengan fatwa yang tidak mengikat kecuali jika ada ketegasan persetujuan dari kedua belah pihak yang bersengketa.

b) Eksekusi putusan hakam.

Pada dasarnya putusan hakam itu pelaksanaannya adalah suka sama suka antara dua orang yang bersengketa. Hakam tidak mempunyai kekuatan untuk memaksa masing-masing pihak yang ternyata di kemudian hari

84 TabsjoratAI-Hukkam, jilid 1. hal. 19.

85 Al bahru al Ra 'iq, jilid VII. hal. 34.

tidak bersedia melaksanakan keputusan itu. Oleh sebab itu seperti ditegaskan oleh Abdul Karim Zaidan dalam kitabnya Nidzamul Qadla Fil-Islam, bilamana salah satu pihak tidak bersedia menepati putusan hakam itu, maka untuk eksekusinya diserahkan kepada Pengadilan Negeri untuk membantu pelaksanaan putusan itu. Menurutnya lagi, hakim tidak berhak untuk membatalkan putusan itu, selama putusan itu sejalan dengan hukum yang berlaku atau dipakai pada badan arbitrase yang memutuskannya.

3. Pengadilan biasa (A1-Oadla)

A1-qadla secara harfiahberarti antara lain memutuskan atau menetapkan.

Menurut istilah fikih kata ini berarti menetapkan hukum syara' pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara adil dan mengikat.

Lembaga peradilan semacam ini berwenang menyelesaikan perkara-perkara perdata dan pidana. Orang yang berwenang untuk menyelesaikan perkara pada pengadilan semacam ini dikenal dengan qadli (hakim). Kekuasaan qadli tidak dapat dibatasi oleh persetujuan pihak yang bertikai dan keputusan dari qadli ini mengikat kedua belah pihak.

Dasar hukum dari al-qadla:

Dalam QS. an-Nisa (4): 35 dinyatakan:

“Dan jika kamu mengkhawatirkan ada persengketaan di antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.”

Hadits Riwayat Bukhari dalam al Adab Al Mufrad atau Daud, dan An Nasa'i dari Syuraih bin Hani dari ayahnya yang berisikan:

“Ada rombongan yang datang kepada Rasul SAW dan di antaranya ada yang bergelar Abu Al Hakam, lalu Rasul mengatakan kepadanya:

Sesungguhnya Allah adalah Al Hakim dan kepada-Nya-lah Al Hukum, kenapa engkau bergelar Abu Al Hakam? jawabnya sesungguhnya kaumku, apabila terjadi perselisihan di antara mereka selalu mendatangi aku, maka tetapkanlah hukum di antara mereka, maka kelompok yang bertikai dapat menerima keputusan hukum itu, lalu Rasul berkata: alangkah bagusnya hal ini”.86

Ishlah dan Mediasi sebenarnya mempunyai konsep yang sama, yaitu suatu proses penyelesaian sengketa dengan jalan damai, yaitu para pihak yang bersengketa duduk bersama untuk mencari penyelesaian akhir dari masalah yang mereka hadapi. Keputusan yang diambil adalah atas dasar kesepakatan bersama di Secara prinsip penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial power) yang dilembagakan secara konstitusional yang lazim disebut badan yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian, yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pasal 2 UU No. 48/ 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan tegas juga memperingatkan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan-badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Di luar itu tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official dan bertentangan dengan prinsip under the authorityoaw. Namun berdasarkan Pasal 1851, 1855, 1858 KUH Per, penjelasan Pasal 3 UU No. 14/

1970, serta UU No. 30/ 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan, seperti arbitrase atau perdamaian (ishlah).

86 Al Adab Al Mufrad, hal. 282, Abu Daud Jilid lll hal. 585, An Nasa' IJilid VIII hal. 199.

mana masingmasing pihak ikhlas dan ridho atas hasil kesepakatan tersebut. Agar proses penyelesaian sengketa bisa berjalan efektif dan efisien, maka biasanya para pihak memanggil pihak ketiga yang tidak memihak dan memahami persoalan

mana masingmasing pihak ikhlas dan ridho atas hasil kesepakatan tersebut. Agar proses penyelesaian sengketa bisa berjalan efektif dan efisien, maka biasanya para pihak memanggil pihak ketiga yang tidak memihak dan memahami persoalan

Dokumen terkait