• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Profil Pelaksanaan Pelayanan Informasi Obat (PIO) pada Pasien

3. Bentuk persiapan sebelum melakukan informasi dan edukasi

Sebelum memberikan pelayanan informasi dan edukasi kepada pasien, terdapat beberapa langkah-langkah yang harus dilakukan oleh apoteker sebagai bentuk persiapan. Persiapan yang dilakukan merupakan pedoman sebelum memberikan pelayanan informasi dan edukasi kepada pasien. Persiapan sebelum memberikan informasi dan edukasi yang dilakukan oleh responden, disajikan dalam Tabel XIII sebagai berikut :

Tabel XIII. Persiapan sebelum memberikan informasi dan edukasi

Nomor Bentuk persiapan

Jumlah responden yang

melakukan persiapan, n=12 1. Pembekalan diri dengan pengetahuan tentang asma

dan pengobatan 12

2.

Pemberian informasi kepada pasien dan juga keluarga terutama untuk pasien yang mengalami masalah dalam berkomunikasi dengan mempertimbangkan latar belakang dan pendidikan pasien dan keluarganya

11

3.

Mengumpulkan dan mendokumentasikan data pasien (riwayat keluarga, gaya hidup, pekerjaan, dan pengobatan yang dijalani, obat-obat yang digunakan selain obat asma yang berpengaruh terhadap pengobatan asma)

7

4. Menggunakan sarana tambahan dalam penyampaian

informasi (peragaan inhaler dan rotahaler) 7

5.

Mempertimbangkan pemberian obat dengan jumlah, dosis yang lebih sedikit, kejadian efek samping obat yang lebih jarang terjadi serta adanya pengertian dan kesepakatan antara dokter, pasien dan apoteker untuk meningkatkan kepatuhan pasien

10

Hasil yang dipaparkan pada Tabel XIII, diketahui 5 responden melakukan persiapan sebelum memberikan informasi dan edukasi secara lengkap namun tidak terperinci. Tujuh responden tidak melakukan persiapan sebelum

memberikan informasi dan edukasi secara lengkap dimana terdapat 1 responden tidak melakukan 4 kegiatan persiapan yang seharusnya dilakukan. Kegiatan yang paling banyak tidak dilakukan adalah mengumpulkan dan mendokumentasikan data pasien (riwayat keluarga, gaya hidup, pekerjaan, dan pengobatan yang dijalani, obat-obat yang digunakan selain obat asma yang berpengaruh terhadap pengobatan asma) dan menggunakan sarana tambahan dalam penyampaian informasi (peragaan inhaler dan rotahaler). Dengan demikian dapat dikatakan sebagian responden belum memenuhi standar pelaksanaan persiapan sebelum memberikan informasi dan edukasi yang ditetapkan dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/ MENKES/ SK/ IX/ 2004.

Diketahui bentuk persiapan nomor 1 pada Tabel XIII merupakan kegiatan pembekalan diri dimana 12 responden tersebut melakukan pembekalan diri melalui pengalaman dan pendidikan yang telah diemban. Satu responden lainnya menyatakan bentuk pembekalan diri tambahan dilakukan dengan menggunakan e-book PC ataupun menggunakan program aplikasi Medscap di internet dan membaca beberapa jurnal kesehatan untuk informasi terbaru. Pembekalan diri yang dimaksud adalah pengetahuan tentang asma dan pengobatan. Hal ini merupakan kegiatan yang penting dilakukan sebelum memberikan informasi dan edukasi kepada pasien. Pembekalan diri tidak hanya berupa pengetahuan yang cukup terkait penyakit asma dan pengobatannya, namun juga berupa adanya rasa kepedulian atau perhatian yang perlu ditumbuhkan dari diri seorang apoteker terhadap pasien. Pembekalan diri akan sangat membantu bagi apoteker untuk menguasai materi-materi terkait asma dan membantu apoteker tersebut untuk

mengetahui informasi dan edukasi seperti apa yang sebaiknya diberikan kepada pasien. Penguasaan materi juga akan sangat membantu untuk meningkatkan rasa percaya diri bagi apoteker dalam memberikan informasi dan juga sekaligus membantu untuk meningkatkan rasa percaya pasien terhadap apoteker sehingga hal ini akan sangat mendukung berjalannya proses pengobatan yang baik (Depkes RI, 2007).

Dalam penerapan Pharmaceutical care seorang apoteker sebagai tenaga profesional haruslah mampu memberikan informasi kepada semua pasien, dalam hal ini adalah pasien asma. Pada beberapa kasus asma ditemukan beberapa pasien selain mengidap penyakit asma juga terkadang memiliki masalah terkait adanya keterbatasan dalam berkomunikasi, dengan demikian ketika menghadapi kondisi tersebut seorang apoteker wajib untuk mencari solusi agar pemberian informasi dan edukasi tetap dapat diberikan. Salah satu cara penanganan atau solusi yang dapat dilakukan adalah dengan melibatkan keluarga pasien, sehingga informasi dan edukasi dapat diberikan melalui keluarga pasien yang diharapkan nantinya dapat membantu dan mendukung pasien tersebut dalam proses pengobatan.

Pemecahan masalah dengan melibatkan keluarga pasien untuk menyalurkan informasi dan edukasi tidak hanya dilakukan ketika ditemui kasus seperti yang telah disebutkan. Kegiatan melibatkan keluarga juga dapat dilakukan dengan pertimbangan latar belakang atau pendidikan pasien. Latar belakang dan pendidikan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan pasien terhadap informasi dan edukasi penyakit asma serta pengobatan yang diterima. Tingkat pengetahuan ini menurut penelitian terbukti sangat mempengaruhi pemahaman dan kesadaran

pasien dalam menjalankan pengobatan yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kepatuhan pengobatan pasien (Suryaningnorma, 2009). Hal inilah yang mendasari mengapa kegiatan nomor 2 pada Tabel XIII perlu untuk dilakukan.

Bentuk persiapan pada Tabel XIII nomor 3 adalah pendokumentasian data pasien yang dilakukan untuk membantu apoteker dalam mengkaji secara dalam penyebab dari penyakit dan serangan asma yang dialami pasien serta sangat membantu apoteker untuk menetapkan informasi dan edukasi seperti apa yang sebaiknya diberikan kepada pasien dan keluarganya demi tercapainya pengobatan yang baik dan peningkatan kualitas hidup pasien karena pada dasarnya data–data yang didokumentasikan sangatlah mempengaruhi pengobatan pasien (Depkes RI, 2007). Meskipun pendokumentasian ini dilakukan oleh beberapa responden, namun tidak secara lengkap sehingga belum memenuhi standar yang ditetapkan dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/ MENKES/ SK/ IX/ 2004. Terdapat 4 responden tidak mendokumentasikan gaya hidup dan pekerjaan pasien. Seharusnya menurut penerapan Pharmaceutical care untuk pasien asma, data gaya hidup dan pekerjaan pasien wajib untuk didokumentasikan. Dua hal ini dapat mengidentifikasikan bagaimana aktivitas pasien itu sendiri sehari-harinya dan bisa saja menjadi penyebab terjadinya kekambuhan pada pasien asma (Depkes RI, 2007).

Informasi dan edukasi seperti yang dimaksud pada Tabel XIII nomor 4 tidak hanya dapat disampaikan secara lisan, namun juga dapat didukung dengan penggunaan alat peraga, dalam hal ini yaitu terkait peragaan cara penggunaan inhaler, nebulizer, dll yang merupakan alat kesehatan penting untuk pengobatan

pasien asma. Penyampaian informasi dan edukasi secara lisan dan didukung dengan peragaan secara langsung cara penggunaan alat kesehatan didepan pasien akan sangat membantu untuk meningkatkan pemahaman pasien dalam menggunakan alat kesehatan tersebut dan membantu untuk meminimalkan kesalahan dalam penggunaannya. Harapannya dengan melakukan peragaan, pasien mampu mencontoh hal tersebut dan dapat dengan telaten menggunakan alat kesehatan yang digunakan dalam pengobatan, sehingga ketika terjadi serangan asma mendadak pasien akan dengan sigap mampu menggunakan alat kesehatan (inhaler, nebulizer, dll) untuk meredahkan sesak yang dirasakan. Meskipun kegiatan ini dilakukan oleh beberapa responden, terdapat 1 responden menyatakan bahwa di apotek tempat responden bekerja memang tidak menyediakan alat kesehatan untuk pengobatan asma seperti inhaler, nebulizer, dll sehingga apoteker tersebut pun tidak pernah memberikan pelayanan kepada pasien asma dengan melakukan peragaan dan hanya melayani pasien yang datang untuk membeli obat yang penggunaannya secara oral.

Pertimbangan yang dimaksud pada Tabel XIII nomor 5 merupakan salah satu fungsi utama yang wajib dilakukan dalam Pharmaceutical care menurut Hepler and Strand (1990). Namun, fenomena yang menarik perhatian yaitu terdapat responden yang menyatakan bahwa meskipun kegiatan pertimbangan pemberian obat tersebut dilakukan, tidak jarang obat yang dibeli oleh pasien memiliki risiko terjadinya efek samping yang tinggi. Responden yang berperan sebagai apoteker dalam kasus ini telah menginformasikan hal tersebut kepada pasien dan menyarankan untuk menggunakan obat lain yang risiko efek

sampingnya lebih rendah. Namun pada akhirnya obat yang diberikan adalah tetap obat yang ingin dibeli oleh pasien di awal. Fenomena yang sama juga terjadi untuk kasus pasien yang menggunakan lebih dari satu obat asma namun pada dasarnya memiliki indikasi yang sama.

“…...kita sudah menyarankan untuk menggunakan obat lain atau mempertimbangkan apakah tetap menggunakan obat tersebut. Pada akhirnya obat yang mau dibeli pasien yang memiliki risiko efek samping yang tinggi tetap kita berikan kepada pasien”(Responden 8).

“Kadang ada pasien asma yang beli obat lebih dari satu. Biasanya kedua obat itu indikasinya sama. Cuma pada saat kita sarankan ke pasien untuk pakai salah satunya saja, pasiennya malah nggak mau. Pasien malah ngeyel mau pakai dua-duanya….ya udah mau gimana lagi” (Responden 10).

Dari pernyataan yang dipaparkan oleh responden 8 dan 10 dapat dilihat bahwa memang benar responden tersebut sebagai apoteker telah berusaha melakukan pertimbangan dalam pemberian obat ke pasien dengan tujuan tidak lain agar menghindari risiko terjadinya efek samping dan pertimbangan efisiensi penggunaan obat. Hanya saja tujuan tersebut tidak tercapai sepenuhnya karena responden yang pada saat itu berperan sebagai apoteker masih kurang mampu untuk meyakinkan pasien dan meningkatkan rasa percaya pasien terhadap apoteker yang memberikan penjelasan dan nasehat pemilihan obat yang baik. Hal ini bisa saja disebabkan oleh penggunaan bahasa atau cara komunikasi yang kurang efektif sehingga tidak tercapai kesepakatan dan pemahaman bersama antara pasien dan apoteker tersebut sehingga pasien tetap ingin menggunakan obat yang diinginkan untuk dibeli.

Tabel IX, XI, dan XIII merupakan rangkaian dari pelaksanaan pelayanan informasi obat, dilihat secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa meskipun

pelayanan informasi obat telah dilaksanakan oleh responden namun belum secara optimal dan belum memenuhi pelaksanaan standar yang ditetapkan dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/ MENKES/ SK/ IX/ 2004. Hal tersebut terlihat dari adanya beberapa kegiatan yang tidak dilakukan oleh responden ataupun dilakukan namun frekuensi pelaksanaannya jarang dan bahkan hanya diberlakukan pada pasien tertentu saja.

D. Profil Pelaksanaan Konseling pada Pasien Asma oleh Apoteker pada Sepuluh Apotek di Kota Yogyakarta

Dokumen terkait