• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Profil Pelaksanaan Pelayanan Informasi Obat (PIO) pada Pasien

6. Informasi penanganan awal asma mandiri (self care)

Penanganan awal asma mandiri (self care) merupakan perawatan untuk menangani asma pada saat terjadi serangan, dimana pasien itu sendiri yang berperan penting untuk dapat mengendalikan kondisinya. Informasi penanganan awal asma mandiri (self care) yang diberikan oleh responden kepada pasien asma dari hasil penelitian ditampilkan pada Tabel XIX sebagai berikut :

Tabel XIX. Informasi penanganan awal asma mandiri (self care)

Nomor Bentuk informasi

Jumlah responden yang melaksanakan,

n=7 1. Gunakan obat yang sudah biasa digunakan 5

2. Tetap tenang jangan panik 2

3.

Segera hubungi dokter bila dalam 15 menit tidak ada perbaikan setelah menggunakan obat dan bila napas pendek dan susah bernapas

5

Pada Tabel XIX diketahui bahwa ternyata terdapat 5 responden yang belum / tidak pernah memberikan informasi penanganan awal asma mandiri (self care) pada pasien asma. Tujuh responden yang telah memberikan informasi self carenamun tidak diberikan secara lengkap kepada pasien sesuai pada Tabel XIX dimana terdapat 3 responden tidak memberikan 2 informasi yang seharusnya disampaikan kepada pasien asma. Informasi yang paling banyak tidak diberikan kepada pasien asma adalah tetap tenang dan jangan panik. Informasi terkait cara penangan awal asma mandiri (self care) sangat penting untuk disampaikan oleh

apoteker agar pasien asma dapat mengetahui dan dengan sigap menangani kondisinya pada saat terjadi serangan terutama apabila kondisinya sangat urgent atau ketika pasien dalam keadaan sendiri saat terjadi serangan asma.

Secara keseluruhan dalam pelaksanaan konseling yang ditampilkan dimulai dari Tabel XIV, XV, XVI, XVII, XVIII dan XIX merupakan rangkaian dari kegiatan konseling dengan melihat standar yang ditetapkan dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/ MENKES/ SK/ IX/ 2004. Melihat hasil wawancara yang disajikan dalam Tabel-Tabel tersebut, diketahui terdapat 1 responden yang sama sekali tidak / belum pernah memberikan konseling pada pasien asma. Sebelas responden lainnya telah memberikan konseling pada pasien asma namun belum memenuhi standar pelaksanaan konseling yang ditetapkan dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/ MENKES/ SK/ IX/ 2004 dan juga pelaksanaannya masih belum optimal. Hal tersebut dikarenakan selain tidak lengkapnya pelaksanaan seluruh kegiatan konseling, juga ditemukan fakta bahwa pelaksanaan konseling diakui oleh 9 responden tidak dilakukan secara berkesinambungan. Hanya terdapat 2 responden yang melakukan konseling secara berkesinambungan. Penelitian lain oleh Sukmajati (2008) memberikan hasil yang sama yaitu masih terdapat responden yang tidak memberikan konseling secara berkesinambungan yaitu sebesar 56,52% responden.

Tidak dilakukannya konseling setiap saat pasien asma datang, dipertegas dengan pernyataan beberapa responden sebagai berikut :

“Konseling biasanya kalau pasien baru awal datang yang tidak pake resep, trus pasien yang baru awal datang dengan resep” (Responden 2).

“Kalau konseling walapun pernah dilakukan, tapi tidak selalu. Apalagi kalau ada pasien asma yang datang beli obat trus pasien tersebut langsung bilang nama obatnya. Na.. biasanya itu tidak dikonseling karena anggapannya pasien itu tau obat yang dia mau beli jadi dianggap pasien memang sudah terbiasa dan tau soal obatnya” (Responden 3).

“Kalau konseling ditawarkan sih nggak. Biasanya sih kita nunggu reaksi dari pasiennya dulu. Kalau pasiennya minta konseling baru kita kasih” (Responden 3).

“….. jadi yang dilakukan itu cenderung soal Pelayanan Informasi Obat (PIO). Kalaupun konseling itu perlu diberikan ke pasien, paling pelaksanaannya dilakukan nyambi-nyambi…. itupun kalau pasiennya yang minta untuk dikonseling” (Responden 5).

“Konseling biasa kita lakukan pada pasien baru pertama kali datang dengan bawah resep racikan. Tapi kalau pasiennya cuma datang beli obat aja, nggak pakai resep.. itu nggak dikasih konseling” (Responden 9).

“Konseling dilakukan hanya pada saat apotekernya ada, dan itupun dilakukan kalau memang ada pasien asma yang datang bertanya, jadi bukan kita yang menawarkan” (Responden 9).

Berikut merupakan Tabel frekuensi pelaksanaan konseling yang dilakukan oleh responden kepada pasien asma.

Tabel XX. Frekuensi pelaksanaan konseling yang dilaksanakan oleh responden

Nomor Frekuensi pelaksanaan konseling

Jumlah responden yang melaksanakan

n=11 1. Setiap saat dilakukan baik untuk pasien asma

dengan resep maupun non-resep 2

2. Hanya dilakukan di awal, bagi pasien dengan

resep/langganan 9

3. Hanya dilakukan jika pasien yang bertanya 9 4. Tidak diberikan pada pasien non-resep 9 5. Belum pernah memberikan konseling pada

pasien asma 1

Fenomena yang ditemukan dilapangan seperti yang ditampilkan pada Tabel XX ini, jika ditarik secara garis besar mempunyai alasan yang kurang lebih

sama, dimana apoteker beranggapan bahwa untuk pasien yang dengan resep maupun non-resep dianggap sudah terbiasa dengan obat yang ingin dibeli sehingga tidak perlu diberi konseling terus-menerus. Hal tersebut mungkin bisa saja dibenarkan, namun apabila dilihat dari kepentingan dan manfaat akan “konseling” itu sendiri, maka akan lebih baik apabila konseling diberikan pada pasien tidak hanya sekali saja dan semua pasien sudah seharusnya mendapatkan konseling meskipun konseling yang diberikan hanya dalam bentuk yang sederhana.

Salah satu ciri khas dari kegiatan konseling ialah pelaksanaanya tidak dilakukan hanya sekali saja tetapi seharusnya secara berkesinambungan sehingga dapat dimanfaatkan oleh apoteker untuk memonitoring kondisi pasien. Konseling yang dilakukan secara berkesinambungan pun dapat mendorong agar pasien memiliki inisiatif untuk selalu melaporkan kondisi-kondisinya terutama apabila terjadi kekambuhan dan secara tidak langsung dengan adanya komunikasi yang terus berlanjut, apoteker dapat melihat sejauh mana perkembangan dan keefektifan dari pengobatan yang dijalani oleh pasien mengingat pada dasarnya pasien yang mengidap asma itu tidak bisa disembuhkan secara total dan sebagian besar memang harus menjalani pengobatan dengan jangka waktu yang panjang (Lukmanto, 2011).

Anggapan apoteker bahwa pasien telah mengerti akan sakit dan pengobatannya akan lebih akurat apabila apoteker tersebut benar-benar menggali sejauh mana pemahaman yang dimaksud oleh pasien itu sendiri apakah sudah benar, masih keliru atau bahkan salah. Konseling tidak hanya dilakukan pada saat

terjadi masalah pada pengobatan pasien saja, tetapi konseling juga penting untuk dapat mengidentifikasi apakah terdapat masalah pada pengobatan pasien atau tidak.

“Pasien asma itu pasti lebih peka, karena sebenarnya pasien yang lebih tau kondisinya sendiri seperti apa… anggapannya pasien sudah tau kondisinya sendiri…..” (Responden 1).

“……., soalnya pasien asma itu patuh karena anggapannya pasien asma itu sudah tau penggunaan obatnya, sudah tau kalau obatnya habis ya beli lagi atau kedokter lagi” (Responden 9).

Terkadang ada pasien yang sifatnya kurang kooperatif dalam melakukan komunikasi dengan tenaga kesehatan, sehingga akan lebih baik apabila apoteker senantiasa lebih peka untuk mengajak pasien agar lebih mudah menceritakan keadaan yang dialami pasien tersebut dan menumbuhkan rasa saling percaya serta mendukung sebagaipartnerantara pasien dengan apoteker. Tidak bisa dipungkiri bahwa keterbatasan waktu dan kesibukan dalam kegiatan pelayanan yang berlangsung diapotek juga bisa menjadi salah satu faktor tidak dapat dilaksakannya konseling secara optimal dan tidak dapat menjama semua pasien asma yang sebenarnya membutuhkan konseling sehingga mungkin dengan pengelolaan management waktu, management pelaksanaan konseling, dan segala hal yang berkaitan dengan proses kegiatan pelayanan yang berlangsung di apotek sehari-hari perlu dikelolah lebih baik dan sistematis.

Pada dasarnya kegiatan konseling memang tidak harus dilakukan untuk semua pasien. Konseling dapat dilakukan pada saat-saat tertentu atau dengan pertimbangan tertentu seperti yang dimaksud pada Tabel XIV. Konseling juga bisa dilakukan tidak hanya secara aktif yaitu dimana apoteker yang memulai

komunikasi untuk melaksanakan konseling tetapi juga dapat dilakukan secara pasif dimana pasien yang terlebih dahulu memulai dengan bertanya dan meminta untuk dikonsultasi (Rantucci, 2007). Namun, seperti yang ditetapkan oleh Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI tahun (2008), bahwa keselamatan pasien (patient safety) sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab bagi apoteker sebagai bagian dari tenaga kesehatan sehingga apoteker sebaiknya lebih aktif dan peka terhadap kondisi pasien dan melakukan konseling tidak hanya bagi pasien asma yang menggunakan resep atau tidak hanya menunggu pasien yang memulai untuk bertanya. Pasien asma yang membeli obat tanpa resep atau membeli obat golongan OWA juga tetap perlu untuk diberikan konseling. Tidak menutup kemungkinan obat asma golongan OWA dapat memberikan risiko yang tidak baik bagi kondisi kesehatan pasien asma terutama apabila cara penggunaannya tidak tepat sehingga sudah sepatutnya sebagai pasien berhak untuk mendapatkan pelayanan yang sepantasnya. Terkait dengan kasus ini, maka dapat dikatakan bahwa pasien yang dalam hal ini merupakan konsumen belum mendapatkan hak dalam memperoleh pelayanan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pelindungan Konsumen pada Bab III pasal 4 mengenai hak konsumen.

E. Profil Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi pada Pasien Asma

Dokumen terkait