• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk Pertanggung Jawaban MH 370 Terhadap Penumpang dalam Hukum Internasional

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

E. Bentuk Pertanggung Jawaban MH 370 Terhadap Penumpang dalam Hukum Internasional

Misteri hilangnya pesawat Malaysia Airlines bernomor penerbangan MH370 masih terus diperbincangkan, baik oleh kalangan pemerhati penerbangan, akademisi dan intelejen. Spekulasi dan hipotesis mengenai hilangnya pesawat

44

berbendera Malaysia ini masih terus bermunculan. Yang cukup sensasional adalah misteri hilangnya pesawat MH370 ini sama sekali tidak terdeteksi oleh satelit yang paling canggih sekalipun, bahkan keberadaan black box yang berisikan data di pesawat tersebut juga belum ditemukan. Hingga saat ini, telah tujuh bulan lebih keberadaan pesawat tersebut masih terselimuti misteri dan ini membuat penasaran bagi keluarga korban ditambah pihak yang berwenang di Malaysia kerap sekali memberikan informasi yang tidak konsisten dan berubah-ubah.45

“Sebenarnya keluarga korban dapat melakukan protes dan menuntut pihak Malaysia Airlinesatasmisleading information, tetapi di sisi lain kita tidak dapat begitu saja menyalahkan Malaysia sepenuhnya karena mereka hanya berusaha menyalurkan informasi yang ada dari berbagai pihak, agar tidak ada kesan bahwa mereka sedang menutupi informasi mengenai keberadaan pesawat tersebut sebenarnya.

Dalam hal pemberian ganti rugi, pihak Malaysia Airlines tentunya akan bekerjasama dengan pihak asuransi kepada keluarga atau ahli waris korban sebagai bentuk pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Namun demikian, untuk menentukan tanggungjawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault) belum bisa ditetapkan karena belum ada kejelasan mengenai sebab musabab jatuhnya pesawat MH370 tersebut. Selama ini hipotesis dan asumsi yang berkembang adalah kehabisan bahan bakar sehingga jatuh di Samudera Hindia. Jika memang demikian, sebenarnya ada hal yang tidak beres pada pesawat Boeing buatan Amerika Serikat tersebut karena dengan kapal tersebut berubah arah maka

ada kemungkinan telah terjadi kegagalan navigasi dan kondisi pesawat tidak laik untuk terbang.

Setelah terjadinya kecelakaan pesawat udara dalam penerbangan, maka timbul pertanggungjawaban perusahaan itu atas kecelakaan pesawat udara. Namun dalam Konvensi Warsawa membatasi tanggung jawab pengangkut sampai jumlah maksimum tertentu.

Hanya dalam hal-hal yang khusus batas tersebut dapat dilampaui, tapi sebaliknya dalam keadaan dan dengan cara apapun (misalnya dengan perjanjian khusus) jumlah yang telah ditetapkan tersebut tidak dapat dikurangi. Bila dilihat bahwa dasar pemikiran diadakannya pembatasan tanggung jawab (Limitation of Liability) pengangkut udara oleh para pembuat Konvensi antara lain adalah: 7. Sebagai imbalan atas diterapkannya Prinsip Presumption of Liability dimana

beban pembuktian beralih dari pihak korban sebagai penggugat kepada pihak pengangkut sebagai tergugat.

8. Untuk melindungi perusahaan pengangkutan udara yang masih dalam taraf permulaan (masih sangat lemah) dari kemungkinan kerugian financial yang sangat besar.

9. Risiko tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada pengangkut, mengingat para penumpang atau pengirim kargo dianggap menyadari akan bahaya yang mungkin timbul dari kegiatan penerbangan yang masih dalam taraf permulaan. 10.Untuk menghindari proses berperkara di pengadilan yang berkepanjangan

11.Bagi para penumpang dan pengirim kargo masih ada kemungkinan untuk menutupi asuransi sendiri, sehingga selain santunan dari pengangkut para korban juga akan memperoleh santunan dari pengangkut para korban juga akan memperoleh santunan dari pengangkut para korban juga akan memperoleh santunan dari perusahaan asuransi

Tanggungjawab mutlak (strict liability) merupakan tanggungjawab penuh dari pihak pengangkut kepada penumpang pada saat kita membeli tiket. Oleh karena itu, penting sekali kita memberikan data identitas yang benar dan sesuai ketika kita membeli tiket agar jika terjadi sesuatu maka akan mempermudah pendataan dan proses ganti rugi. Pada saat pihak Malaysia Airlinesmengundang keluarga korban untuk datang ke Malaysia dengan menanggung seluruh biaya akomodasi selama berada di Malaysia bukan bagian dari strict liabilitytetapi bentuk itikad baik dari pihak Malaysia Airlinesuntuk menunjukkan rasa simpati kepada keluarga korban. “Apabila pihak Malaysia tidak menunjukkan itikad baiknya, kita bisa meminta bantuan dari Pemerintah Indonesia sebagai bentuk tanggungjawab negara kepada warganegaranya. Tetapi, ini sebenarnya tidak diperlukan karena ganti rugi tersebut sebagai bagian strict liability, pasti akan diberikan oleh pihak Malaysia.

Dari 96 pasal dalam konvensi Chicago 1944 tidak terdapat satu pasal pun yang menyinggung terkait dengan masalah ganti rugi akibat kecelakaan pesawat. Dalam konvensi ini hanya terdapat 2 pasal yang menyinggung masalah kecelakaan pesawat, yaitu pasal 16 tentang pencarian psawat dan pasal 26 tentang

investigasi kecelakaan. Begitu pula dalam annex-annexnya juga tidak ada yang mengatur masalah ganti rugi akibat kecelakaan pesawat.

Ketentuan internasional terkait dengan pemberian ganti rugi terhadap kecelakaan angkutan udara juga tidak dapat diaplikasikan dalam kasus kecelakaan pesawat MH370. Sebagaimana telah dibahas di atas, dalam tataran internaional terdapat beberapa konvensi yang mengatur tentang tanggung jawab perusahaan penerbangan antara lain konvensi warsawa 1929, Protokol hague 1955, protokol guatemal city 1971, montreal agreament, konvensi montreal 1991.

Konvensi warsawa 1929 merupakan ketentuan induk terkait dengan pertanggung jawaban perusahaan penrbangan sebagai pengangkut. Dalam article 1 konvensi warsawa 1929 dijelaskan bahwa konvensi ini berlaku untuk semua angkutan udara internasional (international carriage) yang mengangkut orang, barang atau kargo dengan angkutan udara. Dalam aricle 2 diterangkan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan angangkuta udara international (international carriage), pengangkut internasional adalah pengangkut yang mana berdasarkan perjanjian antara 2 pihak, yang mana antara tempat pemberangkatan dan tempat pendaratan terpisah oleh dua teritori atau dua yuridksi yang berbeda, apakah dengan pendaratan antara (intermediate landing), baik di dalam wilayah negara anggota konvensi ataupun bukan.

Hal ini berdampak bahwa, angkutan udara yang melakukan suatu pengangkutan dalam suatu negara berdaulat tanpa pendaratan di luar negri, baik negara tersebut merupakan anggota konvensi warsawa maupun bukan anggota

tetap bukan merupakan sebuang angkutan udara internasional yang mana ketentuan dalam konevensi warsawa 1929 tidak berlaku terhadapnya

F. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Korban Kecelakaan MH 370