• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

D. Tanggung Jawab Pada Kecelakaan Pesawat Terbang

Pada kegiatan seperti penerbangan dan angkutan udara dengan sendirinya terdapat risiko-risiko tertentu, yang dapat menimbulkan kerugian pada berbagai pihak. pesawat Pada peristiwa kecelakaan udara maka kerugian yang mungkin ditimbulkan pada pihak adalah sebagai berikut:33

a. Pemilik pesawat udara, berupa kehilangan pesawat udara; b. Penumpang atau ahliwarisnya (dalam hal penumpang tewas); c. Pemilik barang/muatan yang diangkut;

d. Pihak ketiga.

Pihak yang mungkin bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi pada kecelakaan pesawat udara tersebut adalah:34

a. Pembuat pesawat udara; b. Pembuat bahan bakar;

c. Perusahaan penerbangan atau pegawainya; termasuk awak pesawat; d. Pengatur lalu lintas udara;

e. Penumpang;

f. Pemilik barang/muatan g. Pihak ketiga.

33

E. Suherman, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan, Bandung : Alumni, 1979, hal.18

34

Mengenai tanggung jawab pada angkutan udara sebagaimana diatur dalam konvensi Warsawa, Konvensi Roma, Protokol Guatemala, Protokol Guadalajara dan Ordonansi pengangkutan Udara dikenal prinsip-prinsip sebagai berikut 1. Prinsip “presumption of liability

2. Prinsip “presumption of non-liability” 3. Prinsip “absolute liability

4. Prinsip “limitation of liability

Sebuah pesawat terbang, baik miliknya sendiri, maupun yang dioperate olehnya, musnah, mungkin dalam beberapa detik saja, bersama dengan seluruh penumpang, awak pesawat dan barang muatannya. Bagi sseorang ahli hokum tentunya timbul pertanyaan-pertanyaan mengenai aspek-aspek yuridis dari peristiwa itu.35

Misalnya : Tiga jumlah ganti rugi saya jumpai dalam berita-berita, pertama sejumlah Rp. 4000.000,- (kemudian dibantah), Rp. 50.000,- (asuransi jasa Raharja) dan akhirnya 12.500 gulden. Akan tetapi baiklah sebelum saya mendalami persoalan jumlah ganti rugi saya akan mencoba meneliti terlebih Setelah saya ikuti pemberitaan-pemberitaan dalam surat-surat kabar akhir-akhir ini, dapat saya tarik kesimpulan bahwa suatu aspek yuridis yang terpenting pada peristiwa semacam itu, yaitu soal tanggung jawab untuk kerugian –kerugian yang ditimbulkan, baik karena meninggalnya penumpang maupun karena musnahnya harta benda, tidak ada kepastian, malah beritanya agak simpang siur.

35

dahulu pokok-pokok persoalan mengenai tanggung jawab pada suatu kecelakaan pesawat terbang.36

Tiap peristiwa kecelakan pesawat terbang tentunya mempunyai sebab-sebab dan akibat-akibat tersendiri. Ada kecelakan yang ringan, ada yang demikian beratnya hingga dapat disebut suatu bencana yang membawa korban puluhan orang dan menimbulkan kerugian materil puluhan atau ratusan juta rupiah.

Pada umumnya pada suatu kecelakaan pesawat terbang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, beberapa pihak, yaitu: Pemllik pesawat terbang, operator pesawat terbang, pabrik pesawat terbang, penumpang, pengirim barang, Scarch and Rescue, penjual pesawat terbang, pengatur lalu lintas udara, perusahaan asuransi dan.pihak ketiga didarat atau dilaut.

Pada suatu kecelakaan dimana atau pesawat terbang langsung mencebur kelaut, sudah tidak ada pihak ketiga yang dirugikan, kecuali kalau kebetulan sekali jatuh keatas sebuah kapal.

Begitu pula pada suatu take-off yang gagal disuatu lapangan terbang tidak akan ada team-team Search and Rescue yang kadang-kadang berhari-hari naik gunung, turun gunung untuk mencari sisa-sisa pesawat terbang yang jatuh, dengan bekerja bersama dengan pesawat-pesawat terbang , baik sipil maupun militer.

Dilihat dari segi hukum khususnya maka pada tiap kecelakan, dua pihak yang memegang peranan utama yaitu pengangkut disatu pihak dan orang-orang yang dirugikan dilain pihak.

36

Tiga problema pokok akan dikemukakan, yaitu:

a. Apakah ada ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur secara khusus tanggung jawab dalam bidang pengangkutan dengan pesawat terbang?

b. Bagaimana prinsip-prinsip tanggung jawab diatur dalam peraturan-peraturan tersebut?

c. Khususnya mengenai jumlah ganti-rugi : apakah ada suatu jumlah yang pasti ? Ad. a persoalan ini erat hubungannya dengan keadaan Hukum Udara dewasa ini. Hukum Udara tidak begitu dikenal seperti Hukum laut, dan menurut pengalaman saya tidak pernah disinggung-singgung dalam kuliah Fakultas Hukum.

Bacaan mengenai Hukum Udara hampir tidak ada di Indonesia. Satu-satunya legislative adalah undang-undang tentang penerbangan (U.U.No.83 tahun 1958) yang sudah tidak up- to- date lagi dan sebagian besar hanyalah salinan dari luchtvaartbesluit (Staatsblad 1933 No. 118) dan dari Luchtvaartordonnantie (staatsblad 1934 No. 206)

Mengenai tanggung jawab harus kita bedakan apakah kecelakaan terjadi pada suatu penerbangan internasional atau dalam negeri, karena hal ini mempunyai akibat bagi pihak yang dirugikan. Perbedaan dapat kita lihat dari tiket atau surat muatan udara.

Tanggung jawab pada penerbangan internasional diatur dalam beberapa perjanjian internasional, yaitu perjanjian warsawa (1929) Protokol Den Haag (1955), Perjanjian Gua-dalajara (1961), dan Protokol Guatemala (1971). Indonesia baru turut sebagai pihak dalam perjanjian warsawa.

Perjanjian warsawa inilah yang menjadi dasar bagi peraturan yang mengatur tangung jawab pada pengangkutan dalam negeri, yaitu peraturan yang dikenal dengan nama Ordonansi pengnagkutan udara (Luchtvervoerordonnantic, Staatsblad 1939 No. 100). Oleh karena hingga kini belum ada peraturan-peraturan tentang tanggung jawab pada pengangkutan udara, maka Ordonansi inilah yang masih berlaku .

ad.b. persoalan utama yang diatur dalam Ordonansi ini adalah persoalan tanggung jawab pengangkutan. Prinsip pokok dalam Ordonansi adalah bahwa “Pengangkutan selalu dianggap bertanggung jawab”. Pihak yang dirugikan, baik penumpang maupun pengirim barang harus membuktikan besarnya kegian yang di derita. Dengan sendirinya prinsip demikian sangat berat bagi pengangkutan. Oleh karena itu sebagai imbangannya ditetapkan sebagia prinsip kedua bahwa “tanggung jawab pengangkutan terbatas sampai suatu jumlah tertentu”

Dari dua prinsip pokok diatas ada dua penyimpangan yaitu:

1. Pengangkutan bertanggung jawab sampai seluruh jumlah yang dituntut, jadi tidak terikat pada batas maksimum yang ditentukan

2. Pengangkutan bebas sama sekali dari tanggung jawab.

ad.1. Pengangkutan bertanggung jawab tanpa batas dalam dua hal yaitu:

a. Kalau ada perbuatan sengaja dari pengangkutan untuk menimbulkan kerugian, dan

b. Kalau ada suatu kesalahan berat dari pengangkutan.

Dalam hal-hal demikian beban pembuktian ada pada pihak yang menderita kerugian.

Ad.2. Pengangkutan dapat membebaskan diri dari tanggung jawab seluruhnya dalam 4 hal, yaitu:

a. Pengangkutan telah mengalami semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian timbul.

b. Pengangkutan tidak mungkin mengambil tindakan yang disebut pada a. c. Kerugian ditimbulkan karena kesalahan pada pengemudian, handling

pesawat atau navigasi, dan semua tindakan yang perlu untuk mencegah timbulnya kerugian telah diambil (mungkin dalam bahasa inggrisnya lebih jelas : “ error in piloting, Handling of the aircraft and navigation) d. Kerugian timbul dalam karena kesalahan pihak yang dirugikan

Dalam hal-hal tersebut diatas, beban pembuktian ada pada pengangkut. ad.c. Dari pihak yang dirugikan yang terpenting tentunya bukanlah pembahasan mengenai aspek-aspek yuridis yang pelik, akan tetapi berapa besarnya rugi yang dapat diterima. Yang pasti adalah jumlah yang dapat diterima oleh ahliwaris dari ansuransi Jas Raharja, Rp.50.000,-{se-karang Rp.100.000,-} yang dapat diperoleh tanpa harus membuktikan besarnya kerugian yang sebenarnya diderita. Akan tetapi tidak boleh kita lupakan bahwa jumlah ini tidak membebaskan pengangkut dari tanggung jawabnya berdasarkan Ordonansi Pengangkutan Udara.

Dalam bentuk aslinya (tahun 1939) Ordonansi ini menyebutkan beberapa jumlah, yaitu limit-limit ganti rugi untuk penumpang , barang dan bagasi, dan bagasi tangan. Suatu perjanjian antara pengangkut dan penumpang atau pengirim barang untuk menetapkan limit yang lebih rendah adalah tidak sah. Ordonansi menetapkan bahwa limit ganti rugi untuk kerugian pada penumpang berupa

cedera yang diderita atau kematian, adalah 12.500 gulden, limit ganti rugi untuk bagasi atau barang adalah 25 gulden per kilogram dan limit ganti rugi untuk bagasi tangan (bagasi yang dibawa sendiri oleh penumpang) adalah 500 gulden per penumpang .

Dengan sendirinya timbul persoalan apakah jumlah –jumlah ini dapat dipergunakan dalam tahun 1971. Secara yudiris mungkin jawabannya adalah bahwa selama belum ada ketentuan lain yang merubahnya, gulden adalah sama dengan rupiah. Secara ekonomis sudah pasti jawabannya adalah bahwa jumlah-jumlah tersebut tidak layak, kalau hanya dirupiahkan saja.

Hal-hal lain yang perlu saya kemukakan adalah bahwa ada kemungkinan pihak-pihak lain yang menimbulkan ke-rugian, misalnya pabrik pesawat terbang (karena kesalahan pembuatan}, pengatur lalu lintas udara (air traffic control), karena misalnya member petunjuk-petunjuk yang salah . Persoalan-persoalan ini tidak diatur dalam Ordonansi pengangkutan udara dan memerlukan pembahasan tersendiri.