• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

E. Besarnya Ganti Rugi Pada Kecelakaan Pesawat Terbang

Kecelakaan pesawat terbang Fokker F-27 Garuda di Beranti, Telukbetung pada tanggal 7 september 1974 mengigatkan kita untuk sekian kalinya, bahwa kita masih jauh terbelakang dalam menghargai korban-korban kecelakaan pesawat terbang.

Dalam dunia penerbangan ganti rugi untuk seorang penumpang yang tewas berkisar antara angka-angka Rp .12.500,- dan US$.100.000,- {atau

Rp.41.500.000,-}. Angka Rp .12.500,- kita jumpai dalam Ordonansi Pengangkutan Udara {Staatsblad 1939 No.100}. sedangkan angka US$.100.000,- kita jumpai dalam protokol Guatemala tahun 1971.

Diantara angka yang ekstrim tersebut dapat kita sebutkan beberapa angka lain yaitu:

1. Rp. 100.000,- ganti rugi oleh asuransi Jasa Raharja).

2. ± Rp. 500.000,- atau US$ 1100,- ganti rugi oleh P.N. Merpati Nusantara pada kecelakaan di Padang beberapa tahun yang lalu.

3. ± Rp. 1.500.000,- berdasarkan kepputusan Mahkamah Agung (tahun 1967) dalam perkara mengenai kecelakaan pesawat Dakota P.N. Garuda di gunung Burangrang pada tahun 1960 3).

4. Rp. 300.000,- yaitu ganti rugi yang dibayarkan oleh P.N. Garuda pada kecelakaan pesawat Lockheed Electra dilapangan terbang Mapanget, Manado, dalam tahun 1967.

5. ± US$. 3,000,- (atau ± Rp. 1.245.000,-) ganti rugi bagi seorang bujangan pada kecelakaanConvair 990A P.N. Garuda di Bombay dalam tahun 1968.

6. ± US$. 8,300,- (atau ± Rp. 3.500.000,-) ganti rugi bagi seorang yang telah berkeluarga pada kecelakaan yang sama (ad. 5).

7. US$. 16,600,- ( atau ± Rp. 7.000.000,-) yaitu jumlah ganti rugi maksimal yang dapat dibayarkan berdasarkan Protokol The Hague tahun 1955.

8. US$. 75,000,-(atau Rp. 31.000.000,-), jumlah ganti rugi berdasarkan perjanjian Montrel tahun 1966, dengan catatan bahwa jumlah ini dapat diperinci sebagai : US$. 75,000 adalah termasuk biaya-biaya perkara dan

pengacara atau US$. 58,000 bila tidak termasuk biaya-biaya pengacara dan perkara.

Meskipun kecelakaan pesawat terbang memang meruoakan suatu contoh yang paling menyolok mengenai perlunya ketentuan baru mengenai jumlah ganti rugi apabila timbul kerugian-kerugian pada pengangkutan dengan pesawat terbang, seringkali terjadi hal-hal yang meskipun bukan timbul karena kecelakaan pesawat terbang, namun menimbulkan kewajiban pada pengangkut udara untuk membayar ganti rugi.

Misalnya seorang penumpang kehilangan bagasi karena dicuri, atau seorang pengirim barang ternyata menderita kerugian, karena barangnya, diterima ditempat tujuan dalam keadaan rusak. Juga dalam hal ganti rugi untuk bagasi atau barang, terdapat beberapa jumlah ganti rugi, yang berkisar antara Rp. 25 sampai US$. 16,60 (atau ± Rp.7000,-) per kg. Jumlah Rp.25 per kg adalah maksimum ganti rugi menurut Ordonansi Pengangkutan Udara dan RPp. 7.000 per kg adalah maksimum ganti rugi menurut Perjanjian Warsawa dan Protokol The Hague: Sebagaimana halnyadengan ganti rugi untuk penumpang, juga untuk ganti rugi barang dan bagasi, diantara kedua angka tersebut diatas dapat disebutkan beberapa angka lain, yaitu jumlah-jumlah yang ditetapkan sendiri oleh perusahaan penerbangan, misalnya Rp. 1.500 atau Rp. 3.000 per kg.

Mengapa jumlah-jumlah ganti rugi seperti disebutkan diatas begitu jauh berbeda-beda? Pada dasarnya perbedaan ini disebabkan karena perbedaan nilai uang. Khususnya di Indonesia, perbedaan ini disebabkan karena perbedaan nilai uang. Khususnya di Indonesia, perbedaan ini terasa pada ganti rugi pada

penerbangan internasional dibandingkan dengan ganti rugi pada penerbangan domestic. Sebenarnya perbedaan ini seharusnya tidak ada, yaitu pabila pembuat undang-undang kita cepat mengambil tindakan penyesuaian nilai. Untuk memahami persoalan ini sebaiknya kita lihat pada sejarah terjadinya hukum udara umumnya dan Ordonansi pengangkutan udara khususnya, yang mengatur persoalan tanggung jawab pengangkutan.

Ordonansi pengangkutan udara adalah suatu peraturan yang tidak dapat dilepaskan dari suatu perjanjian internasional yang diadakan di Warsawa dalam tahun 1929, dan yang hingga sekarang masih berlaku dan mempunyai 99 negara peserta. Perjanjian ini bernama “Perjanjian untuk menyeragamkan beberapa ketentuan tertentu dalam pengangkutan udara internasional”. Yang diatur di dalamnya dua persoalan pokok, Yaitu mengenai dokumen-dokumen angkutan dan tanggung jawab, untuk tanggung jawab disetujui suatu system tanggung jawab berdasarkan prinsip bahwa pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab dan prinsip tanggung jawab tersebut terbatas sampai jumlah-jumlah tertentu.

Patut dikemukakan bahwa dalam semua perjanjian internasional mengenai tanggung jawab pengangkut udara, selalu dipergunakan sebagai bantuan untuk menghitung, suatu mata uang Perancis yang dinamakan Gold Franc atau Franc pointcare. Misalnya dalam perjanjian Warsawa ditetapkan bahwa limit tanggung jawab terhadap penumpang adalah 125.000 Gold Franc. Umumnya GoldFranc ini dinilai dalam dollar Amerika, sekarang ini dengan kurs 1 US$ = 15 GoldFranc, Jadi jumlah diatas kira-kira sama dengan 8300 US$. Oleh karena perjanjian Warsawa hanya berlaku unutk penerbangan-penerbangan internasional, kemudian

banyak Negara-negara yang meraa perlu untuk mempunyai ketentuan-ketentuan yang mengatur tanggung jawab pada pengangkutan udara dalam negeri. Jalan yang ditempuh adalah dengan menyatakan bahwa ketentuan yang berlaku dalam pejanjian Warsawa berlaku juga untuk pengangkutan udara dalam negeri. Jalan ini ditempuh juga oleh pemerintahan Hindia Belanda dahulu dngan catatan bahwa meskipun terdapat beberapa penyimpangan yang tidak bersifat prinsipiil dalam Ordonansi Pengangkutan Udara tahun 1939, Ordonansi ini praktis merupakan suatu terjemahan dari Perjanjian Warsawa tahun 1929. Mengenai limit 125.000 GoldFranc yang tercantum dalam perjanjian Warsawa, dinilai dalam Ordonansi Pengangkutan Udara menjadi 12.500 Gulden, suatu jumlah yang dalam tahun 1939 cukup besar. Akan tetapi karena jumlah tersebut setelah tahun 1945 harus dibaca sebagai Rp. 12.500 dan tidak pernah diadakan penyesuaian nilai secara resmi hingga sekarang, timbullah ketidakseimbangan dalam jumlah ganti rugi yang kita jumpai sekarang.

Dengan demikian secara yuridis atau maskapai penerbangan dapat teguh berpegang pada jumlah Rp. 12.500,- sebagai maksimum ganti rugi untuk penumpang. Hal ini memang mungkin dilakukan dengan tujuan untuk memaksa penumpang mencari penyelesaian melalui pengadilan oleh karena biasanya perusahaan penerbangan diasuransikan untuk apa yang di sebut “Legal Liability”, dan dengan keputusan pengadilan itulah maskapai asuransi akan menanggung pembayaran ganti rugi sampai jumlah sebesar keputusan pengadilan tersebut. Penggantian yang kecil sebenarnya hanya akan menguntungkan maskapai asuransi, meskipun secara tidak langsung perusahaan penerbangan dapat

diuntungkan karena pembayaran premi yang kecil. Cara lain yang ditempuh oleh perusahaan penerbangan adalah untuk menawarkan ganti rugi tertentu, biasanya dibawah jumlah-jumlah yang seharusnya dibayarkan andaikata limit yang disebutkan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara ikut disesuaikan dengan nilai-nilai yang berlaku berdasarkan Perjanjian Warsawa, sebagaimana dilakukan dalam tahun 1939.

Cara ini mungkin dapat diterima, asalkan tidak kurang dari nilai lawan limit yang ditetapkan dalam protokol the Hague, karena juga jumlah ganti rugi menurut keputusan Mahkamah Agung dalam tahun 1967 sebesar kira-kira Rp. 1.500.000,- sudah tidak memadai lagi. Patut pula diperhatikan bahwa pembayaran oleh Jasa Raharja tidak membebaskan pengangkut dari tanggung jawabnya untuk membayar ganti rugi, dan harus disayangkan bahwa umumnya ahliwaris korban kecelakaan pesawat terbang menerima saja apa yang ditawarkan sebagai ganti rugi oleh perusahaan penerbangan. Sikap menerima ini disebabkan karena faktor-faktor sebagai berikut:

1. Anggapanyang umum terdapat pada bangsa asia bahwa jiwa manusia tidak dapat dihargai dan diganti dengan uang.

2. Tidak ingin repot-repot menuntut melalui Pengadilan.

3. Tidak mengetahui bahwa mereka mempunyai hak atas ganti rugi yang lebih besar.

Faktor pertama mungkin menyebabkan seorang penulis Barat mengemukakan bahwa dalam Hukum Udara harga jiwa yang paling murah adalah

di asia Tengah (mungkin harus dikoreksi “di asia Tenggara) dan yang paling mahal di Amerika Utara.

Limit ganti rugi yang ditetapkan dalam Perjanjian Warsawa sebesar 125.000 goldfranc yang lazimnya dinilai menjadi US$ 8,300, bagi seorang Indonesia suadh cukup besar, tetapi jumlah inipun dalam tahun-tahun sesudah perang dunia ke II di Europa dan Amerika sudah diaggap terlalu rendah sehingga dalam tahun 1955 di the Hague ditandatangani Protokol Amandemen pada Perjanjian Warsawa, yang antara lain merubah limit ganti rugi untuk penumpang dati 125.000 goldfranc menjadi 250.000 goldf atau US$. 16,600.-

Indonesia telah menyatakan turut serta dengan Protokol the Hague ini dalam tahun 1960. Dengan demikian ahliwaris seorang penumpang pesawat P.N. Garuda yang mendapat kecelakaan antara Jakarta-Singapura berhak atas ganti rugi maksimal US$. 16.600,- atau ± Rp.7.000.000,- dan ahliwaris seorang penumpang pesawat yang sama antara Jakarta –Biak, suatu jarak yang jauh lebih besar dengan harga tiket yang lebih mahal pula, mungkin hanya diganti rugi Rp.25.000{berdasarkan Ordonansi Pengangkutan Udara} ditambah dengan Rp.100.000 dari Jasa Raharja, mungkin pula Rp.500.000 {berdasarkan “kebijaksanaan” peruahaan penerbangan}. Suatu kepincangan yang menyolok, akan tetapi kepincangan ini akan lebih parah lagi, kalau kita menerima kenyataan bahwa pada saat ini, jumlah limit ganti rugi yang dianggap layak pada suatu penerbangan Internasional adalah 1.500.000 goldfranc atau US$.100.000.- per penumpang yaitu jumlah limit ganti rugi yang disetujui dalam Protokol Guatemala tahun 1971, sebagai amandemen mutakhir pada Perjanjian Warsawa dan Protokol

the Hague. Jumlah tersebut diatas, apabila dirupiahkan, adalah Rp.41.500.00,- per penumpang.

Perjanjian Montteral tahun 1966. Perjanjian ini sebenarnya bukanlah suatu perjanjian antar-negara, akan tetapi suatu perjanjian antara perusahaan-perusahaan penerbangan anggauta IATA yang terbang ke dan dari Amerika Serikat dengan CAB Amerika, untuk dengan sukarela menaikkan limit ganti rugi menjadi US$.75.000,-. Hal ini terjadi karena sepuluh tahun setelah protocol the Hague ditandatangani, Amerika Serikat mengancam akan mengundurkan diri dari perjanjian Warsawa karena menganggap bahwa limit berdasarkan Protokol the Hague adalah terlalu rendah.

Untuk mencegah pengunduran diri Amerika Serikat dari Perjanjian Warsawa, kejadian mana oleh dunia penerbangan dipandang sebagai sesuatu yang sangat merugikan, maka IATA telah mengambil prakarsa mengadakan perjanjian Montreal tersebut. Dengan demikian, anggapan bahwa jiwa manusia tidak dapat dihargai, kurang realistis untuk masa ini. Apalagi kalau penumpang yang tewas kebetulan seorang kepala keluarga yang harus mencari nafkah. Dalam hal ini patut kita perhatikan, bahwa terlepas dari pertimbangan apapun, hokum telah menyadari bahwa pencari nafkah harus diganti, seperti ternyata dari ketentuan dalam pasal 24 ayat 2 Ordonansi Pengangkutan Udara yang menyatakan bahwa “yang berhak menuntut ganti rugi adalah mereka yang selama penumpang itu hidup, menjadi tenggungannya sepenuhnya”

Ganti rugi bagi keluarga korban sekali-kali bukanlah suatu hadiah dari perusahaan penerbangan atau perusahaan asuransi, akan tetapi suatu hak meeka.

Faktor kedua yaitu keseganan untuk menuntut hak mereka melalui pengadilan, pada hemat saya tidak beralasan. Dengan mengajukan gugatan melalui pengadilan, sedikit banyak kita juga membantu perusahaan penerbangan, yaitu dalam hubungan pembayaran kembali oleh maskapai asuransi.

Umumnya pengangkut diasuransikan untuk (legal liability) yaitu maskapai asuransi menjamin ganti rugi yang menurut hokum harus dibayarkan kepada penumpang atas ahliwarisnya. Ini berarti bahwa pembayaran ganti rugi yang melebihi ketentuan dalam undang-undang c.g. Ordonansi Pengangkutan Udara tidak dapat diganti oleh maskapai asuransi. Dengan demikian, maka keputusan pengadilan mengenai jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan, berapapun jumlahnya, akan merupakan suatu jaminan bahwa ganti rugi tersebut akan ditanggung oleh perusahaan asuransi, karena keputusan pangadilan merupakan hukum juga.

Faktor ketiga yang menyebabkan bahwa ahliwaris seorang korban kecelakaan pesawat terbang kadang-kadang {atau seringkali} menerima saja suatu jumlah ganti rugi yang kecil adalah bahwa mereka tidak mengetahui bahwa mereka mempunyai hak-hak yang sebenarnya lebih menguntungkan. Hal ini tidaklah mengherankan karena sampai sekarang Hukum Udara umumnya Hukum Udara Perdata khususnya, memang merupakan suatu terra incognita bagi kebanyakan ahli hokum kita.

Untuk menyesuaikan jumlah ganti rugi menurut Ordonansi Pengangkutan Udara dengan kenyataan dewasa ini. Cara ini adalah, sebagaimana telah saya singgung diatas, dengan menetapkan suatu jumlah limit baru dalam Ordonansi

Pengangkutan Udara, yang sekurang-kurangnya sama dengan nilai limit sebagaimana ditetapkan dalam Protokol the Hague tahun 1955 untuk pengangkutan udara internasional.

Malaysia Airlines menyatakan telah menawari keluarga korban pembayaran awal USD 5 ribu per penumpang. Untuk kehilangan orang tercinta, USD 5 ribu bukan uang yang banyak. Karena itu, banyak keluarga korban yang hanya menggunakan dana itu untuk biaya perjalanan dan penginapan. Klaim asuransi dan tuntutan hukum mungkin akan ditangani secara terpisah.37

Besarnya dana yang ditanggung Malaysia Airlines tersebut tentu berimbas kepada pemerintah Malaysia selaku pemegang saham. Pemerintah Malaysia harus bersiap menggelontorkan dana jumbo untuk menyelamatkan bisnis Malaysia Airlines Sebelum hilangnya pesawat berjenis Boeing 777-200ER tersebut, Malaysia Airlines menderita kerugian yang cukup besar. Sejumlah analis menyebutkan, masa depan bisnis Malaysia Airlines akan sangat bergantung pada pemerintah Malaysia. Posisi Malaysia Airlines benar-benar penting untuk mendukung kegiatan wisata, mengangkut kargo, serta menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak. Tidak ada pilihan lain selain harus diselamatkan.

Seiring dengan terjadinya insiden MH370, para investor mulai kehilangan kepercayaan terhadap bisnis yang dijalankan Malaysia Airlines. Apalagi perseroan akan menghadapi tuntutan dengan nilai cukup besar untuk membayar kerugian para keluarga korban.

37

Kejaksaan Chicago mengambil langkah formal dan legal tahap pertama terkait dengan hilangnya Malaysia Airlines MH370. Dilansir dari cnn.com, Monica Kelly, pengaca dari firma hukum Ribbeck Law, mengimbau hakim negara bagian Illinois untuk meminta Malaysia Airlines dan Boeing -pabrikan pesawat nahas itu- menyediakan dokumen dan informasi lainnya.

Klien Kelly adalah Januari Siregar, ayah penumpang MH370 yang diduga berasal dari Indonesia. Hukum internasional mengizinkan para keluarga korban untuk mengejar tindakan hukum di negara-negara tempat pembelian tiket dan tempat maskapai berbasis. Gugatan juga dapat diajukan di tujuan akhir penumpang. Itu berarti sebagian besar tuntutan terhadap Malaysia Airlines akan diajukan di Tiongkok atau Malaysia.38

F. Tanggung Jawab Kecelakaan Pesawat Terbang menurut Hukum