• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Dan Tanggung Jawab Negara Malaysia Terhadap Penumpang Pesawat Mh 370 Ditinjau Dari Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Dan Tanggung Jawab Negara Malaysia Terhadap Penumpang Pesawat Mh 370 Ditinjau Dari Hukum Internasional"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

1 S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

090200032

RIADI PRANSISKO HUTAURUK

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

PERLINDUNGAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA MALAYSIA TERHADAP PENUMPANG PESAWAT MH 370

DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

090200032

RIADI PRANSISKO HUTAURUK

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Internasional

Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum NIP. 195612101986012001

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. SUHAIDI, SH., MH

NIP. 196207131988031003 NIP. 195610101986031003 SUTIARNOTO, SH., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA MALAYSIA TERHADAP PENUMPANG PESAWAT MH 370

DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

Maskapai penerbangan Malaysia Airlines mengumumkan bahwa pesawat dengan penerbangan MH370 rute Kuala Lumpur-Beijing hilang kontak dengan menara pemandu lalu lintas udara (ATC) Subang, Malaysia. Pesawat hilang kontak dengan ATC pada Sabtu (8/3) pukul 02.40 dini hari waktu setempat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Pengaturan Penerbangan Sipil Menurut Hukum Internasional. Tanggungjawab Pengangkut Udara Pada Pengangkutan Penumpang Menurut Hukum Internasional dan Perlindungan Hukum Dan Tanggung Jawab Negara Malaysia Terhadap Penumpang Pesawat Mh 370 Ditinjau Dari Hukum Internasional.

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, yang berkaitan dengan Pengaturan Penerbangan Sipil Internasional menurut Hukum Internasional yang Melintasi Antar Negara.

Pengaturan Penerbangan Sipil Menurut Hukum Internasional Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi “The Contracting States recognize the every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory” mengutip kembali Pasal Konvensi Paris 1919 yang berbunyi “The high contracting States recognize that ever power has complete and exclusive over the airspace above its territory” yang pernah diperdebatkan apakah ruang udara tersebut benar-benar bebas, kecuali untuk mempertahankan kedaulatan negara di bawahnya atau terbatas seperti laut teritorial sebagaimana diatur dalam hukum laut internasional atau ada lintas damai bagi pesawat udara asing. Tanggungjawab Pengangkut Udara Pada Pengangkutan Penumpang Menurut Hukum Internasional, memberikan ganti rugi baik itu karena terlambatan maupun dalam kecelakaan pesawat terbang maskapai penerbangan bersangkutan memberikan ganti rugi. Perlindungan Hukum Dan Tanggung Jawab Negara Malaysia Terhadap Penumpang Pesawat Mh 370 Ditinjau Dari Hukum Internasional. Ketentuan internasional terkait dengan pemberian ganti rugi terhadap kecelakaan angkutan udara juga tidak dapat diaplikasikan dalam kasus kecelakaan pesawat MH370. Sebagaimana telah dibahas di atas, dalam tataran internaional terdapat beberapa konvensi yang mengatur tentang tanggung jawab perusahaan penerbangan antara lain konvensi warsawa 1929, Protokol hague 1955, protokol guatemal city 1971, montreal agreament, konvensi montreal 1991.

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan kerendahan hati penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul Perlindungan Hukum Dan Tanggung Jawab Negara Malaysia

terhadap Penumpang Pesawat MH 370 Ditinjau Dari Hukum Internasional Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.H selaku Dosen Pembimbing I Penulis

yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini. 6. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

7. Ibu Dr. Hj Chairul Basriah, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Internasional.

8. Kedua orang tua penulis Ayahanda Pinondang Hutauruk dan Ibunda Rismawati Panjaitan serta Abangda Ramches Patar Hutauruk Kakanda Riyanti Pera Hutauruk dan Adinda Resnita Polorida Hutauruk, Romi Putra Hutauruk, yang selalu memberikan dukungan baik secara moril maupun material sehingga terselesaikanya skripsi ini.

9. Teman-Teman stambuk 2009, Karsito Purba, Rizky Ridwan Matondang, Taufik Nuriansyah, Coboy Campus, yang telah mendukung dan memberikan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan sampai selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Tuhan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di negara Republik Indonesia.

Medan, September 2014 Hormat Saya

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ... 22

A. Sejarah Penerbangan Sipil Internasional ... 22

B. Perlindungan Hukum dalam Penerbangan Sipil ... 33

C. Pengaturan Penerbangan Sipil Internasional ... 34

BAB III TANGGUNGJAWAB PENGANGKUT UDARA PADA PENGANGKUTAN PENUMPANG MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ... 53

A. Tanggung Jawab Pada Kecelakaan Pesawat Terbang ... 53

B. Besarnya Ganti Rugi Pada Kecelakaan Pesawat Terbang ... 59

(7)

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB

NEGARA MALAYSIA TERHADAP PENUMPANG PESAWAT

MH 370 DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL ... 75

A. Perlindungan hukum yang diberikan pemerintah Malaysia terhadap Penumpang MH 370 ... 75

B. Bentuk Pertanggung Jawaban MH 370 Terhadap Penumpang dalam Hukum Internasional ... 75

C. Bentuk perlindungan hukum bagi korban kecelakaan MH 370 berdasarkan konvensi Chicago 1944 ... 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

A. Kesimpulan ... 86

(8)

ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA MALAYSIA TERHADAP PENUMPANG PESAWAT MH 370

DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

Maskapai penerbangan Malaysia Airlines mengumumkan bahwa pesawat dengan penerbangan MH370 rute Kuala Lumpur-Beijing hilang kontak dengan menara pemandu lalu lintas udara (ATC) Subang, Malaysia. Pesawat hilang kontak dengan ATC pada Sabtu (8/3) pukul 02.40 dini hari waktu setempat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Pengaturan Penerbangan Sipil Menurut Hukum Internasional. Tanggungjawab Pengangkut Udara Pada Pengangkutan Penumpang Menurut Hukum Internasional dan Perlindungan Hukum Dan Tanggung Jawab Negara Malaysia Terhadap Penumpang Pesawat Mh 370 Ditinjau Dari Hukum Internasional.

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, yang berkaitan dengan Pengaturan Penerbangan Sipil Internasional menurut Hukum Internasional yang Melintasi Antar Negara.

Pengaturan Penerbangan Sipil Menurut Hukum Internasional Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi “The Contracting States recognize the every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory” mengutip kembali Pasal Konvensi Paris 1919 yang berbunyi “The high contracting States recognize that ever power has complete and exclusive over the airspace above its territory” yang pernah diperdebatkan apakah ruang udara tersebut benar-benar bebas, kecuali untuk mempertahankan kedaulatan negara di bawahnya atau terbatas seperti laut teritorial sebagaimana diatur dalam hukum laut internasional atau ada lintas damai bagi pesawat udara asing. Tanggungjawab Pengangkut Udara Pada Pengangkutan Penumpang Menurut Hukum Internasional, memberikan ganti rugi baik itu karena terlambatan maupun dalam kecelakaan pesawat terbang maskapai penerbangan bersangkutan memberikan ganti rugi. Perlindungan Hukum Dan Tanggung Jawab Negara Malaysia Terhadap Penumpang Pesawat Mh 370 Ditinjau Dari Hukum Internasional. Ketentuan internasional terkait dengan pemberian ganti rugi terhadap kecelakaan angkutan udara juga tidak dapat diaplikasikan dalam kasus kecelakaan pesawat MH370. Sebagaimana telah dibahas di atas, dalam tataran internaional terdapat beberapa konvensi yang mengatur tentang tanggung jawab perusahaan penerbangan antara lain konvensi warsawa 1929, Protokol hague 1955, protokol guatemal city 1971, montreal agreament, konvensi montreal 1991.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengangkutan udara mempunyai peranan yang sangat penting. Hal ini dikarenakan angkutan udara merupakan salah satu alat transportasi yang cepat dan ekonomis. Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat membutuhkan peran jasa pengangkutan untuk menghubungkan antara pulau yang satu dengan pulau yang lainya. Beberapa keuntungan yang diberikan oleh jasa angkutan udara antara lain seperti jangkauan yang luas, waktu tempuh yang relatif singkat, tarif yang masih dapat dijangkau oleh masyarakat serta keamanan dan kenyamanan yang diberikan.

(10)

Konvensi Warsawa ini menjadi tonggak sejarah munculnya prinsip presumption of liability dan limitation of liability. Kedua prinsip itu pada intinya menyatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita penumpang, kecuali jika pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian (kecelakaan) tersebut bukan karena kesalahannya. Bila tidak, maskapai harus memberikan ganti rugi dengan sejumlah uang pengganti

Maskapai penerbangan Malaysia Airlines mengumumkan bahwa pesawat dengan penerbangan MH370 rute Kuala Lumpur-Beijing hilang kontak dengan menara pemandu lalu lintas udara (ATC) Subang, Malaysia. Pesawat hilang kontak dengan ATC pada Sabtu (8/3) pukul 02.40 dini hari waktu setempat. Pesawat itu berjenis Boeing B777-200 terbang dari Kuala Lumpur pukul 00.41 WIB dan dijadwalkan tiba di Beijing pukul 6.30 pagi, Sabtu (8/3). Penerbangan itu membawa sejumlah 239 penumpang, yang terdiri dari 227 penumpang termasuk 2 bayi dan 12 awak pesawat.1

Pencarian pesawat Malaysia Airlines melibatkan sejumlah negara, termasuk Indonesia. Untuk mempermudah proses pencarian pesawat bernomor pesawat asing (flight clearance).

Dalam keterangan pers Kementerian Luar Negeri RI yang diterima VIVAnews, Jumat 21 Maret 2014, Kemlu memfasilitasi clearance diplomatic, sementara Mabes TNI mengeluarkan security clearance bagi pesawat terbang

1

(11)

asing yang terlibat dalam upaya SAR pesawat MH370 yang hilang sejak 8 Maret lalu.

Ke-49 izin untuk masuk ke wilayah Indonesia itu diberikan kepada pesawat Australia, Amerika Serikat, Jepang, Malaysia, Selandia Baru, Republik Korea, dan Uni Emirate Arab. "Sesuai perkembangan proses pencarian yang beralih ke koridor Selatan, di wilayah Indonesia dan Australia.

Selain itu, TNI dan Badan SAR Nasional (Basarnas) telah memberikan dukungan atas upaya pencarian MH370 dengan mengerahkan 8 kapal dan 3 pesawat. Kemlu pun memfasilitasi informasi bagi keluarga penumpang MH370 yang berkewarganegaraan Indonesia. Diberitakan sebelumnya, ada 7 penumpang WNI dalam Indra Suadaya, Indra Suria Tanurisan, Wang Willy Surijanto, Firman Chandra Siregar, serta pasangan suami istri Sugianto Lodan dan Vinny Chynthya Tio. "Seluruh keluarga penumpang ini sudah berada di Tanah Air."

Penyelenggaraan penerbangan sipil baik internasional maupun nasional harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang berlaku, untuk menjamin keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barang-barang yang diangkut. Di mana penyelenggaraan penerbangan sipil tersebut diatur dalam berbagai konvensi-konvensi internasional.

(12)

internasional. Kemudian di bidang hukum udara perdata internasional juga terdapat berbagai konvensi internasional seperti Konvensi Warsawa 1929 beserta protokol serta suplemennya. Konvensi tersebut mengatur tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga (third parties liability) beserta protokolnya, konvensi mengenai pengakuan hak atas pesawat udara, di samping hukurn nasional perdata maupun publik sebagai implementasi konvensi internasional tersebut di atas.

Tujuan konferensi penerbangan sipil internasional tampak dengan jelas pada pembukaan Konvensi Penerbangan Sipil Internasional yang ditandatangani di Chicago pada tahun 1944. Dalam pembukaan tersebut dijelaskan bahwa pertumbuhan penerbangan sipil yang akan datang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan persahabatan, memelihara perdamaian dan saling mengerti antarbangsa, saling mengunjungi masyarakat dunia dan dapat mencegah dua kali perang dunia yang sangat mengerikan, dapat mencegah friksi dan dapat digunakanuntuk kerjasama antarbangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia. Oleh karena itu, negara-negara peserta konferensi sepakat mengatur prinsip-prinsip dasar penerbangan sipil internasional, menumbuhkembangkan penerbangan sipil yang aman, lancar, teratur dan memberi kesempatan yang sama kepada Negara anggota untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional dan mencegah adanya persaingan yang tidak sehat.

(13)

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut di atas, maka penulis membatasi permasalahan sebagai berikut ;

1. Bagaimana Pengaturan Penerbangan Sipil Menurut Hukum Internasional? 2. Bagaimana Tanggungjawab Pengangkut Udara Pada Pengangkutan

Penumpang Menurut Hukum Internasional

3. Perlindungan Hukum Dan Tanggung Jawab Negara Malaysia Terhadap Penumpang Pesawat Mh 370 Ditinjau Dari Hukum Internasional

C. Tujuan Penulisan

Secara rinci tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Pengaturan Penerbangan Sipil Menurut Hukum Internasional

2. Untuk mengetahui Tanggungjawab Pengangkut Udara Pada Pengangkutan Penumpang Menurut Hukum Internasional

3. Untuk mengetahui Perlindungan Hukum Dan Tanggung Jawab Negara Malaysia Terhadap Penumpang Pesawat Mh 370 Ditinjau Dari Hukum Internasional.

D. Manfaat Penulisan a. Secara teoritis

(14)

b. Secara Praktis

Merupakan bahan masukan bagi para pelaku atau aparat pemerintah yang membidangi pencatatan sipil serta masyarakat luas yang ingin mengetahui, mendalami, membuat akta catatan sipil sebagai pemenuhan hak individu.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran penulis terhadap judul skripsi yang ada di Perpustakaan, belum ada tulisan skripsi yang mengangkat judul tentang pengaturan penerbangan sipil internasional menurut hukum internasional yang melintasi antar negara.

Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas cabang Fakultas Hukum yang mirip yang penulis temukan adalah :

Dedi Hutajulu, NIM 040200132 dengan judul perlindungan penumpang pesawat pada penerbangan sipil di Indonesia ditinjau dari Hukum Internasional.

Erick Mario, NIM 030200122, dengan judul Perlindungan Hukum Bagian Penumpang Pesawat Udara dalam Hubungannya dengan Tanggung jawab penyelenggaraan penerbangan Indonesia.

Febri Dermawan, 070200338, dengan judul Perlindungan Hukum dan tanggung jawab terhadap penumpang sipil pada kecelakan pesawat udara dalam lingkup internasional

(15)

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Penerbangan Sipil Internasional

Di dalam dunia penerbangan dikenal perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft) diatur dalam Konvensi Paris 1919, Konvensi Havana 1928, Konvensi Chicago 1944, Konvensi Jenewa 1958, dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang UNCLOS. Di berbagai hukum nasional seperti di Amerika Serikat, Australia, Belanda, Inggris, dan Indonesia juga membuat perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft).

Pasal 30 Konvensi Paris 1919 pesawat udara negara (state aircraft) adalah pesawat udara yang digunakan oleh militer yang semata-mata untuk pelayanan publik (public services) seperti pesawat udara polisi dan bea cukai, sedangkan yang dimaksudkan dengan pesawat udara sipil (civil aircraft) adalah pesawat udara selain pesawat udara negara (state aircraft). Selanjutnya, menurut Pasal 32 Konvensi Paris 1919 pesawat udara negara (state aircraft) tidak mempunyai hak untuk melakukan penerbangan di atas wilayah negara anggota lainnya, sedangkan pesawat udara sipil (civil aircraft) di waktu damai dapat melakukan penerbangan lintas damai (innocent passage) di atas wilayah negara anggota lainnya.

(16)

udara selain pesawat udara negara (state aircraft). Pesawat udara negara tidak mempunyai hak melakukan penerbangan di atas negara anggota lainnya, sedangkan pesawat udara sipil yang melakukan penerbangan tidak berjadwal dapat melakukan penerbangan di atas negara anggota lainya. Pesawat udara negara (state aircraft) tidak mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan (nationality and registration mark), walaupun pesawat udara negara tersebut terdiri dari pesawat terbang (aeroplane) dan helicopter.

Perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara (state aircraft) juga dapat ditemui dalam Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang UNCLOS. Hanya istilahnya sedikit berbeda dengan istilah yang digunakan dalam Konvensi Paris 1919, Konvensi Madrid 1926, Konvensi Havana 1928, dan Konvensi Chicago 1944. Di dalam Konvensi Jenewa 1958 dan Perserikatan Bangsa-Bangsa UNCLOS menggunakan istilah pesawat udara swasta (private aircraft) dan pesawat udara dinas pemerintahan (government services).

(17)

tidak berpantai (land lock state). Demikian pula dalam Pasal 111 ayat (5) Konvensi PBB UNCLOS.2

Perbedaan antara pesawat udara negara (state aircraft) dengan pesawat udara sipil (civil aircraft) juga dapat. ditemui dalam Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi PBB UNCLOS 1982.3

Konvensi Jenewa 1958 istilah yang digunakan bukan pesawat udara sipil dan pesawat udara negara, melainkan pesawat udara militer atau pesawat udara dinas pemerintah (government services) di satu pihak dengan private aircraft di Menurut Konvensi PBB UNCLOS 1982, private aircraft tidak mempunyai hak untuk menguasai atau menyita pesawat udara yang melakukan pelanggaran hukum, karena private aircraft tidak mempunyai kewenangan penegak hukum, kewenangan penegak hukum tersebut hanya dimiliki oIeh pesawat udara militer, pesawat udara dinas pemerintah (government services) sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Konvensi Jenewa 1958. Demikian pula private aircraft juga tidak mempunyai hak untuk melakukan pengejaran seketika (hot pursuit) terhadap kapal atau pesawat udara asing yang dicurigai melanggar peraturan nasional negara pantai (coastal state) di laut teritorial atau perairan nasional karena private aircraft tidak mempunyai kewenangan penegakan hukum.

2

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut International, Badan Pembinaan Hukum Nasionai (BPHN), Jakarta, 1978, hal. 221.

3

(18)

lain pihak kapal atau pesawat udara asing adalah hanya pesawat udara hanya pesawat militer atau udara dinas pemerintah (government service).4

Perbedaan pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara Negara (state aircraft) dan sisi kewenangan penegak hukum dapat pula ditemukan dalam Konvensi PBB UNCLOS 1982. Pasal 107 Konvensi PBB UNCLOS 1982 juga mengatur pesawat udara yang mempunyai hak untuk menguasai atau menyita pesawat udara asing atau kapal asing yang dicurigai melakukan pelanggaran hukum. Pesawat udara yang berhak menyita hanyalah pesawat udara militer atau pesawat udara yang dengan jelas ditandai dan dapat dikenali atau diketahui dinas pemerintah dan berwenang untuk maksud tersebut. Dengan demikian, pesawat udara tersebut harus secara tegas dan jelas digunakan dalam dinas pemerintah. Di samping itu, pesawat udara militer atau yang ditandai dengan jelas dinas pemerintah tersebut menurut Pasal 111 ayat (5) juga mempunyai hak pengejaran seketika terhadap kapal laut atau pesawat udara asing yang dicurigai melakukan pelanggaran hukum. Menurut Pasal 111 ayat (5) Konvensi PBB UNCLOS 1982, pesawat udara instansi yang mempunyai wewenang penegak hukum ditandai dengan jelas dan mudah dikenali oleh pesawat udara yang melakukan dinas pemerintah dan dikuasakan untuk itu.

Berdasarkan uraian Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi PBB UNCLOS 1982 tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa walaupun tidak ada pasal secara khusus yang membedakan antara pesawat udara negara (state aircraft) dengan pesawat udara sipil (civil aircraft), bukan berarti bahwa tidak ada perbedaan

4

(19)

antara pesawat udara negara (state aircraft) dengan pesawat udara sipil (civil aircraft). Karena perbedaan tersebut dapat disimpulkan dalam Pasal 21 yuncto Pasal 23 Ayat (4) Konvensi Jenewa 1958 dan Pasal 107 yuncto Pasal 111 ayat (5) Konvensi PBB UNCLOS 1982. Perbedaan kedua jenis pesawat udara tersebut berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh hukum internasional sebagaimana diatur dalam kedua Konvensi tersebut.5

Perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) di satu pihak dengan pesawat udara negara (state aircraft) di lain pihak tersebut didasarkan kewenangan masing jenis pesawat udara yang digunakan oleh masing-masing instansi. Perbedaan demikian penting karena menurut hukum internasional perlakuan terhadap pesawat udara sipil (civil aircraft) berbeda dengan perlakuan terhadap pesawat udara negara (state aircraft). Pesawat udara negara mempunyai hak-hak kekebalan tertentu yang tidak dimiliki oleh pesawat udara sipil. Perlakuan demikian sejalan dengan Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago 1944, Konvensi Jenewa 1958, dan Konvensi PBB UNCLOS 1982 yang telah diuraikan di atas.

Dengan demikian dari uraian di atas pengertian penerbangan sipil internasional adalah penerbangan yang dilakukan pesawat udara sipil yang mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan pada waktu damai dapat melintasi wilayah negara anggota organisasi penerbangan sipil internasional lainnya.

5

(20)

2. Pengertian Hukum Udara (Air Law)

Hukum udara (Air law, Aerounatical law, lucht Recth, Droit d’Arien) mencangkup kumpulan peraturan yang mengatur penggunaan ruang udara beserta seluruh manfaatnya begi penerbangan, masyarakat dan negara-negara di dunia.6 Dengan kata lain hukum udara mencangkup segala macam undang-undang, peraturan dan kebiasaan mengenai penerbangan serta segala hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, yang disusun secara perjanjian, kebiasaan dan hukum yang berlaku antara negara-negara.7

Hukum udara mengalami beberapa perkembangan diantaranya beberapa fase sebelum tahun 1910 dengan perkembangan Maxim yang menurutnya, hukum udara adalah hanya sebatas / terbatas pada ruang udara dengan ketinggian tertentu, selebihnya adalah bebas. Prinsip tersebut digunakan untuk suatu negara, bahwa negara memiliki ruang atau udara di atas wilayahnya tampa batas. Akan tetapi permasalahannya adalah tidak jelasnya penentuan batas tersebut. Kemudian fase yang kedua sesudah tahun 1919 dimana cikal bakal hukum udara adalah konvensi Paris, dimana menurut konvensi ini setiap negara diakui memiliki kedaulatan terhadap ruang udaranya atau terhadap ruang udara diatas wilayahnya.

Tentang sifat dan luas wilayah berlakunya hukum udara, telah diketahui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif (full dan exclusive sovereignty) dalam ruang udara yang berada diatas wilayah darat dan lautannya.

8

6

Diederiks Verschoor, An Introduction to Air Law, (Kluwer : 1982), hal. 1.

Akan tetapi Konvensi Paris 1919 ini tidak dapat diterima oleh banyak negara

7

Priyatna Abdurrasyid, kedaulatan negara di ruang negara, disertasi, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, 1972, hal. 25.

8

(21)

menyebabkan tidak terpenuhinya jumlah peserta yang diisyaratkan untuk berlakunya konvensi. Oleh karena itu, konvensi ini tidak pernah berlaku. Namun demikian, ada beberapa negara yang telah memasukan ketentuan dari konvensi ini ke dalam perundang-undangan nasionalnya. Air Navigation Act.9

3. Sumber Hukum Udara Internasional

Sumber hukum udara (air law sources) dapat bersumber pada hukum internasional maupun hukum nasional. Sesuai dengan Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional mengatakan “international custom, as evidence of a general practices accepted as law.” Sumber hukum udara internasional dapat berupa multilateral maupun bilateral sebagai berikut.

a. Multilateral dan Bilateral

Sumber hukum udara internasional yang bersifat multilateral adalah berupa konvensi-konvensi internasional yang bersifat multilateral juga bersifat bilateral. Pada saat ini Indonesia telah mempunyai perjanjian angkutan udara timbal balik (bilateral air transport agreement) tidak kurang dari 67 (enam puluh tujuh) negara yang dapat digunakan sebagai sumber hukum udara nasional dan internasional.

b. Hukum Kebiasaan Internasional

Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, hukum kebiasaan internasional juga merupakan salah satu sumber hukum internasional. Di dalam hukum udara internasional juga dikenal adanya hukum udara kebiasaan

9

(22)

internasional. Namun demikian, peran hukum kebiasaan internasional tersebut semakin berkurang dengan adanya konvensi internasional, mengingat hukum kebiasaan internasional kurang menjamin adanya kepastian hukum. Pasal 1 Konvensi Paris 1919 merupakan salah satu hukum kebiasaan internasional dalam hukum udara internasional. Namun demikian, pasal tersebut diakomodasi di dalam Konvensi Havana 1928 dan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. Dalam perkembangan teknologi, tindakan suatu negara dapat merupakan hukum kebiasaan internasional tanpa adanya kurun waktu tertentu. Hal ini telah dilakukan oleh Amerika Serikat dengan menetapkan Air Defence Identification Zone (ADIZ). Tindakan Amerika Serikat tersebut diikuti oleh Kanada dengan menentukan Canadian Air Defence Identification Zone (CADIZ) yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Di dalam hukum laut internasional juga dikenal adanya hukum kebiasaan sebagai salah satu sumber hukum.

c. Prinsip-prinsip Hukum Umum (General Principles of Law)

Selain hukum kebiasaan internasional dan konvensi internasional sebagaimana dijelaskan di atas, asas umum hukum (general principles recognized by civilized nations) juga dapat digunakan sebagai sumber hukum udara. Salah satu ketentuan yang dirumuskan di dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional adalah “general principles or law recognized by civilized nations” sebagai asas-asas yang telah diterima oleh masyarakat dunia dewasa ini, baik hukum udara perdata maupun hukum udara publik. Asas-asas tersebut antara lain:

(23)

(b) Pacta sun servanda, artinya apa yang diperjanjikan dalam perjanjjan harus dipatuhi, ditaati karena perjanjian merupakan undang-undang bagi yang membuat;

(c) Abus de drojt atau misbrujk van rectht, maksudnya suatu hak tidak boleh disalahgunakan;

(d) Nebis in idem, artinya perkara yang sama tidak boleh diajukan ke pengadilan lebih dari sekali;

(e) Equality rights, maksudnya kesederajatan yang diakui oleh negara-negara di dunia; (tidak boleh saling intervensi kecuali atas persetujuan yang bersangkutan;

(f) Non lequit, artinya hakim tidak dapat menolak dengan alasan tidak ada peraturan atau tidak ada hukum karena hakim mempunyai hak untuk menciptakan hukum (yurisprudensi).10

Ajaran hukum (doctrine) di dalam hukum internasional juga dapat digunakan sebagai salah satu sumber hukum udara. Di dalam Common Law System, atau Anglo Saxon System dikenal adanya ajaran hukum mengenai pemindahan risiko dari pelaku kepada korban. Menurut ajaran hukum tersebut, perusahaan penerbangan yang menyediakan transportasi umum bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh korban. Tanggung jawab tersebut Asas-asas hukum umum tersebut di atas sebagian besar berasal dari Romawi yang telah diterima sebagai kaidah hukum oleh masyarakat dunia pada umumnya dan merupakan dasar lembaga-lembaga hukum dari negara-negara maju civilized

10

(24)

nations). Asas-asas tersebut telah diterima sebagai sumber hukum dalam hukum internasional yang dapat juga berlaku terhadap hukum udara nasional maupun internasional. Asas-asas tersebut bersifat universal yang berarti juga berlaku terhadap hukum udara perdata internasional maupun hukum udara publik internasional.

d. Ajaran hukum (Doctrine)

(25)

e. Yurisprudensi

Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, yurisprudensi juga merupakan salah satu sumber hukum. Ketentuan demikian juga berlaku terhadap hukum udara, baik nasional maupun internasional. Banyak kasus sengketa yang berkenaan dengan hukum udara, terutama berkenaan dengan tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan terhadap penumpang dan atau pengirim barang maupun terhadap pihak ketiga. Di Indonesia terdapat paling tidak terdapat dua macam yurisprudensi yang menyangkut hukum udara perdata, masing-masing gugatan Ny. Oswald terhadap Garuda Indonesian Airways dalam tahun 1961 dan gugatan penduduk Cengkareng terhadap Japan Airlines (JAL) dalam tahun 2000.

Dalam kasus penduduk Cengkareng vs Japan Airlines mengenai tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, sedangkan kasus Ny. Oswald vs Garuda Indonesian Airways mengenai ganti rugi nonfisik. Pada prinsipnya, keputusan pengadilan tersebut hanya berlaku terhadap para pihak, tetapi seorang hakim boleh mengikuti yurisprudensi yang telah diputuskan oleh hakim sebelumnya (The decision of the court has no binding force except between the parties and in

respect if that particular cases), artinya Keputusan Mahkamah Internasional tidak mempunyai kekuatan mengikat kecuali bagi pihak-pihak yang bersangkutkan tertentu itu.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

(26)

mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan,11

Penelitian hukum normatif (Legal Research) terdiri dari inventarisasi hukum positif, penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif, serta penemuan hukum in concreto. Penelitian hukum normatif yang dipakai dalam penelitian adalah penemuan hukum in concreto. Dalam penelitian ini, norma-norma hukum in abstracto diperlukan mutlak untuk berfungsi sebagai premisa mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara (Legal facts) dipakai sebagai premisa minor. Melalui proses silogisme akan diperolehlah sebuah konklusi, yaitu hukum in concreto, yang dimaksud.

yang berkaitan dengan Pengaturan Penerbangan Sipil Internasional menurut Hukum Internasional yang Melintasi Antar Negara.

12

2. Pengumpulan data

Adapun sifat penulisan ini adalah deskriptif analitis, yaitu untuk mendapatkan deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang diteliti.

Pengumpulan data dilakukan secara studi kepustakaan, maka pembahasan dilakukan berdasarkan data sekunder, berupa:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: peraturan perundangan nasional maupun terkait penerbangan sipil internasional yang melintasi antar negara.

11

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004, hal 14.

12

(27)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia.13

3. Analisis data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dan diorganisasikan, serta diurutkan dalam suatu pola tertentu sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hal-hal yang sesuai dengan bahasan penelitian. Seluruh data ini dianalisa secara kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan responden, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan yang ada dalam skripsi ini, serta penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan pendekatan deduktif-induktif.

Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.

G. Sistematika Penulisan

Pembahasan secara sistematis sangat diperlukan dalam penulisan skripsi. Untuk memudahkan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan

13

(28)

yang teratur yang terbagi dalam bab per bab yang saling berhubungan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

Bab ini berisikan Sejarah Penerbangan Sipil Internasional, Perlindungan Hukum dalam Penerbangan Sipil dan Pengaturan Penerbangan Sipil Internasional

BAB III TANGGUNGJAWAB PENGANGKUT UDARA PADA

PENGANGKUTAN PENUMPANG MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

Bab ini berisikan Tanggung Jawab Pada Kecelakaan Pesawat Terbang, Besarnya Ganti Rugi Pada Kecelakaan Pesawat Terbang dan Tanggung Jawab Kecelakaan Pesawat Terbang menurut Hukum Internasional

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB

NEGARA MALAYSIA TERHADAP PENUMPANG PESAWAT MH 370 DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

(29)

Jawaban MH 370 Terhadap Penumpang dalam Hukum Internasional dan Bentuk perlindungan hukum bagi korban kecelakaan MH 370 berdasarkan konvensi Chicago 1944

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(30)

22 D. Sejarah Penerbangan Sipil Internasional 1. Konvensi Paris 13 Oktober 1919

Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi Internasional mengenai Navigasi Udara yang telah disiapkan oleh suatu Komisi Khusus yang dibentuk oleh Dewan Tertinggi Negara-negara Sekutu. Konvensi tersebut ditandatangani oleh 27 negara yang terdiri dari Negara-negara sekutu, beberapa Republik di Amerika Latin dan Negara-negara lainnya. Konvensi tersebut mulai berlaku tanggal 11 Juli 1922 dan pada tahun 1939 mengikat sebanyak 29 negara. Selain itu, sebagian besar Negara-negara di benua Amerika tidak ikut dalam Konvensi tersebut dan membuat sendiri Konvensi udara dengan nama Konvensi Pan Amerika, Havana pada tanggal 20 Februari 1928. Namun, Konvensi regional tersebut ternyata tidak mempunyai banyak peminat dan hanya diratifikasi oleh 11 negara di kawasan.

(31)

Negara-negara bekas musuh, Pasal 42 Konvensi Paris memberikan persyaratan bahwa Negara-negara tersebut hanya dapat menjadi Negara pihak setelah masuk menjadi anggota pada liga Bangsa-Bangsa {LBB} atau paling tidak atas keputusan dari 3/4 Negara-negara pihak pada Konvensi. Pada tahun 1929, Setelah direvisi dengan protocol 15 juni 1929 yang bertujuan untuk menerima keanggotaan Jerman dalam LBB, Konvensi Paris 1919 betul-betul menjadi Konvensi yang bersifat umum karena sejak mulai berlakunya Protokol tersebut tahun 1933,53 negara telah menjadi pihak.

a. Rezim Udara

(32)

keamanan publik. Sehubungan dengan itu, Pasal 3 Konvensi mengizinkan kepada setiap negara pihak untuk melarang penerbangan di zona-zona tertentu dari wilayahnya terhadap pesawat-pesawat asing ataupun nasional . Penjelasan ini kiranya merupakan jaminan yang perlu bagi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan. Bersamaan dengan kebebasan lintas, persamaan perlakuan juga dijamin terhadap semua diskriminasi yang didasarkan atas motif politik seperti kebangsaan dari pesawat (Pasal 2 ayat 2 Konvensi).

Konvensi 1919 hanya berlaku di waktu damai (Pasal 2 dan 38), sementara pada waktu perang, Konvensi membatasi diri dengan hanya menyatakan kebebasan bertindak bagi Negara-negara yang berperang dengan memperhitungkan hak dari negara-negara netral. Selanjutnya, Konvensi membentuk suatu organ permanen untuk mengawasi pelaksanaan dan pengembangan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya, yaitu Komisi Internasional Navigasi Udara yang berada di bawah kekuasaan Liga Bangsa-Bangsa.

b. Rezim Pesawat Udara

Tiap-tiap pesawat udara untuk dapat diizinkan melakukan penerbangan internasional harus mempunyai suatu kebangsaan tertentu. Penentuan kebangsaan ini mempunyai kepentingan rangkap.

(33)

2) Kepentingan perlindungan, yaitu suatu pesawat udara dapat menyatakan diri berasal dari suatu negara tertentu dan sewaktu-waktu dapat meminta bantuan kepada perwakilan diplomatiknya di luar negeri.

Menurut Konvensi, system kebangsaan pesawat udara adalah bahwa semua pesawat udara harus mempunyai satu kebangsaan. Pelaksanaan prinsip ini berdasar pada dua ketentuan.

(1) Kebangsaan suatu pesawat udara ditentukan oleh pendaftarannya di satu negara tertentu.

(2) Suatu negara hanya dapat menerima pendaftaran dari suatu pesawat udara yang sepenuhnya dimiliki oleh warga negaranya.

Jadi, kebangsaan suatu pesawat udara akan ditentukan oleh kewwarganegaraan pemiliknya. Dalam hal ini Konvensi menolak kriteria Anglo-Saxon tentang domisili yang juga ditinggalkan oleh Inggris tahun 1918 sebagai akibat pengalaman perang. Dapat disimpulkan bahwa system ini sesuai dengan logika Konvensi yang didasarkan atas prinsip kedaulatan Negara yang menyelenggarakan lalu lintas udara internasional atas dasar Konvensional yang pada hakekatnya bersifat restriktif.

2. Perkembangan Konvensi Paris 1919

(34)

wilayahnya. Dengan demikian, perubaha-perubahan terhadap Konvensi akhirnya tidak dapat dihindarkan. Perubahan tersebut berlangsung dalam tiga tahap ; mulai dengan protocol Tambahan tanggal 1 Mei 1920, Kemudian pengaturan tanggal 14 Desember 1926, dan berakhir dengan diterimanya protocol 15 Juni 1929. Revisi Konvensi 1919 tidak dapt dihindarkan di saat munculnya persoalan keanggotaan Jerman dalam Konvensi. Untuk menjadi pijak dalam Konvensi, Jerman mengajukan perubahan mendalam terhadap ketentuan-ketentuanyang ada. Perubahan tersebut dilakukan oleh Komisi Internasional Navigasi Udara dalam Sidangnya di Paris tanggal 10-15 Juni 1929. Rezim baru tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

(1) Negara-negara bukan pihak pada Konvensi 1919 dapat di terima tanpa syarat pakah Negara-negara tersebut ikut serta atau tidak dalam Perang Dunia I.

(2) Tiap-tiap negara selanjutnya dapat membuat kesepakatan-kesepakatan khusus dengan negara-negara yang bukan merupakan pihak pada Konvensi dengan syarat bahwa kesepakatan-kesepakatan tersebut tidak bertentangan dengan hak-hak pihak-pihak lainnya dan juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum Konvensi .

(35)

istimewa yang kurang dapat dibenarkan kepada Negara-negara sekutu. Protokol tahun 1929 tersebut akhirnya ditandatangani oleh 53 negara dan mulai berlaku tanggal 17 Mei 1933.

3. Konvensi Chicago 1944 a. Asal Usul Konvensi

Sebelum meletusnya Perang Dunia II sebagaimana diketahui status yuridik navigasi udara diatur oleh Konvensi Paris 13 Oktober 1919 yang kemudian direvisi oleh Protokol 15 Juni 1929. Namun, sistem yang terdapat dalam Konvensi tersebut tidak berjalan lancer. Kebeasan navigasi udara kenyataannya bukan merupakan pengakuan atas suatu rezim yang objektif akan tetapi sebagai hasil suatu konsesi konvensional yang diberikan atas dasar resiprositas semata kepada negara-negara penandatanganan Konvensi.

(36)

(1) Konsep internasionalisasi yang di sarankan Australia dan Selandia Baru. (2) Konsep Amerika yang bebas untuk semua. Konsep persaingan bebas atau

free enterprise.

(3) Konsep intermedier inggris yang menyangkut pengaturan dan pengawasan.

Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dan menarik akhirnya konsep inggris di terima oleh Konferensi. Pada akhir Konferensi, Sidang menerima tiga instrument yaitu:

1) Konvebsi mengenai Penerbangan Sipil internasional;

2) Persetujuan mengenai Transit Jasa-jasa Udara Internasional; 3) Persetujuan Mengenai alat Angkutan Udara Internasional.

Konvensi Chicago 7 Desember 1944 mulai berlaku tanggal 7 April 1947. Uni Soviet baru menjadi Negara pihak pada tahun 1967. Konvensi ini membatalkan Konvensi Paris 1919 demikian juga Konvensi Inter Amerika Havana 1928. Seperti Konvensi Paris 1919, konvensi Chicago mengakui validitas kesepakatan bilateral yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Sekarang ini jumlah kesepakatan-kesepakatan tersebut sudah melebihi angka 2000.

b. Isi Pengaturan Yang Diterima

(37)

(1) Dua kebebasan dasar yaitu hak lintas damai (innocent passage) dan hak mendarat teknik untuk keperluan pengambilan bahan bakar dan reparasi/perbaikan (technical stop).

(2) Tiga kebebasan komersial atau yang berkaitan dengan lalu lintas komersial yaitu (a) hak untuk menurunkan di semua Negara pihak para penumpang dan barang dagangan yang di muat di wilayah Negara pihak yang pesawat udaranya mempunyai kebangsaan dari Negara tersebut, (b) hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan menuju wilayah yang pesawat udaranya mempunyai kebangsaan Negara tersebut, (c) hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan di semua wilayah Negara pihak dan menurunkannya di wilayah Negara-negara pihak lainnya.

Ciri-ciri yang mendasari rezim Chicago ini adalah pemisahan kelima kebebasan tersebut. Bila kedua kebebasan dasar di atas diberikan de plano kepada semua pesawat udara sipil Negara pihak tanpa otorisasi khusus dan hanya atas dasar ketentuan Konvensi, ktiga kebebasan kpmersial hanya diterima untuk pesawat-pesawat udara pengangkut yang melakukan pelayanan udara internasional yang teratur atas dasarKonvensi tamabahan yang biasanya dinamakan traffic convention.

c. Pembentukan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO)

(38)

Organisasi tersebut berada di Montreal, Kanada. Menurut Pasal 44 Konvensi, fungsi ICAO adalah untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan teknik navigasi internasional dan memperkuat perencanaan dan pengembangan alat angkutan udara internasional sehingga dapat melaksanakan perkembanganpenerbangan sipil internasional secara teratur dan aman.

Mengenai struktur, organisasi tersebut terdiri dari wakil-wakil Negara anggota. Dewan yang merupakanbadan eksekutif Organisasi dipilih oleh siding biasa Majelis sekali tiga tahun. Dewan memilih presidennya sendiri. Organisasi juga mempunyai berbagai komite dan komisi atara lain : The Air Navigation Commision, Air Transport Committee, Legal Committee, Committee on joint Support of Air Navigation, Finance Committee, Sekretariat yang dikepalai oleh Sekretaris Jendral mengangkat staf dan memimpin kegiatan Organ tersebut. Majelis yang merupakan Organ berdaulat dari Organisasi mengadakan siding paling tidak sekali dalam tiga tahun untuk meninjau kegiatan-kegiatannya dan membuat garis-garis besar mengenai kegiatan masa depan.

Dewan terdiri dari 33 negara pihak. Dalam memilih anggota-anggotanya, Dewan memberikan tempat yang wajar kepada:

1) Negara-negara yang mempunyai alat angkutan udara yang penting.

2) Negara-negara yang mempunyai kontribusi terbesar dalam menyeiakan fasilitas penerbangan sipil internasional

(39)

4) Fungsi dan realisasi. Disamping perannya yang cukup penting di bidangbantuanteknik seperti pembnagunan pelabuhan-pelabuhan udara dan pengawasan pendirian dinas-dinas khusus, ICAO dengan perantaraan Dewan melakukan fungsi pengaturan pentingdan penyelesaian sengketa-sengketa.

(40)

b) Konvensi Chicago juga memuat mekanisme yang orisinil mengenai penyelesaian sengketa, yang melengkapi Dewan dengan wewenang yuridiksional bila terjadi sengketa antara negara-negara pihak mengenai implementasi atau pelaksanaan Konvensi. Naik banding dari keputusan Dewan selalu mungkin baik kepada suatu tribunal arbitrasi ad hoc atau Mahkamah internasional. Sebagai contoh dan sesuai dengan prosedur diatas, Pakistan dalam sengketa dengan India mengajukan pengaduan kepada Dewan atas larangan terbang diatas wilayah India. India lalu membawa sengketa tersebut ke Mahkamah yang akhirnya menyatakan bahwa Dewan mempunyai wewenang untuk menangani sengketa tersebut.5)

Walaupun terdapat interprestasi yang ekstensif atas wewenang yuridiksional Dewan dari ICAO, pada umumnya Negara-negara lebih suka menyelesaikan sengketa-sengketa bilateral mereka melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang biasa seperti ke Mahkamah Internasional atau membentuk suatu tribunal arbitral. Selama Perang Dingin banyak Negara yang mengajukan pengaduannya ke Mahkamah Internasional yang menyangkut keamanan penerbangan sipil.

(41)

ordonansi Mahkamah tanggal 14 April 1992 menolak permintaan pengambilan tindakan-tindakan konservatoar.

E. Perlindungan Hukum dalam Penerbangan Sipil

Penyelenggaraan penerbangan sipil Internasional mengacu pada konvensikonvensi internasional untuk menjamin keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barang-barang yang diangkut, dan penanggulangan pembajakan pesawat udara. Pesawat udara merupakan sasaran pelaku kejahatan untuk melarikan diri ke negara yang berbeda ideologi dan politik dalam menghindarkan diri dari hukuman setelah melakukan kejahatan, atau menuntut pembebasan rekan-rekan yang dipenjara, minta suaka politik kepada negara lain, bahkan untuk menghimpun harta benda bagi kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu dilakukan pengkajian tentang pengaturan penerbangan sipil internasional, keterkaitan konvensi-konvensi internasional dengan pembajakan udara, serta perlindungan penerbangan sipil internasional terhadap pembajakan udara berdasarkan konvensi internasional.

(42)

mengenai pengakuan hak atas pesawat udara, di samping hukurn nasional perdata maupun publik sebagai implementasi konvensi internasional tersebut di atas.

Tujuan konferensi penerbangan sipil internasional tampak dengan jelas pada pembukaan Konvensi Penerbangan Sipil Internasional yang ditandatangani di Chicago pada tahun 1944. Dalam pembukaan tersebut dijelaskan bahwa pertumbuhan penerbangan sipil yang akan datang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan persahabatan, memelihara perdamaian dan saling mengerti antarbangsa, saling mengunjungi masyarakat dunia dan dapat mencegah dua kali perang dunia yang sangat mengerikan, dapat mencegah friksi dan dapat digunakan untuk kerjasama antarbangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia. Oleh karena itu, negara-negara peserta konferensi sepakat mengatur prinsip-prinsip dasar penerbangan sipil internasional, menumbuhkembangkan penerbangan sipil yang aman, lancar, teratur dan memberi kesempatan yang sama kepada negara anggota untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional dan mencegah adanya persaingan yang tidak sehat.

F. Pengaturan Penerbangan Sipil Internasional

Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi “The Contracting States recognize the every state has complete and exclusive sovereignty over the

(43)

kedaulatan negara di bawahnya atau terbatas seperti laut teritorial sebagaimana diatur dalam hukum laut internasional atau ada lintas damai bagi pesawat udara asing. Perdebatan tersebut dapat diselesaikan saat Konvensi Paris 1919 ditandatangani.

(44)

anggota Konvensi Chicago 1944 terus ke atas sampai tidak terbatas dan ke bawah bumi sepanjang dapat dieksploitasi.14

2. Hak Prerogatif

Hak prerogatif negara anggota dilakukan untuk menghindari konsekuensi prinsip kedaulatan di udara sebagaimana diuraikan di atas. Sepanjang menyangkut hak penerbangan (traffic right), Konvensi Chicago 1944 membedakan antara penerbangan internasional tidak berjadwal dengan penerbangan initernasional berjadwal. Kepada penerbangan internasional tidak berjadwal diberi sedikit kelonggaran, sedangkan untuk penerbangan internasional berjadwal tetap harus memperoleh izin lebih dahulu. Mengenai penerbangan internasional berjadwal, pesawat udara asing diberi hak yang sama dengan perusahaan penerbangan nasional dalam penggunaan fasilitas bandar udara dan navigasi penerbangan, sedangkan daerah terlarang (prohibited area) berlaku terhadap pesawat udara nasional, pesawat udara asing baik berjadwal maupun tidak berjadwal15

3. Angkutan Udara Internasional

Sepanjang menyangkut teknis dan operasional penerbangan, pembahasan di dalam konferensi penerbangan sipil internasional berjalan dengan lancar, kecuali pembahasan di bidang ekonomi angkutan udara. Sepanjang pembahasan di bidang ekonomi angkutan udara, mengalami banyak kesulitan dibandingkan dengan pembahasan di bidang teknis dan operasi penerbangan internasional.

14

K. Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bagian Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 44.

15

(45)

Sepanjang menyangkut ekonomi angkatan udara, pendapat di dalam sidang terpecaya menjadi empat kelompok masing-masing pendapat Amerika Serikat serta pendukungnya pendapat lnggris beserta pendukungnya Pendapat Kanada dan usul gabungan (joint proposal) antara Australia dengan Selandia Baru.

Sepanjang menyangkut angkutan udara internasional khususnya mengenai pengaturan rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tarif angkutan udara, Amerika Serikat berpendapat bahwa rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tarif angkutan udara, pemerintah jangan mencampuri. Amerika Serikat berpendapat bahwa rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara, dan tarif angkutan udara diatur sendiri oIeh perusahaan penerbangan yang bersangkutan berdasarkan hukum pasar (supply and demand). Biarlah perusahaan penerbangan mengatur sendiri sesuai dengan kemampuannya.

(46)

pesawat udara komersial sehingga Amerika Serikat tidak takut dan khawatir menghadapi armada nasional Inggris. Sebaliknya Inggris tidak memiliki jalan lain, kecuali harus melindungi armada nasionalnya untuk bersaing dengan armada Amerika Serikat.16

Sepanjang menyangkut ekonomi angkutan udara internasional, posisi Inggris dalam konferensi penerbangan sipil di Chicago tahun 1944 mengenai rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara, maupun tarif angkutan udara sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Tidak ada penerbangan internasional yang dapat dilakukan dari atau ke Inggris, termasuk jajahannya tanpa persetujuan dari pemerintah Inggris. Posisi demikian memang disadari oleh Inggris. Tidak ada jalan lain selain harus melindungi armada nasionalnya terhadap persaingan dengan armada negara lain, terutama Amerika Serikat.17

Posisi Kanada yang berkaitan dengan angkutan udara internasional adalah mengusulkan dibentuk International Air Authority yang akan menentukan pengaturan rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tarif angkutan udara internasional. Menurut Kanada, rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tariff angkutan udara tidak ditentukan oleh perusahaan penerbangan seperti usul Amerika Serikat, tetapi diatur oleh International Air Authority. Demikian pula Kanada juga berpendapat bahwa rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tariff angkutan

16

Ibid., hal 21

17

(47)

udara tidak ditentukan oleh pemerintah seperti usul Inggris, tetapi diatur oleh International Air Authority.18

Usul gabungan (joint proposal) yang disampaikan oleh Australia dan Selandia Baru dibentuk perusahaan penerbangan yang saham-sahamnya dimiliki oleh negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional yang dibentuk dan perusahaan penerbangan internasional tersebut melakukan rute-rute penerbangan internasional seperti dari Melbourne ke London dan sebaliknya, sedangkan rute regional maupun nasional dilayani oleh perusahaan penerbangan yang ada di daerah bersangkutan. Usul gabungan yang diajukan oleh Australia dengan Selandia Baru rersebut ditolak oleh konferensi, tetapi usul tersebut mengilhami lahirnya Pasal 77 Konvensi Chicago 1944.28 Di dalam pasal tersebut dikatakan tidak ada larangan pembentukan perusahaan penerbangan internasional yang dioperasikan bersama (international joint operation agency).19

Semua usul yang dikemukakan oleh Amerika Serikat, Inggris, Kanada maupun usul gabungan Australia dengan Selandia Baru ditoIak oleh konferensi penerbangan sipil internasional sehingga melahirkan Pasal 6 Konvensi Chicago 1944. Menurut Pasal tersebut tidak ada penerbangan internasional berjadwal dapat dilakukan ke negara anggota lainnya, kecuali telah memperoleh izin lebih dahulu. Izin demikian biasanya diatur dalam perjanjian angkutan udara internasional timbale balik.

Kegagalan untuk menyepakati pertukaran hak-hak penerbangan tersebut secara multilateral tetap diusahakan untuk mengurangi tingkat kegagalan, oleh

18

Ibid

19

(48)

karena itu, konferensi penerbangan sipil internasional tersebut masih berusaha dengan mengesahkan “International Air Services Transit Agreement dan International Air Transport Agreement” yang telah dibahas di atas. Di samping itu, konferensi penerbangan sipil internasional juga mengesahkan dokumen tentang “International Civil Aviation, signed at Chicago on 7 December 1944, Interim Agreement on International Civil Aviation” yang melahirkan “Provisional International Civil Aviation Organization” dan “Chicago Standard Form Agreement” yang akan digunakan sebagai panduan dalam pembuatan perjanjian angkutan udara internasional timbal balik.

4. Operasi Penerbangan

(49)

penerbangan, sertifikasi awak pesawat udara dan pesawat udara, peralatan, dan lain-lain.20

5. Daerah Terlarang (Prohibited Area)

Pesawat udara nasional maupun asing dilarang terbang di atas daerah terlarang (prohibited area) atau daerah terbatas (restricted area) untuk menjamin keselamatan penerbangan (aviation safety), ekonomi nasional (national prosperity), maupun keamanan nasional (national security). Larangan tersebut berlaku umum terhadap pesawat udara mana pun juga, tidak boleh diskriminasi. Bila pesawat udara asing dilarang terbang di daerah tersebut, pesawat udara nasional juga harus dilarang. Penentuan daerah terlarang hanya didasari atas pertimbangan keamanan nasional (national security), keselamatan penerbangan (aviation safety) maupun kemakmuran nasional (national prosperity. Tidak boleh penentuan daerah terlarang atas pertimbangan politik seperti pernah dilakukan oleh India, di mana pesawat udara milik Pakistan dilarang terbang dari Pakistan Barat ke Pakistan Timur (sekarang bernama Bangladesh), melalui rute penerbangan yang biasanya digunakan, tetapi pesawat udara tersebut diperintahkan terbang melalui jalur penerbangan yang sangat jauh sehingga memakan biaya operasi yang sangat besar.

Bila pesawat udara asing maupun nasional terlanjur berada di daerah terlarang, pesawat udara tersebut segera diinformasikan agar pesawat udara segera meninggalkan daerah terlarang. Namun demikian, bila mereka tidak menyadari posisinya, pesawat udara tersebut dikejar dan dipaksa untuk mendarat di bandar

20

(50)

udara (airport) atau pangkalan udara (airbase) yang berdekatan. Pesawat udara tersebut tidak boleh ditembak, karena penembakan pesawat udara sipil bertentangan dengan semangat keselamatan yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944, bertentangan dengan ajaran hukum (doctrine) tentang bela diri maupun bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

Semangat konvensi Chicago 1944 adalah keselamatan penerbangan (safety first), sedangkan ajaran hukum tentang bela diri mengatakan bahwa tindakan penembakan pesawat udara terhadap pesawat udara sipil, tidak seimbang dengan kesalahan yang dilakukan oleh pesawat udara sipil yang terlanjur terbang di daerah larangan terbang. Pesawat udara sipil yang ditembak jelas bertentangan dengan hak-hak asasi manusia karena pesawat udara sipil tidak dipersenjatai, padahal pesawat udara yang menembak dipersenjatai.21

6. Hukum dan Regulasi

Setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional berhak mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya, baik untuk operasi penerbangan nasional maupun internasional yang berasal atau ke Negara tersebut. Namun demikian, peraturan tersebut harus berlaku terhadap semua pesawat udara nasional maupun internasional. Bila negara tersebut mengeluarkan peraturan harus mempertimbangkan keselamatan penerbangan sipil. Hukum dan regulasi penerbangan yang berlaku adalah hukum nasional negara tersebut, kecuali pesawat udara yang terbang di atas laut lepas akan

21

(51)

berlaku hukum internasional sebagaimana diatur dalam Konvensi Chicago 1944 beserta peraturan pelaksanaannya.22

7. Customs Immigration Quarantine, dan Wabah Penyakit

Pesawat udara nasional maupun asing, kecuali melakukan, pendaratan darurat hanya dapat diizinkan melakukan pendaratan pada bandar udara yang dilengkapi dengan petugas bea cukai (customs), imigrasi (immigration) dan karantina (quarantine) baik karantina tumbuh-tumbuhan hewan maupun kesehatan. Semua penumpang maupun barang yang diterima maupun yang akan dikirim harus mematuhi hukum dan regulasi negara tersebut.23

Setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional, khususnya harus bebas dari wabah penyakit kolera, tipus, cacar air, penyakit kuning, dan flu burung.24

Oleh karena negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional harus bekerjasama erat, saling menjamin terselenggaranya penerbangan internasional yang bebas dari wabah penyakit tersebut. Konsultasi terus menerus berlangsung tanpa ada kecurigaan yang tidak baik terhadap negara anggota lainnya. Dalam hal-hal tertentu di suatu negara melarang penumpang turun dari pesawat udara sebelum diadakan disinsektisasi oleh negara tersebut.

8. Pendaftaran dan Kebangsaan Pesawat Udara

Di dalam hukum internasional setiap pesawat udara sipil yang digunakan untuk melakukan penerbangan internasional harus mempunyai tanda pendaftaran

22

Ibid., hal 26

23

Pasal 13 Konvensi Chicago 1944.

24

(52)

dan kebangsaan (nationality and registration mark).25 Pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara menggunakan prinsip pendaftaran tunggal. Tidak ada pesawat udara secara resmi diakui mempunyai pendaftaran ganda (dual registration),26

Pesawat udara memperoleh tanda kebangsaan dan pendaftaran dari Negara tempat pesawat udara didaftarkan. Pesawat udara yang telah memperoleh pendaftaran dan kebangsaan mempunyai status hukum sebagai warga negara dari negara tempat didaftarkan yang pada gilirannya memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam hukum nasional maupun hukum internasional. Pesawat udara yang telah sehingga pesawat udara dapat didaftarkan bilamana telah dihapuskan pendaftaran sebelumnya. Pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional harus menampilkan (display) tanda pendaftaran dan kebangsaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Konvensi Chicago 1944.

Konvensi Chicago 1944 tidak mengatur persyaratan pendaftaran sebagaimana diatur dalam Konvensi Paris 1919. Menurut konvensi Chicago 1944 prosedur dan tata cara serta persyaratan pendaftaran pesawat udara diatur berdasarkan hukum dan regulasi hukum nasional negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, dapat terjadi perbedaan persyaratan pendaftaran pesawat udara dari satu negara ke negara yang lain.

Persyaratan pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

25

Pasal 20 Konvensi Chicago 1944

26

(53)

Pesawat udara memperoleh tanda kebangsaan dan pendaftaran dari Negara tempat pesawat udara didaftarkan. Pesawat udara yang telah memperoleh pendaftaran dan kebangsaan mempunyai status hukum sebagai warga negara dari negara tempat didaftarkan yang pada gilirannya memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam hukum nasional maupun hukum internasional.

Pesawat udara yang telah memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan bila melakukan penerbangan dalam negeri maupun penerbangan internasional. Sebaliknya pesawat udara tersebut mempunyai kewajiban mematuhi semua hukum dan regulasi penerbangan nasional maupun internasional. Sebagai warga negara dari negara tempat didaftarkan, pesawat udara juga sebagai subjek hukum internasional. Dengan demikian, pesawat udara juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam hal pesawat udara melakukan pelanggaran hukum, maka pesawat udara tersebut dapat disita oleh negara yang bersangkutan.

(54)

keperluan statistik kriminal, dan administrasi bukan untuk memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan.27

Setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mempunyai kewajiban melaporkan pendaftaran pesawat udara didaftarkan di negara tersebut. Di samping itu, atas permitaan negara lain, negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional juga mempunyai kewajiban untuk memberi tahu pesawat udara yang didaftarkan dengan kepemilikannya. Setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan international harus dilengkapi sertifikat pendaftaran dan kebangsaan (certificate of registration mark). Dalam hal pesawat udara yang terbang internasional tidak dilengkapi dengan sertifikat pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, merupakan pelanggaran hukum nasional maupun hukum internasional.28

9. Pencarian dan Pertolongan Kecelakaan Pcsawat Udara

Dalam hal terjadi kecelakaan pesawat udara, negara tempat kecelakaan pesawat udara terjadi mempunyai kewajiban untuk mengambil langkah-langkah tertentu untuk memberi pertolongan pesawat udara yang menghadapi bahaya atau mengalami kecelakaan. Negara tempat pesawat udara menghadapi bahaya wajib mengizinkan pemilik pesawat udara atau pejabat negara tempat pesawat udara didaftarkan untuk memberi bantuan atau langkah-langkah yang mungkin diperlukan oleh pesawat udara yang menghadapi bahaya. Dalam hal pesawat udara hilang, perlu ada kerja sama dalam pencarian dan pertolongan terhadap

27

Ibid., hal 29

28

(55)

pesawat udara yang menghadapi bahaya. Pelaksanaan pencarian dan pertolongan tersebut diatur lebih lanjut dalam Annex 12 Konvensi Chicago 1944.

Pencarian dan pertolongan pesawat udara dalam hukum nasional Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pada tataran regional telah diatur dalam perjanjian secara multilateral di antara Negara- negara Asean.

10. Investigasi Kecelakaan Pesawat Udara

(56)

Dalam hukum nasional Indonesia, investigasi kecelakaan pesawat udara telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, namun demikian perlu dicatat di sini bahwa tujuan investigasi kecelakaan pesawat udara adalah untuk mencegah jangan sampai terjadi kecelakaan pesawat udara dengan sebab yang sama, bukan untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.

11. Dokumen Penerbangan

Setiap penerbangan internasional harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh hukum internasional, dalam hal ini Konvensi Chicago 1944. Menurut Pasal 29 Konvensi Chicago 1944 setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional harus dilengkapi dengan dokumen penerbangan yang terdiri dari;

(a) sertifikat pendaftaran dan kebangsaan (certificate of registration) pesawat udara;

(a) sertifikat kelaikan udara (certificate of airworthiness);

(b) sertifikat kecakapan (certificate of competency) semua awak pesawat udara;

(c) buku perjalanan penerbangan (log book);

(d) bila pesawat udara tersebut dilengkapi dengan peralatan radio, harus dilengkapi dengan sertifikat stasiun radionya;

(57)

(f) bila pesawat udara mengangkut kargo, harus dilengkapi dengan daftar barang (cargo manifest) beserta perinciannya;

(g) deklarasi umum (general declaration).29 12. Amunisi

Kecuali atas persetujuan dari negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan, tidak ada pesawat udara yang mengangkut amunisi atau bahan-bahan yang digunakan untuk perang, diangkut melalui ruang udara negara anggotaOrganisasi Penerbangan Sipil Internasional Iainnya. Setiap negara berhak mengatur pengangkutan amunisi atau barang-barang yang digunakan untuk perang melewati wilayah udara mereka. Pengaturan tersebut bersifat seragam sesuai dengan rekomendasi dari Organisasi Penerbangan Sipil lnternasional. Dalam hukum internasional pengaturan bahan-bahan berbahaya tersebut direkomendasikan dalam Annex 18 Konvensi Chicago 1944. Setiap negara berhak untuk menolak pengangkutan tersebut atas pertimbangan keselamatan (aviation safety) dan keamanan nasional (national security). Larangan pengangkutan tersebut berlaku baik untuk penerbangan pesawat udara nasional maupun pesawat udara asing (nondiscrimination treatment).

13. Sertifikasi Pesawat Udara dan Awak Pesawat Udara

Semua pesawat udara yang digunakan untuk melakukan penerbangan internasional harus mempunyai sertifikat kelaikan udara (certificate of airworthiness) Sertifikat kelaikan udara tersebut dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan. Dalam hal pesawat udara dioperasikan bersama secara

29

(58)

internasional (joint international operation), salah satu negara harus ditunjuk sebagai Negara pendaftar pesawat udara yang berhak mengeluarkan sertifikat kelaikan udara. Sertifikat kelaikan udara tersebut dapat diakui sah oleh negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan (over flown state), bilamana persyaratan untuk memperoleh sentifikat kelaikan udara tersebut minimum sama atau lebih tinggi dibandingkan dengan pensyaratan yang direkomendasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional.

Dalam hal sewa guna usaha (leasing) pesawat udara tanpa diikuti dengan awak pesawat udara (dry lease), negara pendaftar sebagai negara lessor dapat mendelegasikan kepada negara perusahaan penerbangan yang menyewa pesawat udara (lessee state) untuk mengeluarkan sertifikat kelaikan udara maupun sertifikat kecakapan (certificate of competency) awak pesawat udara. Misalnya Garuda Indonesia menyewa pesawat udara Martin Air registrasi PH (Belanda). Maka pemerintah Belanda mendelegasikan kepada pemerintah Indonesia sebagai negara tempat perusahaan penerbangan yang menyewa pesawat udara tanpa awak pesawat udara untuk mengeluarkan sertifikat kelaikan udara maupun sertifikat kecakapan awak pesawat udara.

(59)

pendelegasian tersebut dapat diakui oleh negara selain Belanda dan Indonesia, sepanjang negara tersebut juga meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944.30

Setiap sertifikat kelaikan udara (certificate of airworthiness) maupun sertifikat kecakapan (certificate of competency) yang secara sah dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan wajib diakui sah oleh negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional lainnya. Pengakuan tersebut dapat dilakukan bila persyaratan untuk memperoleh sertifikat kecakapan tersebut sama atau di atas persyaratan minimum yang direkomendasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sebagaima disebutkan di atas, yang secara terus menerus ditumbuhkembangkan. Setiap kapten penerbang atau awak pesawat udara lainnya yang melakukan penerbangan internasional harus dilengkapi dengan sertifikat kecakapan (certificate of competency) yang sah dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan. Namun demikian, negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan internasional tersebut berhak untuk tidak mengakui sertifikat yang dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan. Semua sertifikat pendaftaran pesawat udara (aircraft registration), sertifikat kelaikan udara (certificate of airworthiness), sertifikat kecakapan semua awak pesawat udara (certificate of competency) harus dibawa dalam penerbangan internasional. Disamping itu, selama penerbangan internasional juga harus dilengkapi dengan buku harian perjalanan (log book) yang berisikan terutama pesawat udara beserta

30

Referensi

Dokumen terkait

Penembakan rudal yang dilakukan kepada Malaysia Airlines Flight MH17 (MH17) atas Ukraina pada 17 Juli 2014 adalah salah satu contoh kecelakaan pesawat yang

Berdasarkan hal itu, menarik untuk diteliti upaya-upaya yang dianggap perlu seperti apakah yang dapat diambil oleh negara penerima sebagai pihak konvensi terorisme

pesawat udara negara lain tidak dapat melakukan penerbangan di atas suatu. wilayah negara lain tanpa adanya otorisasi izin dari negara

13 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), h.. 2) Tanggung jawab atas pelanggaran perjanjian (contractual liability), suatu

Resolusi ini menyatakan, berhubung Dewan Keamanan tidak dapat mencapai suatu kesepakatan di antara negara-negara anggota tetapnya dan gagal dalam menunaikan tugas

Ketika sudah ada Mahkamah pidana internasional (ICC) yang mengatur mengenai kejahatan perang maka persoalan yang muncul adalah hubungan antara mahkamah pidana internasional

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa terkait tanggung jawab negara terhadap pelanggaran HAM di Belarusia merupakan suatu jaminan dalam menegakan HAM, dikarenakan pelanggaran HAM yang

E-ISSN: 2775-619X TATOHI Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 4 2022: 318-332 322 Pengaturan penegakan hukum terutama penegakan hukum di wilayah Laut pada Perbatasan Negara, hampir semua