• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.2. Tinjauan Pustaka

1.2.4. Resistensi

1.2.4.2. Bentuk Resistensi

Menurut James Scott (199, dalam M. Tri, 2014: 28-29) dalam studinya

weapons of the week: Everyday Form of peasant Resistance tentang resistensi petani di Malaysia. Menurutnya selama ini telah banyak bermunculan literatur mengenai bentuk-bentuk resistensi yang di pakai petani.Terlebih pada bentuk perlawanan diantara kelompok sosial dalam civil society. Berbeda dengan sebelumnya, scott mencoba mengobservasi serta mendeskripsikan tentang merasakan serta tingkahlaku masyarakat miskin di perkampungan Malaysia yang menjadi sebuah kerangka sosial kehidupan mereka dalam melakukan kegiatan perlawanan. Scott membuatkan 3 level perbedaan atas resistensi:

21

a. Ketika tingkat ekonomi makro dan proses perpolitikan diberikan kepada petani namun hal itu jauh dari kerangka sosial yang diharapkan dari para petani.

b. Intervensi pemerintah yang kurang melakukan observasi terhadap norma dalam kehidupan masyarakat sekitar, dan yang terakhir.

c. Terdiri dari peristiwa lokal dan kondisi perasaan serta pengalaman dari masing-masing individu.11

Scott mendokumentasikan kehidupan sehari-hari warga dan sejarah mereka, dan menunjukkan bagaimana mereka melakukan perlawanan dari campur tangan negara dan agen perusahaan ekonomi.Bentuk-bentuk perlawanan mereka yaitu teknik rendah diri (low-profile techniques), sebagian bersembunyi dan menghindar, mengidentifikasikan dengan menyeret kaki mereka (foot-draging evasions) dan pasif, dari pada penolakan terbuka atau perlawanan terbuka (open rejection or struggle).12

Terjadinya Kasus Bentrokan mewarnai penertiban pedagang kakilima (K-5) di Jalan Gatot Subroto, mulai persimpangan Jalan Nibung Raya sampai persimpangan Jalan Iskandar Muda Kamis 20 Maret 2015. Tim gabungan yang dipimpin Kasatpol Meski menurut Scott bentuk-bentuk perlawan tersebut kurang efektif, tetapi karena ada satu alasan bagi mereka melakukannya yaitu mereka tidak ingin tergabung kedalam pola produk kapitalis dan terjebak pada relasi kelas.

11

John Martinussent, Sociaty, State and Market : A Guide to competing theories of development, hal 316

12

John Martinussent, Sociaty, State and Market : A Guide to competing theories of development, hal 317

22

PP Kota Medan M Sofian sempat adu jotos dengan sejumlah pedagang yang berusaha mempertahankan dagangannya agar tidak diangkut.13

Terjadinya kasus pemblokiran jalan yang dilakukan pedagang Pusat Pasar Sambu kawasan perempatan Jl Sutomo-H.M Yamin dan Jl Perintis Kemerdekaan, Senin 6 April 2015.Aksi ini merupakan

bentuk protes mereka terkait kebijakan Pemerintah Kota

aktivitas perdagangan di pasar tradisional di Sambu ke Pasar Induk Tuntungan.14

“Akibat kehadiran para pedagang kaki lima, tempat itu sulit untuk dilalui kenderaan dan rumah maupun tempat usaha warga pun tertutup. “Sebelum penertiban ini, kita telah melakukan sosialisasi agar tidak berjualan di tempat itu.Selain sosialisasi Pak Wali juga telah menawarkan relokasi di Jalan Kota Baru III.Mereka tinggal berjualan, sebab seluruh fasilitas telah disediakan.pihaknya tidak akan mentolerir jika para pedagang kembali berjualan di kawasan tersebut. “Saya minta itu tidak dilakukan para pedagang lagi, sebab tempat itu akan dijadikan lokasi parkir.Apabila ini dilanggar, maka kita akan kembali melakukan penertiban.”

Analisa (20 Maret 2015) melansir ucapan Kasatpol PP Kota Medan yang mengatakan penertiban ini dilakukan dalam rangka mengembalikan fungsi kawasan itu sebagai lokasi parkir kenderaan.

15

Disamping itu, kasus Puluhan massa pedagang Jalan Akik Sukaramai berunjukrasa di depan Kantor DPRD Kota Medan, Rabu 8 April 2015. Mereka berorasi menolak rencana penggusuran mereka dari jalan tersebut. Tribun Medan

13“Diwarnai Bentrokan, Pedagang K-5 Jalan Gatot Subroto Ditertibkan”, Analisa, 20 Maret 2015.

14

“Tak Terima Dipindahkan, Pedagang Sambu Blokir Jalan,”Tribun Medan , 6 April 2015 hal 2.

15

23

melansir surat pernyataan yang mereka bagikan, para pedagang menyatakan tak akan mau direlokasi dari jalan tersebut:

"Kebijakan pemerintah, baik eksekutif dan legislatif, yang mengatasnamakan pembangunan seringkali kontraproduktif dengan kenyataan di lapangan.Begitu pula rencana pemerintah yang ingin menggusur Pasar Akik," ujar Koordinator Aksi, Abdi Rahman Sihombing."Wali kota dan DPRD Kota Medan tidak pernah mendengarkan sedikitpun aspirasi pedagang. Hanya mendengar pihak yang sama sekali tidak punya kepentingan di Pajak Akik." Alasan yang disampaikan Pemko Medan, bahwa pedagang di Pasar Akik menjadi biang masalah atas merosotnya omzet pedagang Pasar Sukaramai, kata Abdi, merupakan tudingan kambing hitam. "Padahal yang terjadi adalah kesalahan PD Pasar mengelola Pasar Sukaramai yang tidak memikirkan kelayakan berjualan, tanpa melibatkan pedagang dalam menetapkan tata kelola yang baik," 16

Common Sense yang tercipta di masyarakat yaitu perlawanan selalu di kaitkan dengan bentrokan fisik, ini tidak terlepas dari peran media yang melihat konflik pedagang selalu dari sisi bentrokan terbuka fisik17. Bagi James Scott justru strategi perlawanan yang seharusnya menarik untuk dilihat dan dikaji ialah everydayforms of resistance yang terdiri dari kumpulan pola perilaku sehari-hari dari para pedagang untuk melakukan perlawanan18

Analisa resistensi sendiri terhadap suatu fenomena banyak melihat hal-hal yang ada dalam keseharian masyarakat baik berupa kisah-kisah, tema pembicaraan,

.

16

“Pedagang di Jalan Akik Tolak Relokasi,”Tribun Medan , 8 April 2015 hal 2.

17

M. Tri Panca W, “Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta Bekasi Barat (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah , Jakarta, 2011), hal 7.

18

24

umpatan, serta puji-pujian dan prilaku lainnya sehingga resistensi menjadi gayung bersambut dalam keilmuan sosial.19

Dalam khazanah antropologi, benih-benih kritik internal atau refleksi yang dapat dilihat sebagai upaya resistensi telah muncul terhadap arus besar keilmuan antropologi saat itu.20

Ketika kondisi dalam satu tempat atau dalam sekelompok masyarakat hukum formal dan hukum non formal berdampingan maka kondisi tersebut dapat menimbulkan sebuah arena sosial.Dimana dalam arena Sosial tersebut ada aktor-aktor yang terlibat dan menjalankan peranan khusus dalam kondisi tersebut.Penelitian Sally Folk Moore

Pedagang kakilima merupakan salah satu bagian pekerjaan di sektor informal yang sangat penting khususnya di daerah perkotaan di negara-negara berkembang. Bahkan dianggap sebagian kalangan sebagai katup penyelamat (safety valve) krisis keuangan dan finansial yang dialami bangsa indonesia sejak tahun 1998.

21

Antropologi hukum berpegang pada anggapan bahwa manusia hidup bermasyarakat pasti ada hukum, jadi baik di zaman dahulu hingga sekarang hukum

dalam menjelaskan kewajiban antara sesama secara hukum dan non hukum dalam industri pakaian gaun mahal mengatakan ada aktor-aktor sebagai pelaku dalam menjalankan aturan yang berlaku.

19

Yusran Darmawan, “Reasistensi dalam Kajian Antropologi,” artikel diakses pada 8 April 2015 http://www.timur-angin.com/2009/08/resistensi-dalam-kajian-antropologi.html

20

M. Tri Panca W, “Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta Bekasi Barat (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah , Jakarta, 2011), hal 28.

21

Sally Fallk Moore, 1993, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi Otonom sebagai Suatu Topik Studi yang Tepat” dalam T.O. Ihromi (editor) antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

25

selalu ada dalam masyarakat. Hukum tersebut mengikuti pola kehidupan manusia bermasyarakat, baik ia berbentuk tertulis ataupun tidak tertulis (hukum adat). Tidak ada manusia hidup tanpa budaya, tidak ada manusia tanpa kepentingan, dan juga tidak ada manusia tanpa hukum (aturan).22

Tetapi saat ini istilah Pedagang kaki lima juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya. Istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial belanda. Sebab pada waktu itu Peraturan Pemerintah menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan kaki adalah lima kaki atau sekitar 1,5 meter. Namun dalam kenyataannya, ruas jalan yang seharusnya dipergunakan untuk pejalan kaki ternyata

Kakilima menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (1991), adalah pedagang yang menjual barang dagangannya di pinggir jalan atau di dalam usahanya menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau dipindahkan serta memempergunakan bagian jalan atau trotoar, tempat-tempat yang tidak diperuntukkan bagi tempat untuk berusaha atau tempat lain yang bukan miliknya. Pedagang kakilima adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga kaki “Gerobak”.

22

26

dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Kalau dulu sebutannya pedagang

emperan, lama kelamaan berubah menjadi pedagang kakilima.

Karakteristik Pedagang kakilima sama seperti pekerja-pekerja sektor informal lainnya, yakni modal kecil, keterlibatan anggota keluarga/kerabat, waktu kerja yang tak teratur serta tidak adanya pencatatan yang jelas mengenai keluar masuknya keuangan. Salah satu informan yang bernama Bambang (54 tahun) PKL penjual bakso mengatakan:

“Pertamakali aku jualan ini modalnya cuma limaratus ribu, sekarang ini penghasilanku bisa sampai dua juta sebulan bersih. Sedangkan waktu jualan ya gak mesti, kalau capek ya istirahat dulu, tapi biasanya yang kerja gantikan aku ya keluarga, kalau gak istri, anak-anak ya ponakan. Kalau soal keluar masuknya uang ya gak sampai dicatat secara teliti.Paling-paling berapa dapetnya hari ini, berapa perlunya untuk belanja bahan, ya gitu aja.”23

Berdasarkan keterangan pak Bambang tersebut tampak bahwa bekerja sebagai pedagang kakilima memang tidak membutuhkan modal yang besar, di samping itu juga tidak perlu pendidikan serta keterampilan yang khusus, karena istrinya yang lulus SMP saja sudah bisa menjalankan usahanya.

Dokumen terkait